Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

04 April 2018

FILE 369 : Apakah Boleh Ada Jeda Saat Menjamak Dua Shalat?

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah,      
Wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam            
Wa ba'du .... .  .



  Jamak Shalat Tidak Boleh Ada Jeda?    
Dijawab Oleh:
Ust. Ammi Nur Baits hafidhahullah 

PERTANYAAN: 

Ada orang hendak melakukan jamak taqdim. Setelah shalat dzuhur, dia batal, lalu wudhu. Apakah masih bisa melakukan jamak dengan (shalat) ashar? 

Trim’s


JAWABAN:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Berkelanjutan (al-Muwalah) dalam jamak shalat artinya, seusai orang melakukan shalat pertama, dia langsung berdiri untuk melakukan shalat kedua, tanpa ada jeda panjang antara keduanya.

Ulama berbeda pendapat, apakah dalam jamak shalat harus ada muwalah?

[1] Jamak harus dilakukan dengan muwalah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.
[2] Jamak shalat, tidak harus berkelanjutan, boleh ada jeda meskipun cukup lama. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah).

Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

ذهب جمهور الفقهاء القائلين بجواز الجمع إلى أنه يشترط لجمع التقديم أربعة شروط

Mayoritas ulama berpendapat, ada 4 syarat yang membolehkan jamak taqdim,

Kemudian disebutkan rincian poin ketiga,

ثالثها: الموالاة بين الصلاتين وهي أن لا يفصل بينهما زمن طويل، أما الفصل اليسير فلا يضر؛ لأن من العسير التحرز منه. فإن أطال الفصل بينهما بطل الجمع سواء أفرق بينهما لنوم، أم سهو، أم شغل، أم غير ذلك


Syarat ketiga, berkelanjutan antar kedua shalat, artinya antar-kedua shalat tidak dipisah dengan waktu yang panjang. Jika ada jeda sebentar, tidak masalah, karena sangat susah untuk menghindarinya. Jika jedanya panjang, kesempatan jamaknya batal. Baik jedanya karena tidur, atau lupa, atau kesibukan lainnya … 
(al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 15/287)

Dan batasan panjang pendeknya jeda, kembali ke standar yang berlaku di masyarakat. Sehingga ketika ada jeda yang cukup panjang, kesempatan jamak menjadi hilang.

Misalnya, seseorang melakukan shalat dzuhur, usai shalat dia mengikuti shalat jenazah, apakah dia boleh melakukan jamak dengan asar? – dengan catatan, sebelum shalat jenazah, ada waktu persiapan.

Menurut keterangan di atas, dia tidak boleh melakukan jamak dengan asar, karena jedanya terhitung lama, yaitu mengikuti shalat jenazah.

Lain halnya dengan pendapat kedua. Jamak shalat, tidak disyaratkan harus berkesinambungan. Sehingga boleh saja melakukan jamak, meskipun ada jeda antara shalat pertama dengan shalat kedua.

Di antara pertimbangannya,

[1] Bahwa izin jamak diberikan sebagai rukhshah. Sehingga ketika disyaratkan, harus muwalah (berkelanjutan), maka ini bertentangan dengan prinsip rukhshah, yaitu memberi keringanan.
[2] Bahwa jamak shalat adalah menggabungkan dua waktu shalat (al-Jam’u fil waqti) dan bukan menggabungkan gerakan shalat (Jam’ul fi’l). Karena itulah, gerakan shalat pertama, tidak harus bersambung dengan gerakan shalat kedua. Yang penting, keduanya disatukan dalam satu waktu.

Syaikhul Islam mengatakan,

والصحيح أنه لا تشترط الموالاة بحال لا في وقت الأولى ولا في وقت الثانية ؛ فإنه ليس لذلك حد في الشرع ولأن مراعاة ذلك يسقط مقصود الرخصة

Yang benar, tidak disyaratkan adanya muwalah (berkelanjutan) sama sekali, baik jamak taqdim maupun jamak ta’khir. Karena semacam ini tidak ada batasan dalam syariat. Karena memperhatikan muwalah, bertentangan dengan tujuan memberikan keringanan. (Majmu’ al-Fatawa, 24/54).

Di tempat lain, beliau juga mengatakan,

كلام الإمام أحمد يدل على أن الجمع عنده هو الجمع في الوقت … وأنه إذا صلى المغرب في أول وقتها والعشاء في آخر وقت المغرب  جاز ذلك  وقد نص أيضا على نظير هذا فقال : إذا صلى إحدى صلاتي الجمع في بيته والأخرى في المسجد فلا بأس

Pernyataan Imam Ahmad menunjukkan bahwa jamak menurut beliau adalah al-Jam’u fil waqti (menggabungkan dua waktu) …. Jika ada orang shalat maghrib di awal waktu, lalu shalat isya' di akhir waktu maghrib, itu diperbolehkan. Beliau juga menegaskan yang serupa dengan ini, beliau mengatakan, ‘Jika dalam jamak, shalat pertama dikerjakan di rumah, sementara shalat kedua dikerjakan di masjid, tidak masalah.’  (Majmu’ al-Fatawa, 24/52). 

Dan pendapat kedua lebih mendekati, insyaaAllah


*****
Sumber: konsultasisyariah.com    

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika   
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin