Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

04 Agustus 2015

FILE 331 : Berpakaian Sesuai dengan Umumnya Masyarakat

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah, 
wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam     
Wa ba'du     
…. 
 
Disunnahkan Berpakaian dengan Pakaian Penduduk Negerinya 
         Disusun oleh :         
Abul Jauzaa' hafizhahullâh
 
 
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ

“Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” 
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4029, Ibnu Maajah no. 3606-3607, dan yang lainnya; shahih].


Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :

قال ابن الأثير : الشهرة ظهور الشيء والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم بالعجب والتكبر
“Ibnul-Atsiir berkata : ‘Asy-Syuhrah adalah tampaknya sesuatu. Maksudnya bahwa pakaiannya populer di antara manusia karena warnanya yang berbeda sehingga orang-orang mengangkat pandangan mereka (kepadanya). Dan ia menjadi sombong terhadap mereka karena bangga dan takabur” [Nailul-Authaar, 2/111 – via Syamilah].

Beberapa ulama menjelaskan bahwa diantara syuhrah yang dilarang dalam hadits adalah menyelisihi pakaian penduduk negerinya tanpa ‘udzur.

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنِ الْحُصَيْنِ، قَالَ: كَانَ زُبَيْدٌ الْيَامِيُّ يَلْبَسُ بُرْنُسًا، قَالَ: فَسَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ عَابَهُ عَلَيْهِ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَلْبَسُونَهَا، قَالَ: " أَجَلْ ! وَلَكِنْ قَدْ فَنِيَ مَنْ كَانَ يَلْبَسُهَا، فَإِنْ لَبِسَهَا أَحَدٌ الْيَوْمَ شَهَرُوهُ، وَأَشَارُوا إِلَيْهِ بِالأَصَابِعِ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Al-Hushain, ia berkata : Dulu Zubaid Al-Yaamiy pernah memakai burnus (sejenis tutup kepala). Lalu aku mendengar Ibraahiim mencelanya karena perbuatannya yang memakai burnus tersebut. Aku berkata kepada Ibraahiim : “Sesungguhnya orang-orang dulu pernah memakainya”. Ibraahiim berkata : “Ya. Akan tetapi orang-orang yang memakainya sudah tidak ada lagi. Apabila ada seseorang yang memakainya hari ini, maka ia berbuat syuhrah dengannya. Lalu orang-orang berisyarat dengan jari-jari mereka kepadanya (karena heran)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25655; sanadnya shahih].

Ibnu Baththaal rahimahullah berkata :

فالذى ينبغى للرجل أن يتزى فى كل زمان بزى أهله ما لم يكن إثمًا لأن مخالفة الناس فى زيهم ضرب من الشهرة

“Yang seharusnya dilakukan seseorang adalah ia berpakaian di setiap masa dengan pakaian orang-orang yang hidup di masa tersebut sepanjang tidak terkandung dosa, karena penyelisihan terhadap pakaian yang dipakai oleh orang banyak termasuk syuhrah” [Syarh Shahih Al-Bukhaariy, 17/144 – via Syamilah].

Al-Mardawiy rahimahullah berkata :

يكره لبس ما فيه شهرة, أَو خلاف زي بلده من الناس, على الصحيح من المذهب

“Dimakruhkan memakai sesuatu yang menimbulkan syuhrah/popularitas atau menyelisihi pakaian penduduk negeri setempat berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah)” [Al-Inshaaf, 2/263].

As-Safaariiniy rahimahullah berkata :

ونص الإمام أحمد  رحمه الله على أنه لا يحرم ثوب الشهرة ، فإنه رأى رجلا لابسا بردا مخططا بياضا وسوادا ، فقال : ضع هذا ، والبس لباس أهل بلدك ، وقال : ليس هو بحرام ، ولو كنت بمكة ، أو المدينة لم أعب عليك . قال الناظم رحمه الله : لأنه لباسهم هناك

“Dan diriwayatkan dari Al-Imaam Ahmad rahimahullaah bahwasanya beliau tidak mengharamkan pakaian syuhrah.[1] Beliau pernah melihat seorang laki-laki yang memakai kain dengan motif garis-garis putih dan hitam, lalu berkata : “Lepaskanlah kain ini dan pakaialah pakaian penduduk negerimu”. Beliau kembali berkata : “Memakainya tidaklah haram. Seandainya engkau berada di Makkah atau di Madiinah, maka tidak mengapa engkau memakainya”. An-Naadhim (Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdil-Qawiy Al-Mardawiy Al-Hanbaliy) rahimahullah berkata : “Karena ia merupakan pakaian mereka di sana” [Ghidzaaul-Albaab, 2/126].

أنه يكره له لبس غير زي بلده بلا عذر كما هو منصوص الإمام 

“Dibenci baginya memakai pakaian yang bukan model pakaian (penduduk) negerinya tanpa ‘udzur, sebagaimana dikatakan oleh Al-Imaam (Ahmad)” [idem, 2/182].

Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah berkata :

أن موافقة العادات في غير المحرم هي السنة؛ لأن مخالفة العادات تجعل ذلك شهرة، والنبي صلّى الله عليه وسلّم نهى عن لباس الشهرة

“Bahwasannya mencocoki kebiasaan yang tidak mengandung keharaman merupakan sunnah, karena penyelisihan terhadap kebiasaan menjadikannya syuhrah. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang pakaian syuhrah” [Asy-Syarhul-Mumti’, 6/67 – via Syamilah].

Satu hal penting yang perlu digarisbawahi dalam hal berpakaian dengan pakaian yang lazim dipakai oleh penduduk negeri adalah tidak mengandung keharaman.[2]

Berkenaan dengan penjelasan para ulama di atas, maka nampaklah kekeliruan sebagian saudara kita yang melarang dan membenci berpakaian yang lazim dipakai oleh penduduk negeri kita, baik dalam shalat ataupun di luar shalat. Kesesuaian pakaian dengan pakaian penduduk Saudi[3] atau Pakistan[4] dipandang sebagai bentuk kesesuaian terhadap Islam dan/atau manhaj salaf. 
Bahkan yang dianjurkan adalah berpakaian dengan pakaian penduduk negeri kita, seperti misal : kemeja, batik, sarung, songkok, celana panjang, kaos, dan yang lainnya sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur syari’at. Jika memang mengandung keharaman, maka kita dapat memodifikasinya agar sesuai dengan syari’at. Misalnya : celana/pantalon kita buat lebih longgar dan kita potong di atas mata kaki, motif batik kita pilih yang soft dan tidak bergambar makhluk hidup, kaos kita pilih yang longgar dan lebih tebal, dan yang lainnya.[5]

Berikut ada penjelasan menarik dari Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri hafidhahullah terkait tema[6] :


Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya.

Wallaahu a’lam.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 22051434/02042013 – 20:34].

Silakan baca artikel terkait :  



Foot Note:

[1] Pembahasan hukum pakaian syuhrah perlu pembahasan tersendiri, karena sebagian ulama berpendapat haram sesuai dhahir hadits yang dibawakan di awal artikel.

[2] Seperti misal : menampakkan aurat, tipis/transparan, isbaal, bergambar makhluk hidup, dan yang lainnya. [Juga mengandung unsur tabarruj bagi wanita -tambahan Sa'ad-]

[3] Seperti model berikut :


[4] Seperti model berikut :


[5] Pun seandainya rekan-rekan ingin tetap mengenakan pakaian gamis model Saudi atau Pakistan, sangat dipersilakan jika memang di tempat antum pakaian tersebut tidak dianggap asing. Hanya saja menjadi aneh ketika ada sebagian rekan yang terlalu ofensif dalam mengkritik orang yang tidak berpakaian seperti dirinya dan mencapnya sebagai kelompok Sururiy yang ‘terlalu ingin’ dakwahnya diterima masyarakat.

[6] Sayangnya, penjelasan beliau yang begitu jelas ini pun mesti disalahpahami sebagian orang yang salah paham, baik dengan sengaja ataupun tidak disengaja. Mereka katakan bahwa beliau telah mencela sebagian ikhwan yang memakai gamis panjang dan mengatakan telah tasyabbuh dengan Amitab Bachan, selebriti Hindustan. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.

Coba perhatikan baik-baik, dengar pelan-pelan, dan kalau perlu diulang 10 kali ulangan.

وكم من عائب قولا صحيحا
 و آفته من الفهم السقيم

“Betapa banyak orang yang mencela perkataan yang benar
       dan sebabnya adalah pemahaman yang salah/buruk”.

*****




Subhanakallohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin