Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

24 Juni 2016

FILE 343 : Zakat Saham, Cara Menghitung Tunggakan Zakat Maal, dan Zakatnya Orang yang Punya Utang

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah, 
wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillaah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam      
Wa ba'du
 ....


Zakat Saham       
Dijawab oleh:       
Ust. Ammi Nur Baits

Pertanyaan: 

Mau tanya mengenai zakat saham, bagaimana perhitungannya? 


Jawab: 

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, 

Kita lihat pengertian saham. Saham adalah surat berharga yang mewakili kepemilikan seseorang atau badan terhadap suatu perusahaan. Saham dikeluarkan oleh perusahaan go public yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). (web ilmu akuntansi). 

Kepemilikan sebuah perusahaan, bisa dalam bentuk kepemilikan aset atau komoditas yang dijual pihak perusahaan. 

Sebelumnya, kita pahami beberapa ketentuan mengenai zakat perdagangan,

[1] Harta yang dizakati adalah harta yang hendak diperdagangkan, sementara barang yang tidak diperdagangkan, tidak diperhitungkan dalam zakat. 

Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
.
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِى نُعِدُّ لِلْبَيْعِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk membayar zakat terhadap barang yang hendak kami perdagangkan. (HR. Abu Daud 1564 dan di-dhaif-kan al-Albani) 

[2] Untuk barang yang dijual, perhitungan zakatnya mengacu pada harga pokok dan bukan harga jual. Karena untuk harga jual, di sana sudah ada tambahan margin (keuntungan). Sementara keuntungan itu baru didapatkan, jika barang itu sudah laku terjual. 

[3] Penegasan, aset yang tidak dijual, seperti gedung, perlengkapan, kendaraan, dst, tidak diperhitungkan dalam zakat. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
.

لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِى فَرَسِهِ وَغُلاَمِهِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim, terkait kudanya dan budaknya.” (HR. Ahmad 7295 dan Bukhari 1463) 


Tujuan Pemilik Saham 

Secara umum, pemilik saham bisa kita kelompokkan menjadi 2: 

[1] Pemilik saham untuk diperdagangkan. Dia membeli saham bukan untuk investasi, tapi untuk dijual di pasar saham. 

[2] Pemilik saham dalam rangka investasi. Dia membeli saham untuk mendapatkan dividen dan pembagian keuntugan dari perusahaan. 

Dari dua latar belakang di atas, aturan zakat yang berlaku, 

Untuk kelompok pertama, mereka yang membeli saham dengan maksud untuk diperdagangkan, maka status saham yang dia miliki dihukumi sebagaimana barang dagangan (urudh tijarah). Sehingga kewajiban dia untuk menghitung zakatnya tanpa memandang jenis usaha perusahaan yang mengeluarkan saham. 

Nilai yang dijadikan acuan adalah harga saham setelah sempurna satu haul, atau pada saat pembayaran zakat. 

Misalnya, di bulan Shafar 1436, si A memiliki 100 lembar saham perusahaan x dengan nilai 20juta/lembar saham. Total nilainya jauh di atas nishab. Ketika di bulan shafar 1437, indeks saham perusahaan x turun, harganya menjadi 18juta/lembar. Maka kewajiban zakat si A untuk sahamnya senilai: 2,5% x 18jt x 100 = 45juta. 

Kelompok kedua, mereka yang membeli saham dengan tujuan untuk investasi. Untuk mendapatkan keuntungan dari dividen yang dia terima bulanan. 

Para ulama berbeda pendapat dalam mendekati zakat saham investasi ini. Perbedaan ini kembali kepada bagaimana cara mereka memandang saham, (Fatwa Islam, no. 69912) 

Pertama, saham ini dihukumi sebagai barang dagangan (urudh tijarah). Tanpa memandang apapun jenis usaha perusahaan yang menerbitkan saham. Cara perhitungan zakatnya, sama persis seperti saham kelompok pertama. 

Ini merupakan pendapat Muhammad Abu Zuhrah, Abdurrahman bin Hasan, Abdul Wahhab Khallaf, dan yang lainnya. 

Kedua, saham ini tidak dihukumi sebagai barang dagangan (urudh tijarah), tapi perhitungan zakatnya mengikuti jenis usaha dari perusahaan yang menerbitkan saham. 

Mereka membagi perusahaan menjadi beberapa macam, 

[1] Perusahaan jasa 

Seperti hotel, apartemen yang disewakan, penerbangan, atau jasa transportasi lainnya. 

Untuk jenis usaha ini, tidak ada zakat untuk saham. Karena barang yang disewakan, tidak dihitung zakatnya. Namun yang masuk perhitungan zakat adalah keuntungan yang didapatkan (dividen). 

[2] Perusahaan pertanian 

Seperti perkebunan, pengembangan pertanian. 

Saham perusahaan bidang ini, mengikuti aturan zakat pertanian. 

[3] Perusahaan produksi atau jual beli komoditas 

Seperti perusahaan manufaktur atau jual beli ritel. 

Zakatnya mengikuti aturan zakat  perdagangan. Hanya saja, untuk nilai aset tidak diperhitungkan. 

Bagi pemegang saham, dia harus menghitung berapa persen kepemilikan dia terhadap barang yang diperdagangkan. Sementara dividen tidak dihitung, karena keuntungan baru didapatkan setelah barang laku terjual. 

Insyaa Allah pendapat kedua ini yang lebih mendekati (kebenaran). Dan ini merupakan pendapat Syaikh Abdurrahman Isa sebagaimana dinyatakan dalam kitabnya, “al-Muamalat al-Haditsiyah wa Ahkamuha”, Syaikh Abdullah Al Bassam, dan Dr. Wahbah Zuhaili, sebagaimana keterangan di Majallah al-Majma’ al-Fiqhi (4/742). 

Syaikh Al Bassam menyebutkan bahwa menghitung zakat saham dengan membedakan jenis usaha perusahaan yang menerbitkan saham, merupakan pendapat mayoritas ulama. (Majallah al-Majma’ al-Fiqhi, 4/1/725).

Allahu a’lam. 

Sumber: pengusahamuslim.com


******


Cara Menghitung Tunggakan Zakat 
Selama Beberapa Tahun       
Diterjemahkan oleh:       
Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Fatwa Islamweb.net no. 121528


Soal: 

Saya memiliki tunggakan kewajiban, yaitu menunaikan zakat selama 3 tahun untuk harta sejumlah 20.000 Riyal Saudi. 

Berapakah jumlah zakat yang wajib saya tunaikan dalam Riyal Saudi untuk 3 tahun tersebut? 

Jazaakumullahu khairan. 


Jawab: 

Pertama, kami menyarankan Anda untuk bertaubat secara nasuha atas kemaksiatan yang telah Anda lakukan. Menunda penunaian zakat adalah dilarang setelah pelaksanaannya diwajibkan bagi Anda. 

Adapun untuk mengetahui jumlah zakat yang wajib Anda tunaikan setelah waktu berlalu selama 3 tahun berpulang pada khilaf ulama, apakah kewajiban zakat terletak pada eksistensi harta (nilai harta yang riil ada ketika jatuh tempo zakat) atau terkait dengan tanggungan pemilik harta.

  1. Jika kita memilih pendapat yang menyatakan bahwa kewajiban zakat terkait dengan tanggungan pemilik harta. Maka, kewajiban Anda adalah mengeluarkan zakat sebesar 500 Riyal untuk setiap tahun, yaitu 2,5% dari 20.000 Riyal  yang dimiliki. Dengan demikian, total zakat yang wajib ditunaikan untuk 3 tahun adalah 1.500 Riyal Saudi.
  2. Berbeda jika kita berpendapat bahwa zakat adalah kewajiban yang terkait dengan eksistensi harta itu sendiri. Maka, zakat yang wajib ditunaikan berdasarkan pendapat ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
    • Pada tahun pertama kewajiban zakat yang ditunaikan adalah 1/40 atau 2,5% dari jumlah harta yang dimiliki, yaitu 500 Riyal (2,5% x 20.000). Kemudian, jumlah ini dikeluarkan dari jumlah pokok harta yang wajib dizakati pada tahun kedua.
    • Dengan demikian, zakat yang wajib ditunaikan pada tahun kedua adalah sebesar 487.5 Riyal yang diperoleh dari perhitungan berikut : 2,5% x (20.000 – 500) = 487,5. Seperti tahun pertama, jumlah zakat tahun kedua ini dikeluarkan dari pokok harta yang tersisa untuk perhitungan kewajiban zakat pada tahun ketiga.
    • Sehingga, zakat harta yang wajib ditunaikan pada tahun ketiga adalah sebesar 475.312 Riyal yang diperoleh dari perhitungan berikut : 2,5% x (20.000 – 500 – 487,5) = 475,3125.
    • Berdasarkan pendapat ini, total zakat yang wajib ditunaikan adalah sebesar : 500 + 487,5 + 475,3125 = 1.462,8125 Riyal Saudi.
Perbedaan dalam permasalahan ini relatif kecil. Untuk lebih berhati-hati dan melepas tanggung jawab, pendapat pertama dapat diikuti. 


Pendapat yang rajih 

Meski demikian, pendapat kedua dipandang sebagai pendapat yang terpilih (rajih) dalam masalah ini, yaitu yang menyatakan bahwa kewajiban zakat terletak pada eksistensi harta yang juga terkait dengan tanggungan pemilik harta. Hal ini bertopang pada firman Allah ta’ala dalam surat at-Taubah ayat 103,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka… 

Penulis kitab Zaad al-Mustaqni‘ mengatakan,

وتجب الزكاة في عين المال، ولها تعلق بالذمة

“Zakat wajib pada fisik harta dan memilili keterkaitan dengan tanggungan.” 

Menjelaskan perkataan di atas Asy-Syaikh al-Utsaimin berkata,
.
فقال بعض العلماء: إنها واجبة في الذمة، ولا علاقة لها بالمال إطلاقاً. بدليل أن المال لو تلف بعد وجوب الزكاة لوجب على المرء أن يؤدي الزكاة

 وقال بعض العلماء: بل تجب الزكاة في عين المال، لقوله تعالى: خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا. ولقول النبي صلى الله عليه وسلم لمعاذ حين بعثه لليمن: أعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم. فالزكاة واجبة في عين المال


وكلا القولين يرد عليه إشكال، لأننا إذا قلنا: إنها تجب في عين المال صار تعلقها بعين المال كتعلق الرهن بالعين المرهونة، فلا يجوز لصاحب المال إذا وجبت عليه الزكاة أن يتصرف فيه، وهذا خلاف الواقع، حيث إن من وجبت عليه الزكاة له أن يتصرف في ماله، ولو بعد وجوب الزكاة فيه لكن يضمن الزكاة


وإذا قلنا: بأنها واجبة في الذمة، فإن الزكاة تكون واجبة حتى لو تلف المال بعد وجوبها من غير تعد أو تفريط

 وهذا فيه نظر أيضاً

 فالقول الذي مشى عليه المؤلف قول جامع بين المعنيين، وهو أنها تجب في عين المال ولها تعلق بالذمة، فالإنسان في ذمته مطالب بها، وهي واجبة في المال، ولولا المال لم تجب الزكاة فهي واجبة في عين المال. انتهى.


“Sebagian ulama berpandangan bahwa kewajiban zakat terletak pada diri pemilik harta dan sama sekali tidak terkait dengan fisik harta. Mereka beralasan bahwa meskipun harta itu musnah setelah muncul kewajiban berzakat, pemilik harta tetap berkewajiban menunaikan zakat. 

Ulama yang lain berpandangan bahwa kewajiban zakat terkait pada fisik harta itu sendiri karena Allah ta’ala berfirman,
.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (at-Taubah : 103). 

Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata ketika mengutus Mu’adz ke Yaman,
.
أعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم

Informasikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan mereka untuk menunaikan zakat atas sebagian harta” (Shahih. HR. al-Bukhari). 

Berdasarkan hal tersebut, zakat merupakan kewajiban yang terkait dengan eksistensi harta. 

Namun terdapat kemusykilan bagi kedua pendapat tersebut. Jika kita mengatakan bahwa kewajiban zakat terletak pada fisik harta, maka keterkaitan zakat terhadap fisik harta sebagaimana keterkaitan gadai terhadap barang yang digadaikan. Jika mengacu ketentuan dalam gadai, maka pemilik harta tidak boleh memanfaatkan hartanya setelah muncul kewajiban berzakat. Tentu hal tersebut bertentangan dengan kondisi riil dimana setiap orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat diperkenankan memanfaatkan hartanya meskipun hal itu dilakukan setelah timbul kewajiban berzakat. Memanfaatkan harta tersebut diperbolehkan namun kewajiban zakat tetap menjadi tanggungan. 

Jika kita mengatakan bahwa zakat merupakan kewajiban yang terkait pada tanggungan pemilik harta, maka zakat tetap wajib ditunaikan oleh pemilik harta meskipun harta itu musnah setelah timbul kewajiban berzakat dan tanpa memandang unsur ketidaksengajaan dan keteledoran. 

Pendapat tersebut di atas juga patut diteliti kembali. 

Pendapat yang disampaikan oleh penulis merupakan pendapat yang mengompromikan kedua hal yang telah disampaikan di atas. Beliau berpendapat bahwa kewajiban zakat terletak pada fisik harta namun terdapat keterkaitan dengan tanggungan pemilik harta. Dengan demikian, setiap orang dituntut dan berkewajiban untuk menunaikan zakat dan kewajiban zakat tersebut terletak pada fisik harta, kalau bukan karena keberadaan harta tentulah zakat tidak diwajibkan”. 

Beliau juga menyampaikan,

ينبني على الخلاف في تعلق الزكاة بالمال أو بالذمة عدة مسائل ذكرها ابن رجب في القواعد، أوضحها لو كان عند إنسان نصاب واحد حال عليه أكثر من حول

 فعلى القول بأنها تجب في الذمة يجب عليه لكل سنة زكاة

 وعلى القول بأنها تجب في عين المال، لم يجب عليه إلا زكاة سنة واحدة -السنة الأولى- لأنه بإخراج الزكاة سينقص النصاب، فإذا كان عند الإنسان أربعون شاة سائمة ومضى عليه الحول ففيها شاة، وبها ينقص النصاب لأن الزكاة واجبة في عين المال

 أما إن قلنا: إن الزكاة تجب في الذمة فإنها تجب في كل سنة شاة. انتهى


“Terdapat sejumlah permasalahan yang bertopang pada keberadaan khilaf antar ulama tentang apakah kewajiban zakat terkait pada fisik harta atau tanggungan pemilik harta. Ibnu Rajab menyebutkan hal tersebut dalam kitab beliau, al-Qawaa-id. Dalam kitab tersebut, beliau juga menjelaskan kondisi seseorang yang memiliki harta dengan kadar satu nishab namun memiliki haul lebih dari satu. 

Berdasarkan pendapat yang menyatakan kewajiban zakat terletak pada tanggungan pemilik harta, maka dia berkewajiban mengeluarkan zakat untuk setiap tahun. 

Namun, berdasarkan pendapat yang menyatakan kewajiban zakat terkait dengan fisik harta, maka dia hanya berkewajiban menunaikan zakat untuk tahun pertama. Hal ini mengingat dengan mengeluarkan zakat, kadar nishab akan berkurang. Dengan begitu, apabila seorang memiliki 40 kambing saa-imah (tidak ada biaya untuk pemberian pakan) dan telah memenuhi haul, maka terdapat kewajiban zakat berupa seekor kambing. Dan dengan dikeluarkannya zakat, kadar nishab akan berkurang karena mengacu pada pendapat yang menyatakan bahwa kewajiban zakat terletak pada fisik harta. 

Adapun jika kita berpendapat bahwa kewajiban zakat merupakan suatu tanggungan pemilik harta, maka untuk setiap tahun dimana zakat tertunggak wajib mengeluarkan seekor kambing”. 


Sumber: muslim.or.id

*****
.
Menghitung Zakat Utang        
Disusun oleh:       
Ust. Ammi Nur Baits

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, 

Yang dimaksud zakat utang adalah zakat untuk harta milik orang lain yang ada di tangan kita.

Keberadaan utang yang ada di tangan seseorang, bisa menjadi penghalang zakatnya atau pengurang nilai zakatnya.

Sebagai ilustrasi, (asumsi, nishab zakat 43 juta)

Si A memiliki uang dan tabungan dengan total senilai 50 juta. Tapi si A tanggungan utang kredit kendaraan senilai 40 juta. Apakah utang si A yang melebihi menjadi penghalang bagi si A untuk menzakati tabungannya? Karena jika utang itu dibayarkan, tabungan si A tinggal 10 juta, dan itu kurang dari satu nishab.

Di posisi ini, utang menjadi penghalang bagi si A sehingga tidak terkena kewajiban zakat.

Dalam kasus ini, ulama berbeda pendapat. Apakah keberadaan utang bisa menjadi penghalang wajibnya zakat ataukah tidak? Sementara ketika jatuh haul, utang itu belum dibayarkan si A.

Sebelumnya, kami tegaskan, yang dibahas di sini adalah ketika utang itu belum dibayarkan sampai haul. Jika utang itu sudah dibayarkan sebelum haul, ulama sepakat si A tidak wajib zakat. Karena tabungan yang dia miliki menjadi kurang dari satu nishab.

Misalnya, dari kasus di atas.

Tabungan Si A mencapai 50 juta tepat ketika bulan Muharram 1436 H.  Berarti jatuh tempo zakatnya adalah Muharram 1437 H. Si A juga punya tanggungan utang 40 juta, yang boleh dilunasi sampai 3 tahun lagi. Selanjutnya, di sana ada 2 (dua) keadaan,
  1. Jika si A melunasi utangnya sebelum datang Muharram 1437 H, maka si A tidak perlu bayar zakat. Karena pada saat haul, tabungan si A sudah turun di bawah satu nishab.
  2. Jika sampai Muharram 1437 H, si A sama sekali tidak membayar utangnya, sehingga tabungannya masih utuh 50 juta selama setahun, apakah si A berkewajiban zakat?
Dalam kasus ini (keadaan kedua) ulama berbeda pendapat. 

Pertama, si A tidak wajib zakat. Sekalipun tabungan si A di atas satu nishab, tapi dia punya utang yang bisa mengurangi tabungannya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Ibnu Qudamah menyebutkan,

أن الدين يمنع وجوب الزكاة في الأموال الباطنة رواية واحدة وهي الأثمان وعروض التجارة وبه قال عطاء وسليمان بن يسار و ميمون بن مهران و الحسن و النخعي و الليث و مالك و الثوري و الأوزاعي و اسحق و أبو ثور وأصحاب الرأي

Utang bisa menghalangi wajibnya zakat untuk harta bathin, yaitu tabungan dan harta perdagangan, menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad.  Dan ini merupakan pendapat Atha’, Sulaiman bin Yasar, Maimun bin Mihran, Hasan al-Bashri, an-Nakha’i, al-Laits, Imam Malik, Sufyan at-Tsauri, al-Auza’i, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, dan Ashabur ra’yi (ulama kufah). (al-Mughni, 2/633). 

Kedua, bahwa utang bisa menghalangi wajibnya zakat, kecuali utang jangka panjang. Yang pembayarannya bisa ditunda lama. Utang semacam ini tidak menghalangi wajibnya zakat.
Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. (al-Inshaf, 3/24). 

Ketiga, bahwa utang tidak menghalangi zakat.

Selama utang belum dibayarkan, masuk dalam perhitungan zakat, sehingga keberadaan utang tidak menghalangi zakat. Ini pendapat Imam Syafii dalam qoul jadid, dan pendapat yang dikuatkan para ulama kontemporer.

An-Nawawi mengatakan,

الدين هل يمنع وجوب الزكاة ؟ فيه ثلاثة أقوال ، أصحها عند الأصحاب , وهو نص الشافعي رضي الله عنه في معظم كتبه الجديدة : تجب … فالحاصل أن المذهب وجوب الزكاة سواء كان المال باطنا أو ظاهرا أم من جنس الدين أم غيره

Apakah utang menghalangi zakat? Di sana ada 3 pendapat. Yang paling benar, menurut ulama Syafiiyah, dan ini yang ditegaskan Imam Syafi'i radhiyallahu ‘anhu di mayoritas karyanya yang baru, bahwa tetap wajib zakat… Kesimpulannya, syafi'iyah berpendapat wajib zakat, baik itu harta bathin maupun dzahir, baik dari harta utang atau yang lainnya. (al-Majmu’, 5/344).

Pendapat ini dinilai lebih kuat oleh Imam Ibnu Baz. Beliau mengatakan,

وأما الدين الذي عليه فلا يمنع الزكاة في أصح أقوال أهل العلم

Utang yang menjadi tanggungan seseorang, tidak menghalangi zakat, menurut pendapat yang paling benar di antara ulama. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/189).

Keterangan semisal disampaikan Imam Ibnu Utsaimin,

والذي أرجحه أن الزكاة واجبة مطلقا ، ولو كان عليه دين ينقص النصاب ، إلا دَيْناً وجب قبل حلول الزكاة فيجب أداؤه ، ثم يزكي ما بقي بعده

Pendapat yang rajih, bahwa zakat itu hukumnya wajib secara mutlak. Meskipun muzakki (wajib zakat) memiliki utang yang bisa mengurangi nishab. Kecuali utang yang harus dilunasi sebelum jatuh tempo zakat, sehingga harus dia bayarkan. Kemudian dia bayar zakat untuk sisanya. (as-Syarh al-Mumthi’, 6/35) 


Tarjih 

Pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat ketiga. Dengan beberapa pertimbangan,

[1] Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para amil zakat untuk mengambil zakat kaum muslimin di sekitar Madinah, beliau tidak memberikan rincian masalah utang. Apakah muzakki masih punya utang atau tidak.

[2] Riwayat dari as-Saib bin Yazid. Beliau pernah mendengar Utsman mengatakan,

هَذَا شَهْرُ زَكَاتِكُمْ ، فَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ فَلْيُؤَدِّهِ ، حَتَّى تُخْرِجُوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ

Ini adalah bulan zakat kalian. Siapa yang punya tanggungan utang, hendaknya dia lunasi utangnya, kemudian dia keluarkan zakat hartanya. (HR. al-Qasim bin Sallam dalam al-Amwal, no. 917).

Dalam riwayat lain, Utsman mengatakan,

فمن كان عليه دين فليقض دينه وليزك بقية ماله

Siapa yang punya tanggungan utang, segera dia lunasi utangnya, dan dia zakati sisa hartanya.

Pernyataan ini disampaikan Utsman di depan para sahabat lainnya, sementara tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari.

Ini menunjukkan, ketika utang itu belum dibayarkan, maka masuk hitungan zakat. Sebaliknya, ketika utang itu dibayarkan, dia tidak masuk dalam hitungan zakat.

Allahu a’lam.

Sumber: konsultasisyariah.com

Baca Juga:

*****
 
Subhanakallohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagi antum yang ingin memberikan komentar, harap tidak menyertakan gambar/foto makhluk hidup. Bila tetap menyertakan, posting komentar tidak akan saya tampilkan. Syukron !