Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

01 Desember 2015

FILE 336 : Pemimpin itu Gambaran dari Rakyatnya

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah, 
wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam     
Wa ba'du     
….  



Kalian Akan Dipimpin Oleh Orang yang Seperti Kalian 


         Disusun oleh:               
Syaikh Abdulmalik bin Ahmad bin al-Mubarak Ramadhani
 
 
Ungkapan ini bukan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meski sangat terkenal di tengah masyarakat[1]. Ungkapan ini adalah sebuah kata hikmah yang sering diungkapkan oleh para sejarawan dan ahli sosial. Seakan ungkapan tersebut sudah menjadi kaidah baku dalam masalah kepemimpinan dan didukung oleh penelitian terhadap sejarah. 

Faktanya, hampir semua jama'ah atau kelompok masyarakat itu dipimpin oleh orang yang sesuai dengan kwalitas kebaikan masyarakatnya. Jadi, setiap pemimpin adalah cerminan rakyatnya, sebagaimana ketika Allâh Azza wa Jalla menjadikan Fir’aun sebagai penguasa bagi kaumnya, karena mereka sama seperti Fir’aun. Allâh Azza wa Jalla berfirman :


فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ


Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. [Az-Zukhruf/43:54]

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menegaskan bahwa kaum Fir’aun adalah orang-orang fasik, oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla menjadikan orang yang seperti mereka sebagai penguasa mereka. 

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “al-khafîf[2] berarti orang dungu yang tidak beramal dengan ilmunya, dan ia selalu mengikuti hawa nafsunya.”[3]

Jadi sejatinya ungkapan “Kalian akan dipimpin oleh orang yang seperti kalian” adalah kata hikmah zaman dulu kala. 

Al-Ajlauni berkata, "Imam Thabrani rahimahullah meriwayatkan dari Hasan al-Bashri rahimahullah bahwa ia mendengar seorang laki-laki mendoakan keburukan untuk al-Hajjâj (salah seorang pemimpin yang kejam), lantas ia berkata, “Janganlah kamu lakukan itu! Kalian diberikan pemimpin seperti ini karena diri kalian sendiri. Kami khawatir, jika al-Hajjâj digulingkan atau meninggal, maka monyet dan babi yang akan menjadi penguasa kalian, sebagaimana telah diriwayatkan bahwa pemimpin kalian adalah buah dari amalan kalian dan kalian akan dipimpin oleh orang yang seperti kalian.[4] 

Perkataan beliau rahimahullah "telah diriwayatkan ..." menunjukkan bahwa kaidah ini sudah ada sejak dahulu, bahkan ada beberapa pernyataan dari kalangan assalafusshâlih tentang penisbatan kalimat ini kepada sebagian para Nabi terdahulu. Tentu ini sudah cukup menjadi bukti nyata akan keberadaan kaidah ini di zaman dahulu. Namun kaidah ini diketahui awal mulanya meskipun ia sudah menjadi kaidah baku dalam masalah kerakyatan dan kepemimpinan.

Telah dijelaskan di depan bahwa individu adalah sebab pertama munculnya bencana, juga telah dijelaskan bahwa semua orang itu akan merasakan buah dari amal perbuatannya. Diantara wujud dari buah amalannya itu adalah kondisi para pemimpin mereka. Karena kondisi mereka sesuai dengan prilaku masyarakat, sebagaimana peribahasa bahasa arab yang artinya kezhaliman penguasa itu disebabkan oleh kezhaliman yang dilakukan rakyat.


Dalil-Dalil Al-Quran Dan As-Sunnah Serta Pemahaman Para Salaf Menyangkut Kaidah Ini

Diantara dalil-dalil dari al-Qur'an dan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta pemahaman salaf mengenai kaidah ini adalah dalil-dalil yang telah disebutkan dalam pembahasan tentang (hukuman disebabkan oleh dosa), misalnya :


1. Firman Allâh Azza wa Jalla :


وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ


Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allâh memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) [As-Syûra/42:30]

Kezhaliman seorang pemimpin adalah musibah yang mengancam umat. Dan Allâh sudah memberitahukan bahwa penyebab musibah adalah kesalahan umat. 

2. Dalil lain untuk kaidah ini adalah kisah perjalanan hidup Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memfokuskan diri untuk mendakwahi masyarakat umum, tidak fokus pada jajaran konglomerat, pejabat, penguasa serta tokoh masyarakat. Cara dakwah semacam inilah yang merupakan metode berdakwahnya para Nabi.

Sebagai tambahan, saya sebutkan dalil-dalil lain dibawah ini :

3. Diriwayatkan oleh Abu as-Syeikh dari Manshûr bin Abi al-Aswad, ia berkata, “Aku bertanya kepada al-A’masy tentang firman Allâh Azza wa Jalla :


وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ


Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan [Al-An’âm/6:129]

Apa yang kau dengar dari perkataan mereka tentang ayat ini? Ia menjawab, “Aku mendengar mereka berkata, 'Jika manusia sudah rusak maka mereka akan dipimpin oleh orang-orang jahat mereka”[5]

4. Thurthusyi berkata[6] , “Aku masih mendengar orang-orang senantiasa menyuarakan, “Amal perbuatan kalian adalah pemimpin kalian” juga “Sebagaimana kalian begitulah pemimpin kalian” sampai akhirnya saya menemukan ayat yang senada dengan dua perkataan ini, yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :


وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ


Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan” [al-An’âm/6:129]

Orang dahulu juga mengatakan, “Kerusakan atau keburukan yang engkau ingkari pada zamanmu, itu sesungguhnya akibat dari tindakan dan perbuatanmu sendiri.” 

Abdul Mâlik bin Marwan rahimahullah juga pernah berkata, ‘Wahai rakyatku! Sungguh kalian tidak berlaku adil pada kami. Kalian menuntut kami berlaku seperti Abu Bakr dan Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhuma akan tetapi kalian tidak berlaku seperti keduanya. Kami memohon kepada Allâh agar setiap individu saling membantu.'

5. Qatâdah rahimahullah berkata, “Dahulu Bani Israil pernah mengatakan, 'Wahai Tuhan kami! Engkau di langit sementara kami di bumi, lalu bagaimana kami dapat mengetahui ridha dan murka-Mu?' Lalu Allâh Azza wa Jalla mengilhamkan kepada sebagian para Nabi-Nya “Kalau Aku angkat orang-orang baik sebagai pemimpin kalian, berarti Aku ridha kepada kalian. Kalau Aku angkat orang-orang jahat sebagai pemimpin kalian, berarti Aku murka kepada kalian.'

6. ‘Abidatu as-Salmaini berkata kepada Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, “Wahai Amirul Mukminin! Apakah gerangan Abu Bakr dan Umar Radhiyallahu anhuma, kenapa semua rakyat tunduk dan patuh kepada keduanya? Wilayah kekuasaan yang semula lebih sempit dari satu jengkal lalu meluas dalam kekuasaan mereka? Lalu saat engkau dan Utsman menggantikannya posisi keduanya, rakyat tidak lagi tunduk dan patuh terhadap kalian berdua, sehingga kekuasaan yang luas ini menjadi sempit buat kalian?

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menjawab, “Karena rakyat mereka berdua adalah orang-orang yang seperti aku dan Utsman, sementara rakyatku sekarang adalah kamu dan orang-orang yang sepertimu.”

7. Seorang laki-laki menulis sepucuk surat kepada Muhammad bin Yûsuf. Ia mengadukan perihal kekejaman para pemimpinnya. Muhammab bin Yusuf membalas surat itu dengan mengatakan, “Suratmu telah saya terima, dimana kau menceritakan tentang keadaan kalian saat ini, padahal tidak sepantasnya pelaku maksiat mengingkari akibat perbuatannya. Menurut hemat saya, keadaan kalian seperti ini tidak lain karena disebabkan oleh dosa-dosa kalian, wassalam.

8. Muhammad Haqqi saat menafsirkan makna firman Allâh di bawah ini :


قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ


Katakanlah, "Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. [Ali ‘Imrân/3:26]

Kandungan ayat ini adalah “Jika kalian adalah orang-orang yang taat dan patuh niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menjadikan orang yang penuh kasih sayang sebagai pemimpin kalian. Namun jika kalian pelaku kemaksiatan, niscaya Allâh akan menjadi orang jahat sebagai penguasa kalian."

Yang semakna dengan ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla :


وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا


Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allâh) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. [al-Isrâ/17: 16]

Allâh memberitahukan dalam ayat ini bahwa Dia memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang melampaui batas dalam kefasikan mereka untuk rakyat yang layak mendapatkan kehancuran. Dan tidak diragukan lagi bahwa mereka yang berhak mendapatkan kehancuran dan kebinasaan itu adalah mereka yang zhalim, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :


وَتِلْكَ الْقُرَىٰ أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَوْعِدًا


Dan (penduduk) negeri telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka” [Al-Kahfi/18:59]

Dengan pengertian seperti inilah sebagian Ulama salaf memahami ayat di atas. Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ka’ab al-Ahbar bahwa ia berkata , “Sungguh pada setiap masa pasti ada raja atau pemimpin yang dijadikan oleh Allâh sesuai dengan (keadaan) hati rakyatnya. Jika Allâh Azza wa Jalla menghendaki kebaikan untuk kaum tersebut, niscaya Dia akan mengutus yang melakukan perbaikan. Jika Allâh menghendaki kehancuran atas mereka niscaya Allâh akan mengutus mutrafa, " Kemudian beliau radliyallaahu 'anhu membaca ayat al-Qur'an yang terdapat dalam surat al-Isra' ayat ke-16 di atas. 

9. Sebagian Ulama berdalil dengan hadits riwayat Imam Muslim, no. 1819 dari Jâbir Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu berkata, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


النَّاسُ تَبَعٌ لِقُرَيْشٍ فِي الْخَيْرِ وَالشَّرِّ


Umat manusia itu mengikuti Quraisy dalam hal kebaikan dan keburukan[7]


Ali al-Qâri mengatakan, “Dikatakan, maknanya adalah jika mereka baik niscaya Allâh Azza wa Jalla akan memberikan kekuasaan kepada orang baik, jika mereka jahat niscaya Allâh akan memberikan kekuasan kepada orang jahat dari kalangan mereka, sebagaimana ungkapan "Perbuatan kalian adalah pemimpin kalian" juga "Sebagaimana keadaan kalian, begitulah keadaan pemimpin kalian.”[8] Pemahaman ini disampaikan oleh al-Munâwi dalam tafsir Faidhu al-Qadîr.[9]

Allâh telah memberikan kekuasaan kepada al-Hajjâj bin Yusuf dengan segala kezhalimannya. Ketika imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah melihat masyarakat membenci dan marah terhadap terhadap kekuasaan al-Hajjâj, beliau rahimahullah berusaha menasihati mereka dengan berdalilkan kaidah ini, “Al-Hajjâj adalah hukuman dari Allâh atas kalian yang belum pernah ada sebelumnya. Janganlah kalian merespon hukuman Allâh ini dengan pedang! Namun sambutlah hukuman ini dengan bertaubat kepada Allâh dan tunduk kepada-Nya! Bertaubatlah kalian, niscaya kalian akan terpelihara darinya!”[10]  

Dalam riwayat lain dengan sanad yang shahih bahwa beliau Imam al-Hasan al-Bashri menyampaikan kalimat ini ketika mendapati seseorang yang sedang memprovokasi masyarkat umum untuk melakukan pemberontakan dan penentangan terhadap kuasa kepemimpinan dan kepemerintahan.[11]

Perhatikanlah! Bagaimana para assalafusshalih mengaitkan kaidah ini dengan larangan memberontak dan menentang serta keluar dari pemerintah!

Imam Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan ini juga kepada rakyat yang berusaha melawan al-Hajjâj yang haus darah, sebagaimana telah dinukil oleh Hisyâm bin Hassan, beliau mengatakan, “Coba kalian hitung jumlah mayat yang dibunuh oleh al-Hajjâj secara zhalim. Jumlahnya mencapai 120.000 mayat.”[12]

Inilah yang disampaikan oleh Imam adz-Dzahabi dalam as-Siyar, “Dia adalah seorang yang zhalim, bengis, nâshibi (pembenci Ahlul Bait), keji dan haus darah…”[13] bahkan sebagian salaf sampai berani menjatuhkan vonis kafir kepada dia.[14]

Kesimpulannya, tujuan dari penjelasan ini adalah ingin menjelaskan gelar paling ringan disematkan untuk al-Hajjâj adalah ia seorang muslim yang suka membantai dan membunuh rakyat. Namun meski demikian, para Ulama tetap melarang rakyatnya untuk memberontak. Karena pada hakikatnya, naiknya dia sebagai penguasa adalah sebagai hukuman dari Allâh Azza wa Jalla akibat dari dosa-dosa rakyat. Diharapkan, rakyat segera menyadari dan segera bertaubat, bukan sebaliknya menyambut buah dari dosanya dengan mengangkat pedang (atau melakukan tindakan anarkis). Hendaklah ini menjadi perhatian kita, jika kita ingin mengikuti jejak as-salafus shalih.

Seorang Tabi’in dan seorang ahli ibadah bernama Abi al-Jalad al-Asdi rahimahullah mengatakan, “Kelak di hari kiamat para pemimpin akan dibangkitkan di hadapan halayak manusia dengan memikul dosa-dosa mereka”[15]

Dahulu seorang penasihat bernama Ibrahim ibn Hamsy berkata, “Ya Allâh, karena perbuatan tangan-tangan kami ini, Engkau berikan kekuasaan kepada seorang yang tidak mengenal dan tidak menyayangi kami.”[16]

Imam ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,[17] : “Ada sebagian para Nabi bani Israel menyaksikan apa yang diperbuat oleh raja Bukhtanashar, lantas iapun berkata, Karena perbutan tangan-tangan kami ini, Engkau berikan kekuasaan kepada seorang yang tidak mengenal-Mu dan tidak menyayangi kami.”

Bukhtanashar menyampaikan pertanyaan kepada Nabi Daniel, “Gerangan apa yang menjadikanku berkuasa penuh terhadap kaummu? Ia menjawab, “Karena besarnya kesalahanmu dan kezhaliman kaumku terhadap diri mereka.”

Ibnu al-Azrâq mengatakan, “Sudah menjadi keharusan bagi setiap masyarakat untuk selalu mencatat bahwa kekejaman para pemimpin dan pejabat disebabkan oleh tindakan dan perbuatan rakyat yang jauh dari jalan kebenaran, sebagaimana kandungan kaidah, “Sebagaimana keadaan kalian, begitulah penguasa kalian.” 

Dengan kaidah ini pula Ibnu al-Jazzâr as-Sirqisthi mejawab pertanyaan al-Musta’in bin Hud mengenai perihal keluhan rakyatnya dengan puisinya :

Kalian nisbatkan kezhaliman kepada para penguasa kalian
Sementara kalian tertidur (lupa) terhadap buruknya perbuatan kalian
Janganlah kalian nisbatkan kezhaliman kepada para penguasa kalian
Karena penguasa kalian akibat dari perbuatan kalian
Demi Allâh, seandainya kalian berkuasa walau sejenak
Tidak akan terbetik dalam benak kalian untuk berlaku adil [18]

Setelah menyampaikan kisah Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin memberikan pesan, “Beginilah dahulu kondisi para khalifah di masa-masa awal umat ini, ketika rakyatnya selalu menegakkan perintah Allâh Azza wa Jalla, takut terhadap siksa-Nya dan senantiasa berharap limpahan pahala-Nya. Namun ketika rakyat berubah dan mulai menzhalimi diri mereka, maka berubahlah pula sikap dan karakter permimpin-pemimpin mereka, Sebagaimana keadaan kalian, begitulah penguasa kalian.”[19]

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menyapaikan sebuah pesan yang sangat menyentuh, seakan belum pernah ada pesan ahli ilmu yang lebih menyentuh dari itu. Beliau rahimahullah mengatakan, 

"Renungilah hikmah Allâh Azza wa Jalla yang telah memilih para raja, penguasa dan pelindung umat manusia berdasarkan perbuatan rakyatnya, bahkan seakan perbuatan rakyat tergambar dalam prilaku pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat istiqamah dan lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun jika rakyat berbuat zhalim, maka penguasa mereka juga akan berbuat zalim pula. Jika menyebar tindakan penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula pemimpin mereka. Jika rakyat bakhil dan tidak menunaikan hak-hak Allâh Azza wa Jalla yang ada pada mereka, maka para pemimpin juga akan bakhil dan tidak menunaikan hak-hak rakyat yang ada pada mereka. Jika dalam bermuamalah, rakyat mengambil sesuatu yang bukan haknya dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka juga akan mengambil sesuatu yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan berbagai beban tugas yang berat. Semua yang diambil oleh rakyat dari orang-orang lemah maka akan diambil paksa oleh para pemimpin dari mereka. Jadi (karakter) para penguasa itu tampak jelas pada perilaku rakyatnya. 

Jelas bukan hikmah ilahiyah, mengangkat penguasa bagi orang jahat dan buruk perangainya kecuali dari orang yang sama dengan mereka. 

Ketika masa-masa awal Islam berisi generasi terbaik, maka demikian pula pemimpin-pemimpin kala itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga mulai rusak. Jelas tidak sejalan dengan hikmah Allâh, (jika) pada zaman ini kita dipimpin oleh pemimpin yang seperti Mu’âwiyah dan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, apalagi dipimpin oleh pemimpin sekelas Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu. Akan tetapi pemimpin kita itu sesuai dengan kondisi kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan sebab akibat dan tuntunan hikmah Allâh Azza wa Jalla.

Orang yang punya kecerdasan, apabila merenungkan masalah ini, maka dia akan menemukan bahwa hikmah ilahiyah itu senantiasa berjalan seiring dengan qadha' dan qadar, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, begitulah pula dalam masalah penciptaan dan perintah agama. 

Jangan sampai Anda menduga dan menyangka bahwa ada diantara qadha dan taqdir Allâh yang tidak mengandung hikmah. Bahkan semua qadha dan qadar Allâh itu terjadi sesuai dengan hikmah dan kebenaran yang paling sempurna. Tetapi, karena keterbatasan dan kelemahan akal manusia, sehingga mereka tidak sanggup memahaminya, sebagaimana mata kelelawar karena lemahnya ia tidak sanggup melihat sinar matahari. Akal-akal yang lemah ini, apabila berjumpa dengan kebatilan, akan menerima dan menyebarkannya, sebagaimana kelelawar yang terbang dan pergi saat kegelapan malam telah datang.

Cahaya siang menyilaukan pandang kelelawar
Pantas jika ia ditemani oleh gelap malam yang gulita[20].

Oleh karena itu, merupakan sebuah kesalahan jika kezhaliman penguasa Muslim di atasi dengan cara pemberotakan dan perlawanan, bahkan agama Islam yang mulia ini senantiasa menyerukan untuk taat selama ia tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Jika ia memerintahkan kepada kemaksiatan maka rakyat tidak disyari'atkan untuk mentaatinya, sebagaimana tidak disyari'atkan untuk memberontak dan melawannya meskipun penguasa tersebut tergolong orang jahat. 

Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 


يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمِانِ إِنْسِ قَالَ : قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ – يَارَسُوْلَ اللهِ- إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ ، وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ، وَأَخَذَ مَالَكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِع


Nanti setelahku, akan ada pemimpin-pemimpin yang tidak mengambil petunjuk dari petunjukku dan tidak pula melaksanakan sunnahku. Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang berhati setan berbadan manusia." Aku berkata, "Wahai Rasûlullâh, apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkan zaman seperti itu?" Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Dengarlah dan ta'atlah kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu.Tetaplah mendengar dan ta'at kepada mereka."[21]


Muhammad Haqqiy mengatakan ketika menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ


Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. [An-Nisa'/4:59]

Dia mengatakan, "Ketahuilah bahwa para pemimpin itu sesuai dengan perbuatan para rakyatnya, baik dan buruknya. Diriwayatkan bahwa ada yang mengatakan kepada al-Hajjâj bin Yûsuf, 'Kenapa kamu tidak berbuat adil sebagaimana Umar padahal engkau mendapati pemerintahan beliau Radhiyallahu anhu ? Apakah engkau tidak melihat keadilan dan kebaikannya?' Ia menjawab, 'Jadilah kalian seperti Abu Dzar Radhiyallahu anhu, maka aku akan seperti Umar,'."

Jika dalam kondisi seperti di atas tidak disyari'atkan memberontak lalu bagaimana dengan keadaan kita? 


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVIII/1436H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Silsilah ad-Dhâ’ifah karya Syaikh Al-Albâni (320)
[2]. Majmû’al-Fatâwâ (16/337)
[3]. Kasyfu al-Khafâ (1/148)
[4]. Ad-Durru al-Mantsûr milik as-Suyuthi (3/358)
[5]. Sirâjul Mulûk (2/467)
[6]. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim (6/30), dan Baihaqi dalam Syu'abul Imân (7389), dan Abu Amr ad-Dani dalam as-Sunan al-Wârid fil Fitan (299)
[7]. HR Muslim (1819)
[8]. Mirqatul Mafâtih Syarh Misykâtul Misbâh (11/131)
[9]. Faidhul Qadîr (1/265)
[10]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam al-Uqûbât, no. 52 dengan sanad shahih dan dalam satu riwayat dalam Thabaqât Ibnu Sa'ad, 7/164 dan dalam kitab Jumal min Ansâbil Asyrâf, Bilâdzri (7/394) dengan sanad yang shahih 
[11]. Dinukilkan dalam kitab Thabaqât Ibnu Sa’ad (7/164), dan dalam kitab Jumal min Ansâbil Asyrâf karya Bilâdzri (7/394) dengan sanad yang shahih
[12]. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan sanad yang shahih
[13]. Terdapat dalam kitab as-Siyar karya ad-Dzahabi (4/343), dishahihkan oleh Imam al-Albâni. 
[14]. Lihatlah tentang ini dengan sanad shahih dari Thâwus pada kitab al-Amâli fi Atsâri Shahâbah, Abdurrazaq; kitab al-Imân, karya Ibnu Abi Syaibah; at-Thabaqat, ibnu Sa'ad; Syarhu Ushul I'tiqad, al-Lalika'i.  
[15]. Dinukilkan oleh ad-Dani dalam as-Sunanul Wâridah fil Fitan (300), dan Ibnu ‘Asakir dalam Târîkh Dimasyqa (39/477)
[16]. Dinukilkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab (7390)
[17]. Ad-Dâ' wad Dawâ (75) 
[18]. Badâ'ius Sulûk Fi Thabâ'iul Mulûk (1/235)
[19]. Khutbah yang kesepuluh dalam Kitab Dhiyâ’ul Lâmi’
[20]. Miftâh Dâris Sa’âdah (1/253)
[21]. HR. Muslim (1847)

*****

Sumber: almanhaj.or.id


Subhanakallohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin

24 November 2015

FILE 335 : Kemajuan Teknologi dalam Pandangan Islam

Bismillaahirrohmaanirrohiim            
Walhamdulillaah, 
wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Muhammad Shollalloohu 'alaihi  wa 'alaa aalihi  wa shahbihi  wa sallam     
Wa ba'du     
…. 

  


Tantangan Teknologi Modern Bagi Seorang Muslim 

         Disusun oleh:             
Ust. Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
 

Muqaddimah 

Pada era modern ini,
kemajuan teknologi adalah sebuah fenomena alam nyata yang tak terhindarkan dari lini kehidupan umat manusia. Bahkan seakan-akan alat-alat modern tersebut telah merasuk ke jantung setiap orang; lintas budaya, suku, bangsa, dan agama. Perkembangan dunia teknologi pada zaman sekarang sangat menggeliat bak jamur di musim hujan. Berbagai alat modern bermunculan menawarkan kemudahan yang sangat mencengangkan berupa internet, handphone/smartphone, TV, transportasi modern, dan sebagainya yang sekarang menghiasi perkantoran, sekolah, rumah, dan lingkungan kita. 

Bagaimana Islam memandang kemajuan teknologi ini? Apakah Islam mampu menjawab perkembangan modern ini? Bagaimana sikap seorang muslim di tengah kemajuan teknologi sekarang ini?! Inilah yang akan menjadi tema pembahasan kita kali ini. Semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagi kita semua. 


Kesempurnaan Islam

Di antara nikmat terbesar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada umat ini adalah disempurnakannya agama ini sebagaimana di dalam firman-Nya (yang artinya): 

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagi kalian. (QS al-Ma‘idah [5]: 3) 

Tidaklah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam meninggalkan dunia ini melainkan telah meninggalkan kaum Muslimin di jalan yang terang-benderang, malamnya seperti siangnya. Semua permasalahan yang dibutuhkan oleh hamba telah dijelaskan di dalam syari’at Islam, sampai-sampai permasalahan yang dipandang remeh oleh kebanyakan manusia seperti adab buang hajat dan semisalnya. 

Al-Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan kenikmatan Allah yang terbesar kepada umat ini, di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak membutuhkan agama selainnya dan (tidak membutuhkan) nabi selain nabi mereka—oleh karena itu, Allah menjadikannya sebagai penutup para nabi dan mengutusnya kepada jin dan manusia—maka tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang dia haramkan, tidak ada agama selain apa yang dia syari’atkan, dan setiap apa yang dia beritakan adalah benar dan jujur, tiada kedustaan di dalamnya.”[1] 

Demikian juga al-Imam asy-Syafi’i, beliau sangat meyakini kesempurnaan agama Islam. Alangkah bagusnya ucapan al-Imam asy-Syafi’i tatkala mengatakan:
.

فَلَيْسَتْ تَنْزِلُ فِيْ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ دِيْنِ اللهِ نَازِلَةٌ إِلَّا وَفِيْ كِتَابِ اللهِ الدَّلِيْلُ عَلَى سَبِيْلِ الْهُدَى فِيْهَا
 
“Tidak ada satu pun masalah baru yang menimpa seorang yang memiliki pengetahuan agama, kecuali di dalam al-Qur‘an telah ada jawaban dan petunjuknya.”[2]
 
Kemudian al-Imam asy-Syafi’i membawakan beberapa dalil untuk menguatkan ucapannya di atas, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):

Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur‘an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS an-Nahl [16]: 89)

Alangkah menariknya apa yang diceritakan oleh asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin bahwa pada suatu kali ada seorang Nasrani datang kepada seorang ulama untuk mencela al-Qur‘an. Di waktu itu, mereka berdua berada di ruang makan. 

Orang Nasrani berkata, “Katanya al-Qur‘an itu menjelaskan segala sesuatu, sekarang adakah keterangan dalam al-Qur‘an tentang cara membuat makanan ini?” 

Orang alim tersebut akhirnya memanggil pemilik ruang makan seraya mengatakan, “Tolong jelaskan kepada kami, bagaimana cara membuat makanan ini.” 

Lantas, sang pemilik ruang makan pun menjelaskan secara terperinci. Setelah selesai, sang alim tersebut berkata (kepada orang Nasrani), “Demikianlah al-Qur‘an juga menjelaskan.” 

Orang Nasrani itu kaget dan heran seraya mengatakan, “Kok bisa begitu?” 

Alim tadi mengatakan, “Ya, karena Allah berfirman (yang artinya):

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (QS an-Nahl [16]: 43)

Di dalam ayat ini, Allah menjelaskan kunci ilmu segala sesuatu adalah dengan menanyakan kepada ahlinya.”[3]
 
Asy-Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi memiliki sebuah risalah yang sangat berharga berjudul al-Islam Dinun Kamil (Islam Adalah Agama yang Sempurna). Di dalam kitab tersebut, beliau menyebutkan sepuluh contoh permasalahan sebagai bukti kesempurnaan agama Islam. Kita cukupkan di sini dua contoh saja yang marak dibicarakan akhir-akhir ini: 

1. Masalah ekonomi 

Al-Qur‘an telah menjelaskan kaidah-kaidah dalam masalah ekonomi, sebab perekonomian itu kembali kepada dua permasalahan: 

a) Pintar di dalam mencari harta

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membuka lebar-lebar segala pintu untuk mencari harta selagi tidak melanggar agama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS al-Jumu’ah [62]: 10) 

b) Pintar di dalam membelanjakan harta 

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk hemat dan tidak boros dalam membelanjakan harta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyifatkan hamba-hamba-Nya yang beriman (yang artinya):

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS al-Furqan [25]: 67) 

2. Masalah politik 

Al-Qur‘an telah menjelaskan masalah-masalah politik secara gamblang. Hal itu karena politik yang bermakna pengaturan negara terbagi menjadi dua macam: 

a) Politik luar negeri 

Politik ini kembali kepada dua sumber utama:

Pertama: Mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi serangan musuh/penjajah. 

Tentang hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya):
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi”. (QS al-Anfal [8]: 60)

Kedua: Persatuan yang kuat dalam kekuatan tersebut. 

Tentang hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya):
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai”. (QS Ali Imran [3]: 103) 

b) Politik dalam negeri 

Politik ini kembali kepada penyebaran keamanan dalam negeri, membasmi kezhaliman, dan memberikan hak kepada pemiliknya. Dan sumber politik dalam negeri ada dalam enam perkara yang semuanya telah dijelaskan di dalam Islam secara terperinci:
  1. Agama. Oleh karenanya, Islam memerintahkan tauhid dan melarang syirik serta menghukum orang yang murtad karena agama bukan permainan.
  2. Jiwa. Oleh karenanya, Islam melarang pembunuhan dan bunuh diri serta memberikan hukuman dan ancaman yang keras bagi pelakunya.
  3. Akal. Oleh karenanya, Islam melarang minum khamar (setiap yang memabukkan) karena hal itu merusak akal.
  4. Nasab. Oleh karenanya, Islam menganjurkan pernikahan dan melarang perzinaan.
  5. Harta. Oleh karenanya, Islam melarang pencurian, perampokan, dan mengambil harta orang lain.
  6. Kehormatan. Oleh karenanya, Islam melarang untuk menuduh orang lain tanpa bukti.[4]
sf

Islam dan perkembangan teknologi

Sebagai agama yang sempurna dan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, Islam sangat mendukung perkembangan teknologi dan tidak menolaknya. Maka, sungguh dusta ucapan sebagian kalangan tatkala berceloteh, “Kita sekarang, hidup di zaman teknologi modern, manusia sudah sampai ke bulan(!), akankah kita harus kembali kepada manhaj salaf dan zaman unta lagi?!”

Wahai miskin, siapakah yang mengatakan bahwa kembali ke manhaj salaf itu berarti mengharamkan alat-alat teknologi modern?! Tidakkah kalian membedakan antara keduanya?! 

Ketahuilah bahwa kembali kepada Islam yang murni bukan berarti mengharamkan teknologi modern yang tidak bertentangan dengan syari’at, bahkan bila hal tersebut digunakan di dalam kebaikan maka membuahkan pahala.[5]
 
Di antara contohnya adalah alat transportasi modern. Pada zaman sekarang, kita mendapati beberapa kendaraan modern yang tidak ada pada zaman Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dahulu seperti mobil, kereta, pesawat, dan sebagainya. Apakah hal ini disebutkan di dalam al-Qur‘an? Di dalam surat an-Nahl yang disebut juga dengan surat an-Ni’am (nikmat-nikmat)[6], Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal/bagal (peranakan kuda dengan keledai), dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS an-Nahl [16]: 8)

Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan nikmat-Nya berupa kendaraan/alat transpor, yang terbagi menjadi dua macam: 

Pertama: Jenis kendaraan yang disaksikan ketika turunnya ayat berupa kuda, keledai, dan bighal.

Kedua: Jenis kendaraan yang tidak mereka saksikan saat itu, tetapi Allah mengabarkan bahwa Dia akan menciptakannya setelah mereka. Hal ini telah terbukti sekarang dengan adanya alat-alat transpor yang ajaib seperti pesawat, kereta, mobil, dan sebagainya.[7]
 
Asy-Syaikh Muhammad asy-Syinqithi berkata, “Pembagian yang benar mengenai sikap di dalam menghadapi penemuan modern Barat terbagi menjadi empat macam:
  1. Meninggalkan penemuan modern, baik yang bermanfaat dan berbahaya.
  2. Menerima penemuan modern, baik yang bermanfaat dan berbahaya.
  3. Menerima yang berbahaya dan meninggalkan yang bermanfaat.
  4. Mengambil yang bermanfaat dan meninggalkan yang berbahaya.
Dengan pembagian penemuan modern menjadi empat ini, ternyata kita dapati bahwa pertama, kedua, dan ketiga adalah batil tanpa diragukan lagi, berarti yang benar hanya satu yaitu keempat.”[8]
 
Dan penemuan modern seringkali mengalami perkembangan dengan tiga fase:
  1. Tahsiniyyat yaitu bersifat kebutuhan tersier (mewah) seperti mobil.
  2. Hajiyyat yaitu bersifat sekunder seperti rekreasi.
  3. Dharuriyyat yaitu bersifat primer (pokok, harus dipenuhi) seperti sandang dan pangan.
Contohnya lampu listrik dan handphone/smartphone, awal munculnya adalah kebutuhan mewah, hanya orang-orang tertentu saja yang memilikinya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, pada saat ini mungkin keduanya merupakan kebutuhan primer bagi sebagian orang, tak bisa aktivitas tanpa listrik dan handphone/smartphone.
.

Argumentasi hukum asal alat teknologi


Hukum asal alat teknologi modern dan memanfaatkannya dalam kebutuhan dan kebaikan adalah boleh karena ini termasuk urusan dunia, sampai ada dalil yang melarangnya seperti mengandung kerusakan yang lebih besar. Berikut beberapa argumennya: 

1. Asal segala urusan dunia hukumnya boleh  

Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat agung, yaitu bahwa asal semua urusan dunia adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya dan asal semua ibadah adalah terlarang sampai ada dalil yang mensyari’atkannya.

Banyak sekali dalil-dalil al-Qur‘an dan hadits yang menunjukkan kaidah berharga ini, bahkan sebagian ulama menukil ijma’ (kesepakatan) tentang kaidah ini.[9] Cukuplah dalil yang sangat jelas tentang masalah ini adalah sabda Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam:


«إِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَشَأْنُكُمْ، وَإِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ أَمْرِ دِيْنِكُمْ فَإِلَيَّ»
  

“Apabila itu urusan dunia kalian maka itu terserah kalian, dan apabila urusan agama maka kepada saya.”[10]
 
Bila ada yang mengatakan: Bagaimana apabila alat dunia tersebut ditemukan oleh orang nonmuslim? 

Jawabnya: Sekalipun begitu, bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dahulu menerima strategi membuat parit sebagaimana usulan Salman al-Farisi ketika Perang Khandaq?! Jadi, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menerima strategi tersebut walaupun asalnya adalah orang-orang kafir dan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengatakan bahwa strategi ini najis dan kotor karena berasal dari otak orang kafir. Demikian juga tatkala Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, beliau meminta bantuan seorang penunjuk jalan yang kafir bernama Abdullah al-Uraiqith. Semua itu menunjukkan bolehnya mengambil manfaat dari orang-orang kafir di dalam masalah dunia dengan tetap mewaspadai virus agama mereka. Dalam kata hikmah Arab dikatakan:
:

اجْتَنِ الثِّمَارَ وَأَلْقِ الْخَشَبَةَ فِي النَّارِ
 
“Ambilah buahnya dan buanglah kayunya ke api.”[11]
 
Maka dari itu, tidak selayaknya seorang hamba untuk menolak nikmat Allah tanpa alasan syar’i dan tidak halal baginya untuk mengharamkan sesuatu tanpa dalil. 

2. Agama itu dibangun di atas kemaslahatan 

Perlu diketahui bahwa syari’at yang suci dan mudah ini dibangun di atas kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Barang siapa meneliti sikap para nabi dan kisah-kisah mereka yang diceritakan di dalam al-Qur‘an, niscaya dia akan mengetahui dengan yakin tanpa sedikit pun keraguan.[12]
 
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Berdasarkan kaidah ini, semua ilmu dan penemuan modern yang bermanfaat bagi kehidupan manusia baik untuk urusan agama maupun dunia, maka hal itu termasuk yang diperintahkan dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.”[13]
 
Sebagai contoh, mikrofon sangat membawa kemaslahatan yang sangat besar dan banyak sekali dalam penyebaran syi’ar-syi’ar Islam. Ada kisah yang menarik. Pada suatu ketika, ada seorang berkacamata mengatakan kepada asy-Syaikh as-Sa’di dengan nada mengingkari, “Mikrofon adalah perkara baru, buatan nonmuslim, kita tidak perlu menggunakannya.” 

Mendengarnya, asy-Syaikh as-Sa’di mendekati orang tersebut lalu melepas kacamatanya, kemudian beliau bertanya, “Apakah kamu bisa melihat dengan jelas?” Jawabnya, “Tidak.” Syaikh pun lalu mengembalikan kacamatanya, kemudian bertanya, “Kalau sekarang bagaimana?” Jawabnya, “Kalau sekarang, saya bisa melihat dengan jelas.” 

Ketika itu, beliau berkata, “Wahai saudaraku, bukankah kamu tahu bahwa kacamata dapat membuat sesuatu yang jauh menjadi dekat dan memperjelas pandangan, demikian juga halnya mikrofon, ia memperjelas suara, sehingga seorang yang jauh dapat mendengar, para wanita di rumah juga bisa mendengar dzikrullah dan majelis-majelis ilmu. Jadi, mikrofon merupakan kenikmatan Allah kepada kita, maka hendaknya kita menggunakannya untuk menyebarkan kebenaran.”[14] Bahkan beliau pernah berkhutbah tentang nikmat mikrofon yang semestinya disyukuri. 

3. Sarana tergantung pada tujuannya 

Ini juga merupakan kaidah yang sangat penting dan berharga sekali.[15] Seperti hukum menaiki pesawat terbang untuk berangkat haji, menggunakan bom, tank, dan alat-alat canggih/modern untuk jihad, dan sebagainya. Alat-alat tersebut tidak diragukan tentang bolehnya karena alat-alat tersebut merupakan sarana menuju ibadah yang mulia. 

4. Kesulitan membawa kemudahan 

Sesungguhnya syari’at Islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan al-Imam asy-Syathibi berkata, “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti.”[16]
 
Syari’at seluruhnya mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan al-Imam Syafi’i tatkala berkata:
.

بُنِيَتِ الأُصُوْلُ عَلَى أَنَّ الأَشْيَاءَ إِذَا ضَاقَتْ اتَّسَعَتْ
 
“Kaidah syari’at itu dibangun bahwa segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas.”[17]
 
Tidak diragukan bahwa alat teknologi modern pada zaman kita sekarang merupakan kebutuhan yang penting dalam kebutuhan manusia, sehingga terasa sulit bagi manusia untuk melakukan aktivitas mereka tanpa adanya mikrofon disebabkan luasnya masjid dan banyaknya jama’ah. 

5. Tidak diingkari perubahan hukum dengan perubahan zaman


لَا يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الْأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الزَّمَانِ وَالْمَكَانِ
 
“Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan tempat dan waktu.”

Kaidah ini telah disepakati oleh para ulama sebagaimana dikatakan al-Qarrafi di dalam al-Ihkam fi Tamyiz Fatawa ’anil Ahkam hlm. 232. Namun, kaidah ini tidak berlaku secara umum begitu saja, karena hukum itu terbagi menjadi dua:

Pertama: Hukum syari’at yang sandarannya adalah dalil-dalil yang jelas dari al-Qur‘an, hadits, dan ijma’. Maka hal ini tidak mengalami perubahan menurut zaman dan tempat.

Kedua: Hukum syari’at yang sandarannya adalah ijtihad berupa kemaslahatan, qiyas, dan adat. Inilah yang mengikuti perubahan sesuai dengan perubahan sarana yang ada. 

Al-Qarrafi berkata, “Jumud terhadap dalil semata merupakan kesesatan dalam agama dan kejahilan dengan tujuan pokok syari’at yang dipahami oleh para ulama salaf.” [18]

Di antara contohnya:
  1. Hukum jual beli salam dalam bejana. Para ulama dahulu melarangnya, sedangkan para ulama sekarang membolehkannya karena kemajuan alat cetak barang sekarang sesuai pesanan pembeli.
  2. Hukum bedah perut ibu hamil yang meninggal dunia untuk menyelamatkan bayinya. Para ulama dahulu banyak yang melarangnya, sedangkan ulama sekarang yang membolehkannya dengan prediksi kuat berhasil karena kemajuan alat kedokteran sekarang.
  3. Hukum dan undang-undang pemerintah demi kemaslahatan manusia yang tidak bertentangan dengan agama, seperti rambu-rambu lalu lintas, pencatatan nikah di KUA, dan lain-lain.

Bolehkah memanfaatkan teknologi penemuan orang kafir?

Bila ada yang mengatakan: Bagaimana apabila alat dunia tersebut ditemukan oleh orang nonmuslim. Apakah tetap boleh ataukah tidak boleh karena termasuk larangan tasyabbuh dengan orang kafir?

Jawabnya: Hukum asalnya adalah boleh sekalipun hasil penemuan kaum kafir. Bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dahulu menerima strategi membuat parit sebagaimana usulan Salman al-Farisi Radhiallahu’anhu ketika Perang Khandaq?! Jadi, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menerima strategi tersebut walaupun asalnya adalah dari orang-orang kafir dan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengatakan bahwa strategi ini najis dan kotor karena berasal dari otak orang kafir. 

Demikian juga, tatkala Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, beliau meminta bantuan seorang penunjuk jalan yang kafir bernama Abdullah al-Uraiqith. Semua itu menunjukkan bolehnya mengambil manfaat dari orang-orang kafir dalam masalah duniawi dengan tetap mewaspadai virus agama mereka. 

Dalam kata hikmah Arab dikatakan:

اجْتَنِ الثِّمَارَ وَأَلْقِ الْخَشَبَةَ فِي النَّارِ
 
“Ambillah buahnya dan buanglah kayunya ke api.”[19]
 
Maka dari itu, tidak selayaknya seorang hamba menolak nikmat Allah tanpa alasan syar’i dan tidak halal baginya untuk mengharamkan sesuatu tanpa dalil.

Memanfaatkan dan meniru (pembuatan) mobil, pesawat terbang, alat-alat sains, dan teknologi lainnya bukanlah termasuk tasyabbuh. Sebab, apa yang mereka buat dan kembangkan tersebut hakikatnya bukanlah ciri khas (kekhususan) yang mereka miliki. Siapa saja baik muslim maupun kafir yang bersungguh-sungguh mempelajari dan mengembangkannya akan mampu untuk membuatnya. 

Demikian pula, mengimpor barang-barang tersebut dari negeri-negeri kafir dan menggunakannya bukanlah bagian dari tasyabbuh karena Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sendiri pernah menggunakan produk orang-orang kafir baik pakaian, bejana, dan sebagainya, sebagaimana pula beliau pernah menerima hadiah dari Muqauqis, seorang raja Mesir yang beragama Nasrani. Namun, bila penggunaan produk mereka diiringi dengan penerapan kebiasaan, tata cara, dan aturan yang merupakan ciri khas dari mereka (orang-orang kafir) maka yang demikian dilarang dan termasuk tasyabbuh. 

Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin Rahimahullahuta’ala berkata, “Yang dilakukan oleh musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kita yaitu orang-orang kafir terbagi menjadi tiga bagian: (1) ibadah-ibadah, (2) adat-adat kebiasaan, dan (3) keahlian-keahlian dan pekerjaan-pekerjaan.

Adapun ibadah-ibadah maka termasuk yang dimaklumi bahwa tidak boleh bagi seorang muslim pun untuk menyerupai mereka di dalam ibadah-ibadah orang-orang kafir. Barang siapa menyerupai mereka di dalam ibadah-ibadah mereka, maka sungguh dia berada di atas bahaya yang besar, maka kadang-kadang hal itu membawa kepada kekufurannya dan keluarnya dia dari Islam. 

Adapun adat-adat kebiasaan seperti pakaian dan yang lainnya, maka sesungguhnya diharamkan menyerupai mereka di dalamnya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, ‘Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka.’ 

Adapun teknologi-teknologi dan keahlian-keahlian yang di dalamnya ada maslahat untuk umum, maka tidak apa-apa kita mempelajari dari apa-apa yang mereka buat dan mengambil faedah darinya, dan ini bukanlah termasuk bab tasyabbuh, melainkan termasuk bab keikutsertaan di dalam pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat yang pelakunya tidak dianggap bertasyabbuh dengan mereka.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa‘il Ibn Utsaimin 3/40)
.

Etika seorang muslim

Di tengah gegap gempita kemajuan teknologi modern, terkadang iman seorang menjadi goyah dan hati menjadi terombang-ambing. Bagaimana sikap seorang muslim di tengah kemajuan teknologi? 

1. Mempelajari ilmu dan hukumnya 

Al-Imam al-Bukhari pernah menuturkan “Bab Ilmu sebelum berucap dan berbuat”. Sebab itu, seorang mukmin sebelum menggunakan alat-alat teknologi, hendaknya mempelajari terlebih dahulu apakah alat tersebut boleh digunakan ataukah tidak. Contoh bisnis MLM, bisnis online, penggunaan Facebook, dll. Maka dari itu, pelajarilah terlebih dahulu gambaran masalahnya dan status hukumnya. Dahulu, dikatakan:


الْحُكْمُ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ
 
“Menghukumi sesuatu adalah cabang dari gambaran permasalahannya.”

Dan setiap orang yang hendak mempelajari hukum suatu masalah, hendaknya dia menempuh beberapa langkah berikut:
  1. Mengetahui gambaran masalah secara jelas
  2. Mencari dalil atau kaidah yang sesuai dengan hukum masalah
  3. Mempraktikkan hukum syar’i tersebut pada permasalahan
Asy-Syaikh as-Sa’di berkata, “Semua permasalahan yang muncul pada setiap waktu harus diketahui gambarannya secara jelas terlebih dahulu. Apabila telah diketahui hakikatnya, sifatnya, dan gambarannya secara gamblang, maka setelah itu dikembalikan kepada nash-nash syar’i dan kaidah-kaidahnya, karena syari’at mampu memberikan solusi bagi setiap problematik yang menimpa masyarakat atau pribadi, sebuah solusi yang akan diterima oleh akal yang sehat dan fitrah yang bersih. Dan seorang yang cerdas hendaknya mempelajari permasalahan dari setiap sudutnya, baik dari tinjauan kenyataan di lapangan dan hukum syara’-nya.”[20]
 
Dan apabila seseorang tidak mampu untuk sampai kepada hukumnya, baik karena belum memahami gambaran permasalahan secara jelas atau belum menemukan dalilnya, maka hendaknya dia berhenti terlebih dahulu. Ibnu Abdil Barr berkata, “Barang siapa (mendapat) kesulitan tentang sesuatu maka hendaknya berhenti, tidak boleh baginya untuk menisbahkan kepada Allah suatu ucapan dalam agama-Nya padahal tidak ada dalilnya. Hal ini tiada perselisihan di kalangan ulama umat semenjak dahulu hingga sekarang. Perhatikanlah.”[21]
 
Bila kita perhatikan sejarah, niscaya kita akan menemukan beberapa pendapat tentang masalah kontemporer yang hilang ditelan oleh sejarah dikarenakan pendapat tersebut tidak dibangun di atas ilmu tentang agama dan gambaran permasalahan secara jelas. Berikut beberapa contoh tentangnya:
  1. Qahwah (kopi). Awal munculnya kopi, ia banyak diperdebatkan oleh ulama, bahkan banyak tulisan tentangnya. Ada yang mengharamkannya karena menganggapnya memabukkan dan ada yang menghalalkan karena asal minuman adalah halal.[22] Kemudian dengan berjalannya waktu, pendapat yang mengharamkan itu hilang dan para ulama pun bersepakat tentang halalnya kopi.[23]
  2. Rokok. Awal munculnya rokok, sebagian ulama ada yang membolehkannya karena ada manfaatnya dan belum jelas bahayanya seperti asy-Syaukani di dalam Irsyad Sa‘il ila Dala‘il Masa‘il. Adapun pada zaman kita sekarang, bisa dikatakan bahwa ulama telah bersepakat tentang haramnya rokok karena bahayanya sangat nyata, bahkan pada bungkusnya sendiri tertulis “Rokok Membunuhmu”.
  3. Radio. Awal munculnya radio, ada sebagian orang yang mengharamkannya seperti Khiyar ibn Muhammad Fadhil di dalam kitabnya ar-Raddu ’ala Man Yahkumu bi Radiyu fil Masa‘il Syar‘iyyah. Namun, pendapat tersebut hilang ditelan sejarah[24], tiada berguna kecuali sejarah perbedaan pendapat di dalam masalah ini.
  4. Telepon. Awal munculnya telepon, ada sebagian yang mengharamkan seperti Ibrahim ibn Musa di dalam kitabnya ad-Dalil al-Wadhih fir Raddi ’ala Man Ajaza al-A’mal bi Tilfun fi Shaum wal Ifthar. Namun, pendapat tersebut juga hilang ditelan zaman.[25]
2. Menguatkan iman dan tidak terjebak dalam godaan setan 

Tidak dimungkiri lagi bahwa alat-alat modern tersebut ibarat sebuah pisau, ada sisi positif dan sisi negatifnya tergantung pada penggunaannya. Islam, pada dasarnya, tidak melarang perkembangan dan kemajuan teknologi karena memang hukum asalnya boleh. Namun, harus disadari bahwa para setan dari jenis jin dan manusia tidak akan tinggal diam. Mereka (para setan itu) berusaha menjadikan alat-alat teknologi tersebut tersebut guna memangsa korban-korban untuk dirusak iman dan akhlak mereka. Sungguh betapa banyak kerusakan dan kemaksiatan yang sumbernya adalah internet dan Facebook.

Oleh karenanya, sebagai seorang muslim yang sejati, hendaknya kita menempatkan alat-alat teknologi ini untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebagai lahan pahala bagi kita berupa dakwah, silaturrahmi, dan sebagainya, bukan malah menjadikannya sebagai alat ghibah, fitnah, provokasi, gosip, pelampiasan nafsu berahi, dan sebagainya. 

Hendaknya kita ingat bahwa kemudahan seorang di dalam maksiat bukanlah pertanda bahwa Allah meridhainya. Namun, kita harus menyadari bahwa semua adalah ujian dan cobaan akan keimanan kita kepada Allah, apakah kita benar-benar jujur hanya takut kepada-Nya ataukah hanya sekadar pengakuan belaka tanpa bukti yang nyata. Faedah ini tersirat di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): 

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Barang siapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya adzab yang pedih. (QS al-Ma‘idah [5]: 94) 

Selayaknya bagi seorang muslim yang mau menggunakan alat teknologi untuk mengetahui rambu-rambu syari’at dalam hal ini agar tidak terjerumus dalam bujuk rayu setan yang mengajak pengikutnya untuk ramai-ramai bersama masuk neraka. 

3. Mensyukurinya dan menjadikannya sebagai ladang pahala 

Hendaknya seorang yang menggunakan alat-alat teknologi modern meluruskan niatnya terlebih dahulu, dia benar-benar ingin menjadikannya untuk sesuatu yang bermanfaat. Jangan sampai dia terjerat dalam rayuan dan jerat-jerat setan. 

Ingatlah ucapan seorang ulama, “Setiap nikmat yang tidak semakin menjadikan dirimu dekat dengan Allah, maka itu adalah sebuah bencana.” Dan ucapan sebagian mereka juga, “Jika engkau dalam kenikmatan maka jagalah baik-baik, karena dosa bisa melenyapkannya.”

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membagi potensi dan kelebihan kepada manusia berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Ada sebagian hamba yang diberi kelebihan ilmu agama, ada yang diberi kelebihan harta, ada yang diberi kelebihan ahli dalam bidang elektronik, ada yang diberi kelebihan ahli di bidang kedokteran. Semua itu sangatlah indah jika disinergikan untuk menolong agama Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): 

Katakanlah, “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka Rabb-mu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS al-Isra‘ [17]: 84) 

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

«اعْمَلُوْا فَكُلُّ مٌيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ»
 
“Beramal-lah kalian, semua orang akan dimudahkan menuju arah penciptaannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim) 

Kalau kita telusuri di dalam sejarah kehidupan para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, niscaya akan kita dapati aplikasi nyata dari kaidah berharga ini. Ada sebagian mereka yang menolong agama Allah dengan ilmu seperti Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma dan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu. Ada yang menolong agama Allah dengan harta bendanya seperti Abdurrahman ibn Auf Radhiallahu’anhu dan Abu Bakar Radhiallahu’anhu atau Utsman Radhiallahu’anhu. Ada pula yang menolong agamanya dengan keahliannya dalam bidang strategi perang seperti Khalid ibn Walid Radhiallahu’anhu. Ada juga yang menolong agama Allah dengan sastra bahasa dan syair seperti Hassan Radhiallahu’anhu. Ada yang menolong agama Allah dengan keahliannya di dalam pertukangan kayu seperti seorang sahabat yang menawarkan diri untuk membuatkan mimbar bagi Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Bahkan ada seorang sahabat wanita yang menolong agama Allah dengan keahlian yang dia miliki sekalipun rendah di sisi manusia yaitu membersihkan masjid sehingga Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam menanyakan perihalnya lalu datang dan mendo’akan kebaikan untuknya. 

Termasuk kisah indah dalam masalah ini adalah kisah yang dibawakan oleh al-Imam Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid 7/185 bahwa Abdullah ibn Abdul Aziz al-’Umari—seorang ahli ibadah—pernah menulis sepucuk surat untuk al-Imam Malik yang berisi anjuran untuk menyendiri agar fokus di dalam ibadah serta menganjurkannya untuk meninggalkan mengajarkan ilmu. 

Imam Malik menjawab surat tersebut, “Sesungguhnya Allah telah membagi amal perbuatan sebagaimana Allah membagi rezeki. Ada sebagian orang yang dilebihkan di dalam shalat tetapi tidak di dalam puasa. Sebagian yang lain dilebihkan di dalam sedekah tetapi tidak di dalam puasa. Sebagian dilebihkan di dalam jihad namun tidak di dalam shalat. Dan menyebarkan ilmu termasuk pintu kebaikan yang amat mulia. Aku telah ridha dengan apa yang telah Allah lebihkan dan buka untuk saya. Saya sama sekali tidak merasa bahwa pintu kebaikan ini lebih rendah daripada pintu kebaikan yang Allah buka untukmu. Dan kita semua berharap agar kita berdua di dalam kebaikan. Dan hendaknya masing-masing kita semua ridha dengan apa yang telah Allah bagi untuk kita. Wassalam.” 

Ini merupakan wujud kecerdasan al-Imam Malik. 

Oleh karenanya, wahai kaum Muslimin, marilah kita semua telusuri potensi dan kelebihan yang Allah berikan kepada kita. Wahai para guru, para pebisnis dan orang kaya, para dokter, arsitek, ahli komputer dan internet, bahkan kalian wahai para buruh dan pekerja biasa. Marilah kita semua gunakan potensi dan keterampilan kita masing-masing untuk menolong agama Allah sehingga cahaya Islam semakin berkilau. Marilah kita tanya di dalam hati kita masing-masing dengan penuh penghayatan, “Apa yang sudah kita persembahkan untuk kemajuan Islam?! Amalan apa yang telah kita perbuat untuk dakwah Islam?!” 

4. Mengatur waktu 

Hendaknya pengguna alat teknologi modern memahami akan mahalnya waktu. Janganlah dia terjebak dalam kesia-siaan atau terlena keenakan chatting, whatsapp, BBM, dan sebagainya hingga lalai dari shalatnya, kewajiban, dan tugasnya di rumah atau tempat kerja.

Oleh karenanya, Rasul kita yang mulia Shallallahu’alaihi wa sallam memberikan arahan untuk memanfaatkan waktu dengan baik di dalam sabdanya:

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَباَبَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِناَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَحَياَتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ، وَفَراَغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ
 
“Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum fakirmu, hidupmu sebelum matimu, dan kelapanganmu sebelum sibukmu.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi dan dihasankan al-Iraqi dan al-Albani)

Pergunakanlah alat-alat tersebut untuk ketaatan. Janganlah engkau gunakan untuk dosa dan kesia-siaan. Ingat ucapan al-Imam asy-Syafi’i, “Jika engkau tidak menyibukkan dirimu dengan ketaatan maka dirimu akan tersibukkan dengan selain ketaatan.” 

5. Tatsabbut (teliti dan hati-hati) 

Di antara hal yang harus selalu diingat bagi mereka yang menggunakan alat teknologi modern adalah hendaknya tatsabbut (memeriksa dengan teliti) dari semua yang dia ucapkan, yang dia dengarkan, yang dia baca, dan yang dia nukil, karena tidak semua yang ada pasti benar adanya. Bahkan betapa banyak gosip dan berita miring di dalamnya!! 

Maka wajib atas seorang yang berakal agar memperhatikan perkara ini. Jika dia mengetahui suatu berita atau suatu perkara maka hendaknya tatsabbut tentangnya. Kalau sudah diketahui tentang kebenarannya maka hendaknya melihat perlu tidaknya dia sebarkan. Jika hal itu akan membawa kepada kebaikan maka hendaknya dikumpulkan dan disebarkan, dan jika tidak membawa kebaikan maka hendaknya dia lipat dan berpaling darinya. 

Berapa banyak terjadi kejelekan dan fitnah dengan sebab kesembronoan di dalam hal ini.

Berapa banyak dari manusia yang mengabaikan akalnya, dan memperlakukan segala sesuatu yang disebarkan di internet sebagaimana sebuah wahyu yang tidak ada kebatilan di depan dan di belakangnya. 

Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk selektif ketika menyikapi gosip[26], sebagaimana di dalam firman-Nya (yang artinya): 

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS al-Hujurat [49]: 6) 

Sungguh telah datang larangan yang jelas dari menyampaikan segala sesuatu yang didengar. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

«كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ»
 
“Cukuplah seseorang berdusta jika menyampaikan semua yang dia dengar.” (Shahih Muslim 1/8)

Ibnu Baadis berkata, “Tidak semua yang kita dengar dan kita lihat harus diyakini oleh hati hati kita, namun hendaknya kita mengeceknya dan memikirnya secara matang. Jika memang terbukti dengan bukti nyata maka kita mempercayainya, namun jika tidak maka kita meninggalkannya.”[27]
__________
Footnote:
1 Tafsir al-Qur‘anil Azhim 3/23
2 Ar-Risalah hlm. 20
3 Syarh Kasyfi Syubuhat hlm. 72
4 Lihat al-Islam Dinun Kamil hlm. 18–20 (secara ringkas).
5 Lihat Hadza Huwal Islam oleh Dr. Humud ibn Abdul Aziz al-Badr hlm. 142–144 dan Ta’liq Dr. Abdullah ath-Thayyar di dalam al-Ijabah ash-Shadirah fi Shihhatish Shalah fi Thairah hlm. 18.
6 Dinamakan dengan surat an-Ni’am karena Allah menyebutkan banyak kenikmatan kepada hamba-Nya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ’Athiyyah di dalam al-Muharrar al-Wajiz 3/377. Lihat pula Asma‘us Suwaril Qur‘an hlm. 242–243 karya Dr. Munirah binti Muhammad ad-Dusari, cet. Dar Ibnul Jauzi.
7 Al-Ijabah ash-Shadirah fi Shihhatish Shalah fi Thairah hlm. 14–15 karya asy-Syinqithi, Min Kulli Suratin Fa‘idah hlm. 131 karya asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani.
8 Adhwa‘ul Bayan 4/382
9 Jami’ul Ulum wal Hikam 2/166 oleh al-Imam Ibnu Rajab
10 HR Ibnu Hibban 1/201 dan sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim
11 Lihat pula al-Adzbu an-Namir min Majalis Syinqithi fi Tafsir 2/602 oleh Khalid ibn Utsman as-Sabt dan risalah Raf’u Dzull wa Shaghar hlm. 42–45 oleh asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani.
12 Adab Thalab wa Muntaha Arab hlm.159 asy-Syaukani
13 Al-Qawa’id wal Ushul al-Jami’ah hlm. 12
14 Mawaqif Ijtima’iyyah min Hayatisy Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, Muhammad as-Sa’di dan Musa’id as-Sa’di, hlm. 100-101.
15 Lihat al-Qawa’id wal Ushul al-Jami’ah hlm. 13–19 oleh asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di.
16 Al-Muwafaqat, asy-Syathibi, 1/231.
17 Qawa’idul Ahkam hlm. 60
18 Al-Furuq 1/177
19 Lihat pula al-Adzbu an-Namir min Majalis Syinqithi fi Tafsir 2/602 oleh Khalid ibn Utsman as-Sabt dan risalah Raf’u Dzull wa Shaghar hlm. 42–45 oleh asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani.
20 Al-Fatawa as-Sa’diyyah hlm. 190–191
21 Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 2/848
22 Asy-Syaikh Abdul Qadir ibn Muhammad al-Jazuri menulis sebuah kitab berjudul Umdah Shafwah fi Hilli Qahwah. Di dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan secara detail tentang halalnya kopi.
23 Sebagaimana dikatakan oleh Mar’i al-Karmi di dalam Tahqiq Burhan fi Sya‘ni Dukhan hlm. 154.
24 Lihat ad-Durar Saniyyah 15/125, 134, 141.
25 Diringkas dari as-Sa’yul Hamid fi Masyru’iyyatil Mas’a al-Jadid hlm. 17–23 oleh Syaikhuna Masyhur ibn Hasan alu Salman.
26 Lihat tentang masalah gosip dan bahayanya di dalam risalah asy-Syaa’iat Haqiqatuha Asbabuha wa Khathruha oleh Dr. Sulaiman Abu Khail.
27 Ushul Hidayah hlm. 97

*****

Sumber: abiubaidah.com


Subhanakallohumma wa bihamdihi,  
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika  
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamiin