Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

25 April 2017

FILE 355 : Adakah Riba yang Dibolehkan?

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah, 
wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam      
Wa ba'du
.....
.
Ada Riba yang Halal?     
Disusun oleh:             
Ust. Ammi Nur Baits, حفظه الله تعالى
 

Pertanyaan:
.
Katanya di surat ar-Rum dinyatakan bahwa ada riba itu tidak dilarang. Apa benar? Karena di ayat itu, tidak disebutkan ancaman maupun larangan apapun. Mohon pencerahannya! 
.
Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Allah berfirman,
.
وَمَا آَتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ
.
“Sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” (QS. ar-Rum: 39).

Al-Qurthubi membawakan beberapa penjelasan dari para ulama tafsir untuk ayat ini. Kita simak penjelasan mereka,

Pertama, keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau menjelaskan,
.
وما آتيتم من ربا يريد هدية الرجل الشيء يرجو أن يثاب أفضل منه، فذلك الذي لا يربو عند الله ولا يؤجر صاحبه ولكن لا إثم عليه
.
Riba yang kalian berikan” maksudnya adalah terkait orang yang memberikan hadiah sesuatu kepada orang lain, dengan mengharapkan ganti yang lebih baik. Pemberian semacam ini tidak akan berkembang di sisi Allah. Orangnya tidak mendapat pahala, meskipun dia juga tidak mendapat dosa.

Keterangan lain disampaikan Ikrimah. Beliau mengatakan,
.
الربا ربوان، ربا حلال وربا حرام، فأما الربا الحلال فهو الذي يهدى، يلتمس ما هو أفضل منه
.
Riba itu ada 2: riba halal dan riba haram. Riba halal adalah orang yang menghadiahkan sesuatu kepada orang lain, dengan harapan akan diganti yang lebih baik dari apa yang dia berikan.

Keterangan lain juga disampaikan ad-Dhahak,
.
هو الربا الحلال الذي يهدى ليثاب ما هو أفضل منه، لا له ولا عليه، ليس له فيه أجر وليس عليه فيه إثم
.
Itulah riba yang halal, yaitu orang yang memberi hadiah dengan maksud untuk mendapatkan bayaran yang lebih banyak. Tidak ada kelebihan untuknya dan tidak ada yang salah darinya. Artinya, tidak ada pahala untuknya dan tidak ada dosa darinya.

Al-Qurthubi menyimpulkan,
.
قال ابن عباس وابن جبير وطاوس ومجاهد: هذه آية نزلت في هبة الثواب
.
“Ibnu Abbas, Ibnu Jubair, Thawus, dan Mujahid mengatakan, ayat ini turun terkait hibah tsawab.” (Tafsir al-Qurthubi, 14/36)

http://lawsofpakistan.com/wp-content/uploads/2011/03/Riba.jpg
Itulah hibah tsawab, seseorang memberi dengan maksud agar yang diberi memberikan balasan yang lebih baik dari apa yang dia berikan.

Ulama berbeda pendapat dalam memahami hibah tsawab.

Pertama, hibah tsawab hakekatnya jual beli, sehingga hukum yang berlaku di dalamnya mengikuti hukum jual beli. 

Karena mengikuti hukum jual beli maka harus
  1. Disyaratkan dalam akad
  2. Ukuran kuantitasnya jelas.
Ini merupakan pendapat jumhur ulama, Hanafiyah, Malikiyah, Hambali, dan Syafi'iyah menurut pendapat yang lebih terkenal.

Karena statusnya transaksi jual beli, maka di sana ada hak khiyar, hak mengembalikan karena aib, dan jika sudah terjadi serah terima (taqabudh) maka tidak bisa dibatalkan.

Kedua, bahwa hibah tsawab bukan jual beli, tapi hibah. Sebagaimana namanya. Dan tidak bisa diubah menjadi jual beli melihat namanya, sementara jual beli bertentangan dengan hibah. Untuk hibah, sifatnya murni sosial. Ini adalah pendapat sebagian Syafi'iyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Karena ini tergolong hibah maka tidak boleh meminta ganti atau kembalian dari penerima.

Dan pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat jumhur ulama. Dengan pertimbangan,

[1] Maksud dari transaksi ini bukan sebatas hibah. Karena pihak yang memberi (wahib) mensyaratkan adanya ganti dari orang yang mendapat hibah. Sementara transaksi dinilai dari hakekat dan konsekuensinya dan bukan semata dari namanya.

[2] Dinyatakan dalam hadis, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’,
.
الوَاهِبُ أَحَقُّ بِـهِبَتِهِ مَا لَـمْ يُثَبْ عَلَيهَا
.
Orang yang memberi hibah lebih berhak terhadap hibahnya, selama tidak diberi balasan untuk hibahnya. (HR. Ibnu Majah 2477. Namun hadis ini di-dha'if-kan para ulama karena ada perawi yang bernama Ibrahim bin Ismail. Sementara Amr bin Dinar dengan Abu Hurairah, munqathi’. Demikian keterangan al-Kinani dalam Misbah az-Zujajah. (2/236))

Hanya saja, dinyatakan al-Baihaqi dalam al-Kubro (no. 12383), bahwa ada riwayat yang lebih diterima (mahfudz) dari Umar bin Khath-thab  secara mauquf,
.
مَنْ وَهَبَ هِبَةً فَلَمْ يُثَبْ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِبَتِهِ إِلاَّ لِذِى رَحِمٍ
.
Siapa yang menghibahkan sesuatu kemudian tidak dibalas, maka dia lebih berhak terhadap hibahnya. Kecuali hibah untuk keluarga.

Al-Baihaqi menyebutkan komentar al-Bukhari yang menyatakan, “Ini lebih shahih”

Hadis ini juga disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam at-Talkhis al-Habir (3/171).

Dengan demikian, penyebutan riba halal seperti yang dinyatakan Ikrimah hanyalah istilah, karena hakekatnya bukan riba. Tapi pemberian dengan maksud bisa mendapatkan imbalan lebih banyak. Dan itu hukumnya seperti jual beli.

Allahu a’lam
.
***** 
Sumber: pengusahamuslim.com 

Subhanakallohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

01 April 2017

FILE 354 : Apa Beda Antara Qishas dan Hudud?

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah, 
wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam      
Wa ba'du
.....
.
Perbedaan antara Qishas dan Hudud    
Disusun oleh:         
Ust. Kholid Syamhudi, حفظه الله تعالى
 
.
Kejahatan yang mengharuskan qishas, keputusan berada pada tangan wali orang terbunuh dan korban itu sendiri apabila dia masih hidup, baik itu yang berhubungan dengan pelaksanaan qishas ataupun pengampunannya. Sedangkan Imam hanya sebagai pelaksana sesuai dengan permintaan mereka.
 
Sedangkan hudud: urusannya diserahkan kepada Hakim, dia tidak boleh dibatalkan jika telah sampai kepadanya (hakim).

Begitu pula halnya kalau qishas bisa diampuni dengan pengganti, seperti diyat, atau juga bahkan diampuni seluruhnya tanpa pengganti, sedangkan hudud tidak diperbolehkan padanya ampunan dan tidak boleh pula syafa’at secara mutlak, baik itu dengan pengganti maupun tidak.
.
Atas siapa had ditegakkan

Had tidak dilaksanakan kecuali terhadap orang yang telah baligh, berakal, sengaja, ingat, mengetahui keharamannya, berpegang pada hukum-hukum Islam, baik itu dari seorang Muslim ataupun kafir dzimmi.
.
عنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ, وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ, وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ 
(أخرجه أحمد و أبو داود)
.
1- Dari Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan diampuni dari tiga golongan: seorang yang tidur sampai dia terbangun, anak kecil sampai dia baligh dan seorang gila sampai menjadi normal kembali” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)[1].
.
وَلمّا نَزَلَتْ: (( رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا )) [البقرة: ٢٨٦] , قَالَ اللهُ:  قَدْ فَعَلْتُ 
(أخرجه مسلم)
.
Ketika turun ayat: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” (Al Baqarah: 286), maka Allah berfirman: “Aku telah melakukannya” (H.R Muslim)[2]

Pelaksanaan had boleh diakhirkan jika terhalang oleh sesuatu yang berdampak maslahat bagi kaum Muslimin, seperti ketika perang, atau juga berhubungan dengan maslahat yang kembali kepada korban, seperti penundaan yang disebabkan oleh musim dingin ataupun panas, atau juga karena sakit, bisa juga karena berhubungan dengan selainnya, seperti wanita hamil, menyusui ataupun lainnya.

Pelaksanaan had dilaksanakan oleh Imam atau wakilnya dengan kehadiran sejumlah kaum Mukminin, dan juga tidak dilaksanakan kecuali di Masjid.

Pelaksanaan had serta qishas boleh dilakukan di Makkah, karena tanah haram tidak melindungi pelaku kejahatan. Barang siapa yang terkena kewajiban salah satu dari had Allah, baik itu cambuk, kurungan ataupun pembunuhan akan diterapkan kepadanya di tanah haram ataupun lainnya.

Cambuk dilakukan dengan menggunakan pecut, namun dia bukan yang baru dan tidak pula usang. Orang yang di cambuk tidak dibuka pakaiannya. Pukulan dilakukan pada tempat yang berpindah-pindah di tubuh, dengan syarat tidak memukul muka, kepala, kemaluan dan sesuatu yang mematikan. Bagi wanita pakaiannya dikencangkan.

Apabila terkumpul beberapa had yang berhubungan dengan Allah Ta’ala dan termasuk dalam satu jenis, seperti perbuatan zina yang berkali-kali atau mencuri beberapa kali, maka yang demikian jadi disatukan, sehingga dia tidak dihukum kecuali hanya satu kali saja. Dan jika terdiri dari beberapa jenis, seperti seorang yang belum pernah menikah berbuat zina, mencuri dan meminum khomer, maka dalam keadaan ini hukuman tidak disatukan, akan tetapi dimulai oleh yang paling ringan diantaranya, pertama kali dicambuk karena minum khomer, kemudian dilanjutkan oleh cambuk karena berzina, setelah itu barulah potong tangan.

Cambuk yang paling berat dalam had adalah cambukan karena berzina, kemudian cambukan karena menuduh orang lain berzina (qodzaf) kemudian barulah cambukan karena meminum khomer.

Apabila seseorang mengaku kalau dia berhak mendapat hukuman had kepada Imam, akan tetapi belum menjelaskannya, secara sunnah hendaklah dia ditutupi aibnya dan tidak menanyakan tentang aibnya tersebut.

Berkata Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu: 
Pada suatu waktu aku berada didekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka datanglah seseorang dan berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah berbuat sesuatu yang mewajibkan had, laksanakanlah hukumannya terhadapku". Berkata Anas: beliau (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) tidak bertanya tentang pelanggarannya. Selanjutnya dia (Anas) berkata: Sehingga tibalah waktu shalat dan diapun shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam selesai dari shalatnya, orang tersebut kembali menghadapnya dan berkata: "Ya Rasulullah, saya berhak untuk mendapat hukuman had, laksanakanlah terhadapku sesuai dengan kitab Allah". Menjawablah beliau shallallahu 'alaihi wasallam: "Bukankah kamu sudah shalat bersama kami?" Dia menjawab: "Benar". Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan: “Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu", atau beliau berkata: "hukuman had terhadapmu" (Muttafaq 'Alaihi)[3].
.
Footnote:
[1] Hadits Shohih/ Riwayat Ahmad no (940), lihat Al-Irwa' no (297). Riwayat Abu Dawud no (4403), lafadz ini darinya, Shohih Sunan Abu Dawud no (3703).
[2] Riwayat Muslim no (126)
[3] Muttafaq 'Alaihi, riwayat Bukhori no (6823), lafadz ini darinya dan Muslim no (2764)
.
***** 
Sumber: klikuk.com  

Subhanakallohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin