Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

19 Juni 2017

FILE 358 : Masjid yang Ideal, Sederhana tapi Berkualitas

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah, 

wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam      
Wa ba'du
....
.

  Masjid yang Sederhana, Namun Berkualitas   

Disusun oleh:  
Syaikh Husein al-‘Uwaisyah [1] 
..
Penglihatan kita sudah sangat familiar dengan masjid besar, megah dan penuh dengan berbagai ornamen penghias dilengkapi dengan fasilitas yang memanjakan badan, mulai dari permadani yang empuk dan AC yang menyejukkan ruangan masjid. Ini sudah biasa. 

Lalu, bagaimanakah perasaan kita tatkala melihat sebuah masjid yang kecil, sederhana tanpa ada ornamen yang membuatnya indah sebagaimana yang biasa kita lihat? Bangunan yang penuh dengan kesederhanaan, seakan biaya pembangunannya sangat sedikit atau “kurang”.

Apa yang akan kita lakukan terhadap masjid seperti ini? Akankah kita merangkai kata yang akan kita sampaikan dalam ceramah-ceramah atau dituliskan dalam selebaran yang disebar sehingga membuat orang yang melihat dan membacanya berurai air mata??? Ataukah kita berpaling darinya dan enggan melakukan ibadah di sana?? 

Tindakan manapun yang kita lakukan dari dua contoh tindakan di atas merupakan tindakan yang keliru.
.
BAGAIMANAKAH KEADAAN MASJID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM? 

Agar kita bisa bersikap dengan benar, kita harus mengetahui kondisi masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Ternyata, bangunan masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bangunan yang sangat sederhana, atapnya dari pelepah kurma dan terkadang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersujud di masjid di atas tanah bercampur air.

Diriwayatkan dari Abu Salamah Radhiyallahu ;anhu, dia mengatakan, “Saya berangkat menuju Abu Sa’id al-Khudriy, lalu mengatakan, ‘Maukah engkau keluar bersama kami ke bawah pohon kurma untuk bercakap-cakap?’ Dia keluar, lalu Abu Salamah Radhiyallahu 'anhu mengatakan, ‘Sampaikanlah kepada kami hadits yang engkau dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang lailatul Qadr. 

Abu Sa’id Radhiyallahu 'anhu mengatakan, ‘Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh pertama bulan Ramadhan dan kami juga ikut beri’tikaf bersama Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu malaikat Jibril 'Alaihissalaam datang kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Sesungguhnya apa yang engkau minta ada dihadapanmu.’ 

Maka (setelah itu), Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari pertengahan (bulan Ramadhan).’ Lalu kami juga ikut beri’tikaf bersama Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu malaikat Jibril 'Alaihissallam datang kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Sesungguhnya apa yang engkau minta ada dihadapanmu.’

Pagi hari, pada tanggal 20 bulan Ramadhan, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar dan bersabda:

مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْيَرْجِعْ فَإِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نُسِّيتُهَا وَإِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي وِتْرٍ وَإِنِّي رَأَيْتُ كَأَنِّي أَسْجُدُ فِي طِينٍ وَمَاء

Barangsiapa yang beri’tikaf bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hendaklah dia pulang! Karena sesungguhnya saya pernah diperlihatkan lailatul Qadr lalu saya dibuat lupa. Sesungguhnya lailatul Qadr itu ada pada malam ganjil sepuluh hari terakhir. Dan sesungguhnya saya melihat seakan saya sujud di atas tanah dan air. 

Ketika itu atap masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbuat dari pelepah kurma, kami tidak melihat ada tanda-tanda (akan hujan) sedikitpun di langit, lalu tiba-tiba muncul gumpalan awan dan kami diguyur hujan. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat bersama kami sehingga kami bisa melihat bekas tanah dan air di kening dan ujung Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk pembenaran mimpi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[2] 

Dalam hadits riwayat Imam Muslim rahimahullah, disebutkan bahwa Abu Sa’id al-Khudriy Radhiyallahu anhu mengatakan:

 فَمَطَرَتْ حَتَّى سَالَ سَقْفُ الْمَسْجِدِ وَكَانَ مِنْ جَرِيدِ النَّخْلِ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْجُدُ فِي الْمَاءِ وَالطِّينِ

Lalu hujan turun sehingga air hujan mengaliri atap masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu terbuat dari pelepah kurma, lalu didirikan shalat, maka saya melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud di atas air dan tanah 

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa atap masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbuat dari pelepah kurma, sehingga air bisa masuk ke masjid ketika hujan turun dan menyebabkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radliyallaahu 'anhum sujud di atas tanah dan air. 
.

BAGAIMANAKAH RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENYURUH PARA SAHABATNYA KETIKA MEMBANGUN MASJID NABI SHALLALLAHU  ‘ALAIHI WA SALLAM TERSEBUT? 

Dijelaskan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ابْنُوهُ عَرِيشًا كَعَرِيشِ مُوسَى

Bangunlah masjid ini sebagaimana ‘arisy [3] Nabi Musa [4] 

Padahal ketika itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa saja memerintahkan para Sahabatnya Radlyallaahu 'anhum untuk membangun masjid itu seperti istana yang penuh ornamen penghias. Namun, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meminta itu, padahal Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu melakukannya, maka tentu meninggalkan itu lebih baik dan itu sama dengan mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (sunnah), mendatangkan kebaikan, keberkahan dan keselamatan. Karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, dia mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى

Sungguh kalian akan menghiasi masjid-masjid itu sebagaimana orang Yahudi dan Nashara telah menghiasi (tempat ibadah mereka)[5] 

Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ

Kiamat tidaklah terjadi hingga manusia berbangga-bangga dalam membangun masjid [6] 

Inilah yang sedang kita saksikan dan lihat saat ini. Banyak kaum Muslimin yang membangga-banggakan dan berlomba-lomba dalam menghiasi dan mempercantik masjid-masjid mereka, padahal keutamaan membangun masjid akan didapatkan oleh siapapun juga selama dia ikhlas karena Allâh 'Azza wa Jalla, sekalipun masjid yang dibangunnya kecil.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ لبيضها بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ

Barangsiapa membangun masjid karena Allâh walaupun hanya seukuran lubang tempat burung bertelur, maka Allâh bangunkan baginya (rumah) di surga.[7]

Mafhash qathaah dalam hadits di atas artinya lubang yang dipakai oleh burung untuk menaruh telur dan menderum di tempat tersebut. Qathah adalah sejenis burung.

Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أو أَصْغَرَ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ

Barangsiapa membangun masjid karena Allâh walaupun hanya seukuran lubang tempat burung bertelur atau lebih kecil dari itu, maka Allâh akan bangunkan baginya (rumah) di surga [8] 

Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anhu ketika memerintahkan untuk membangun masjid, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan:

أَكِنَّ النَّاسَ مِنْ الْمَطَرِ وَإِيَّاكَ أَنْ تُحَمِّرَ أَوْ تُصَفِّرَ فَتَفْتِنَ النَّاسَ

Jadikanlah ia bangunan yang bisa melindungi manusia dari hujan! Jangan kamu warnai dengan warna merah atau kuning agar engkau tidak menfitnah manusia [9]

Anas Radhiyallahu 'anhu mengatakan, “Mereka merasa bangga dengan masjid-masjid, namun mereka tidak memakmurkan, kecuali sedikit saja.”
.

APA YANG DIHASILKAN OLEH MASJID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM? 

Setelah membaca keterangan di atas, terbayang dibenak kita, Masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebuah masjid yang sangat sederhana. Namun dari bangunan yang sederhana itulah, Islam berjaya dan dikenal di seluruh penjuru dunia.

Bukankah masjid yang sederhana itu telah melahirkan para tokoh-tokoh Sahabat Radhiyallahu 'anhum ?

Bukankah dari bangunan sederhana itu keluar para pejuang Islam yang telah menaklukkan berbagai negeri yang menghalangi dakwah Islam? 

Dari pendidikan di masjid itu terlahir para komandan Islam yang disegani. Dan dari masjid yang minim fasilitas itu, cahaya Islam terpancar ke seluruh alam. 

Itulah masjid yang mengajarkan kepada kaum Muslimin tentang praktek î’tsâr (prilaku yang lebih mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri dalam masalah dunia-red), cinta kasih, pengorbanan, ketegaran, kebahagiaan dan hal-hal positif lainnya. 

Itulah masjid yang sangat memperhatikan pendidikan dan pembersihan jiwa kaum Muslimin. Sangat perhatian dengan perkembangan bathin, perhatian dengan inti dan perhatian kepada manusia, (bukan fisik bangunan-red). 

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kehancuran menimpa umat yang sangat perhatian dengan tembok bangunan, namun melupakan kaum Muslimin; juga sangat perhatian dengan masalah perhiasan dan ornamen, namun mengabaikan sisi pendidikan akhlak dan prilaku.

Jika faktanya benar seperti ini, maka alangkah menyedihkan! 

Sekarang dibanyak tempat, kita dapati bangunan-bangunan masjid itu besar dan megah, lantainya dilapisi permadani indah mempesona dan empuk, atapnya kokoh dan kuat, kedap air sehingga tidak bocor ketika hujan turun, walaupun hanya setetes. Tidak hanya itu, AC yang terpasang di sana menghembuskan udara dingin atau sejuk yang memanjakan badan.

Kita tidak usah berbicara tentang biaya pembangunan, karena bisa dipastikan biayanya besar. Adapun tentang ornamen penghias masjid, maka lihatlah betapa indah dan betapa banyaknya. Seakan ornamen penghias itu menjadi bagian terpenting dari sebuah bangunan masjid atau seakan-akan pernak-pernik perhiasan itu menjadi sarana untuk menarik manusia agar mau berangkat ke masjid dan betah di sana.

Ironisnya, jika kita datang melihat lalu menghitung jumlah shaf orang yang melakukan shalat Shubuh atau shalat-shalat lainnya di masjid-masjid itu, maka kita tidak perlu menguras banyak tenaga untuk melakukannya, karena jumlahnya tidak banyak. 

Lebih menakjubkan lagi, jika kita membandingkan antara generasi yang tumbuh berkembang di masjid yang penuh perhiasan serta kenyamanan dengan generasi para Sahabat yang mereka dahulu sujud di atas tanah atau di atas tanah bercampur air hujan, kita dapati generasi yang tumbuh dalam masjid yang indah nan nyaman itu sangat berbeda dengan generasi pendahulu mereka, bahkan terkadang kita dibuat tidak percaya mereka itu generasi Islam. Mereka generasi yang ingin meraih surga bahkan surga tertinggi yaitu Firdaus, namun mereka tidak mau pakaian mereka terkena debu atau tidak mau tertusuk duri atau tidak mau bersusah payah. 

Kita sering mendengar tentang akhlak îtsâr (yaitu perilaku yang lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri dalam urusan dunia-red), menepati janji, semangat berkorban dan berbagai kisah menarik lainnya, namun kedua mata kita jarang sekali melihatnya dalam dunia nyata. Ini mengingatkan kita terhadap firman Allâh 'Azza wa Jalla :

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan 
[QS. Ash-Shaff/61 :3] 

(Semoga saja mereka menyembunyikan perbuatan-perbuatan baik mereka demi menjaga keikhlasan dan ketulusan jiwa mereka dalam beramal-red) 

Alangkah banyaknya ucapan yang keluar dari lisan kita, namun amal baik kita sangat sedikit.

Dan alangkah sedikitnya ucapan para Sahabat, namun amal baik mereka begitu banyak dan melimpah.

(Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk generasi yang berantusias dan siap mengikuti generasi para Sahabat dalam melakukan berbagai kebaikan yang diajarkan Islam.-red) 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari kitab beliau Fiqhud Dakwah Wa Tazkiyatun Nafsi, hlm. 544-547
[2] HR. Al-Bukhâri, no. 812dan Muslim, no. 1167
[3] ‘arîsy : segala yang dipakai berteduh yang jika orang yang berteduh mengangkat tangannya maka tangannya bisa menyentuh atap
[4] HR. Ibnu Abi Dunya, Ibnu Abi Syaibah dan yang lainnya. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Ash-Shahîhah, no. 616
[5] HR. Abu Daud. Lihat, Shahîh Abi Daud, no. 431. Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan perkataan ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma itu secara mu’allaq dalam Kitab Shalat, Bab Bunyanul Masâjid
[6] HR. Abu Daud. Lihat, Shahîh Abi Daud, no. 432
[7] HR. Ahmad dan al-Bazzar. Dan hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, no. 272)
[8]  HR. Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahîh beliau dan Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya sebagai hadits shahih dalam kitab Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, no. 271)
[9] Disebutkan oleh Imam al-Bukhâri secara mu’allaq dengan menggunakan lafazh yang tegas, Kitab Shalat, Bab Bunyanul Masâjid


*****
Sumber: almanhaj.or.id
 
Artikel Terkait:
Subhanakallohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

03 Juni 2017

FILE 357 : Adakah Zakat Profesi (Penghasilan)?

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah, 

wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam      
Wa ba'du
....

.
  Tidak Ada Zakat Penghasilan   
Disusun oleh:
Ust. Muhammad Yassir, Lc , حفظه الله تعالى 
 (Staf Pengajar di STDI Imam Syafi’i, Jember)
.
Zakat profesi yang diwacanakan ke publik belum tepat, jika tidak boleh mengatakannya pembodohan publik. Berikut uraian mengenai zakat profesi yang bisa dijadikan panduan.
Zakat profesi lebih populer dibandingkan bentuk zakat lain. Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat ikut mempopulerkan istilah itu melalui iklan yang masif, karena mereka juga berkepentingan mendapat sebagian dari zakat profesi yang dikumpulkannya. Mereka pun mempermudah proses pembayarannya melalui transfer bank atau potong gaji wajib zakat. Tentu juga karena untuk memungut bentuk zakat lain, misal zakat hasil kebun dan sawah atau hasil peternakan, mereka harus mendatangi para petani atau peternak – cara ini merepotkan mereka.

Zakat profesi adalah zakat yang diambil dari gaji /perolehan harta, hasil pekerjaan rutinitas para profesional. Arti inilah yang ada di benak kita, seperti juga dilakukan oleh situs dompetduafa.or.id. Hasil profesi (pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, notaris, dll) merupakan sumber pendapatan (kasab) yang tidak banyak dikenal di masa salaf (generasi terdahulu). Oleh karenanya, bentuk kasab ini tidak banyak dibahas, khususnya yang berkaitan dengan “zakat”. Lain halnya bentuk kasab yang lebih populer saat itu, seperti pertanian, peternakan dan perniagaan, mendapatkan porsi pembahasan yang sangat memadai dan detail. 

Tanggapan

Beberapa tanggapan atas definisi zakat profesi tersebut dan terhadap praktek pelaksanaannya disampaikan di bawah ini.
  • Zakat profesi sebenarnya sama dengan zakat mal mustafad yang sudah dibahas oleh ulama 
Pihak yang mewajibkan zakat profesi pasti membutuhkan dalil  untuk melegimitasi pendapatnya. Mereka mendapatkan istilah harta dalam ucapan sebagian sahabat dan juga pembahasan para imam madzhab. Yaitu istilah mal mustafad (harta perolehan/penghasilan). Sebenarnya, mal mustafad lebih global cakupannya daripada gaji profesi. Karena profesi lebih identik dengan pekerjaan/tugas rutin. Sedangkan mal mustafad mencakup semua harta yang diperoleh dari warisan, hadiah, mas kawin, uang sewa properti atau kendaraan dan lainnya. Intinya, mal mustafad adalah harta yang diperoleh seseorang dari cara apa saja asalkan halal, baik rutin ataupun insidental. 

Seorang pakar di bidang zakat yang diundang untuk berdialog di salah satu stasiun TV mengatakan, “Sebenarnya, tidak ada zakat profesi. Yang ada zakat mal (harta) yang diperoleh dari profesi.”

Pembahasan mal mustafad bukanlah hal baru. Istilah ini sudah terkenal sejak zaman salaf. Jumhur (mayoritas) sahabat mengatakan, mal mustafad baru wajib dizakati apabila sudah dimiliki selama satu tahun hijriah penuh (haul). Ini pendapat Khulafa ar-Rasyidin dan juga pendapat jumhur fuqaha (Zakat Al Rawatib hal. 10, Dr. Hannan Rizqullah). 

Sementara itu, praktek zakat profesi yang masyhur terjadi adalah: zakat profesi langsung dikeluarkan zakatnya saat menerima penghasilan tersebut, tanpa masa tunggu selama setahun.
. 
  • Tanggapan terhadap pernyataan: Tidak ada profesi di zaman para salaf selain petani, pedagang atau peternak
Ini jelas-jelas suatu kesalahan besar. Bukankah kita tahu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pegawai khusus yang bertugas mengumpulkan zakat dan mendapatkan gaji dari negara? Kalau kita ingin mengkaji lagi, banyak profesi sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti penjahit, tukang jagal, pembuat senjata, tukang bekam, dan pengembala[*]. Abu Bakar as-Shiddiq dan para khulafa' ar-rasyidin mendapatkan penghasilan dari baitul mal karena mereka fokus mengurus pemerintahan. Usman bin Affan menggaji para muadzin di masa pemerintahnnya. Ini menunjukkan bahwa penghasilan yang diperoleh dari profesi sudah ada sejak zaman sahabat. 

Dalil yang ada dari hadis-hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah zakat mal dengan syarat-syarat tertentu (simak kembali majalah Pengusaha Muslim edisi 24 mengenai aturan zakat tabungan).
  1. Harta simpanan berupa emas, perak dan mata uang.
  2. Harta tersebut adalah harta milik pribadi dan dimiliki secara sempurna.
  3. Jumlahnya sudah mencapai nishob, (nishob emas: 85 gram emas murni, nishob perak: 595 gram perak murni, dan nishob mata uang: seharga 85 gram emas murni).
  4. Jumlah tersebut sudah tersimpan selama satu tahun hijriyah.(disebut haul).
.
    • Mengeluarkan zakat saat menerima upah atau gaji, tanpa menunggu satu tahun penuh
    Ada dua kekeliruan dalam praktek zakat profesi di poin ini, yakni anjuran mengenai keharusan membayar zakat profesi setiap bulan ketika menerima gaji. Kerancuan pertama, umumnya gaji  yang diperoleh pegawai per bulan belum mencapai nishob (85 gram emas, sekitar Rp 46 juta, dengan asumsi 1 gram emas = Rp 550 ribu). Kerancuan kedua, mengeluarkan zakat sebelum saatnya, dengan menunggu sampai kepemilikan terhadap harta yang telah mencapai nishob tersebut berlangsung selama satu tahun hijriyyah penuh.[**] 
    .
    • Menyamakan zakat profesi dengan zakat pertanian  
    Beberapa pakar pembahasan zakat profesi menggunakan analogi dengan perasaan. Bukan dalil yang baku digunakan ahli fikih. Di antara alasan yang disampaikan, jika petani yang pada umumnya hidup miskin atau pas-pasan, mereka wajib mengeluarkan zakat pertanian (missal nishob beras 750 kg, kira-kira jika dirupiahkan Rp 6,75 juta) setiap panen (kira-kira 4 bulan). Jadi, penghasilan minimal per bulan Rp 1,68 juta. Maka, menurut mereka, profesi dokter atau dosen lebih utama ditarik zakatnya setiap bulan karena penghasilan mereka lebih besar daripada petani.

    Hal tersebut adalah qiyas (analog) yang disebut dalam ilmu ushul fiqh sebagai qiyas ma’al fariq (tidak nyambung). Karena syariat sudah menentukan masing-masing jatah zakat dengan ketentuan yang berbeda-beda. Zakat harta (emas, perak dan mata uang) ada ketentuan sendiri. Begitu juga zakat pertanian. Tidak boleh disamakan atau dicampuradukkan

    Kalau kita menggunakan perasaan dalam syariat zakat sebagai dalil untuk membandingkan antara orang kaya dan orang yang pendapatannya pas-pasan, silakan gunakan perasaan Anda pada beberapa contoh berikut.
    • Seorang petani punya 50 ekor kambing yang digembalakan setiap hari. Ia wajib mengeluarkan zakat seekor kambing apabila jumlah kambingnya masih berjumlah 40 ekor atau lebih. Sedangkan seorang pengusaha peternakan kambing yang memiliki 500 ekor kambing yang diberi pakan fermentasi setiap hari tidak wajib mengeluarkan zakat berupa kambing setiap tahun. Ini karena syarat wajibnya zakat ternak adalah apabila hewan tersebut digembalakan.
    • Seorang petani memiliki 100 gram emas (harganya Rp 55 juta) yang dibeli untuk investasi. Maka ia wajib mengeluarkan zakat emas tersebut tahun depan sebesar 2,5 persen. Sedangkan seorang konglomerat memiliki sebutir intan permata yang harganya Rp 500 juta namun tidak wajib menzakati intannya karena syariat tidak mewajibkan zakat intan permata.
    Ingatlah, karena syariat didasari dalil yang jelas dan kuat sesuai kaidahnya, maka kita tidak boleh menganalogikan sembarangan hanya mengacu logika.

    Istilah zakat profesi perlu dirinci dahulu sebelum disebarluaskan ke masyarakat awam. Siapa tahu mereka memahaminya berbeda dengan istilah menurut ulama ahli fikih.

    Pemahaman tentang zakat profesi menjadi tidak benar jika prakteknya gaji pegawai langsung dipotong setiap kali pegawai menerima gaji, tanpa memperhatikan jumlah nishob hartanya saat itu atau tanpa memenuhi syarat haul. Sebaliknya, pemahaman tentang zakat profesi dianggap benar, jika dalam pelaksanaannya memenuhi syarat-syarat zakat mal. Artinya, gaji/penghasilan tersebut, apabila dijumlahkan dengan tabungan milik pegawai, sudah mencapai nishob, ia wajib menzakatinya setelah berlalu satu haul. 
    .
    .
    Jika suatu instansi memotong gaji pegawai sebagai zakat setiap bulan 

    Fenomena ini terjadi di beberapa daerah, karena ditentukan kebijakan pemerintah setempat atau instansi terkait. Ada dua tanggapan yang dapat kami berikan. 

    Pertama, instansi atau siapa pun hanya boleh campur tangan dalam harta orang lain apabila diizinkan. Jadi, seharusnya setiap instansi yang ingin memotong gahi pegawainya harus dengan ridho pemilik harta. Terlebih lagi dalam zakat mal, muzakki tidak wajib menyetor ke amil zakat. Ia berhak mengeluarkannya langsung ke mustahik (simak kembali majalah Pengusaha Muslim edisi 26 tentang amil zakat). 

    Kedua, apabila pegawai tersebut tidak bisa berkutik karena instansi melakukan pemotongan secara sepihak, sedangkan ia merasa belum memenuhi kriteria wajib zakat, sikap yang tepat adalah niatkan uang itu sebagai sedekah biasa, bukan zakat. Semoga Allah Ta’ala membalas niat Anda dengan yang lebih baik. Solusi lain klik: Dasar Zakat Profesi 

    Potongan gaji (tiap bulan) tidak diakadkan sebagai pembayaran zakat profesi, tapi jika diakadkan sebagai tabungan zakat mal. Dengan demikian, konsekuensinya sebagai berikut:
    1. Apabila harta karyawan telah benar-benar sempurna nishob dan haul-nya, ia bisa membayar zakat dengan mengambil sebagian tabungan zakat mal-nya tadi. Apabila tabungan zakat mal-nya masih berlebih, sisanya tetap akan disimpan untuk pembayaran zakat berikutnya. Namun apabila masih kurang, karyawan tadi wajib untuk menambahkan kekurangannya untuk menyempurnakan pembayaran zakatnya.
    2. Apabila harta karyawan tidak sempurna nishob dan atau haul-nya, tabungan zakat mal-nya dapat tetap ia pertahankan, atau diserahkan ke pengelola zakat dengan akad infak, atau dapat pula ia ambil kembali untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
    3. Dengan diakadkan sebagai tabungan zakat mal, tabungan tersebut tidak akan bercampur dengan dana zakat (yang sudah memenuhi syarat), sehingga tidak ikut disalurkan ke mustahik sebelum syarat-syarat zakat terpenuhi.
    Ketiga hal tersebut secara akuntansi dapat dilakukan. (PM) 

    Yang Tidak Membodohi
    • Zakat profesi pada dasarnya zakat mal mustafad yang telah banyak dibahas para ulama
    • Mayoritas sahabat berpendapat, mal mustafad baru wajib dizakati apabila sudah dimiliki selama satu tahun hijriah penuh (haul) dan telah mencapai nishob
    • Di zaman sahabat, masyarakat sudah mengenal berbagai profesi. Namun tidak dijumpai riwayat mereka mengeluarkan zakat profesi sebelum mencapai nishob dan
    • Dua kekeliruan praktek zakat profesi:
      • Umumnya gaji pegawai kurang dari nishob zakat harta (85 gram emas).
      • Zakat profesi dikeluarkan setiap bulan, sehingga tidak sesuai dengan aturan
    • Menganalogikan zakat profesi dengan zakat pertanian adalah analogi salah, karena zakat profesi sama dengan zakat harta, yang aturannya berbeda dengan zakat pertanian
    • Instansi tertentu tidak boleh memotong langsung gaji pegawainya sebagai zakat, tanpa seizin pemilik uang (pegawai)
    • Jika instansi tertentu melakukan melakukan secara sepihak dan pegawai tidak mampu berbuat apa pun, sebaiknya diniatkan sebagai sedekah, dan bukan zakat

    [*] Pada zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga sudah ada beberapa profesi yang ada di masa kini seperti dokter (tabib), arsitek (lihat sejarah pembangunan ulang Ka'bah), dan pengrajin (seperti pandai besi). Begitu juga pada zaman Khulafa' ar-Rasyidin sudah dikenal istilah pegawai negara yang digaji oleh negara (seperti gubernur, sekretaris, dan tentara). Diriwayatkan 'Umar bin Khaththab radliyallaahu 'anhu sebagai khalifah pernah melarang para gubernur di daerah untuk mengangkat juru tulis (sekretaris) dari kalangan orang non muslim. (Catatan dari saya [Sa'ad]) 
    [**] Meskipun dalam fiqih zakat ada juga pembahasan tentang membayarkan zakat sebelum waktunya, namun penerapannya adalah dengan membayar secara langsung (tunai) bukan dengan cara dicicil !! (Catatan dari saya [Sa'ad]

    ***** 
    Sumber: pengusahamuslim.com  

    Artikel terkait: 
    Baca Juga: 
    Subhanakallohumma wa bihamdihi,  
    Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
    Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin