Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

05 Juli 2015

FILE 330 : Tuntunan dalam Mengingatkan Kesalahan

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah, 
wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam     
Wa ba'du     
….


Metode Bijak Memperbaiki Aib 
         Disusun oleh :       
Syaikh Abdul Bâri ats-Tsubaiti hafizhahullâh

 
Ada suatu kalimat yang sangat berharga, yaitu "semoga Allâh merahmati orang yang menunjukkan kepadaku kesalahanku".

Ungkapan agung yang memiliki banyak makna mulia ini diucapkan oleh Umar bin Abdul Aziz. Sebuah ungkapan yang mudah diucap namun sulit untuk dipraktikkan kecuali oleh mereka yang memiliki jiwa besar, kokoh, hati yang suci, dan tawadhu`, yang mampu dan siap menerima serta menyadari aib yang ada pada dirinya, menghadapinya dengan tegar, dan kemudian fokus pada usaha untuk selalu memperbaikinya.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. [Fushshilat/41:35].

Tidak ada seorang pun di dunia yang luput dari aib. Namun terkadang, kita tidak jujur terhadap diri kita. Kita tidak siap mental menerima aib kita, sering terkesan membela-bela diri dan tidak mau menerima aib kita yang terungkap. Seandainya energi yang kita pergunakan untuk membela diri itu kita alihkan untuk melaksanakan ketaatan, maka perlahan namun pasti, aib-aib kita itu akan terlihat oleh kita. Kita akan bisa mengetahui aib yang kita miliki; apalagi jika kita memiliki teman yang baik, yang selalu mengingatkan kita kepada dzikrullah dan mengingatkan kita terhadap aib kita tanpa bermaksud mencela ataupun menyiarkannya dikhalayak ramai.

Seorang ulama salaf menyatakan, "Saudaramu yang selalu mengingatkanmu kepada Allâh, memberitahukan aib-aibmu itu lebih baik bagimu daripada yang menaruh beberapa uang dinar di tanganmu."

Terbongkarnya aib seseorang, baik lewat pemberitahuan seorang teman yang baik kepadanya ataupun melalui proses evaluasi diri bisa jadi merupakan tanda kebaikan yang Allah Azza wa Jalla inginkan pada diri orang tersebut. Karena orang yang mengetahui dan menyadari aibnya, akan bisa melakukan perbaikan-perbaikan di masa-masa yang akan datang. Semakin banyak aib yang terlihat, semakin besar usaha yang dilakukannya. Oleh karena itu, mestinya kita berterima kasih kepada orang yang mengingatkan kita terhadap aib kita. Karena dengan itu, kita jadi tersadar dan akhirnya berkesempatan memperbaiki diri. Namun sekarang sering terbalik, mestinya kita berterima kasih, malah kita marahi dan kita benci dengan alasan-alasan.

Kaum Muslimin rahimakumullâh ! Dalam islam, ada adab-adab yang harus diperhatikan saat hendak menyampaikan aib ke orangnya. Yaitu hendaklah dilakukan dengan cara bijaksana, menjunjung tinggi adab kesantunan, cara yang baik, kalimat yang indah, menenangkan, dan bisa melapangkan dada, dengan lemah-lembut tanpa kekerasan, nasihat secara diam-diam, sindiran dan bukan dengan cara terang-terangan. Demikian ini akan lebih mudah diterima; karena adab dalam menyampaikan, ungkapan cinta dan pujian memiliki pengaruh yang sangat kuat.

Demikian juga orang yang menerima pemberitahuan tentang aib dirinya, hendaknya lebih mendahulukan prasangka baik dalam responnya, sehingga dia lebih mudah berlapang dada dengannya.

Dalam syariat terdapat aturan dalam menyikapi aib diri kita juga aib orang lain yaitu hendaknya kita menutupinya, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla menutupi aib kita tersebut juga aib orang lain. Karena Allâh Maha Penutup dan mencintai orang yang menutupi aib.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَلِيمٌ حَيِيٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ

Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah, Maha Pemalu, dan Maha Penutup, Dia mencintai rasa malu dan sikap sitru (menyembunyikan aib). [Riwayat Abu Dawud dan Nasâ-i].

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: كُلُّ أُمَّتِي مُعَافَاةً إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ فِي اللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ، وَقَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا، وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيَبِيتُ فِي سِتْرِ رَبِّهِ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Setiap ummatku diampuni kecuali mujâhir (orang yang membuka aib sendri), dan termasuk perbuatan membuka aib, seperti seorang hamba yang melakukan sebuah perbuatan pada malam hari kemudian keesokan harinya ia berkata, 'Wahai, fulan ! Tadi malam aku telah melakukan ini dan itu,' padahal malam harinya Allâh menutupi perbuatannya, akan tetapi keesokan harinya ia membuka penutup yang Allâh telah berikan". [HR. Muslim]

Jika seorang hamba tergelincir dalam perbuatan maksiat, lalu ia bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla lalu Allâh Azza wa Jalla menutupi aibnya tersebut di dunia, maka dia juga harus menutupi aibnya tersebut. Barangsiapa menutupi aibnya, maka ia akan selamat dari celaan manusia dan terhindar dari murka Allâh Azza wa Jalla.

Diceritakan, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasûlullâh dan berkata, "Ya, Rasûlullâh. Aku pernah mengobati seorang perempuan di ujung Madinah lalu aku tidak sekedar menyentuhnya (maksudnya menzinainya), maka ini aku datang kepadamu. Berilah aku hukuman yang engkau kehendari !” kemudian Umar Radhiyallahu anhu berkata, "Seandainya engkau menutupi dirimu, sungguh Allâh Azza wa Jalla telah menutupinya," dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam tidak menjawab, kemudian laki-laki itu berdiri dan pergi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan seseorang untuk menyusul dan memanggil laki-laki tadi, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan padanya firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ

Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat [Hûd/11:114]

Salah seorang shahabat bertanya, "Ya, Rasûlullâh, apakah ayat itu khusus untuk orang itu saja?" Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "(tidak) akan tetapi untuk semua manusia". [HR Muslim].

Larangan menyebarkan aib akan membantu pelaku aib itu sendiri untuk bertaubat. Karena, jika aib itu disebarkan, maka bisa jadi perbuatan itu akan merusak dan bisa jadi akan membuat pelakunya semakin nekad dan berani berbuat dosa. Sebaliknya, menutupi aib bisa menjadi terapi dengan tetap menjaga harga diri dan kesucian, juga bisa semakian menguatkan ikatan cinta dan kasih sayang serta membangun sebuah pondasi yang agung, yaitu husnuzhan di antara orang-orang Mukmin.

Fudhail bin Iyâdh rahimahullah berkata, "Sesungguhnya Mukmin itu akan senantiasa menutupi dan menasihati; sedangkan orang munafik dan pendosa senantiasa akan membuka aib serta mencela."

Sungguh sangat beda antara orang yang menunjukkan aib sebagai nasehat yang dilandasi kecintaan dengan orang sibuk dan senang mencari-cari kesalahan orang lain, siang dan malam. Ini adalah penyakit tercela, manakala seseorang melepaskan lisannya kemudian memata-matai manusia. Dia akan semakin lemah badannya, usianya terus bertambah, hatinya semakin sakit, waktunya tersia-sia, sementara dia tidak menyadari aibnya sendiri. Iyadzan billah

Mestinya kita berhati-hati dan selalu menjaga diri kita. Salah seorang salaf berkata, “Saya terkadang melihat sesuatu (yakni aib orang lain) yang tidak aku sukai, namun aku tidak berani mengucapkannya karena aku takut tertimpa dengan semisalnya.
 

Yang lain berkata, "Kami telah diberitahu bahwa orang yang paling banyak kesalahannya adalah yang paling sering menyebut kesalahan manusia."

Diriwayatkan dari Abi Barzah al-Aslami Radhiyallahu anhu, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَامَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ، وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيْمَانُ قَلْبَهُ ، لاَ تغتَابُوا المسلمين، وَلاَتَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

Hai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun imannya tidak sampai ke hatinya ! Janganlah kalian menggunjing kaum Muslimin ! Jangan pula kalian mencari-cari kesalahan mereka. Sesungguhnya, orang yang mencari-cari aib Muslimin, maka Allâh akan mencari kesalahannya. Barangsiapa yang Allâh cari kesalahannya, maka Allâh akan membuka keburukannya di dalam rumahnya. [HR. Abu Dawud]

Hendaklah hadits ini menjadi renungan bagi kita. Sehingga kita akan semakin bijak dalam menyikapi aib kita dan orang lain, karena tidak seorang pun yang bersih dari aib. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita dan semua kaum Muslimin dalam memperbaiki aib masing-masing kita.

(Diangkat dari khutbah Syaikh Abdul Bâri ats-Tsubaiti hafizhahullâh yang disampaikan di Masjid an-Nabawi pada tanggal 15 Shafar 1434 dengan judul al-Manhaj ar-Rasyîd fi Ishlâhil Uyûb)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1435H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

*****


Subhanakallohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

FILE 329 : Sifat Duduk Tasyahud Akhir Shalat Dua Rakaat

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah, 
wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam     
Wa ba'du     
…. 



Sifat Duduk Tasyahud Akhir 
         Disusun oleh :       
Ust. Haidir Rahmân


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat[1]

Demikian wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kaum Muslim senantiasa menjadikan shalatnya semirip mungkin dengan shalat yang dilakukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hadits ini sekaligus merupakan kaidah agung yang menunjukkan bahwa pijakan utama dalam hal shalat adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan madzhab ataupun golongan tertentu dalam Islam. Tidak halal bagi seorang Muslim ketika mendapatkan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menolaknya dan membenturkan Sunnah tersebut dengan pendapat gurunya, syaikhnya, kiainya, atau siapapun juga.

Namun adakalanya ketika Sunnah dipahami dari berbagai sisi, pemahaman yang berbeda tersebut melahirkan berbagai pendapat atau madzhab dalam agama ini. Di antara contoh perbedaan pendapat yang lahir karena perbedaan cara pandang terhadap Sunnah adalah permasalahan sikap duduk tasyahhud akhir.

Dalam permasalahan ini para Ulama berbeda pendapat, apakah duduk tasyahhud akhir ini dilakukan dengan sikap tawarruk atau dengan sikap iftirâsy? Sebelum memulai pembahasan ini, ada baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu apa itu duduk tawarruk dan duduk iftirâsy. 



DUDUK TAWARRUK

 
Tawarruk berasal dari kata al-warik yang berarti pangkal paha. Disebut duduk tawarruk karena seorang yang duduk dengan sikap demikian menjadikan pangkal paha kirinya sebagai sandaran. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu riwayat hadits Ibnu Mas'ûd Radhiyallahu anhu :

وَفِي آخِرِهَا عَلَى وَرِكِهِ الْيُسْرَى

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di akhir beliau duduk dengan pangkal paha kirinya. [HR Ahmad, 4382].

Dalam riwayat lain dari Abu Humaid as-Sa'idi Radhiyallahu anhu sikap duduk tawarruk adalah sebagai berikut:

وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِه

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di raka'at akhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya, menegakkan kaki yang lain kemudian duduk pada tempatnya. [HR al-Bukhâri, 828]. 



DUDUK IFTIRASY


Iftirâsy, berasal dari kata farasya yang berarti membentangkan. Sikap duduk ini dilakukan dengan cara duduk beralaskan telapak kaki kiri kemudian menegakkan kaki kanan, berdasarkan hadits Abu Humaid as-Sa'idi Radhiyallahu anhu :

.
جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى


Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya



SIFAT DUDUK TASYAHUD AKHIR


Para Ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Berikut ini pendapat mereka beserta sandaran dalilnya.

Pendapat pertama; Duduk pada raka'at terakhir dilakukan dengan duduk iftirâsy 


Pendapat ini dipegang oleh madzhab Hanafiyyah. Mereka berpendapat bahwa semua duduk dalam shalat di setiap raka'at dilakukan dengan cara iftirâsy. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani t menukilkan pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah , “Imam Abu Hanifah mengatakan, ‘Duduk di dalam shalat semuanya sama, baik pada raka'at kedua ataupun raka'at terakhir. Yaitu dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri (iftirâsy).[2] 


Pendapat ini didasarkan pada hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ia berkata:

وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membentangkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. [HR Muslim, 240].



Pendapat kedua; Pendapat yang menyatakan bahwa seluruh duduk dalam shalat adalah tawarruk.

Pendapat ini dipegang oleh madzhab Mâlikiyyah. Pendapat ini merupakan kebalikan dari pendapat Ulama Hanafiyyah.

Imam Mâlik rahimahullah berkata, “Sikap duduk di antara dua sujud sama dengan duduk tasyahud, yaitu dengan meletakkan pantat (kiri) di atas tanah, menegakkan kaki kanannya serta mengeluarkan kaki kirinya.”[3]

Pendapat ini berdasarkan hadits Abdillâh bin Umar Radhiyallahu anhuma yang diriwayatkan Imam Mâlik rahimahullah sendiri dalam al-Muwatha`. Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata :

إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَن تَنْصِبَ رِجْلَكَ اليُمْنَى وَتُثْنِيَ رِجْلَكَ اليُسْرَى

Sunnah shalat adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menjulurkan kaki kirimu (keluar melewati kaki kanan)
.[4]



Pendapat Ketiga; Pendapat yang mengatakan bahwa duduk akhir pada shalat dilakukan dengan cara tawarruk sedangkan selain raka'at akhir dilakukan dengan cara iftirâsy

Ini pendapat madzhab Syâfi'iyyah. Disebutkan oleh Imam sl-Mawardi dalam Syarh Mukhtashar Muzani, ketika mengomentari ucapan Imam Syâfi'i t tentang duduk di raka'at terakhir, ia mengatakan, “Adapun duduk ketika itu (tasyahud akhir, Pen.), dilakukan dengan cara tawarruk sebagaimana yang telah kami jelaskan. Sedangkan ketika tasyahhud awal dilakukan dengan cara iftirâsy sebagaimana telah kami sebutkan.”[5]

Pendapat ini didasarkan pada hadits Abu Humaid as-Sa'idi Radhiyallahu anhu yang telah disebutkan sebelumnya. Abu Humaid as-Sa'idi berkata :

أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Akulah yang paling hafal shalat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian berkaitan dengan sifat duduk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Radhiyallahu anhu berkata :

فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
 

Jika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada raka'at kedua, (maka) beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Kemudian ketika duduk di raka'at terakhir, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kaki kirinya, menegakkan kaki kanannya, kemudian duduk di atas tempatnya.[6]

 

Pendapat Keempat; Duduk tawarruk hanya dilakukan dalam shalat yang terdapat dua tasyahhud saja, yaitu shalat tiga raka'at (Maghrib), dan empat raka'at (Zhuhur, 'Ashar, dan 'Isya). Adapun shalat yang hanya memiliki satu kali tasyahhud, maka duduknya adalah iftirâsy.

Pendapat ini dipegang oleh madzhab Hanabilah. Berkenaan dengan hal ini, perhatikanlah percakapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dengan putranya Abdullah berikut ini.

Abdullah mengatakan, “Aku bertanya kepada ayahku tentang duduk tawarruk di dalam shalat.
Ayahku mengatakan, "Hadits Abu Humaid menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk tawarruk pada raka'at yang keempat."
Aku katakan, "Bagaimana dengan shalat Fajar dan Jum'at, apakah duduknya juga tawarruk ?"
Ayahku menjawab, "Tidak! Untuk shalat Fajar dan Jum'at, duduknya bukan tawarruk karena duduk (tasyahhud)-nya hanya satu."
Aku katakan, "Tapi Imam asy-Syâfi'i mengatakan bahwa duduknya tetap tawarruk, karena duduk tawarruk itu dijadikan untuk duduk dalam waktu yang lebih lama."
Ayahku menjawab, "Bagiku tidak demikian, seorang hamba hanya duduk tawarruk dalam shalat yang memiliki dua duduk (tasyahhud). Shalat 'Isya duduk (akhirnya) tawarruk juga, karena di dalamnya terdapat dua duduk tasyahhud."
[7]

Dalil Imam Ahmad rahimahullah yang mendasari pendapat beliau ini sama dengan dalil yang digunakan oleh Imam Syâfi'i rahimahullah sebelumnya, yaitu hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu , hanya saja Imam Ahmad rahimahullah memandang bahwa hadits Abu Humaid itu khusus bagi shalat yang memiliki dua tasyahhud saja, yaitu Zhuhur, 'Ashar, Maghrib, dan 'Isya. Sedangkan Imam Syâfi'i rahimahullah memandang bahwa hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu ini umum berlaku bagi semua shalat, baik shalat yang memiliki satu tasyahhud maupun dua tasyahhud. 



MANAKAH PENDAPAT YANG LEBIH KUAT?


Dari keempat pendapat di atas, yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat Imam asy-Syâfi'i rahimahullah . Untuk lebih mempermudah penjelasannya, kami akan membagi khilaf Ulama ini menjadi dua bagian. Yang pertama antara madzhab Syâfi'iyyah dengan mazhab Hanafiyyah dan Mâlikiyyah. Dan yang kedua, antara madzhab Syâfi'iyyah dengan Hanâbilah.

Bagian Pertama
Madzhab Syafi'iyyah lebih dekat kepada kebenaran daripada mazhab Hanafiyyah dan Mâlikiyyah karena dalil yang digunakan lebih menjelaskan (cara) duduk yang dimaksud dengan gamblang. Abu Humaid Radhiyallahu anhu menjelaskan duduk mana saja yang iftirâsy, dan duduk mana yang tawarruk. Sedangkan hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma yang merupakan sandaran Ulama Hanafiyyah, tidak ada keterangan di dalamnya terkait duduk iftirâsy tersebut, apakah dilakukan ketika tasyahhud awal atau tasyahhud akhir ? Yang Nampak adalah hadits Abu Humaid-lah yang menjelaskan bahwa duduk yang dimaksud dalam hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma tersebut adalah duduk tasyahhud awal dan duduk-duduk lainnya selain duduk raka'at terakhir.

Demikian juga dengan madzhab Mâlikiyyah, dalilnya juga masih menggantung; apakah duduk yang dimaskud adalah semua duduk, ataukah duduk akhir saja ? Kemudian datanglah hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu sebagai penjelas, bahwa duduk tawarruk yang masih menggantung itu adalah duduk tasyahhud akhir.

Apabila kita hanya berpegang pada hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma saja -yang dalam hal ini merupakan pendapat Ulama Hanafiyyah- maka kita harus menolak hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma. Sebaliknya bila hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma saja yang kita amalkan -yang dalam hal ini sebagai pendapat Mâlikiyyah- maka konsekwensinya hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma harus ditolak. Dengan adanya hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu tersebut, maka kita dapat mengamalkan semua hadits di atas tanpa ada pertentangan. Kita bisa mengamalkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , dan juga bisa mengamalkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma .

Bagian Kedua
Yaitu khilaf antara Imam Syâfi'i t dengan Imam Ahmad bin Hambal rahimahumallaah. Mereka berdua sama, bersandar kepada hadits yang sama, yaitu hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu. Namun perbedaannya, Imam Ahmad rahimahullah memandang hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu hanya khusus bagi shalat empat raka'at dan tiga raka'at, karena konteks hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu menyebutkan bahwa beliau z sedang menceritakan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki dua tasyahhud. Pengkhususan makna suatu hadits dengan berdasarkan konteks hadits seperti ini dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh dinamakan dengan at-takh-shîsh bis-siyâq atau at-takh-shîsh bil-qarînah.

Agar lebih jelas lagi mengenai proses takh-shish ini, kami akan menggambarkannya dengan bahasa matematika khususnya bahasa himpunan. 


Hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu berlaku umum untuk shalat yang memiliki satu tasyahhud dan dua tasyahhud. Maka kita tulis Hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu ini sebagai himpunan AH dengan 2 anggota himpunan, yaitu shalat satu tasyahhud dan shalat dua tasyahhud.

AH = {shalat satu tasyahhud, shalat dua tasyahhud}


Jika Imam Ahmad mengkhususkan hadits Abu Humaid hanya untuk shalat dua tasyahhud saja, artinya beliau mengeluarkan "shalat satu tasyahhud" dari anggota himpunan AH. Proses pengeluaran anggota himpunan inilah yang di namakan takh-shish. Kemudian untuk mengeluarkan atau mengecualikan sesuatu dari pernyataan yang bersifat umum, maka harus ada sebab yang mendasarinya. Sebab inilah yang di dalam ilmu Ushul-Fiqh disebut mukhashish. Dalam proses takh-shish ini Imam Ahmad menggunakan konteks hadits sebagai mukhashish untuk mengeluarkan shalat satu tasyahhud dari keumuman pernyataan Abu Humaid Radhiyallahu anhu .

Ketika mengomentari takh-shish seperti ini, al-Allamah asy-Syaukani rahimahullah dalam Irsyadul-Fuhul-nya mengatakan, “

وَالْحَقُّ: أَنَّ دَلَالَةَ السِّيَاقِ إِنْ قَامَتْ مَقَامَ الْقَرَائِنِ الْقَوِيَّةِ الْمُقْتَضِيَةِ لِتَعْيِينِ الْمُرَادِ، كَانَ الْمُخَصِّصُ هُوَ مَا "اشْتَمَلَ" عَلَيْهِ مِنْ ذَلِكَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنِ السِّيَاقُ بِهَذِهِ الْمَنْزِلَةِ وَلَا أفاد هذا المفاد فليس بمخصص.

(Yang benar adalah, apabila konteks kalimat memiliki indikator yang kuat untuk menentukan makna yang dituju, maka seluruh cakupan konteks tersebut adalah mukhashish. Namun, jika konteksnya tidak demikian, serta tidak berfaidah sama sekali, maka konteks tersebut bukanlah mukhashish).[8]

Sehingga dalam permasalahan ini, Imam Ahmad rahimahullah seharusnya memiliki qarînah atau indikasi yang kuat kalau memang yang diinginkan Abu Humaid Radhiyallahu anhu ketika mengisahkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah shalat yang memiliki dua tasyahhud saja. Namun tidak ada indikasi kuat yang mengarah kepada makna yang diinginkan oleh Imam Ahmad rahimahullah. Menurut hemat kami, itu hanya dugaan dan ijtihad semata dari Imam Ahmad. Boleh jadi beliau benar dan boleh jadi beliau keliru. Oleh karena tidak adanya indikasi yang kuat, maka pengkhususan dengan konteks hadits ini tidak dapat diterima. Dengan demikian, hadits ini berlaku umum bagi semua shalat, baik itu shalat yang memiliki dua tasyahhud maupun yang hanya memiliki satu tasyahhud. Dalil atau mukhashish yang digunakan Imam Ahmad tidak cukup kuat untuk mengeluarkan shalat satu tasyahhud dari keumuman hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu .

Dalil kami adalah:
Hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu namun dari jalur lain yang diriwayatkan oleh Imam Nasa-i rahimahullah dalam kitabnya, al-Mujtaba atau yang lebih dikenal dengan Sunan Nasa-i ash-Shughra. Dalam hadits tersebut Abu Humaid mengatakan :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلاَةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى ، وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ، ثُمَّ سَلَّمَ
.

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya dengan dua raka'at, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan duduk pada sisi pantatnya dengan cara tawarruk, kemudian beliau salam[9].

Riwayat ini jelas menunjukkan bahwa hadits Abu Humaid Radhiyallahu anhu tidak khusus hanya untuk shalat yang memiliki dua tasyahhud saja, namun berlaku umum, karena riwayat ini mengatakan bahwa di dalam shalat yang memiliki satu tasyahhud pun Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk tawarruk pada raka'at terakhir. Dengan demikian, gugurlah anggapan bahwa hadits ini khusus bagi shalat yang memiliki dua tasyahhud saja. Pendapat ini didukung kebenarannya oleh kaidah ahli hadits yang mengatakan ar-riwayatu tufassiru ba'dhaha ba'dhan (riwayat itu saling menafsirkan satu sama lain). Dalam hal ini, kami menafsirkan riwayat hadits Abu Humaid -yang sebelumnya diduga khusus hanya untuk shalat dua tasyahhud saja- dengan riwayat dari Sunan Nasa-i ini. Ternyata dugaan bahwa hadits tersebut khusus untuk shalat dua tasyahhud saja keliru.

Apabila ada yang mengatakan riwayat Nasa-i ini lemah, maka alasan mereka yang ingin melemahkan hadits ini adalah Abdul-Hamid bin Ja'far Rahimahullah, salah seorang perawi di dalam sanad riwayat ini. Di antara para ulama Jarh wa Ta'dil ada yang melemahkan beliau, yaitu Imam Sufyan ats-Tsauri. Alasannya, karena Abdul-Hamid memiliki bid'ah qadariyyah. Maka kami katakan, kritik Anda terhadap Abdul-Hamid bin Ja'far tidak dapat diterima dengan alasan sebagai berikut:

1. Sebagian besar ulama Jarh wa Ta'dil, baik kalangan mutasyaddidin maupun mu'tadilin telah menta'dil dan mentsiqahkan beliau. Dengan demikian, tentunya pendapat mayoritas lebih diterima ketimbang pendapat personal. Di antara ulama mutasyaddidin yang menganggap beliau tsiqah adalah Yahya bin Ma'in. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahmân bin Abi Hatim dari Ibnu Abi Khaitsamah, Imam Yahya bin Ma'in mengatakan: Abdul-Hamid bin Ja'far ditsiqahkan oleh Yahya bin Sa'id al-Qathan dan didhaifkan oleh Sufyan ats-Tsauri. Kemudian Ibnu Abi Khaitsamah bertanya kepada Yahya bin Ma'in: "Kemudian apa pendapat Anda?" Tidak ada masalah dengan haditsnya, beliau shalih.[10] Artinya riwayat beliau direkomendasikan untuk diterima.

2. Satu-satunya alasan mengapa beliau dilemahkan atau didhaifkan -sepanjang pengetahuan kami- kerena beliau memiliki pemikiran Qadariyyah.[11] Inilah alasan Imam Sufyan ketika melemahkan beliau. Namun tuduhan Qadariyyah tersebut bisa jadi benar, bisa jadi tidak. Andaikata hal tersebut benar, maka hal tersebut tidak berpengaruh terhadap riwayat ini. Karena riwayat hadits Abu Humaid dalam Sunan Nasa-i ini sama sekali tidak mendukung bid'ah Qadariyyah. Salah satu sebab ditolaknya riwayat ahli bid'ah adalah karena riwayatnya terkesan mendukung bid'ahnya. Namun riwayat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan bid'ah Qadariyyah.

3. Imam Bukhari dalam Shahîh-nya menjadikan riwayat Abdul-Hamid sebagai syahid untuk memperkuat hadits: "Innakum satahrishuna 'alal-imarah". Hal ini sama dengan yang kami lakukan bahwa riwayat Abdul-Hamid ini kami bawakan sebagai syahid untuk memperkuat pendapat bahwa hadits Abu Humaid tidak khusus untuk shalat yang memiliki dua tasyahhud saja. Artinya riwayat Abdul-Hamid ini layak untuk dijadikan sebagai syahid atau penguat.

4. Abdul-Hamid bin Ja'far adalah salah satu perawi pilihan Imam Muslim di dalam Shahîh-nya. Ada banyak riwayat Abdul-Hamid di dalam Shahîh Muslim. Jika Anda menolak riwayat hadits Abu Humaid ini dengan Abdul-Hamid bin Ja'far sebagai alasan, maka konsekwensinya seluruh riwayat Abdul-Hamid dalam Shahîh Muslim seharusnya juga ditolak.

5. Imam Nasa-i sendiri yang membawakan hadits ini di dalam Sunan-nya mengatakan bahwa Abdul-Hamid bin Ja'far "laisa bihi ba'sun", yaitu tidak ada masalah dengannya atau tidak ada masalah dengan riwayatnya.[12] Dan Imam Nasa-i tarmasuk di antara imam mutasyaddidin dalam permasalahan Jarh wa Ta'dil. Ini berarti Imam Nasa-i sendiri memandang bahwa hadits Abu Humaid riwayat Abdul-Hamid ini layak diterima. Dan sebagaimana diketahui bahwa syarat Imam Nasa-i dalam penshahihan hadits termasuk yang ketat. Beliau adalah Imam Ilal. Jika memang riwayat Abdul-Hamid ini memiliki illah atau cacat, tentunya Imam Nasa-i sudah menjelaskannya.

Cukuplah lima alasan ini sebagai jawaban bagi mereka yang ingin melemahkan hadits ini. Tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali menerima riwayat Abdul-Hamid ini. Dan tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk membela pendapatnya bahwa hadits Abu Humaid khusus untuk shalat yang memiliki dua tasyahhud saja.

Apabila ada yang beralasan bahwa duduk asal shalat adalah duduk iftirâsy, tidak dikeluarkan sebuah hukum dari asalnya kecuali dengan dalil yang jelas. Dalam hal ini Anda mengatakan tidak ada dalil yang jelas tetang sikap duduk akhir pada shalat dua raka'at maka hal tersebut kembali pada asalnya yaitu duduk iftirâsy.

Jawaban bagi alasan Anda ini dari dua sisi, sebagai berikut.
Pertama, jika Anda mengatakan duduk asal pada setiap shalat adalah iftirâsy, maka duduk asal untuk duduk akhir adalah duduk tawarruk; baik itu shalat dengan satu tasyahhud maupun dua tasyahhud. Berdasarkan qaid dalam hadits Abu Humaid dari berbagai riwayat: "allati yanqadhi fihat taslim" (raka'at yang selesai dengan salam), "allati takunu khatimatash-shalah" (raka'at yang menjadi penutup shalat). Dengan demikian ada dua asal. Asal untuk duduk shalat secara umum, dan asal untuk duduk akhir di setiap shalat.

Kedua, alasan Anda bahwa tidak ada dalil yang jelas bagi sikap duduk akhir shalat dua raka'at tidaklah benar. Hadits Abu Humaid riwayat Abdul-Hamid ini adalah Sunnah yang jelas bahwa shalat dua raka'at sekalipun duduk akhirnya adalah duduk tawarruk. 



MASING-MASING MEMILIKI SALAF


Bagi yang ingin duduk iftirâsy pada raka'at terakhir mereka memiliki Salaf, yakni: Imam Sufyan ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan para fuqaha dari Kufah. Demikian juga bagi yang ingin duduk tawarruk pada raka'at terakhir pada setiap shalat juga memiliki Salaf. Yaitu, yang pertama –tentunya- Abu Humaid Radhiyallahu anhu , perawi hadits sifat shalat Nabi itu sendiri, kemudian Imam asy-Syafi'i rahimahullah. Sedangkan bagi yang ingin duduk iftirâsy pada duduk akhir shalat dua raka'at, juga dipersilahkan, dan mereka juga memiliki Salaf, yaitu Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Masing-masing memiliki Salaf, dan masing-masing berhak untuk dikatakan Salafi.

Menyikapi perbedaan pendapat ini, Imam Thabari rahimahullah berkata:

إِنْ فَعَلَ هَذَا فَحَسَنٌ وَإِنْ فَعَلَ هَذَا فَحَسَنٌ، كُلُّ ذَلِكَ قَدْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ السَّلَامُ

Yang ini benar dan yang itu benar, semuanya ada riwayatnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[13]

Artinya, dalam permasalahan ini sikap toleransilah yang mesti dikedepankan. Terkadang kita mendapati fenomena dakwah yang kurang menyenangkan. Ketika permasalahan khilafiyah ijtihadiyyah seperti ini dijadikan tolak ukur dalam hal wala` dan barra`. Ada kesan bahwa duduk isftirasy pada shalat satu tasyahhud adalah pendapat Salafi. Sementara yang duduk tawarruk pada shalat satu tasyahhud bukan pendapat Salafi. Hal ini tidak dapat dibenarkan. Karena masing-masing memiliki Salaf. Masing-masing telah berusaha untuk mengikuti Salaf mereka. Tidak benar jika kita mengatakan fulan bukan Salafi hanya karena ia tidak duduk iftirâsy pada raka'at terakhir shalat yang memiliki satu tasyahhud.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR al-Bukhâri, 631.
[2]. Al-Hujjah 'ala Ahli Madinah, Bab: al-Julus fish-Shalah.
[3]. Al-Mudawwanah, Bab: Julus fish-Shalah.
[4]. HR Mâlik dalam Muwatha`, 201, Bab: al-Amal fil-Julus fish-Shalah.
[5]. Al-Hawi al-Kabir, Bab: Sifat Shalat, tentang Fa Idza Qa'ada fir-Rabi'ati.
[6]. HR Bukhari, 785, Bab: Sunnatul-Julus fit-Tasyahhud.
[7]. Masa-il Imam Ahmad, riwayat Ibnihi Abdillâh, masalah no. 284.
[8]. Irsyadul-Fuhul, Masalah 28 dalam Bab: Takhshish; Takhshish bis-Siyaq.
[9]. HR Nasa-i, Bab: Sifatil-Julus fir-Rak'atil-lati Yaqdhi fihash-Shalah.
[10]. Lihat Jarh waTa'dil, 6/10, tarjamah Abdul-Hamid bin Ja'far.
[11]. Lihat Tahdzibul-Kamal, tarjamah Abdul-Hamid bin Ja'far.
[12]. Lihat perkataan Imam Nasa-i di Tahdzibul-Kamal.
[13]. Al-Istidzkar libni Abdil-Barr, 1/480.

*****


Subhanakallohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

03 Juli 2015

FILE 328 : Mereka Bertaubat dari Syi'ah

Bismillahirrohmanirrohim            
Walhamdulillah, 
wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam      
Wa ba'du     
…. 



Mereka Bertaubat dari Syi'ah 
         Disusun dari :       
kisahmuslim, wahdah, wahdahmakassar, aliransyiah



KISAH I
KISAH TAUBATNYA TIGA WANITA SYI'AH

 
Bismillahirrahmaanirrahiem, semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi dan Rasul termulia, junjungan kami Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.  

Ya Allah, kepada-Mu kami berlindung, kepada-Mu kami memohon pertolongan dan kepada-Mu kami bertawakkal. Engkaulah Yang Memulai dan Mengulangi, Ya Allah kami berlindung dari kejahatan perbuatan kami dan minta tolong kepada-Mu untuk selalu menaati-Mu, dan kepada-Mu lah kami bertawakkal atas setiap urusan kami. 

Semenjak lahir, yang kutahu dari akidahku hanyalah ghuluw (berlebihan) dalam mencintai Ahlul bait. Kami dahulu memohon pertolongan kepada mereka, bersumpah atas nama mereka dan kembali kepada mereka tiap menghadapi bencana. Aku dan kedua saudariku telah benar-benar meresapi akidah ini sejak kanak-kanak. 

Kami memang berasal dari keluarga Syi’ah asli. Kami tidak mengenal tentang mazhab ahlussunnah wal jama’ah kecuali bahwa mereka adalah musuh-musuh ahlulbait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Mereka lah yang merampas kekhalifahan dari tangan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu, dan merekalah yang membunuh Husain. 

Akidah ini semakin tertanam kuat dalam diri kami lewat hari-hari “Tahrim”, yaitu hari berkabung atas ahlul bait, demikian pula apa yang diucapkan oleh syaikh kami dalam perayaan Husainiyyah dan kaset-kaset ratapan yang memenuhi laciku. 

Aku tak mengetahui tentang akidah mereka (ahlussunnah) sedikitpun. Semua yang kuketahui tentang mereka hanyalah bahwa mereka orang-orang munafik yang ingin menyudutkan ahlul bait yang mulia. 

Faktor-faktor di atas sudah cukup untuk menyebabkan timbulnya kebencian yang mendalam terhadap penganut mazhab itu, mazhab ahlussunnah wal jama’ah. 

Benar… Aku membenci mereka sebesar kecintaanku kepada para Imam. Aku membenci mereka sesuai dengan anggapan Syi’ah sebagai pihak yang terzhalimi.

Keterkejutan Pertama

Ketika itu Aku sedang duduk di sekolah dasar. Di sekolah aku mendengar penjelasan Bu Guru tentang mata pelajaran tauhid. Beliau berbicara tentang syirik, dan mengatakan bahwa menyeru selain Allah termasuk bentuk menyekutukan Allah. Contohnya seperti ketika seseorang berkata dalam doanya: “Hai Fulan, selamatkan Aku dari bencana… tolonglah Aku” lanjut Bu Guru. 

Maka kukatakan kepadanya: Bu, kami mengatakan “Ya Ali”, apakah itu juga termasuk syirik? 

Sejenak kulihat beliau terdiam… seluruh murid di sekolahku, dan sebagian besar guru-gurunya memang menganut mazhab Syi’ah… kemudian Bu Guru berkata dengan nada yakin: “Iya, itu syirik” kemudian langsung melontarkan sebuah pertanyaan kepadaku:
“Bukankah doa adalah ibadah?” 

“Tidak tahu”, jawabku. 

“Coba perhatikan, apa yang Allah katakan tentang doa berikut”, lanjutnya seraya membaca firman Allah:
 

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ


Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (Ghaafir: 60). 

“Bukankah dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa berdoa adalah ibadah, lalu mengancam orang yang enggan dan takabur terhadap ibadah tersebut dengan Neraka?” tanyanya. 

Setelah mendengar pertanyaan tersebut, aku merasakan suatu kejanggalan… aku merasa kecewa… segudang perasaan menggelayuti benakku tanpa bisa kuungkapkan. Saat itu aku berangan-angan andaikan aku tak pernah menanyakan hal itu kepadanya. Lalu kutatap dia untuk kedua kalinya… ia tetap tegar laksana gunung. 

Waktu pulang kutunggu dengan penuh kesabaran, Aku berharap barangkali ayah dapat memberi solusi atas permasalahanku ini… maka sepulangku dari sekolah, kutanya ayahku tentang apa yang dikatakan oleh Bu Guru tadi. 

Ayah serta merta mengatakan bahwa Bu Guru itu termasuk yang membenci Imam Ali. Ia mengatakan bahwa kami tidaklah menyembah Amirul Mukminin, kami tidak mengatakan bahwa dia adalah Allah sehingga Gurumu bisa menuduh kami telah berbuat syirik… jelas ayah. 

Sebenarnya aku tidak puas dengan jawaban ayahku, sebab Bu Guru berdalil dengan firman Allah. Ayah lalu berusaha menjelaskan kepadaku kesalahan mazhab Sunni hingga kebencianku semakin bertambah, dan aku semakin yakin akan batilnya mazhab mereka. 

Aku pun tetap memegangi mazhabku, mazhab Syi’ah; hingga adik perempuanku melanjutkan karirnya sebagai pegawai di Departemen Kesehatan. 

Sekarang, biarlah adikku yang melanjutkan ceritanya… 

Setelah masuk ke dunia kerja, aku berkenalan dengan seorang akhwat ahlussunnah wal jama’ah. Ia seorang akhwat yang multazimah (taat) dan berakhlak mulia. Ia disukai oleh semua golongan, baik Sunni maupun Syi’ah. Aku pun demikian mencintainya, dan berangan-angan andai saja dia bermazhab Syi’ah. 

Saking cintanya, aku sampai berusaha agar jam kerjaku bertepatan dengan jam kerjanya, dan aku sering kali bicara lewat telepon dengannya usai jam kerja. 

Ibu dan saudara-saudaraku tahu betapa erat kaitanku dengannya, sebab itu aku tak pernah berterus terang kepada mereka tentang akidah sahabatku ini, namun kukatakan kepada mereka bahwa dia seorang Syi’ah, tak lain agar mereka tidak mengganggu hubunganku dengannya.

Permulaan Hidayah

Hari ini, aku dan sahabatku berada pada shift yang sama. Kutanya dia: “Mengapa di sana ada Sunni dan Syi’ah, dan mengapa terjadi perpecahan ini?” Ia pun menjawab dengan lembut: 

“Ukhti, sebelumnya maafkan aku atas apa yang akan kuucapkan… sebenarnya kalianlah yang memisahkan diri dari agama, kalian yang memisahkan diri dari Al Qur’an dan kalian yang memisahkan diri dari tauhid!!” 

Kata-katanya terdengar laksana halilintar yang menembus hati dan pikiranku. Aku memang orang yang paling sedikit mempelajari mazhab di antara saudari-saudariku. Ia kemudian berkata: 

“Tahukah kamu bahwa ulama-ulama kalian meyakini bahwa Al Qur’an telah dirubah-rubah, meyakini bahwa segala sesuatu ada di tangan Imam, mereka menyekutukan Allah, dan seterusnya…?” sembari menyebut sejumlah masalah yang kuharap agar ia diam karena aku tidak mempercayai semua itu. 

Menjelang berakhirnya jam kerja, sahabatku mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya seraya mengatakan bahwa itu adalah tulisan saudaranya, berkenaan dengan haramnya berdoa kepada selain Allah. Kuambil lembaran-lembaran tersebut, dan dalam perjalanan pulang aku meraba-rabanya sambil merenungkan ucapan sahabatku tadi. 

Aku masuk ke rumah dan kukunci pintu kamarku. Lalu mulailah kubaca tulisan tersebut. Memang, hal ini menarik perhatianku dan membuatku sering merenungkannya. 

Pada hari berikutnya, sahabatku memberiku sebuah buku berjudul “Lillaah, tsumma littaariekh” (Karena Allah, kemudian karena sejarah). Sumpah demi Allah, berulang kali aku tersentak membaca apa yang tertulis di dalamnya. Inikah agama kita orang Syi’ah? Inikah keyakinan kita?!! 

Sahabatku pun semakin akrab kepadaku. Ia menjelaskan hakikat banyak hal kepadaku. Ia mengatakan bahwa ahlussunnah mencintai Amirul Mukminin dan keluarganya. 

Benar… aku pun beralih menganut mazhab ahlussunnah tanpa diketahui oleh seorang pun dari keluargaku. Sahabatku ini selalu menghubungiku lewat telepon. Bahkan saking seringnya, ia sempat berkenalan dengan kakak perempuanku. 

Sekarang, biarlah kakakku yang melanjutkan ceritanya… 

Aku mulai berkenalan dengan akhwat yang baik ini. Sungguh demi Allah, aku jadi cinta kepadanya karena demikian sering mendengar cerita adikku tentangnya. Maka begitu mendengar langsung kata-katanya, aku semakin cinta kepadanya…

Permulaan Hidayah

Hari itu, aku sedang membersihkan rumah dan adikku sedang bekerja di kantor. Aku menemukan sebuah buku bergambar yang berjudul: “Lillaah, tsumma littaariekh”. 

Aku pun membukanya lalu membacanya… sungguh demi Allah, belum genap sepuluh halaman, aku merasa lemas dan tak sanggup merampungkan tugasku membersihkan rumah. Coba bayangkan, dalam sekejap, akidah yang ditanamkan kepadaku selama lebih dari 20 tahun hancur lebur seketika. 

Aku menunggu-nunggu kembalinya adikku dari kantornya. Lalu kutanya dia: “Buku apa ini?” 

“Itu pemberian salah seorang suster di rumah sakit”, jawabnya. 

“Kau sudah membacanya?” tanyaku. 

“Iya, aku sudah membacanya dan aku yakin bahwa mazhab kita keliru”, jawabnya.“Bagaimana denganmu?” tanyanya. 

“Baru beberapa halaman” jawabku. 

“Bagaimana pendapatmu tentangnya?” tukasnya. 

“Kurasa ini semua dusta, sebab kalau benar berarti kita betul-betul sesat dong”, sahutku. 

“Mengapa tidak kita tanyakan saja isinya kepada Syaikh?” pintaku. 

“Wah, ide bagus” katanya. 

Buku itu lantas kukirimkan kepada Syaikh melalui adik laki-lakiku. Kuminta agar ia menanyakan kepada Syaikh apakah yang tertulis di dalamnya benar, ataukah sekedar kebohongan dan omong kosong? 

Adikku mendatangi Syaikh tersebut dan memberinya buku itu. Maka Syaikh bertanya kepadanya: “Dari mana kau dapat buku ini?” 

“Itu pemberian salah seorang suster kepada kakakku” jawabnya. 

“Biarlah kubaca dulu” kata Syaikh, sembari aku berharap dalam hati agar kelak ia mengatakan bahwa semuanya merupakan kebohongan atas kaum Syi’ah. Akan tetapi, jauh panggang dari api! Kebatilan pastilah akan sirna… 

Aku terus menunggu jawaban dari Syaikh selama sepuluh hari. Harapanku tetap sama, barang kali aku mendapatkan sesuatu darinya yang melegakan hati. 

Namun selama sepuluh hari tadi, aku telah mengalami banyak perubahan. Kini sahabat adikku sering berbicara panjang lebar denganku lewat telepon, bahkan ia seakan lupa kalau mulanya ia ingin bicara dengan adikku. Kami bicara panjang lebar tentang berbagai masalah. 

Pernah suatu ketika ia menanyaiku: “Apa kau puas dengan apa yang kita amalkan sebagai orang Syi’ah selama ini?”. Aku mengira bahwa dia adalah Syi’ah, dan dia tahu akan hal itu… 

“Kurasa apa kita berada di atas jalan yang benar”, jawabku. 

“Lalu apa pendapatmu terhadap buku milik adikmu?” tukasnya. 

Akupun terdiam sejenak… lalu kataku:
“Buku itu telah kuberikan ke salah seorang Syaikh agar ia menjelaskan hakikat buku itu sebenarnya”. 

“Kurasa ia takkan memberimu jawaban yang bermanfaat, aku telah membacanya sebelummu berulang kali dan kuselidiki kebenaran isinya… ternyata apa yang dikandungnya memang sebuah kebenaran yang pahit”, jelasnya. 

“Aku pun menjadi yakin bahwa apa yang kita yakini selama ini adalah batil” lanjutnya. 

Kami terus berbincang lewat telepon dan sebagian besar perbincangan itu mengenai masalah tauhid, ibadah kepada Allah dan kepercayaan kaum Syi’ah yang keliru. Tiap hari bersamaan dengan kepulangan adikku dari kantor, ia menitipkan beberapa lembar brosur tentang akidah Syi’ah, dan selama itu aku berada dalam kebingungan… 

Aku teringat kembali akan perkataan Bu Guru yang selama ini terlupakan. Kuutus adik lelakiku untuk menemui Syaikh dan meminta kembali kitab tersebut beserta bantahannya. Akan tetapi sumpah demi Allah, lagi-lagi Syaikh ini mengelak untuk bertemu dengan adikku. Padahal sebelumnya ia selalu mencari adikku, dan kini adikku yang justru menelponnya. Namun keluarga Syaikh mengatakan bahwa dia tidak ada, dan ketika adikku bertemu dengannya dalam acara Husainiyyah[1] dan menanyakan kitab tersebut; Syaikh hanya mengatakan: “Nanti”, demikian seterusnya selama dua bulan. 

Selama itu, hubunganku dengan sahabat adikku lewat telepon semakin sering, dan di sela-selanya ia menjelaskan kepadaku bahwa dirinya seorang Sunni, alias ahlussunnah wal jama’ah. Dia berkata kepadaku: 

“Jujur saja, apa yang membuat kalian membenci Ahlussunnah wal Jama’ah?” 

Aku sempat ragu sejenak, namun kujawab: “Karena kebencian mereka terhadap Ahlulbait”. 

Hai Ukhti, Ahlussunnah justeru mencintai mereka”, jawabnya. 

Kemudian ia menerangkan panjang lebar tentang kecintaan Ahlussunnah terhadap seluruh keluarga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beda dengan Syi’ah Rafidhah yang justeru membenci sebagian ahlul bait seperti isteri-isteri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. 

Benar, kini aku tahu tentang akidah Ahlussunnah wa Jama’ah dan aku mulai mencintai akidah yang sesuai dengan fitrah dan jauh dari sikap ghuluw (ekstrim)… jauh dari syirik… dan jauh dari kedustaan. 

Kebenaran yang sesungguhnya mulai tampak bagiku, dan aku pun bingung apakah aku harus meninggalkan agama nenek moyang dan keluargaku? Ataukah meninggalkan agama yang murni, ridha Allah dan Jannah-Nya?? 

Ya, akhirnya kupilih yang kedua dan aku menjadi seorang ahlussunnah wal jama’ah. Aku kemudian menghubungi akhwat yang shalihah tadi dan kunyatakan kepadanya bahwa hari ini aku ‘terlahir kembali’. 

Aku seorang Sunni, alias Ahlussunnah wal Jama’ah. 

Akhwat tersebut mengucapkan takbir lewat telepon, maka seketika itu meleleh lah air mataku… air mata yang membersihkan sanubari dari peninggalan akidah Syi’ah yang sarat dengan syirik, bid’ah dan khurafat… 

Demikianlah… dan tak lama setelah kami mendapat hidayah, adik kami yang paling kecil serta salah seorang sahabatku juga mendapat hidayah atas karunia Allah Subhanahu wa Ta’aala. 

(Saudari-saudari kalian yang telah bertaubat)
[basweidan.wordpress.com dari www.fnoor.com/fn1024.htm]  
==============

[1] Ritual kaum Syi’ah dalam rangka memperingati syahidnya Imam Husain bin Ali Radhiyallohu’anhu.



KISAH II
KISAH WANITA SYIAH YANG BERTAUBAT


Saya seorang wanita berkebangsaan Irak, umurku 29 tahun berprofesi sebagai wartawan di salah satu Media Informasi. Ayahku berasal dari Iraq sedangkan ibuku berasal dari Iran. Dari kecil saya telah tumbuh dalam rumah dan lingkungan beraqidah Syiah murni dan terbiasa diatas aqidah Syiah Imamiyah

Walaupun kedua orangtua saya memiliki wawasan keislaman yang luas akan tetapi keduanya meyakini kemurnian ajaran Syiah, mereka yakin bahwa AlQuran telah dirubah oleh Kaum Sunny, dan keluarga besar saya sangat membenci para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam

Setelah dewasa, sayapun menikah dengan seorang pemuda Syiah berasal dari keluarga Syiah juga dimana ketekunan menjalankan ajaran Syiahnya sama seperti keluargaku. Dari pernikahan ini, saya melahirkan tiga orang anak.k

Suatu hari, saya berjumpa dengan salah seorang ibu rumah tangga yang menikah dengan seorang pemuda Arab Saudi, namanya Ummu Yusuf. Singkat cerita, kamipun saling berkenalan dan berdialog tentang masalah “istighatsah kepada selain Allah dan masalah ziarah kuburr

Dalam dialog tersebut, saya mendapatkan darinya sebuah ucapan indah yang sempat merasuki lubuk hatiku. Ia mengatakan kepadaku ‘janganlah engkau berdoa kepada Ali, tapi berdoalah kepada Tuhan Ali, Allah. Sebab Dia lebih dekat kepadamu dari urat lehermu.'m 

Saat itu, saya teringat akan sebuah hadis yang terdapat dalam sebuah kitab. Sebuah hadis yang disandarkan kepada Qunbur, Maula Ali radhiyallahu’anhu –secara dusta-, hadisnya berbunyi “Suatu saat, Qunbur mendatangi tempat Ali dan berkata : ‘Wahai Pelayan, dimanakah Amirul mukminin Ali berada ?’, Pelayan wanita tersebutpun menjawab : ‘Diamlah wahai Qunbur,sesungguhnya Ali tengah berada di atas menara yang sangat tinggi (diatas langit),sedang membagi-bagikan rezeki, dan menciptakan janin yang ada dalam setiap rahim ..."m

Hadis ini juga mengingatkanku akan sebuah peristiwa ketika saya pergi keseorang ulama terpandang Syiah untuk menanyakan hadis ini, iapun hanya berkata : “Kamu hanya wajib untuk meyakini kebenaran isi hadis ini, tanpa harus bertanya lagi, karena penafsiran hadis ini khusus diperuntukkan bagi orang yang telah mumpuni keilmuannya. Mungkin saya akan menjwab pertanyaanmu ini, namun tunggulah sampai umurmu mencapai empat puluh tahun agar engkau paham maknanya. Kembalikanlah kitab itu kedalam tempatnya dan jangan lagi bertanya.a

Kejadian ini masih begitu jelas teringat dalam benakku. Lalu saya membandingkannya dengan ucapan Ummu Yusuf yang barusan berdialog denganku. Namun jiwaku tetap memberontak dan berkata : “Kalau begitu ucapan Ummu Yusuf tadi adalah pemikiran Wahhaby yang sangat menakutkan ...n

Anehnya saya mulai bersemangat untuk mencari kebenaran tentang Ali demi menyelamatkan diriku dari was-was yang mulai merasuki hatiku. Namun, kadang hatiku terasa aneh, sebab jiwaku sekan merasa bahwa ucapan Ummu Yusuf ada benarnya.a

Namun hatiku kembali berontak karena jika meyakini kebenaran ucapannya, maka berarti saya telah membenarkan aqidah Wahhabiyah (Ahli Sunnah) yang begitu sangat dilaknat dan dibenci oleh Kaum Syiah.h

Beberapa waktu kemudian, saya berjumpa lagi dengan Ummu Yusuf. Namun kali ini ia menghadiahkanku beberapa buku, tulisan Syaikh Ibnu baz, Syaikh Ibnul ’Utsaimin dan beberapa ceramah Syaikh Abdullah bin Jibrin. Semuanya membahas seputar masalah aqidah.h

Ketika mengambilnya, sayapun mulai membacanya. Setiap pembahasan dalam kitab tersebut saya teliti dan pertimbangkan baik-baik. Namun ternyata pembahasan tersebut diterima oleh logikaku dengan sangat mudah. Setiap membuka halaman baru sayapun merasa semakin dekat dengan aqidah salaf, dan menjauh dari Sekte Syiah Ja’fary Imamiyah.h

Sayapun mulai merasa tenang. Namun masih ada beberapa masalah yang masih mengganjal dalam benakku, seperti perselisihan para sahabat, hak Ali sebagai Khalifah pertama, kezaliman para sahabat terhadap Ahli bait. Sebab semua ini adalah keyakinan Syiah yang telah mendarah daging dalam diriku, dan saya tidak tahu bagaimana harus mengusir keyakinan-keyakinan ini dari dalam diriku. Sebab itu, dirikupun terasa berada dalam pergolakan aqidah dimana di sebagian besar waktuku selalu memikirkannya.a

Masuknya diriku kedalam pengaruh aqidahAhli Sunnah semakin menjauh. Saya lalu berusaha untuk kembali ke madzhab asliku ‘syiah’, namun hatiku tidak lagi menginginkannya, sebab saya telah yakin seyakin-yakinnya bahwa madzhab syiah hanyalah sebuah madzhab yang sesat. Lalu saya memberitahu suamiku akan hal tersebut, tetapi ia seakan tidak serius mempermasalahkannya dan anehnya, ia tetap mengizinkanku untuk mengganti cara shalatku sesuai shalatnya Ahli Sunnah.h

Sayapun mulai bersedekap, dan tidak lagi meluruskan tanganku ketika berdiri dalam shalat sebagaimana madzhab syiah. Saya juga tidak lagi mengusap kedua kakiku ketika wudhu, karena madzhab Ahli Sunnah adalah membasuhnya.a

Dalam kondisi yang seperti ini, suamiku selalu memperhatikanku, bahkan kadang mentertawakanku. Sehingga ketika ia benar-benar tahu bahwa aku serius, iapun hanya bisa membiarkanku. Akan tetapi ia sama sekali belum paham tentang pemikiran dan aqidah sunny, sebab kondisi Ahli Sunnah di Irak sangat berbeda dengan kondisi seorang sunny salafy yang hakiki.i

Beberapa waktu kemudian, saya berkenalan dengan seorang syaikh, dan saya selalu bertanya kepadanya tentang urusan agama melalui Messenger. Beliau pun dengan sabar menjelaskan semua pertanyaanku, dan bersungguh-sungguh mengirimkanku beberapa maklumat. Dan syaikh inilah yang juga memiliki pengaruh besar dalam perjalanan hidupku -semoga Allah merahmatinya-, ia telah tewas ditangan tentara Amerika -semoga Allah melaknat mereka-.a

Akhir dari nasehat yang beliau sampaikan kepadaku adalah agar saya mendakwahi suamiku kepada kebenaran ahli Sunnah, dan jika ia tidak mau, maka ia mewasiatkan agar saya wajib memisahkan diri darinya, karena ia yang bermadzhab syiah imamiyah adalah seorang musyrik. Wasiat ini, beliau sampaikan pada waktu malam, dan pada keesokan harinya ia telah tewas sebagai syahid, insya Allah.h
 
   Singkat waktu, sayapun menerima wasiatnya, mendakwahi suamiku untuk masuk kedalam Ahli Sunnah namun ia menolak, sehingga saya pun memisahkan diri darinya. Tetapi problem terbesar adalah kami memiliki tiga orang anak. Jadi anak-anak kami sepekan bersama dengannya, dan sepekan bersama denganku, dan ia sama sekali tidak mengizinkanku untuk tinggal bersama anak-anakku setiap hari sebab ia khawatir mereka terpengaruh dengan pemikiranku yang sesat –menurut anggapannya dan anggapan madzhab Syiah-.h


Mengetahui semua ini, keluargakupun berusaha untuk mengembalikanku ke madzhab Syiah dengan berbagai cara, namun tidak berhasil, sehingga ayahkupun sangat marah dan mengusirku dari rumah dan dari kehidupan mereka. Hanya ibuku yang sesekali menziarahiku secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan ayahku.u
  
Dalam keadaan terboikot seperti ini, saya pergi menemui Komite Ulama Muslimin untuk memohon kepada mereka agar melindungi diriku. Saya khawatir Syiah dan para pembunuh bayaran mereka akan membunuhku. Saya tidak bisa tidur kecuali sedikit.t

Problem lainnya adalah saya bekerja di sebuah yayasan liberal. Saat itu saya ingin pindah kerja agar terbebas dari pengaruh Sekte Liberal, sebab mereka berpaham atheis, menghina hijabku. Mereka berkata : ‘Allah tidak ada,tidak ada yang namanya Nabi Muhammad’, Mereka berusaha menyakitiku dengan berbagai cara.a

Sayapun kemudian diterima oleh para anggota Haiah (Komite) tersebut. Saya menjelaskan kepada mereka bahwa saya adalah bagian dari kalian, Ahli Sunnah. Maka janganlah kalian membiarkanku terjerumus kedalam Sekte Liberal maupun kembali ke Sekte Syiah. Dan bahwa sekarang saya adalah seorang sunny dan sama sekali tidak memilki hak dan kedudukan apa-apa diantara mereka. Merekapun berjanji akan melindungi.i

Setelah itu, mulailah kehidupanku terboikot dari orang-orang di sekekelilingku, namun syukurlah saya masih bisa bergaul lewat alam lain yaitu internet. Saat itu, bagaimanapun juga alam internet lebih baik bagiku daripada alam manusia.a

Namun, saya seorang yang berprofesi sebagai penulis surat kabar, tentu ada yang tahu tentangku. Sehingga kadang tidak jarang diperhadapkan pada percobaan pembunuhan dari sindikat pembunuh bayaran Syiah. Bahkan akhir-akhir ini, saya hampir saja terbunuh ketika berusaha melarikan diri dari balkon apartemenku, sebab saya terjatuh dari atas bangunan ketika melarikan diri dari para pembunuh bayaran tersebut.t

Tidak sampai di situ. Ketika melihatku terjatuh, mereka lalu menyebarkan desas-desus bahwa sebab musabab terjatuhnya diriku adalah karena saya mengidap penyakit stress yang mendorongku untuk melakukan bunuh diri. Namun alhamdulillah, sekarang saya sementara terus berobat dan hampir sembuh.h

Kejadian tersebut ternyata membawa hikmah tersendiri, dimana saya kemudian bisa mempengaruhi ibuku agar tetap bersamaku, dan sekarang ia sangat mendengar kata-kataku. Saya sangat mengharap Allah memberikan beliau hidayah. Demikian pula, ayah dari anak-anakku yang sekarang mulai menetap denganku dan mendengar semua kata-kataku. Saya juga berharap ia bisa mendapatkan hidayah dan taufiq, sebab kini ia berusaha untuk kembali berkumpul denganku dan secara umum telah paham akan sesatnya keyakinan Syiah Imamiyah.h

Saya memohon kepada Allah ta’ala agar bisa mendidik dan membina anak-anakku diatas aqidah yang benar, jauh dari keyakinan bid’ah dan syirik Syiah yang saya telah tumbuh dan terdidik diatasnya sehingga hampir-hampir saja saya menjadi orang yang binasa kalau tidak diselamatkan oleh Tuhanku yang memberiku rahmat hidayah, memperlihatkanku kebenaran serta memberiku taufiq untuk mengikutinya.a
   
sumber : darul-anshar.com



KISAH III
KISAH ISLAMNYA SEORANG PENGANUT SYI'AH


Putra sulung Abdushshamad Busyahri, Hamid Busyahri Abu Utsman menuturkan kepada saya salah satu kisah terunik dan paling mengesankan bagi saya. Dia berkata:

Lima puluh tahun yang lalu, ayah saya, H. Abdushshamad Busyahri adalah seorang penganut Syiah yang sangat rajin mengunjungi majlis-majlis syirik yang dengan penuh kepalsuan dan kepura-puraan yang mereka beri nama al-Husainiyyah. Sebuah penisbatan kepada al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, padahal beliau sendiri tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan majelis ini maupun orang-orang yang menghadirinya sampai hari kiamat kelak. Ayah adalah seorang laki-laki yang multazim (taat, konsisten) dan dermawan.

Orang-orang fakir saban hari mendatangi kantornya. Meskipun tidak bisa baca-tulis, beliau memiliki perhatian besar terhadap majelis-majelis zikir dan kajian-kajian yang disampaikan oleh para ulama Syiah yang datang dari Najef dan Qumm.

Sebagaimana penganut syiah lainnya, sejak kecil ayah telah melahap dongeng dan kedustaan para sayid Rafidhah (setiap orang yang mengklaim dirinya bernasab kepada keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebut sayyid, dan mayoritas orang yang mereka klaim sebagai sayyid, tidak benar penasaban mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) bahwa para khalifah kaum muslimin adalah musuh ahlulbait, musuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan musuh Islam. Musuh terbesar Rasulullah  Shallallahu alaihi Wa Salam dan keluarga beliau yang suci ialah Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab –mudah-mudhan Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka dan menjadikan mereka ridha- demikian juga dengan kedua putri mereka yang suci, istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, serta ibunda kaum mukminin, meskipun orang-orang zindik tersebut tiada menyukai kenyataan ini. 

Ayah menelan mentah-mentah kedustaan demi kedustaan nista ini hingga membuatnya bereaksi mencaci kedua orang yang dikasihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut setiap kali mendengar nama mereka. Beliau pun tumbuh besar seperti orang-orang Rafidhah lainnya membeo mengulang-ulang caci-makian terhadap ash-shiddq dan al-Faruq serta sahabat mulia lainnya. Mereka mengulang-ulang apa yang mereka dengar dari para tokoh spiritual mereka, para sayid yang kafir lagi zindik, para mu’ammim (sebutan bagi para ulama Syi’ah yang kebanyakan mereka mengenakan imamah hitam membalut kepala mereka). Semoga Allah menimpakan kepada mereka hukuman yang berhak mereka terima.

Ketika usia beliau mendekat empat puluh lima tahun, ayah memutuskan untuk memperbaharui hidupnya dengan menunaikan ibadah haji ke Baitullah al-Haram. Ayah bermaksud bergabung dengan biro perjalanan haji Rafidhah, yang saat itu masih satu-satunya, karena populasi mereka saat itu tidak sampai 2% dari jumlah total penduduk. 

Ayah saya Abdushshamad Busyahri tinggal di distrik al-Qaar, di Negara Kuwait. Distrik al-Qaar merupakan perkampungan orang-orang Rafidhah hingga saat ini. Beliau bekerja di Kementerian Kesehatan kala itu. kebetulan, Kementerian Kesehatan memutuskan merekomendasikan beliau menjadi salah seorang tenaga tim kesehatan jemaah haji Kuwait di tanah Haram. Ayah pun bingung apakah bergabung dengan tim kesehatan Kuwait atau dengan biro haji Rafidhah.

Ayah bertukar pikiran dengan pimpinan Tim Kesehatan, Ibrahim al-Mudhaf. Beliau menyarankan untuk bergabung dengan Tim Kesehatan, karena bagaimanapun tim memiliki fasilitas dan kesiapan yang lebih lengkap dan lebih memadai. 

Dia juga berkata kepada ayah, “Saudaraku Abdushshamad, setelah kita sampai di tanah suci, anda dapat bergabung dengan rombongan tersebut, atau anda dapat mengunjungi siapa saja yang anda inginkan dalam kafilah itu. kita fleksibel saja, anda tidak selalu harus terikat dengan kami.” 

Akhirnya ayah saya Abdushshamad memutuskan bergabung dengan tim kesehatan kerajaan Kuwait. Jika telah sampai di sana ia akan bergabung dengan rombongan Syi’ah Rafidhah tersebut untuk melaksanakan manasik haji ala mereka. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan rombongan tim kesehatan tersebut menginap di Madinah an-Nabawiyah selama beberapa hari sebelum menuju ke Makkah al-Mukarramah, bertepatan dengan sampainya rombongan Rafidhah ke sana. H. Abdushshamad meminta izin dari pimpinan tim untuk bergabung dengan kafilah Rafidhah. Ketika sampai di sana mereka sedang bersiap-siap untuk menzirahi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Masjid an-Nabawiy dengan jalan kaki. Pimpinan rombongan, seorang sayid mu’ammim, berdiri di tengah mereka seraya berkata, “Sekarang, kita semua akan menziarahi kuburan Rasul yang paling agung….”

Dalam perjalanan, sayid berkata, “Saya akan berdoa di sisi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kalian semua ikutilah doa yang saya baca!”. 

Ayah saya, Abdushshamad, berkata, “Saya pun memasuki masjid an-Nabawiy dan merasa gemetar karena kewibawaan dan keagungannya. Ayah berjalan bersama anggota rombongan, sayid mu’ammim berada di depan kami. Rombongan berhenti di sisi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia, kemudian berdo’a menirukan sayid.” 

Ayah melanjutkan, “Saat kami berdiri di sisi kuburan Nabi, tiba-tiba seorang laki-laki tua Saudi berdiri tidak jauh dariku sehingga saya dapat mendengarkan ucapan salamnya kepada al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Salam sejahtera untuk anda wahai Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam, semoga rahmat dan berkah Allah Subhanahu wa Ta’ala terlimpah kepada Anda. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan imbalan kepada anda atas kebaikan dan jasa-jasa Anda kepada umat; semoga Dia melipat gandakan kebaikan bagi Anda, berbuat baik kepada Anda sebagaimana Anda telah berbuat baik kepada umat  ini. Saya bersaksi bahwa anda telah menyampaikan risalah, telah menunaikan amanah, telah menasihati umat dan telah bersungguh-sungguh menyampaikan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ya Allah Ya Rabb berikanlah kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, al-Wasilah dan karunia, bangkitkanlah beliau kelak dengan kedudukan yang terpuji, sebagaimana yang telah Engkau janjikan, sesungguhnya Engkau tidak akan mengingkari janji.’ Saya pun kagum dengan adab dan ketenangan orang tua itu dalam berdoa.”

Ayah melanjutkan ceritanya, “Yang mengejutkan ialah saat orang tua itu melihat dan menoleh ke kanan kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, saya mendengar dia berkata, ‘Salam sejahtera kepadamu wahai Abu Bakar Ash-Shiddiq, semoga rahmat dan berkah Allah tercurah kepadamu, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhaimu wahai Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan imbalan kebaikan atas jasa-jasa anda kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’ 

Saya pun terkejut mendengarkan ucapannya dan semakin heran ketika laki-laki tua itu menoleh ke arah kiri kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata, ‘Salam sejahtera untuk anda wahai Umar bin al-Khaththab, semoga rahmat dan berkah Allah Subhanahu wa Ta’ala tercurah kepada anda, semoga Allah meridhai anda wahai Umar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi imbalan atas jasa anda kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” 

Ayah saya, Abdushshamad berkata, “Saya tidak bisa menahan diri, saya pun memegang pundak laki-laki tua itu sambil berkata kepadanya, ‘Apakah anda berziarah ke kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau ke keburan Abu Bakar dan Umar hingga anda mengucapkan salam kepada keduanya di sini?!’

Lelaki tua itu menjawab, ‘Saudaraku, bagaimana aku tidak mengucapkan salam kepada keduanya, sementara di hadapanku ini kuburan keduanya?! Ini kuburan Abu Bakar dan ini kuburan Umar radhiyallahu anhuma’. 

Dengan suara yang mulai meninggi saya menanggapi perkataannya, ‘Saya tidak pernah tahu bahwa kedua orang yang selalu kami caci pada pagi dan sore hari dalam majelis Husainiyyah, terbaring di sisi kuburan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam?!’.

Kami menyebut mereka berhala dan thagut, seperti yang kami terima dari para sayid dan pemuka kami. Bagaimana mungkin musuh-musuh Islam, musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dikubur di satu tempat bersama dengan penghulu para nabi dan seluruh manusia?! 

Saya berkata kepada laki-laki tua itu, ‘Apakah anda bergurau? Apa yang anda katakan ini pak tua?’

Orang-orang pun mulai mendengarkan ucapan saya karena tanpa sadar suara saya telah meninggi, sementara lelaki tua itu terheran-heran dengan penolakan keras yang saya lontarkan terhadap apa yang telah dia katakan bahwa di sini juga terdapat kuburan Abu Bakar dan kuburan Umar radhiyallahu ‘anhuma. 

Berikutnya saya segera mendatangi sayid kami. Saat itu dia berdiri di tengah domba-domba yang hilang, para anggota rombongan. Saya berkata kepadanya dengan suara tinggi, ‘Sayid kami, wahai sayid kami, dengarkanlah apa yang dikatakan oleh laki-laki ini, dia berkata bahwa Abu Bakar dan Umar juga dikubur di sini.’

Sayid Mu’ammim itu pun berkata kepada saya, ‘Benar, Abdushshamad, benar, Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar al-Faruq juga dikubur di sini.’ 

Saya spontan berteriak di tengah orang ramai menolak jawabannya, ‘Apa yang anda katakan ini? Ash-Shiddiq? Al-Faruq? Bukankah mereka itu berhala dan thagut, yang kalian ajarkan kepada kami, musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya?! Mengapa salah seorang digelari Shiddiq dan yang lain Faruq? Pahamkanlah saya wahai sayid kami!’

Sayapun melihat as-Sayyid memberikan isyarat dengan mata sambil berkata,‘Abdushshamad, jangan membuat malu kita di tengah orang ramai, jika telah kembali ke penginapan, saya menjelaskan segala sesuatunya kepada Anda.’ 

Dengan suara yang semakin tinggi disertai orang yang semakin berkerumun saya justru membantah, ‘Tidak… tidak…. tidak…. Demi Allah, saya tidak akan meninggalkan tempat ini sampai Anda memahamkan saya sekarang juga, bagaimana berhala dan thagut dikubur di sisi Rasulullah? Bagaimana kaum Muslimin menerima situasi ini? Bagaimana Sayiduna Ali bin Abi Thalib membiarkannya? Bagaimana Ahlulbait menerima orang-orang kafir dikubur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Bukankah Abu Bakar telah merampas hak Fathimah seperti apa yang telah kalian ajarakan kepada kami? Bukankah Umar telah mematahkan tulang rusuk Fathimah az-Zahra’ seperti yang kami hafal dari kalian? Bagaimana Ahlulbait menerima orang-orang kafir itu dikubur bersama Rasulullah?’

Sayid berkata, ‘Abdushshamad, Daulah Umawiyah, merekalah yang tekah menguburkan mereka di tempat ini!’ 

Saya pun mengatakan, ‘Sayid!…..sekalipun saya ummi, tidak bisa baca tulis, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan akal yang sempurna… bagaimana Daulah Umawiyah yang menguburkan mereka padahal mereka baru berkuasa setelah sayid kita, Ali?, sementara sayiduna Ali dan Abbas meninggal setelah Abu Bakar dan Umar? Anda sendiri telah mengatakan bahwa Sayyiduna Ali adalah Haidar (sang singa) dan al-Karar, dan tidak gentar menghadapi tekanan siapa pun dalam membela agama Allah Subhanahu wa Ta’ala?! Bagaimana mungkin beliau dan ahlulbait mengizinkan dua orang kafir ini dikubur bersandingan dengan penghulu para nabi?!’

Orang-orang pun berhamburan ke arah kami, sayid tersebut melarikan diri diiringi domba-dombanya yang tersesat meninggalkan area kuburan. Dengan suara lantang saya berteriak, ‘Hai orang-orang ramai pahamkanlah kepada saya, apakah saya ini sedang bermimpi atau apa?!’ 

Orang-orang itu pun berusaha menenangkan saya, mereka berkata, ‘Berdzikirlah, ingatlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala wahai Syaikh…. Berdzikirlah mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala!’ 

Sejenak kemudian seorang Masyayikh di al-Haram menghampiri dan memegang saya sambil berkata, ‘Ada apa dengan anda? Anda berteriak-teriak di sisi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ini tidak boleh…. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk merendahkan suara kita jika berada di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melalui firman-Nya (yang artinya):,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mereka Itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Hujurat: 2-3)’.”
Ayahku, H. Abdushshamad melanjutkan ceritanya, 

Ayah tidak dapat menguasai diri, meratap dan menangis. Kemudian Syekh tersebut kembali berkata, ‘Ada apa dengan Anda, saudaraku? Apa yang telah terjadi?’

Ayah menjawab, ‘Anda mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk merendahkan suara ketika berada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam supaya kita tidak menyakiti beliau, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji kita melalui perintah ini… sementara saya, sejak kecil sampai saat ini tidak berhenti mencaci sahabat-sahabat beliau, tidak pernah berhenti mencaci istri-istri beliau! Jika dengan meninggikan suara saja telah menghapuskan amal-amal dan menyia-nyiakannya, seperti dalam ayat tersebut, bagaimana halnya dengan orang yang mencela sahabat-sahabat dan istri-istri Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sepenjang hayatnya?’ 

Maka berkatalah Syeikh tersebut, ‘Aku berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala … Anda mencaci sahabat-sahabat beliau, dan istri-istri beliau, ummahatul mukminin? Apakah anda seorang Rafidhah?!’

Ayah menjawab, ‘Betul, saya seorang penganut Rafidhah, saya adalah sampah… saya…!!! Sekarang saya tahu bahwa saya telah tersesat! Saya telah disesatkan, saya betul-betul telah tertipu. Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala! Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala! Saya tidak pernah tahu bahwa Abu Bakar dan Umar dikuburkan di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di tempat yang sama. Tuan Syeikh jelaskanlah kepada saya, apakah Allah telah menipu Nabi-Nya? Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhianati Nabi-Nya? Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memuliakan nabi-Nya di kuburnya?!! Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala membiarkan orang-orang kafir dan musuh-musuh-Nya dan musuh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dikuburkan bersisian dengan pusara Nabi?! Mengapa?! Mengapa Sayyiduna Ali bin Abi Thalib dan ahlulbait tidak mampu melarang penguburan keduanya di sisi beliau? Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala membiarkan orang-orang kafir dikuburkan bersama Sayiduna Muhammad, di tempat yang paling diagungkan di permukaan bumi, di Raudhah yang mulia, hingga hari kiamat?! Mengapa?! Berilah saya jawaban! 

Betulkah mereka yang telah mengajari kami mencaci dua orang laki-laki ini orang-orang muslim atau para penjahat?!

Demi Allah sekarang saya mengerti, hanya dua kemungkinannya: bisa jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala teledor menyia-nyiakan hak Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, wal ‘iyadzu billah, atau sayyid-sayyid kami dan mu’ammim kami yang mengkhianati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya!!!’ 

Syekh tersebut berkata kepada Ayah, ‘Saudaraku Abdushshamad, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar Al-Faruq bukan hanya dikuburkan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di satu lokasi, mereka bahkan adalah sanak keluarga beliau: putri-putri mereka, Aisyah dan Hafshah radhiyallahu anhuma merupakan istri-istri beliau, ibunda kaum Mukminin berdasarkan nash al-Qur’an.

Ayah berkata, ‘Ya Allah Ya Rabb, laknatlah sayid-sayid kami! Ya Allah Ya Rabb laknatlah para mu’ammim kami! Ya Allah, laknatlah sayid-sayid kami! Ya Allah Ya Rabb, laknatlah para mu’ammim kami! Jika benar yang mereka katakan berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menikahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dengan wanita-wanita kafir dan keji, kemudian menguburkan beliau bersama ayah-ayah mereka yang kafir?! Bagaimana akal sehat bisa membenarkan ucapan ini?! Saya pun menangis tersedu-sedan.’ 

Syekh tersebut meraih dan merengkuh ayah dan berkata, ‘Alhamdulillah, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghilangkan selaput yang menutup kedua bola mata anda. Marilah saya ajarkan kepada anda berwudhu dan shalat seperti yang diamalkan Rasulullah…’ 

Laki-laki itu pun menuntun saya keluar dari tengah kerumunan manusia, lalu kami menuju ke tempat khusus yang diperuntukkan untuk air zam-zam. Dia berkata, ‘Berwudhulah bersama saya seperti ini…’

Ayah pun berwudhu mengikutinya. ‘Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, begitu selesai, ayah merasakan betapa lapangnya dada ini, seolah-olah baru tahu bahwa Tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala.’ 

Setelah selesai ayah keluar dari Masjid Nabawy asy-Syarif, begitu sampai ke tempat tim kesehatan dan melihat pimpinan rombongan, Ibrahmi al-Mudhaf yang sunni, ayah pun merangkulnya sambil menangis haru. 

Ayah berkata kepadanya, ‘Ibrahim al-Mudhaf, saudaraku, mulai saat ini saya tidak akan lagi mengatakan bahwa Allah telah menghinakan Rasul dan kekasihnya shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejak saat ini saya berlepas diri dari menghina ahlulbait, mereka lebih mulia dan lebih terhormat untuk menjadi pengecut yang takut memperjuangkan ucapan yang haq. Sejak saat ini, saya berlepas diri dari fitnah yang menodai kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, istri-istri beliau yang suci, yaitu ibunda kaum Mukminin sebagaimana yang telah dijelaskan oleh nash al-Qur’an yang mulia. Mulai detik ini, saya tidak akan lagi mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyebut beliau gagal dan tidak mengerti mendidik sahabat-sahabat bagaimana seharusnya bersikap sepeninggal beliau. Mulai saat ini, saya berlepas diri dari perilaku orang-orang Rafidhah, meniru orang-orang Yahudi mencela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’

Ayah pulang ke Kuwait dengan raut wajah yang berbeda dari saat berangkat. Beliau kembali dengan keimanan yang memenuhi hatinya. Dia kembali membawa ketenangan yang melapangkan dadanya. Dia kembali dengan cahaya pemahaman yang telah membebaskan akalnya dari kegelapan kebodohan, penyimpangan dan kesesatan. 

Ayah segera menemui ibu, Ummu Hamid rahimahallah dan berkata kepada beliau, ‘Istriku sesungguhnya aku telah masuk Islam yang lain dari Islam yang telah menipu kita selama bertahun-tahun… saya telah masuk Islam, yang tidak ada kedustaan di dalamnya, tidak ada penipuan, kedengkian, kesyirikan, bid’ah, cacian dan kesesatan yang nyata… Jika engkau mengikuti langkahku, engkau tetaplah istriku. Jika tidak, kembalilah kepada keluargamu!

Ibu pun berkata, ‘Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, aku tidak pernah mendapatkan pada dirimu selain cinta kepada kebaikan, aku tidak memiliki prasangka selain bahwa Allah telah memberikan taufik kepadamu, kepada suatu kebaikan yang besar. Aku akan selalu bersamamu; sekarang aku adalah muslimah sunni yang mengesakan Allah rabbul ‘alamin, aku berlindung kepada Allah dari perbuatan mempersekutukan-Nya apa dan siapa pun’ 

Waktu pun berlalu berbilang tahun. Ibu, Ummu Hamid, melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Umar oleh ayah (orang-orang Syiah sangat membenci sahabat-sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar dan Utsman. Dengan memberikan salah satu nama tersebut kepada anak bagi mereka menjadi salah satu tanda bahwa yang bersangkutan bukan penganut Syiah). Umar putra keempat ayah setelah saya (Hamid), Mahmud dan Adil. 

Ayah menghadapi penentangan yang keras dari tetangga-tetangga kami yang Rafidhi begitu mengetahui bahwa beliau telah meninggalkan agama mereka. Mereka melarang anak-anak mereka bergaul dan bermain dengan kami, anak-anak ayah, melarang istri-istri mereka mengunjungi ibu. Tetapi ayah mengahadapinya dengan penuh sabar dan tidak putus berdoa kepada Allah meminta jalan keluar. 

Hanya berapa tahun kemudian, Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan rezki yang tidak disangka-sangka, ayah memboyong kami pindah dari lingkungan Rafidhah tempat tinggal kami semula, ke distrik lain. Di sanalah ayah menghembuskan nafasnya yang terakhir, berpulang ke rahmatullah, mewariskan kepada kami sebuah agama yang haq.

Hal yang mengagumkan kemudian terjadi dalam kisah ini, banyak jamaah masjid dan keluarga beliau bermimpi melihatnya dalam kondisi yang sangat baik, masing-masing mereka melihat beliau memakai baju yang sangat putih bersih, duduk-duduk di sebuah tempat duduk yang bagus, pada tempat yang mulia sambil berkata, “Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan hidayah ini kepada kami; kita tidak akan mendapatkan petunjuk seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan petunjuk kepada kita.” 

Demikian Abu Utsman Hamid Busyahri menutup kisah sadarnya orang tua beliau. 

Ya Allah, Ya Rabb terimalah dia, Abdushshamad Mahmud Busyahri, dan tempatkan beliau di tengah orang-orang shalih, dan pertemukanlah dia dengan para shiddiqin dan syuhada dan mereka adalah sebaik-baik teman… dan berikanlah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui, amin…amin ya Rabb’ al-‘Alamin.

Menutup kisah ini, saya sampaikan kepada setiap orang Rafidhah, tahukah anda semua, mengapa Abdushshamad diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kebenaran? 

Karena satu sebab yang sangat sederhana, karena dia membuka diri untuk memfungsikan akalnya. 

Oleh karena itu, kapankah anda semua meniru tindakan beliau? Adalah sebuah aib besar jika seorang yang ummi, tidak bisa baca-tulis seperti Abdushshamad Busyahri rahimahullah mampu memfungsikan akalnya dengan baik, sementara kalian membiarkan akal kalian dikendalikan orang lain. Sehingga mereka bisa memperlakukan kalian sesuka hati mereka. 

Sumber: Majalah Islam Internasional Qiblati, Ramadhan 1433 H, Agustus 2012 M, Edisi 10 th. VII, hal 84-89.



KISAH IV
ULAMA SYI'AH TAUBAT DAN KEMBALI KEPADA ISLAM SUNNI

 
ulama syiah taubat ke pangkuan islam
19 Maret 2014, jam 9 Waktu Mekkah Al-Mukarramah, Penganut agama syiah imamiyah itsna ‘asyariyah / ja’fariyah Timur Tengah, digemparkan oleh TV Wesal Arab Saudi yang menyajikan salah satu acara “terpanas” yang pasti membuat kuping kaum syiah dan para ulama mereka memerah. 

Pasalnya, tamu dalam acara tersebut adalah salah seorang mantan ayatollah syiah, ulama hadis, fiqh dan ushul agama syiah sekaligus sebagai marja’ (ulama rujukan tertinggi) dalam komunitas syiah, yang kini berwajah sebagai seorang ulama sunni yang sangat handal.

Malam itu ia muncul untuk pertama kalinya secara resmi sebagai seorang ulama sunni, setelah sebelumnya ia kerap muncul sebagai ulama syiah yang berserban hitam ala syiah. 

Ini merupakan taqdir yang sangat luar biasa, sebab seorang marja’ dalam agama syiah adalah ulama tertinggi, semua fatwa dan ucapannya diamalkan laksana wahyu, dan tak perlu ditanya tentang dalil dari semua fatwanya. Derajat Marja’ ini, lebih tinggi dari derajat keulamaan lainnya dalam agama syiah, hatta derajat ulama mujtahid muthlaq ataupun presiden. 

Biasanya kalau sudah menjadi marja’ ; uang jutaan dolar dari hasil “khumus” (baca ; uang haram) akan memenuhi rekening banknya di Swiss, Jerman, Prancis atau Negara Eropa lainnya. Sebab semua uang khumus-nya kaum syiah, penempatannya diatur oleh seorang marja’ sekehendaknya. 

Dengan segala kekayaan dan tingginya derajat keulamaan ini, ternyata mantan marja’ syiah ini; Syaikh Al’Allaamah Abu ‘Ali Husain Al-Muayyid hafidzhahullah, meninggalkan pangkat tersebut dan lebih memilih untuk menyelamatkan keyakinannya.

Baginya pangkat, harta dan kedudukan tinggi tidak berarti jika aqidah dan keyakinannya tidak memiliki dasar dan pondasi yang benar dan abash. Inilah sebabnya, ia “melarikan diri” dari semua harta dan pangkat dunia demi meraih cahaya iman dalam bingkai mazhab ahli sunnah waljama’ah. 

Tidak tanggung-tanggung, ia rela meninggalkan semua kerabatnya, orangtuanya yang merupakan salah satu pemuka syiah dari keturunan marga Al-Kaadzhimiyah (marga tertinggi syiah) ia tinggalkan, demikian juga semua anaknya, dan istrinya, ia tinggalkan sebab mereka semua tidak menyetujui berpindahnya beliau ke mazhab sunni. 

Ibu beliau; anak salah satu marja’ syiah; ayatullah sayid hasan shadar. Sedangkan istrinya ; saudari dari dai syiah populer, Ammaar Al-Hakim. 

Ketika istrinya mengetahui ia telah masuk dalam mazhab sunni, ia meminta cerai dan berkata pada beliau ; “Saya tidak akan pernah rela hidup menjadi istri seorang suami yang mendoakan keridhaan terhadap Aisyah”

Mendengar itu, iapun menjawab ; “Demikian juga aku, tidak mungkin bisa hidup dengan seorang istri yang selalu saja mencaci maki ibundaku, Aisyah radhiyallaahu’anha”. 

Karena khawatir ditangkap atau dibunuh oleh otoritas dan rezim Iraq dan Iran, beliaupun melarikan diri ke Yordania, lalu pindah ke Libanon, dan sekarang telah hidup di Jeddah, Arab Saudi. Ia mendapatkan suaka dan keamanan di Arab Saudi, dan sekarang beliau menjadi salah satu ulama yang ditugaskan di Rabithah Al-‘Aalam Al-islamiy di Jeddah. 

Malam itu, di Wesal TV beliau mengisahkan perjalanan hidupnya, dari kecil, sewaktu menuntut ilmu di Hawzah Nejf, dan Qum, hingga menjadi ulama rujukan (marja’) syiah di Iran dan Iraq secara khusus, dan di dunia secara umum. 

Keterangan Foto :
  • Foto dengan jubah hitam dan serban hitam; sewaktu beliau masih menjabat sebagai ayatullah syiah.
  • Foto dengan jubah putih dan ghutrah; setelah beliau bertaubat dan kembali ke pangkuan Islam
Simak juga keterangan beliau di Wesal TV, beliau menceritakan kisah hidupnya sejak dari kecil tumbuh di keluarga Syiah, lalu menjadi ulama rujukan Syiah, dan bertaubat memeluk agama Islam yang murni.

Video di Youtube: Taubatnya Ayatullah Syiah

*****
Subhanakallohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin