Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

14 November 2016

FILE 348 : Pelajaran dari Aksi Damai "Bela Al-Qur'an"

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah, 
wash-sholaatu wassalaamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam      
Wa ba'du

....


Sejarah memang selalu berulang, sebagaimana selalu berulangnya siang dan malam. Tak heran Presiden RI pertama Soekarno berpesan "JAS MERAH" - Jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Ya, dengan mempelajari dan mengambil hikmah dari sejarah maka manusia dapat menghindari petaka yang pernah menimpanya terulang kembali. Begitu juga dengan merenungi sejarah, manusia dapat menghindari bencana yang pernah menimpa generasi-generasi pendahulunya.

Salah satu sejarah yang kembali terulang baru-baru ini adalah aksi mobilisasi massa umat Islam dengan label "Aksi Damai Bela Islam" atau "Aksi Damai Bela Al-Qur'an". Jika kita menelaah sejarah pendahulu umat ini, hal semacam ini sudah pernah dialami oleh para salaf yang berujung pada penyesalan atas keterlibatan mereka dalam aksi-aksi semacam ini.

Kok bisa ?? Bukankah selama ini selalu digembar-gemborkan kalau salaf itu tidak pernah melakukan demonstrasi atau aksi-aksi seperti yang dilakukan para aktivis??

Sebenarnya semuanya kembali ke definisi "aksi damai" itu sendiri.

Dalam pandangan saya, aksi damai sebenarnya tidak berbeda dengan demonstrasi yang biasa dilakukan mahasiswa-mahasiswa atau buruh-buruh. Dalam dua hal tersebut (aksi damai dan demonstrasi) terkandung dua hal:

  1. Pengerahan massa (unjuk kekuatan)
  2. Penyampaian aspirasi (orasi)
Perbedaan hanya pada diksi (pilihan kata), di mana demonstrasi umumnya berkonotasi negatif karena -hampir selalu- berakhir anarki sedangkan aksi damai lebih berkonotasi positif (halus) karena -berusaha tidak- berakhir anarki. Kenyataannya sebenarnya kedua hal tersebut dapat berakhir damai dan dapat pula berakhir anarki, tergantung sukses tidaknya provokator menyusup dan menyulut kerusuhan/anarki.

Baiklah, kembali ke pembahasan awal. Memang ada dalam sejarah awal-awal Islam, para salaf yang menggelar demo (baca: aksi damai) ??

Saya jawab: ADA, bila merujuk pada kandungan dari definisi aksi damai tersebut (pengerahan massa dan penyampaian aspirasi) !!

Silahkan renungi tulisan dari Ust. Badru Salam serta Abul Jauzaa' -hafidhahumallaahberikut ini:

Tahukah anda apakah Perang Jamal itu?
Ia adalah perang antara pasukan Ali dan pasukan Aisyah radliyallahu ‘anhum..
Padahal Aisyah keluar dari kota Madinah dengan pasukannya bukan untuk berperang..
Tetapi untuk meng-ishlah kaum muslimin yang di saat itu bertikai..
Mendengar Aisyah membawa pasukan menuju Kufah, Ali pun keluar membawa pasukannya untuk menyambut kedatangan ibunda kaum muslimin..
Namun, rupanya musuh-musuh Islam menyusup dan ingin melakukan kerusuhan.
Mereka membagi dua kelompok lalu saling melempar.
Sehingga pasukan Ali mengira bahwa pasukan Aisyah yang memulai peperangan…
Pasukan Aisyah pun mengira pasukan Ali yang memulai perang..
Maka berkecamuklah perang dan gugurlah dua shahabat mulia yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam..
Renungkankanlah ini..
Bila pasukan para shahabat bisa dimasuki provokator untuk berbuat kerusuhan..
Maka aksi demo, unjuk rasa atau semisalnya yang isinya banyak kaum awamers amat lebih mudah lagi dimasuki provokator..
Waspadalah saudaraku…


Latar belakang Thalhah, Zubair, dan 'Aisyah radliyallaahu 'anhum keluar menuju Bashrah (sebagaimana tertulis dalam banyak riwayat, dan bukan Kufah) adalah dalam rangka menggalang kekuatan untuk menuntut balas (qishash) terhadap para pembunuh 'Utsman radliyallaahu 'anhu sesegera mungkin karena dikhawatirkan mereka keburu hilang membaur dengan masyarakat umum sehingga susah dicari dan ditemukan. 

Sementara kebijakan 'Ali radliyallaahu 'anhu yang saat itu adalah Khalifah (imam/pemimpin kaum muslimin) yang baru dibai'at adalah menunggu kondisi keamanan dan politik stabil pasca terbunuhnya 'Utsman radliyallaahu 'anhu baru kemudian mencari dan meng-qishash para pembunuh 'Utsman radliyallaahu 'anhu.

Terjadi perbedaan ijtihad, antara pemimpin dan rakyat ... 

Kalau bahasa sekarang, bisa dikatakan "Aksi Damai Bela Shahabat" atau "Aksi Damai Bela 'Utsman" ...
 

Oleh : Asy-Syaikh Yusuf bin ’Abdillah bin Yusuf Al-Wabil hafidhahullah.
Di antara fitnah yang terjadi setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ’anhu adalah terjadinya perang Jamal yang terkenal antara ‘Ali bin Abi Thalib dengan ‘Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair radliyallaahu ‘anhum.
Kronologi peristiwa ini adalah ketika terbunuhnya ‘Utsman, maka orang-orang mendatangi ‘Ali di Madinah dimana mereka berkata kepadanya : ”Ulurkan tanganmu, kami akan berbaiat kepadamu”. ‘Ali berkata : “Tunggu dulu, sampai orang-orang bermusyawarah”. Maka sebagian di antara mereka berkata : “Apabila orang-orang kembali ke negerinya masing-masing setelah terbunuhnya ‘Utsman, sementara itu belum ada seorang pun yang menggantikan kedudukannya (sebagai khalifah), niscaya akan terjadi perselisihan dan kerusakan umat”. Mereka terus-menerus membujuk ‘Ali agar mau menerima baiat, dan akhirnya ‘Ali pun menerimanya.
Di antara orang yang membaiatnya itu adalah Thalhah dan Az-Zubair radliyallaahu ‘anhuma. Kemudian, mereka berdua pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah ‘umrah, dan di sana mereka bertemu dengan ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa. Setelah membicarakan masalah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan, mereka pergi ke Bashrah untuk menuntut ‘Ali agar menyerahkan orang yang telah membunuh ‘Utsman [1] ; akan tetapi ‘Ali tidak memenuhi permintaan mereka. Hal itu dikarenakan ‘Ali masih menunggu para wali dari keluarga ‘Utsman untuk menyelesaikan perkara kepadanya; yaitu, apabila telah dapat ditetapkan orang yang membunuh ‘Utsman, maka akan dijatuhkan hukum qishash padanya. Maka mereka pun (yaitu ‘Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair dengan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum) berbeda pendapat dengan sebab ini.
Sementara itu, orang-orang yang tertuduh sebagai pembunuh ‘Utsman – yaitu mereka yang menentang ‘Utsman - merasa khawatir bahwa ‘Ali, ‘Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair bersepakat untuk menghukum bunuh mereka. Maka mereka pun mengobarkan peperangan antara dua kelompok tadi [2].
Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan ‘Ali bahwasanya antara dia dan ‘Aisyah akan timbul permasalahan. Dalam sebuah hadits dari Abu Raafi’ bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib :
إنه سيكون بينك وبين عائشة أمر. قال : أنا يا رسول الله ؟. قال : نعم. قال : فأنا أشقاهم يا رسول الله ؟. قال : لا، ولكن إذا كان ذلك، فارددها إلى مأمنها.
“Bahwasanya antara kamu dan ‘Aisyah nanti akan ada satu permasalahan”. ’Ali bertanya : ”Saya kah wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : ”Ya”. ’Ali kembali bertanya : ”Apakah saya orang yang celaka (dalam permasalahan itu) ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab : ”Tidak, akan tetapi jika hal itu nanti terjadi, maka kembalikanlah ia (’Aisyah) ke tempatnya yang aman”.[3]
Dan hal yang menunjukkan bahwasannya ’Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair tidak keluar untuk mengadakan peperangan (terhadap ’Ali), melainkan mereka hanya bertujuan untuk mendamaikan (perselisihan) di antara kaum muslimin adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari jalan Qais bin Abi Haazim, ia berkata :
لما بلغت عائشة رضي الله عنها بعض ديار بني عامر، نبحت عليها الكلاب. فقالت : أي ماء هذا ؟. قالوا : الحوأب. قالت : ما أظنني إلا راجعة. فقال لها الزبير : لا بعد، تقدمي فيراك الناس فيصلح الله ذات بينهم. فقالت : ما أظنني إلا راجعة، سمعت رسول ٰلله صلى الله عليه وسلم يقول : كيف بإحداكن إذا نبحتها كلاب الحوأب
”Ketika ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa sampai di sebagian perkampungan Bani ’Amir, tiba-tiba anjing-anjing (di tempat tersebut) menggonggong. Berkata ’Aisyah : ”Perairan apakah ini ?”. Mereka pun menjawab : ”Al-Hauab” [4]. ’Aisyah berkata : ”Aku kira aku harus kembali pulang”. Lalu Az-Zubair berkata kepadanya : ”Tidak, bahkan engkau harus maju hingga manusia melihatmu dan (dengan itu) Allah akan mendamaikan (perselisihan) di antara mereka”. ’Aisyah berkata : ”Namun aku kira aku harus kembali, karena aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Bagaimana keadaan salah seorang di antara kalian apabila anjing-anjing menggonggong kepadanya ?”.[5]
Dan dalam riwayat Al-Bazzar dari Ibnu ’Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berkata kepada istri-istrinya :
أيتكن صاحبة الجمل الأدبب، تخرج حتى تنبحها كلاب الحوأب، يقتل عن يمينها وعن شمالها قتلى كثيرة، وتنجو من بعد ما كادت
”Siapakah di antara kalian yang mempunyai onta adbab [6], lantas ia keluar (dengan mengendarainya) sehingga anjing-anjing Hauab menggonggong kepadanya. Banyak orang yang terbunuh di samping kanan dan kirinya, dan dia sendiri selamat setelah sebelumnya hampir terbunuh”.[7]
Ibnu Taimiyyah berkata :
إن عائشة لم تخرج للقتال، وإنما خرجت بقصد الإصلاح بين المسلمين، وظنت أن في خروجها مصلحة للمسلمين، ثم تبين لها فيما بعد أن ترك الخروج كان أولى، فكانت إذا ذكرت خروجها، تبكي حتى تبل خمارها، وهكذا عامة السابقين ندموا على ما دخلوا فيه من القتال، فندم طلحة والزبير وعلي رضي الله عنهم أجمعين.
ولم يكن يوم الجمال لهؤلاء قصد في القتال، ولكن وقع الاقتتال بغير اختيارهم، فإنه لما تراسل عليا وطلحة والزبير، وقصدوا الاتفاق على المصلحة، وأنهم إذا تمكنوا، طلبوا قتلة عثمان أهل الفتنة، وكان علي غير راض بقتل عثمان، ولا معينا عليه، كما كان يحلف، فيقول : والله ما قتلت عثمان ولا مالأتُ على قتله. وهو الصادق البار في يمينه، فخشي القتلة أن يتفق علي معهم على إمساك القتلة، فحملوا على عسكر طلحة والزبير، فظن طلحة والزبير أن عليا حمل عليهم، فحملوا دفعا عن أنفسهم، فظن علي أنهم حملوا عليه، فحمل دفعا عن نفسه، فوقعت الفتنة بغير اختيارهم، وعائشة راكب، لا قاتلت، ولا أمرت بالقتال، وهكذا ذكره غير واحد من أهل المعرفة بالأخبار
”Sesungguhnya ’Aisyah tidak keluar untuk berperang, melainkan dengan tujuan untuk mendamaikan kaum muslimin. Dia mengira bahwa keluarnya itu akan membawa kemaslahatan bagi kaum muslimin. Namun yang tampak olehnya setelah itu bahwa seandainya ia tidak keluar maka hal itu lebih baik. Oleh karena itu, jika ia teringat keluarnya (menuju Bashrah) itu, ia menangis hingga membasahi kerudungnya.[8] Demikian pula halnya dengan kaum muslimin terdahulu, mereka merasa menyesal karena terlibat peperangan itu. Thalhah, Az-Zubair, dan ’Ali radliyallaahu ’anhum; mereka semua juga merasa menyesal.
Dan peristiwa Jamal itu pada mulanya tidak mereka maksudkan untuk berperang, akan tetapi peperangan itu terjadi di luar kehendak mereka. Ketika ’Ali, Thalhah, dan Az-Zubair saling surat menyurat dan berkeinginan mencari kesepakatan untuk mencapai kemaslahatan, dan ketika mereka telah bertekad mencari pencetus fitnah pembunuh ’Utsman; ’Ali dalam keadaan tidak ridla dengan terbunuhnya ’Utsman dan tidak pula membantu membunuhnya sebagaimana diucapkan dalam sumpahnya : ”Demi Allah, aku tidak membunuh ’Utsman dan tidak pula berkomplot membunuhnya” – sedang ’Ali itu orang yang jujur dan benar sumpahnya. Maka, para pembunuh itu takut apabila ’Ali bersepakat dengan mereka untuk menangkap para pembunuh itu.
Lalu, mereka menghasut laskar Thalhah dan Az-Zubair. Kemudian Thalhah dan Az-Zubair mengira bahwa ’Ali telah menyerang mereka, lalu keduanya membela diri. Begitu juga ’Ali mengira bahwa mereka berdua telah menyerangnya, lalu ia pun membela diri. Maka terjadilah fitnah (peperangan) tanpa diinginkan oleh mereka. Dan pada waktu itu, ’Aisyah sedang naik kendaraan (onta). Tidak ikut berperang, tidak pula memerintahkan berperang. Demikianlah yang dikemukakan oleh para ahli ma’rifah tentang sejarah”.[9]
Selesai ditulis oleh Abul-Jauzaa’, hari Sabtu ba’da ’Asar, 15.50, 15 Nopember 2008.
Dari buku Asyraathus-Saa’ah karya Yusuf bin ’Abdillah bin Yusuf Al-Wabil, Daar Ibnil-Jauziy, hal. 98-102 dengan beberapa tambahan.


[1] Abu Bakr bin Al-‘Arabiy mengemukakan pendapatnya dalam kitanya Al-‘Awaashim minal-Qawaashim, bahwasannya perginya mereka ke Bashrah hanyalah untuk mendamaikan kaum muslimin. Ia mengatakan :
هذا هو الصحيح، لا شيء سواه، وبذلك وردت صحاح الأخبار
“Inilah yang benar, tidak ada lagi selain itu. Dan demikianlah berita-berita yang shahih”.
[2] Lihat perincian penjelasan tersebut dalam Fathul-Bari 13/54-59.
[3] Musnad Al-Imam Ahmad 2/393 – beserta hamisy (catatan pinggir) Muntakhab Kanzil-’Ummaal.
Hadits ini adalah hasan. Lihat Fathul-Bari 13/55.
Al-Haitsami berkata : ”Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzar, dan Ath-Thabarani. Para perawinya adalah terpercaya” [Majma’uz-Zawaaid 7/234].
[4] Al-Hauab adalah sebuah tempat yang terletak dekat Bashrah. Ia merupakan salah satu mata air bagi bangsa Arab di jaman Jahimiyyah. Tempat ini berada di jalan yang dilalui orang-orang yang datang dari Makkah ke Bashrah. Tempat ini disebut Hauab sebagai nisbat kepada Abu Bakr bin Kilaab Al-Hauab. Atau dinisbatkan kepada Al-Hauab binti Kalb bin Wabrah Al-Qadla’iyyah.
Lihat : Mu’jamul-Buldaan 2/314 dan catatan kaki Muhibbuddin Al-Khaathib atas kitab Al-’Awaashim minal-Qawaashim hal. 148.
[5] Mustadrak Al-Hakim 3/120.
Ibnu Hajar berkata : “Sanadnya sesuai syarat As-Shahih”. Lihat : Fathul-Bari 13/55.
Al-Haitsami berkata : ”Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, dan Al-Bazzar; rijalnya Ahmad adalah rijal Ash-Shahih” [Majma’uz-Zawaaid 7/234].
Hadits tersebut tercantum dalam Musnad Al-Imam Ahmad 6/52 dengan hamisy (catatan pinggir)-nya Mutakhab Kanzil-’Ummaal.
[6] Al-Adbab artinya yang banyak bulunya di bagian muka. Lihat : An-Nihayah oleh Ibnul-Atsir 2/96.
[7] Fathul-Bari 13/55.
Ibnu Hajar berkata : “Para perawinya terpercaya”.
Hadits “Al-Hauab” tersebut diingkari oleh Al-Imam Abu Bakr bin Al-‘Arabiy dalam kitabnya Al-‘Awaashim minal-Qawaashim (hal. 161) dimana hal itu diikuti oleh Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathiib dalam catatan kaki kitab Al-‘Awaashim. Beliau menyebutkan alasannya bahwa hadits ini tidak terdapat dalam kitab-kitab Islam yang mu’tabar.
Akan tetapi hadits itu shahih. Dishahihkan oleh Al-Haitsami dan Ibnu Hajar sebagaimana yang telah lewat (penyebutannya). Al-Hafidh berkata dalam Al-Fath (13/55) ketika mengomentari hadits Al-Hauab : “Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Ya’laa. Al-Bazzar, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Sanadnya sesuai dengan syarat Ash-Shahih”.
Al-Albani menshahihkannya dalam Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahihah, dan ia membantah pihak-pihak yang mencela keshahihan hadits ini; serta ia jelaskan para imam yang telah mengeluarkan hadits tersebut.
Lihat : Silsilah Ash-Shahihah no. 475.
[8] Az-Zaila’i berkata :
وقد أظهرت عائشة الندم، كما أخرجه ابن عبد البر في ((كتاب الاستعاب)) عن ابن أبي عتيق - وهو عبد الله بن محمد بن عبد الرحمن بن أبي بكر الصديق - قال : قالت عائشة لابن عمر : يا أبا عبد الرحمن، ما منعك أن تنهاني عن مسيري ؟. قال : رأيت رجلا غلبت عليك - يعني : ابن الزبير -. فقالت : أما والله، لو نهيتني ما خرجت
“Telah nampak rasa penyesalan pada diri ‘Aisyah, sebagaimana sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam kitab Al-Isti’ab dari Ibnu Abi ‘Atiq – ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Bakr Ash-Shiddiq – ia berkata : ‘Aisyah pernah berkata kepada Ibnu ‘Umar : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, apa yang mencegahmu untuk melarangku pergi dalam perjalananku (menuju Bashrah) ?”. Ibnu ‘Umar berkata : “Aku melihat seorang laki-laki yang telah menguasai dirimu – yaitu Ibnuz-Zubair”. ‘Aisyah berkata : “Jika saja – demi Allah – engkau melarangku, niscaya aku tidak akan pergi” [Nashbur-Rayah 4/69-70] – Abul-Jauzaa’.
Adz-Dzahabi berkata :
وكانت تحدث نفسها أن تدفن في بيتها فقالت إني أحدثت بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم حدثا ادفنوني مع أزواجه فدفنت بالبقيع رضي الله عنها قلت تعني بالحدث مسيرها يوم الجمل فإنها ندمت ندامة كلية وتابت من ذلك على أنها ما فعلت ذلك إلا متأولة قاصدة للخير كما اجتهد طلحة بن عبيد الله والزبير بن العوام وجماعة من الكبار رضي الله عن الجميع .......قالت عائشة إذا مر ابن عمر فأرونيه فلما مر بها قيل لها هذا ابن عمر فقالت يا أبا عبد الرحمن ما منعك أن تنهاني عن مسيري قال رأيت رجلا قد غلب عليك يعني ابن الزبير
”Dahulu ‘Aisyah berkeinginan untuk dikuburkan di dalam rumahnya, kemudian beliau berkata : ‘Sesungguhnya aku telah berbuat kesalahan sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kuburkanlah aku bersama istri-istri beliau lainnya di kuburan Baqi’’. Aku (yaitu Adz-Dzahabi) berkata : “Yang beliau maksud dengan kesalahan ialah kepergiannya pada tragedi perang Jamal, karena sesungguhnya beliau amat menyesali kepergiannya itu, dan beliau bertaubat darinya. Padahal beliau melakukannya atas dasar ijtihad dan bertujuan baik, sebagaimana Thalhah dan Az-Zubair bersama beberapa pembesar sahabat juga telah berijtihad, semoga Allah senantiasa meridhai mereka semua.” (Kemudian Imam Adz-Dzahabi menukilkan dari sebuah kisah, yaitu) pada suatu saat ‘Aisyah berpesan : ”Bila Ibnu Umar lewat, hendaknya kalian tunjukkanlah dia kepada aku”. Dan ketika Ibnu Umar telah melintas, maka dikatakan kepada ’Aisyah : ”Inilah Ibnu Umar” ; maka ia pun berkata kepadanya: “Wahai Abu Abdirrahman, apa yang menghalangimu untuk mencegahku dari kepergianku (pada tragedi perang Jamal)?” Beliau menjawab : “Aku melihat bersamamu seorang lelaki yang telah menguasai dirimu, yaitu Ibnu Zubair.” [Siyaru A’alamin- Nubalaa’ 2/324 no. 193; Maktabah Al-Misykah] – Abul-Jauzaa’.
[9] Minhajus-Sunnah 2/185.
[pada kitab terbitan Universitas Muhammad bin Su’ud, cetakan I/1406, , tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim : 4/316-317 – Abul-Jauzaa’]


Namun apa kesudahan dari aksi yang semula direncanakan untuk ishlah dan perdamaian tersebut??

Fitnah peperangan di antara sesama kaum muslimin ..

Antara rakyat (yang dikomandoi Thalhah, Zubair, dan 'Aisyah radliyallaahu 'anhum) dengan pasukan negara (yang dipimpin langsung oleh 'Ali radliyallaahu 'anhu

Yang berakhir dengan penyesalan berkepanjangan di kedua belah pihak ....

((Bagi yang ingin mengetahui kronologi selengkapnya bisa membaca Kitab Al Bidaayah wan Nihaayah karya Ibnu Katsir atau terjemahannya pada Bab Khulafaur Rasyidin - Kekhalifahan 'Ali - Perang Jamal))

Kisah selanjutnya ...

Tepatnya di tahun 693H, waktu itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berusia 32 tahun. Terjadi kisah ‘Assaf seorang Nashrani.
Al Imam Ibnu Katsir bercerita:

كان هذا الرجل من أهل السويداء قد شهد عليه جماعة أنه سب النبي صلى الله عليه وسلم ، وقد استجار عساف هذا بابن أحمد بن حجي أمير آل علي ، فاجتمع الشيخ تقي الدين ابن تيمية ، والشيخ زين الدين الفارقي شيخ دار الحديث ، فدخلا على الأمير عز الدين أيبك الحموي نائب السلطنة

“‘Assaf ini seorang penduduk Suwaida. Banyak orang yang menyaksikan ia mencaci Nabi shallalllahu’alaihi wasallam. Lalu si ‘Assaf minta perlindungan kepada Ibnu Ahmad bin Haji, pimpinan kabilah Alu Ali. Maka Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah bertemu dengan Syaikh Zainuddin Al Fariqi pimpinan Darul Hadits. Keduanya masuk kepada Al Amir ‘Izzuddin Aibak Al Hamawi, wakil Sulthon”.

فكلماه في أمره ، فأجابهما إلى ذلك ، وأرسل ليحضره ، فخرجا من عنده ومعهما خلق كثير من الناس ، فرأى الناس عسافا حين قدم ومعه رجل من العرب ، فسبوه وشتموه ، فقال ذلك الرجل البدوي : هو خير منكم . يعني النصراني فرجمهما الناس بالحجارة وأصابت عسافا ، ووقعت خبطة قوية

“Keduanya berbicara kepadanya mengenai si Assaf, Nashrani yang mencaci Nabi. Izzuddin pun menyambut baik keduanya dan akan menghadirkan orang Nashrani ini. Keduanya pun keluar bersama jumlah banyak dari manusia. Lalu orang-orang melihat ‘Assaf datang bersama arab badui. Orang-orang pun mencaci makinya. Maka orang arab badui ini berkata: “Si ‘Assaf ini lebih baik dari kalian!“. Maka orang-orang pun melemparinya dengan batu dan mengenai si Assaf dan terjadi keributan yang kuat”.

فأرسل النائب ، فطلب الشيخين ابن تيمية والفارقي ، فضربهما بين يديه ، ورسم عليهما في العذراوية

“Mendengar keributan itu marahlah sang wakil Sulthon (Al Amir Izzuddin Aibak). Dan meminta Ibnu Taimiyah dan Al Fariqi untuk hadir lalu keduanya dipukuli dan dipenjara di Madrosah Adzrowiyah“.

وقدم النصراني ، فأسلم وعقد مجلس بسببه ، وأثبت بينه وبين الشهود عداوة ، فحقن دمه

“Amir Izzuddin juga mendatangkan Assaf si Nasrani. Lalu Amir Izzuddin meminta Assaf masuk Islam dan membuat sidang khusus karena sebabnya. Dari majelis itu tampaklah permusuhan antara peserta sidang dengan si Assaf. Namun tertahanlah darah si Assaf (ia bebas).

ثم استدعى بالشيخين فأرضاهما وأطلقهما

“Kemudian dipanggillah Ibnu Taimiyah dan Al Fariqi dan dimintai keridloannya lalu keduanya dilepaskan”
(Lihat Al Bidayah wan Nihayah 17/665-666 karya Ibnu Katsir, dan kitab Al Muqtafa ‘alar Roudhotain 2/363 karya Al Barzali).
Kisah ini memberikan beberapa pelajaran:
  1. Mengingkari penista agama dengan cara melaporkannya kepada penguasa. Bukan dengan main hakim sendiri.
  2. Para ulama hendaknya yang langsung berbicara kepada penguasa, karena merekalah yang mampu menyampaikan dengan hujjah dan akhlak. Sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dan Al Fariqi yang langsung berbicara dengan wakil sulthan, Izzudin Al Hamawi. Ini sesuai dengan perintah Nabi untuk menyampaikan nasehat secara rahasia.
  3. Dalam kisah tersebut, tidak disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah dan Al Fariqi lah yang mengerahkan massa. Namun keduanya pergi diikuti banyak orang yang juga sama sama ingin mengadukan si pencela Nabi kepada penguasa.
  4. Sikap arogan dan kekerasan bukanlah solusi memecahkan permasalahan. Bahkan seringkali menimbulkan mudharat yang lebih besar, bahkan malah Ibnu Taimiyah dan Al Fariqi yang dipukuli.
  5. Para ulama hendaknya tidak memanas-manasi manusia dengan provokasi. Lihatlah bagaimana sikap Ibnu Taimiyah dan Al Fariqi dipukuli, mereka sama sekali tidak memprovokasi massa dan memilih bersabar.
    Coba renungkan, bagaimana bila para pendemo yang berdalil dengan kisah Ibnu Taimiyah ini ditangkapi oleh pemerintah dan dipukuli, akankah mereka bersikap seperti Ibnu Taimiyah dan Al Fariqi?
  6. Keluarnya orang orang awam untuk berdemo seringkali menimbulkan keributan dan mudah terpancing emosi. Lihatlah ketika orang orang itu dipanas panasi oleh arab badui bahwa “si Assaf lebih baik dari kalian!“. Mereka langsung melempari dengan batu sehingga terjadi keributan. Ini menunjukkan perbuatan mereka malah menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
  7. Kisah para ulama bukanlah dalil, karena dalil adalah Al Qur’an, hadits dan ijma. Ulama adalah manusia biasa yang bisa jatuh kepada kesalahan.
***
Penulis: Ust. Badrusalam Lc. (dengan suntingan redaksi pada matan kisah)


Kalau yang di atas ini bisa dikatakan semangatnya "Aksi Damai Bela Rasul" ..  

Semoga ketiga artikel singkat di atas dapat meresap dan dipahami oleh hati-hati yang tulus mencari kebenaran untuk mengikuti Sunnah Nabi-nya shallallaahu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam ...

Semoga bagi yang berkeinginan untuk terjun lagi dalam Aksi Damai Bela Al-Qur'an Jilid II (yang isunya akan dilaksanakan pada 25 November 2016) bisa merenung lagi ...

Saya akui, saya juga marah apabila kitab suci agama saya, Al-Qur'an, dihina atau dilecehkan. Tapi yang musti diingat, Islam itu bukan dalam ibadah mahdhah saja tetapi meliputi semua sendi kehidupan termasuk tata cara mengubah kemungkaran:

"Barang siapa melihat kemungkaran, hendaklah dia ubah: dengan tangannya (jika anda penguasa atau memiliki wewenang, langsunglah bertindak, proses dan hukum si pelaku secara adil/setimpal); jika tidak mampu (bukan penguasa atau tidak memiliki wewenang), maka dengan lisannya (laporkan ke penguasa atau yang berwenang dengan prosedur yang benar dari sisi syar'i atau laporkan ke orang yang dinilai mampu mempengaruhi penguasa/yang memiliki wewenang atau nasihati langsung si pelaku); jika tidak mampu maka dengan hati (ingkari perbuatannya dan do'akan agar ia mendapat hidayah atau balasan/hukuman yang setimpal) namun yang terakhir ini adalah selemah-lemah iman"
"Barang siapa ingin menasehati penguasa (termasuk memberi masukan atau solusi dari permasalahan ummat) maka jangan melakukannya secara terang-terangan. Akan tetapi, nasihatilah dia di tempat yang sepi. Jika menerima nasihat, itu sangat baik. Dan bila tidak menerimanya, maka kamu telah menyampaikan kewajiban nasihat kepadanya.” [HR Imam Ahmad].

Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat – AbuAl-Jauzaa’). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl  [HR. Al-Bukhari no. 7057 dan Muslim no. 1845].
Dari Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Seseorang berkata kepadanya : “Apakah engkau tidak menemui ‘Utsman (bin ‘Affan) dan menasihatinya ?”. Maka Usamah menjawab : “Apakah engkau memandang bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku perdengarkan di hadapanmu ? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata. Sebab aku tidak akan membuka perkara (fitnah) dimana aku tidak menyukai jikalau aku adalah orang pertama yang membukanya” [HR. Al-Bukhari no. 7098 dan Muslim no. 2989]
Sesungguhnya jihad yang paling besar adalah kalimat ‘adil (benar) yang disampaikan di sisi penguasa yang dhalim/jahat [HR. Abu Dawud no. 4344, At-Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011, Al-Khathiib dalam Taariikh-nya 7/28, dan yang lainnya; shahih].
Mengapa disebut jihad yang paling besar ? Tidak lain karena ia telah berani menyampaikan kebenaran langsung di hadapan penguasa dengan cara menemuinya empat mata. Bisa jadi ia ditangkap, dipenjara, atau bahkan dibunuh karena nasihat yang disampaikannya. Dan itulah jihad baginya.


Jika 'menyampaikan aspirasi'-nya rame-rame dengan demo atau aksi damai, apa tujuannya biar ada saksi mata kalau dia sudah menasehati penguasa ? Yakin tidak terjerumus ke arah riya' (biar dilihat) dan sum'ah (biar didengar) ? Apa tidak cukup kalau Allah sebagai saksi bahwa Anda sudah menasehati atau menyampaikan aspirasi kepada penguasa ???

Yang perlu diingat lagi, penyampaian aspirasi kepada penguasa dengan mengerahkan massa dan berorasi di muka umum dikenal sebagai bagian dari demokrasi yang diimpor dari sistem perpolitikan orang kafir. Ingatlah perkataan 'Umar radliyallaahu 'anhu,Kita adalah satu kaum yang Allah muliakan melalui agama Islam; sehingga kapanpun kita mencari kemuliaan dengan selain agama Islam; pasti Allah timpakan kehinaan kepada kita

Mari merenungi dan belajar kembali dari sejarah. Semoga Allah menunjuki kita semua dan kaum muslimin di Indonesia pada khususnya untuk kembali kepada tuntunan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan ...

Aquulu qouli haadzaa ..
Wa astaghfirullaaha lii wa li saa-iril muslimiin ...
Subhanakallohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin