Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

21 September 2013

FILE 304 : Kejeniusan Imam Asy Syafi'i

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Imam Syafi'i yang Jenius

.Ditulis ulang dari :


Dikisahkan bahwa sebagian ulama terkemuka di Irak merasa iri kepada Imam Syafi’i radhiyallahu ‘anhu. Mereka membuat tipu daya kepadanya lantaran beliau lebih unggul dari mereka dari segi ilmu dan hikmah. Imam Syafi’i mendapatkan hati para pencari ilmu pengetahuan sehingga mereka hanya berminat dengan majelis pengajian beliau, mereka hanya mau tunduk dengan pendapat dan ilmu beliau. Oleh karena itulah, para ulama yang iri terhadap Imam Syafi’i membuat kesepakatan di antara mereka untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan yang rumit dalam bentuk teka-teki. Sehingga mereka dapat menguji kecerdasan beliau, seberapa mendalam dan seberapa matang ilmu beliau di hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid yang sangat kagum dengan beliau dan sering memuji beliau.

Setelah mereka selesai membuat pertanyaan-pertanyaan, mereka menyampaikan kepada khalifah yang ikut hadir dalam diskusi dan mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijawab oleh Imam Syafi’i radhiyallahu ‘anhu dengan penuh kecerdasan dan kefasihan.

Berikut ini soal jawab tersebut:

Soal 1: 
Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menyembelih kambing di rumahnya kemudian dia keluar untuk suatu keperluan, lalu dia kembali lagi lantas dia berkata kepada keluarganya, “Makanlah kambing ini. Sungguh kambing ini haram bagiku.” Keluarga pun berkata, “Demikian juga haram bagi kami?”

Jawab 1: 
Sesungguhnya laki-laki tersebut orang musyrik. Dia menyembelih kambaing atas nama berhala, lalu dia keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan, dan ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah kepadanya untuk memeluk agama Islam, sehingga dia masuk Islam. Maka, kambing tersebut haram baginya. Ketika para keluarganya tahu bahwa lelaki tersebut masuk Islam, maka mereka pun ikut masuk Islam. Maka, kambing tersebut juga diharamkan atas mereka.

Soal 2: 
Ada dua muslim yang sama-sama berakal minum arak. Salah satunya dikenai hukuman sedangkan yang lainnya tidak dikenai hukuman?

Jawab 2: 
Sebab salah satunya baligh sedangkan lainnya masih kecil

Soal 3: 
Ada lima orang melakukan zina terhadap seorang perempuan, maka orang pertama harus dibunuh, orang kedua dirajam, orang ketiga dikenai hukuman zina (didera seratus kali), orang keempat dikenai separuh hukuman zina, dan orang kelima tidak dikenai sanksi apapun?

Jawab 3: 
Orang pertama menganggap zina perbuatan halal, sehingga dia murtad dan dia harus dibunuh. Orang kedua adalah muhshan (orang yang pernah menikah). Orang ketiga adalah ghairu muhshan (belum pernah menikah). Orang keempat adalah seorang budak. Sedangkan orang kelima adalah orang gila.

Soal 4: 
Ada seorang laki-laki melaksanakan shalat. Setelah dia mengucap salam ke kanan, istrinya tertalak. Ketika dia mengucap salam ke kiri, maka shalatnya batal, dan ketika dia melihat ke langit, maka dia waijb membayar seribu dirham?

Jawab 4: 
Pada saat dia mengucap salam ke kanan, dia melihat seseorang yang istrinya dia nikahi ketika dalam keadaan suami sedang ghaib (tidak ada). Maka, ketika dia melihat suaminya datang, istrinya tertalak. Pada saat dia mengucap salam ke kiri, dia melihat najis pada pakaiannya, maka shalatnya batal. Pada saat dia melihat ke langit, dia melihat hilal (bulan sabit) telah tampak di langit dan dia mempunyai hutang seribu dirham yang seharusnya dibayar pada awal bulan sejak munculnya hilal.

Soal 5: 
Ada seorang imam melaksanakan shalat bersama empat orang di dalam masjid, lantas ada seseorang yang masuk dan ikut melakukan shalat di sebelah kanan imam. Ketika imam mengucap salam ke kanan dan melihat lelaki tersebut, maka si imam wajib dibunuh sedangkan keempat makmum lainnya, wajib didera dan masjid tersebut wajib dirobohkan sampai ke dasarnya.

Jawab 5: 
Sesungguhnya lelaki yang baru datang mempunyai seorang istri. Kemudian dia pergi dan menitipkan istrinya di rumah saudaranya, lalu si imam membunuh sang saudara tersebut. Si imam mengklaim bahwa perempuan tersebut merupakan istri orang yang terbunuh, lalu dia menikahi perempuan tersebut. Sedang empat orang yang ikut melaksanakan shalat adalah saksi pernikahan mereka. Lalu, masjid tersebut merupakan rumah orang yang terbunuh yang dijadikan sebagai masjid oleh si imam.

Soal 6: 
Bagaimana pendapatmu mengenai seseorang yang budaknya kabur, lalu dia berkata, “Budak tersebut statusnya merdeka jika saya makan sebelum saya menemukannya.” Bagaimana solusi dari ucapan tersebut?

Jawab 6: 
Dia memberikan budaknya kepada sebagian anaknya, kemudian dia makan, lalu dia meminta lagi budak yang telah diberikannya.

Soal 7: 
Dua orang perempuan bertemu dua lelaki muda, lalu kedua perempuan tersebut berkata, “Selamat datang dua anak kami, dua suami kami, dan dua anak suami kami?”

Jawab 7: 
Sesungguhnya dua lelaki muda tersebut merupakan anak dari kedua perempuan tersebut. Lantas masing-masing dari kedua perempuan tersebut menikah dengan laki-laki perempuan satunya. Jadi, kedua lelaki muda tersebut merupakan anak dari kedua perempuan tersebut, suami dari kedua perempuan tersebut, dan anak dari (mantan) suami dari kedua perempuan tersebut.

Soal 8:  
Seorang laki-laki mengambil segelas air untuk diminum. Dia dihalalkan minum separuhnya. Tetapi diharamkan baginya minum air yang masih tersisa di gelas?

Jawab 8: 
Sesungguhnya lelaki tersebut baru minum separuh gelas lalu dia mimisan dan menetes pada air yang masih tersisa di dalam gelas, sehingga darah tercampur dengan air. Maka, sisa air tersebut diharamkan baginya.

Soal 9: 
Seorang laki-laki memberikan kepada istrinya satu kantong yang terisi penuh dan terkunci. Dia meminta kepada istrinya agar mengosongkan isinya dengan syarat dia tidak boleh membukanya, membelahnya, merusak kuncinya atau membakarnya. Jika dia melakukan salah satu dari hal tersebut, maka dia tertalak?

Jawab 9:  
Sesungguhnya kantong tersebut berisi gula atau garam. Yang dapat dilakukan si istri ialah menaruh kantong tersebut di dalam air, sehingga isi kantong meleleh dengan sendirinya.

Soal 10: 
Ada seorang lelaki dan seorang perempuan bertemu dua anak muda di jalan, lantas keduanya mencium kedua anak muda tersebut. Ketika keduanya ditanya mengenai perbuatan tersebut, si lelaki menjawab, “Ayahku adalah kakek keduanya. Saudaraku adalah paman keduanya. Istriku adalah istri ayah keduanya.” Sedangkan si perempuan menjawab, “Ibuku adalah nenek keduanya, saudara perempuanku adalah bibi keduanya.”

Jawab 10: 
Sesungguhnya si lelaki merupakan ayah kedua anak muda tersebut sedangkan si perempuan merupakan ibu keduanya.

Soal 11: 
Ada dua laki-laki di atas loteng rumah. Salah satunya terjatuh dan mati. Anehnya, istri lelaki satunya yang masih hidup menjadi haram baginya?

Jawab 11: 
Sesungguhnya lelaki yang terjatuh sampai mati menikahkan anak perempuannya kepada budaknya yang menemaninya di atas loteng. Ketika laki-laki tersebut meninggal, maka anak perempuannya memiliki budak yang merupakan suaminya sendiri. Maka, perempuan tersebut haram baginya.

Sampai di sini, Khalifah Ar-Rasyid yang ikut hadir dalam diskusi tersebut tidak mampu menyembunyikan kekagumannya terhadap kecerdasan Imam Syafi’i, kecepatannya mendapat ide, ketajaman pemahamannya, dan bagus daya tangkapnya.

Dia berkata, “Alangkah hebatnya keturunan Bani Abdi Manaf ini. Sungguh, engkau menejlaskan dengan sebaik-baiknya, engkau menafsirkan dengan sejelas-jelasnya, dan engkau membuat redaksi dengan fasih.”

Lalu Imam Syafi’i berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memanjangkan umur Amirul Mukminin. Saya akan mengajukan satu pertanyaan kepada para ulama ini. Jika mereka mampu menjawab pertanyaan tersebut, maka Alhamdulillah. Akan tetapi, jika mereka tidak mampu menjawab, maka saya mohon kepada Amirul Mukminin untuk mencegah kejahatan mereka terhadap diriku."

Khalifah Ar-Rasyid menanggapi, “Baiklah, kupenuhi keinginanmu. Silakan ajukan pertanyaan kepada mereka sesuai yang engkau kehendaki, wahai Syafi’i!”

Lalu Imam Syafi’i berkata, “Ada seorang laki-laki wafat meninggalkan 600 dirham. Saudara perempuannya hanya memperoleh satu dirham saja dari harta peninggalan tersebut. Bagaimana cara pembagian harta warisan ini?”

Ternyata para ulama tersebut saling berpandangan satu sama lain cukup lama. Tidak satu pun di antara mereka mampu menjawab pertanyaan tersebut. Keringat pun bercucuran dari dahi mereka.

Ketika mereka terdiam cukup lama, maka Khalifah berkata, “Ya sudah, sampaikan jawabannya kepada mereka!”

Lantas Imam Syafi’i angkat bicara setelah orang-orang yang ingin menghilangkan posisi Imam Syafi’i di mata Khalifah yang sangat mengaguminya lantaran ilmu dan ketakwaannya akhirnya mati kutu.

Beliau berkata, “Laki-laki tersebut wafat meninggalkan dua orang anak perempuan, ibu, seorang istri, dua belas saudara laki-laki, dan seorang saudara perempuan. Jadi, dua anak perempuan mendapat bagian dua pertiga, yaitu sebesar 400 dirham, ibu mendapat bagian seperenam, yaitu sebesar 100 dirham, istri mendapat bagian seperdelapan, yaitu sebesar 75 dirham, kedua belas saudara laki-laki mendapat bagian 24 dirham dan tersisa satu dirham untuk saudara perempuan.”

Khalifah Ar-Rasyid tersenyum dan berujar, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan banyak keluargaku seperti engkau.”

Khalifah memberikan 2000 dirham kepada Imam Syafi’i. Kemudian Imam Syafi’i menerimanya lalu membagikannya kepada para pelayan dan pembantu istana.

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1

*****
Sumber : kisahmuslim.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin 

01 September 2013

FILE 303 : Hukum Kaos/Baju Warna Merah

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Baju Warna Merah

.Ditulis oleh:
Ust. Ammi Nur Baits


Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengenakan pakaian warna merah bagi laki-laki. Karena terdapat beberapa hadis yang membolehkan dan hadis yang melarang. Berikut rinciannya,

Beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan pakaian warna merah,
 
Pertama, dari Hilal bin Amir dari ayahnya (Amir Al-Muzanni), beliau mengatakan,

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم بمنى يخطب على بغلة , وعليه بُرْدٌ أحمر , وعَليٌّ أمامه يُعَبِّرُ

“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di Mina di atas Bighalnya, beliau memakai selendang warna merah. Sementara Ali berada di depan beliau, mengeraskan apa yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Daud 3551 dan dishahihkan Al-Albani)

Kedua, dari Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم مَرْبُوعاً , وقد رأيته في حُلةٍ حمراء , لم أر شيئا قط أحسن منه صلى الله عليه وسلم

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tingginya sedang. Saya melihat beliau mengenakan pakaian warna merah, belum pernah sekalipun saya melihat orang yang lebih tampan dari pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari 5400 dan Muslim 4308).

Ketiga, dalam riwayat lain, juga dari Al-Barra’ bin Azib, beliau menceritakan,

مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِي لِمَّةٍ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ أَحْسَنَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Saya belum pernah melihat ada orang yang rambutnya menjuntai ke telinga, dengan memakai pakaian merah yang lebih tampan dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Turmudzi 1646 dan beliau menilai hadis hasan shahih).

Keempat, dari Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

رَأَيْتُ بِلاَلًا أَخَذَ عَنَزَةً، فَرَكَزَهَا وَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ، مُشَمِّرًا صَلَّى إِلَى العَنَزَةِ بِالنَّاسِ رَكْعَتَيْنِ

Beliau melihat Bilal membawa tongkat kecil, lalu dia tancapkan di depan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kemahnya dengan memakai pakaian warna merah. Beliau angkat sarung beliau hingga ke pertengahan betis, beliau shalat dua rakaat menghadap tongkat tersebut mengimami para sahabat. (HR. Bukhari 376, Muslim 503, dan Abu Daud 520).

Kelima, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab As-Sunan,

أنه عليه الصلاة والسلام كان يلبس يوم العيد بُردةً حمراء

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat id, beliau memakai burdah warna merah.”

Sementara dalil yang melarang menggunakan pakaian warna merah diantaranya,
 
Pertama, hadis dari Al-Barra bin Azib,

نَهَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ المَيَاثِرِ الحُمْرِ وَالقَسِّيِّ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk menggunakan Al-Mayatsir warna merah, dan pakaian Al-Qassi. (HR. Bukhari 5838)

Al-Mayatsir: jamak dari kata mitsarah, semacam karpet kecil terbuat dari sutera dengan campuran katun, yang digunakan oleh penunggang onta untuk duduk. (Keterangan Dr. Musthafa Bagha, ta’liq Shahih Bukhari 7/24).

Al-Mayatsir, berdasarkan keterangan di atas, bukan pakaian tapi karpet untuk duduk.

Al-Qassi: baju yang benangnya campuran antara katun dan sutera, dinisbahkan kepada daerah pembuatnya Al-Qassi yang berada di Mesir.

Kedua, dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma,

مَرَّ على النبي صلى الله عليه وسلم رجلٌ عليه ثوبان أحمران , فسلَّم عليه , فلم يَرُدَّ عليه النبي صلى الله عليه وسلم

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seseorang yang memakai baju warna merah. Orang itupun memberikan salam kepadanya, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab salamnya. (HR. Turmudzi 2731, Abu Daud 3574, dan hadis ini dinilai dhaif oleh Al-Albani dan ulama lainnya, karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abu Yahya Al-Qattat yang dinilai dhaif oleh Imam Ahmad, Ibnu Main dan yang lainnya).

Ketiga, dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu,

إياكم والحمرة فإنها أحب الزينة إلى الشيطان

“Jauhilah warna pakaian merah, karena pakaian warna merah adalah perhiasan yang paling disukai setan.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir (18/148), dalam sanadnya ada perawi yang bernama Said bin Bisyr, dia didhaifkan oleh Imam Ahmad, Ibnul Madini, Ibn Main, An-Nasai dan lainnya. Sehingga status hadis ini dhaif).

Keempat, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

نُهِيتُ عن الثوب الأحمر ، وخاتم الذهب ، وأن أقرأ وأنا راكع

“Saya dilarang untuk memakai pakaian warna merah, cincin emas, dan membaca Al-Quran ketika rukuk.” (HR. Nasai 5166 dan Al-Albani mengatakan: sanadnya shahih). 


Ikhtilaf Ulama Hukum Mengenakan Kaos Warna Merah
 
Berdasarkan pemaparan di atas, ulama berbeda pendapat tentang hukum mengenakan pakaian warna merah bagi laki-laki dan batasan pakaian merah yang terlarang. Al-Hafidz Ibn Hajar menyebutkan 8 pendapat ulama dalam kitabnya Fathul Bari (10/306). Berikut keterangan beliau,
1. Boleh memakai pakaian merah secara mutlak. Merah polos maupun merah yang bercampur dengan warna lain. Pendapat ini diriwayatkan dari sekelompok sahabat, diantaranya Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Abdullah bin Ja’far, Al-Barra’ bin Azib, dan beberapa sahabat lainnya. Pendapat ini juga yang dipegangi oleh beberpa tabi’in, diantaranya, Said bin Musayib, An-Nakhai, As-Sya’bi, Abu Qilabah, Abu Wail, dan beberapa tabiin lainnya. Pendapat ini yang dipilih oleh Al-Bukhari, sebagaimana yang beliau isyaratkan dalam judul bab di kitab shahihnya. Dan ini merupakan pendapat dalam madzhab Malikiyah, Syafiiyah, dan salah satu riwayat dalam madzhab Hambali.
2. Dilarang secara mutlak, meskipun ada campuran warna lain. Namun Al-Hafidz tidak menyebutkan ulama yang mengambil pendapat ini.
3. Makruh memakai pakaian yang penuh warna merah. Namun jika diberi wanteks warna merah sebagian, dibolehkan. Pendapat ini diriwayatkan dari Atha, Thawus, dan Mujahid.
4. Makruh memakai pakaian warna merah secara mutlak jika tujuannya untuk berhias atau mencari ketenaran. Namun boleh digunakan di rumah atau di tempat kerja. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn Abbas dan merupakan pendapat Imam Malik.
5. Boleh memakai pakaian warna merah, selama warna merahnya berasal dari benangnya. Namun jika kainnya dicelup wanteks merah, tidak boleh digunakan. Ini pendapat Al-Khithabi. Beliau beralasan bahwa pakaian merah yang dikenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika khutbah di Mina dan ketika shalat id adalah impor dari Yaman. Dan ciri khas kain merah dari Yaman, benangnya diberi warna merah, kemudian ditenun jadi kain. Bukan kain yang dicelum wanteks merah.
6. Larangan ini khusus untuk kain yang mu’ashfar (wanteks kuning matang). Karena ada riwayat lain yang melarang hal ini. Namun jika warna yang lain, boleh.
7. Larangan ini khusus untuk pakaian yang semuanya diwanteks merah. Namun jika ada campuran warna lain selain merah, seperti hitam atau putih, tidak terlarang. Inilah yang dipahami dari hadis pakaian merah Yaman yang dikenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kain merah Yaman, umumnya memiliki garis merah atau warna lainnya. Ini adalah pendapat Ibnul Qoyim.
8. Boleh memakai pakaian yang diwanteks dengan semua warna, selama itu bukan pakaian syuhrah (yang mengundang perhatian). Batasannya: mukhalafah ziy ahlil muruah, tidak sama dengan umumnya yang dikenakan orang baik di tempat itu. Ini adalah pendapat Ibnu Jarir At-Thabari. 

Tarjih
 
Dari sekian pendapat mengenai hukum memakai pakaian warna merah, pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang membolehkan pakaian warna merah, dengan beberapa alasan,

Pertama, hadis yang menyebutkan tentang larangan memakai warna merah, tidak lepas dari cacat dan kelemahan, sehingga tidak bisa dijadikan acuan.

Kedua, peristiwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai pakaian warna merah, sebagaimana yang diceritakan oleh Al-Barra bin Azib, Amir Al-Muzanni dan Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhum, terjadi ketika haji wada’. Artinya itu terjadi di akhir perjalanan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketiga, hadis Ibnu Abbas yang dinilai shahih sandanya oleh Al-Albani, dimaknai sebagaimana pendapat beliau, bahwa larangan ini berlaku jika menimbulkan syuhrah (mengundang perhatian). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakaian merah ketika hari raya, yang menunjukkan bahwa itu beliau lakukan sebagai bentuk berhias.

Keempat, pendapat yang mengatakan ‘jika ada campuran warna lain selain merah, seperti hitam atau putih, tidak terlarang’ ini pendapat yang kurang tepat.

Dr. Muhammad Ali Farkus mengatakan,

أما ما قرره ابن القيم – جمعا بين الأحاديث من أن الحلة الحمراء بردان يمانيان منسوجان بخطوط حمر وسُود، فإنّ هذا الجمع يفتقر إلى دليل لما علم أن الصحابي وهو من أهل اللغة واللسان قد وصفها بأنها حمراء فينبغي حملها على الأحمر البحت لأنه هو المعنى الحقيقي لها

Apa yang ditegaskan Ibnul Qoyim – dalam rangka mengkompromikan hadis – bahwa pakaian merah dari Yaman, ditenun campuran antara merah dengan hitam. Kompromi semacam ini butuh dalil. Karena kaidah yang diketahui, bahwa para sahabat – dan mereka memahami bahasa arab yang benar – menceritakan bahwa pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu warnanya merah. Selayaknya kita maknai merah polos. Karena itulah makna hakiki untuk kalimat tersebut.

Beliau melanjutkan,

وحمل مقالة ذلك الصحابي على لغة قومه آكد ولا يصار إلى المعنى غير الحقيقي إلا بدليل صارف على ما هو مقرر في موضعه

“Memahami keterangan sahabat sesuai bahasa masyarakatnya, lebih ditekankan. Dan tidak boleh dialihkan ke makna yang tidak hakiki, kecuali dengan dalil yang mendukungnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam referensi masalah ini.”

Sumber: http://www.ferkous.com/site/rep/Bd1.php

Alasan beliau ini merupakan penjelasan As-Syaukani dalam Nailul Authar (2/114 – 115).

Kelima, memakai pakaian warna merah termasuk bentuk berhias yang dihalalkan

Ketika menjelaskan hadis Abu Juhaifah di atas, Imam Ibnu Batthal menukil keterangan Al-Muhallab,

Hadis ini dalil bolehnya memakai pakaian warna merah, dan bantahan untuk orang yang memakruhkan warna merah. Hadis ini juga menunjukkan bolehnya memakai pakaian yang berwarna, bagi pemimpin maupun orang zuhud dunia. Karena merah adalah warna yang paling menonjol dan perhiasan paling indah di dunia. Tentang firman Allah,

فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ

“Qarun keluar dengan mengenakan perhiasannya..” (QS. Al-Qashas: 79),
Ada yang mengatakan, Qarun keluar dengan memakai pakaian warna merah. Sementara ditegaskan dalam firman yang lain,

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ

“Katakanlah: Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan yang Allah berikan kepada hambanya, dan rizki yang halal..” (QS. Al-A’raf: 32).
Kata ‘perhiasan’ mencakup semua perhiasan yang mubah (termasuk pakaian warna merah).[Syarh Shahih Bukhari Ibnu Batthal, 2/39].

Allahu a’lam

*****
Sumber : konsultasisyariah.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 302 : Yang Berhak Menjadi Imam dan Beberapa Kondisi Ma'mum

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Yang Berhak Menjadi Imam dan Beberapa Kondisi Ma'mum di Dalam Sholat

.Diambil dari:
Milis As-Sunnah@yahoogroups.com


SIAPA YANG LEBIH BERHAK MENJADI IMAM?

Jika di suatu masjid terdapat imam rawatibnya, maka yang lebih berhak menjadi imam adalah imam rawatib yang ditunjuk oleh penguasa atau pengurus masjid.

Kalau tidak ada, maka yang didahulukan ialah orang yang lebih banyak memiliki hafalan al Qur’an dan lebih memahami hukum Islam.

Apabila di kalangan para jamaah setara, maka didahulukan yang lebih pandai dan lebih mengetahui tentang sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Apabila juga setara, maka didahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah.

Apabila sama juga, maka didahulukan yang lebih tua usianya.[Shahih Fiqh Sunnah, 1/523.]

Ini semua berdasarkan pada beberapa hadits di bawah ini:

1). Hadits Abu Sa’id al Khudri :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Apabila mereka tiga orang, maka hendaklah seorang dari mereka menjadi imam shalat mereka, dan yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling baik bacaan al Qur`annya" [HR Muslim 672]

2). Hadits Abu Mas’ud al Anshari, ia menyatakan :

قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلَا تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلَا فِي سُلْطَانِهِ وَلَا تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَكَ أَوْ بِإِذْنِهِ


"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada kami: "Hendaknya yang menjadi imam shalat suatu kaum adalah yang paling hafal al Qur`an dan paling baik bacaannya. Apabila dalam bacaan mereka sama, maka yang berhak menjadi imam adalah yang paling dahulu hijrahnya. Apabila mereka sama dalam hijrah, maka yang berhak menjadi imam adalah yang paling tua. Janganlah kalian menjadi imam atas seseorang pada keluarga dan kekuasaannya, dan jangan juga menduduki permadani di rumahnya, kecuali ia mengizinkanmu atau dengan izinnya" [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab al Masaajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Man Ahaqqu bil Imamah, no. 1709]

Namun demikian, hal ini tidak termasuk syarat sahnya shalat berjamaah, karena seseorang diperbolehkan menjadi imam bagi orang yang lebih berhak menjadi imam darinya, sebagaimana kisah Nabi. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di belakang Abu Bakar.

Sumber : almanhaj.or.id

--oo00OO00oo--


KEWAJIBAN MENGIKUTI IMAM

Imam dijadikan sebagai pemimpin dan wajib diikuti dalam shalat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu :

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

"Dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan 'sami’allahu liman hamidah', maka katakanlah,'Rabbana walakal hamdu'. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan duduk semuanya". [Muttafaqun ‘alaihi].

Dengan diwajibkannya mengikuti imam ini, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tertinggal sebagian shalatnya (masbuq) untuk memulai dan mengikuti imam dalam semua keadaan. Sebagaimana disampaikan Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabal :

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الصَّلَاةَ وَالْإِمَامُ عَلَى حَالٍ فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ الْإِمَامُ

"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Apabila salah seorang dari kalian mendapatkan shalat dan imam sedang dalam suatu keadaan, maka hendaklah ia berbuat seperti imam berbuat." [HR at Tirmidzi, dan dishahihkan al Albani dalam Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 484]

Abu Isa at Tirmidzi berkata,"Para ulama menyatakan, apabila seseorang datang dan imam dalam keadaan sujud, maka hendaknya ia sujud, dan tidak dianggap mendapat satu raka'at (bersama imam) apabila ia tidak mendapatkan ruku’ bersama imam."

Dalam permasalahan mengikuti imam dalam shalat berjamaah ada empat keadaan para ma'mum :

Pertama : Mutaba’ah (Mengikuti Imam).
Pengertiannya, seseorang memulai melakukan perbuatan shalat, langsung, setelah imam memulainya, namun tidak bersamaan. Inilah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَلَا تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَلَا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ

"Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti. Apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan kalian jangan bertakbir sampai ia bertakbir. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah, dan kalian jangan ruku’ sampai ia ruku’. Apabila ia mengatakan "sami’allahu liman hamidah", maka katakanlah "Rabbana walakal hamdu". Apabila ia sujud, maka sujudlah, dan kalian jangan sujud sampai ia sujud." [HR Abu Dawud, no. 511]

Begitu pula dengan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana disampaikan Bara` bin ‘Azib :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ لَمْ يَحْنِ أَحَدٌ مِنَّا ظَهْرَهُ حَتَّى يَقَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاجِدًا ثُمَّ نَقَعُ سُجُودًا بَعْدَهُ


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu apabila mengucapkan "sami’allahu liman hamidah", tidak ada seorangpun dari kami yang mengangkat punggungnya, sampai Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam sujud, kemudian barulah kami sujud setelahnya."[HR Bukhari, no. 649]

Kedua : Musabaqah (Mendahului Imam).
Pengertiannya, seseorang mendahului imam dalam perbuatan shalat, seperti bertakbir sebelum imam bertakbir, atau ruku’ sebelum imam ruku’. Mendahului imam, menurut kesepakatan para ulama nya, hukumnya haram. Dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terdapat adanya larangan mendahului imam, di antaranya:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي إِمَامُكُمْ فَلَا تَسْبِقُونِي بِالرُّكُوعِ وَلَا بِالسُّجُودِ وَلَا بِالْقِيَامِ وَلَا بِالِانْصِرَافِ

Dari Anas , ia berkata: Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami kami shalat. Ketika telah selesai shalat, beliau menghadap kami dengan wajahnya, lalu berkata: "Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imam kalian, maka janganlah kalian mendahuluiku dengan ruku’, sujud, berdiri atau selesai". [HR Muslim, no. 426].

Rasulullah memberikan ancaman keras bagi seseorang yang mendahului imam, seperti disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا يَخْشَى الَّذِي يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يُحَوِّلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ

Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam akan Allah rubah kepalanya menjadi kepala himar (keledai)". [Muttafaqun ‘alaihi]

Lebih jelasnya, Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin berkata,"Yang benar adalah, ketika seseorang mendahului imam dalam keadaan mengetahui dan sadar, maka shalatnya batal. Apabila ia tidak mengetahui atau lupa, maka shalatnya sah. Kecuali udzurnya (lupa, atau tidak tahu) hilang sebelum imam menyusulnya, maka ia harus kembali melakukan amalan yang dilakukan sebelum (gerakan) imam, yang ia telah mendahuluinya setelah imam. Maka apabila tidak melakukan hal tersebut dalam keadaan mengetahui dan sadar, maka shalatnya batal. Jika tidak, maka tidak batal".

Ketiga : Muwafaqah (Menyamai Imam).
Pengertiannya, melakukan perbuatan dan perkataan bersamaan dengan gerakan dan ucapan imam .

Muwafaqah ini ada dua jenis.
1. Menyamai imam dalam perkataan, maka ini tidak mengapa, kecuali dalam takbiratul ihram dan salam. Adapun dalam takbiratul ihram, seperti bertakbir sebelum imam menyempurnakan takbiratul ihram, maka shalatnya belum dianggap sama sekali, karena harus melakukan takbiratul ihram setelah imam selesai takbiratul ihram.

Sedangkan dalam salam, para ulama menyatakan, dimakruhkan salam bersama imam, baik salam pertama maupun yang kedua. Adapun bila salam pertama setelah imam selesai salam pertama, dan mengucapkan salam kedua setelah imam selesai salam kedua, maka ini tidak mengapa. Namun yang lebih utama, tidak mengucapkan salam kecuali setelah imam melakukan dua salam.

2. Menyamai imam dalam gerakan shalat, hukumnya makruh. Dan ada yang menyatakan menyelisihi sunnah, tetapi yang rajih adalah makruh.

Contoh muwafaqah ini seperti, ketika imam mengatakan "Allahu Akbar" untuk ruku’ dan mulai turun, lalu ma'mum juga turun menyamai imam tersebut, maka perbuatan seperti ini hukumnya makruh, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:
.
وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ


Apabila ia ruku’, maka ruku’lah dan kalian jangan ruku’ sampai ia ruku’.

Keempat : At Takhalluf (Tertinggal Oleh Imam).
Pengertiannya adalah, terlambat dalam melakukan amalan shalat dengan imam, seperti imam telah sujud dan sang makmum baru ruku’.

At Takhalluf ini ada dua jenis.
1. Takhalluf dengan udzur.

Apabila karena udzur, maka seorang ma'mum melakukan amalan yang tertinggal tersebut dan mengikuti imam. Demikian ini tidak masalah, walaupun berupa satu rukun yang sempurna atau dua rukun.

Seandainya seseorang lupa, atau lalai, atau tidak mendengar imamnya, hingga imam mendahuluinya satu rukun atau dua rukun, maka ia (ma'mum) melakukan gerakan yang tertinggal dan langsung mengikuti imamnya. Kecuali, jika imam sampai pada posisi yang sama dengannya, maka ia melakukan amalan dan tetap bersama imam. Ia mendapatkan satu raka'at yang tergabung dari dua raka'at imam, yaitu satu raka'at yang ia tertinggal dan raka'at yang imam sampai padanya, ketika ia dalam keadaan posisi tersebut.

Contohnya, seseorang shalat berjamaah bersama imam, lalu imam ruku’, berdiri, sujud, duduk antara dua sujud dan sujud kedua lalu bangkit sampai berdiri. Sementara orang ini (yaitu ma'mum) tidak mendengar suara takbir, kecuali pada raka'at kedua. Misalnya, dikarenakan suara imam sangat pelan.

Contoh lainnya, ketika dalam shalat Jum’at, ia (ma'mum) mendengar imam membaca surat al Fatihah kemudian listrik mati -yang menyebabkan pengeras suara ikut mati, sehingga suara imam tidak terdengar- lalu imam menyempurnakan raka'at pertama dan sudah berdiri. Sementara itu, karena suara imam tak terdengar, ada seorang ma'mum yang menyangka imam belum ruku’ di raka'at pertama. Tiba-tiba, ia mendengar imam membaca surat al Ghasyiyah, maka ia (ma'mum) tetap bersama imam, dan raka'at kedua imam menjadi raka'at pertamanya. Sehingga bila imam salam, maka ia (ma'mum) mengqadha raka'at kedua.

Apabila ma'mum mengetahui ketertinggalannya dari imam sebelum imam kembali ke posisinya, maka ia (ma'mum) mengqadha, lalu mengikuti imamnya.

Contohnya, ada seseorang mengerjakan shalat dengan imam. Lalu, imam ruku’, dan ia tidak mengetahui imamnya sedang ruku’. Ketika imam mengucapkan "sami’allahu liman hamidah", ia mendengarnya. Bila seperti ini keadaannya, maka kepada ma'mum tersebut dikatakan : "Ruku’lah dan berdirilah; setelah itu ikuti imam", sehingga ia mendapatkan raka'at, karena ketertinggalannya berasal dari udzur". [Syarhul Mumti’, 4/264-265.]

2. Takhalluf tanpa udzur, meliputi dua jenis.
- Takhalluf fi ar rukn (pada rukun ).
Pengertiannya, tertinggal dari mengikuti imam, namun masih mendapati imam pada rukun berikutnya.

Contohnya, imam ruku’ dan ma'mum masih menyisakan satu ayat atau dua ayat, lalu ma'mum tetap berdiri menyempurnakan kekurangan tersebut. Namun ma'mum itu pun ruku’ dan mendapatkan imam belum bangun dari ruku’nya, maka raka'at tersebut shahih, namun perbuatannya menyelisihi sunnah. Karena, yang disyariatkan adalah memulai ruku’ ketika imam sampai pada ruku’, dan tidak memperlambat yang menyebabkan ia tertinggal, dengan dasar sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا

Apabila ia ruku’, maka ruku’lah.

- Takhalluf bi ar rukn (dengan rukun).
Pengertiannya, seorang imam mendahului ma'mum satu rukun, yaitu imam ruku’ dan berdiri sebelum ma'mum ruku’. Para ahli fiqih menyatakan bahwa, hukum takhalluf sama dengan hukum mendahului imam. Apabila tertinggal satu ruku’, maka shalatnya batal, sebagaimana bila mendahului imam. [Syarhul Mumti’, 4/265-266]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan: "Pendapat yang rajih, sesuai yang kita rajihkan dalam masalah mendahului imam adalah, bila tertinggal satu rukun tanpa udzur, maka shalatnya batal, baik yang tertinggal itu ruku’ atau selainnya". [Syarhul Mumti’, 4/266]

Sumber : almanhaj.or.id

*****
Disusun ulang dari : milis assunnah

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin