Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

09 Februari 2013

FILE 298 : Siapapun Bisa Bersedekah

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Setiap Kita Bisa Bersedekah
(Renungan Indah Syaikh Ali ath-Thonthowi rahimahullah)

.Diterjemahkan Oleh:
Ust. Firanda Andirja


Syaikh Ali At-Thonthoowi rahimahullah berkata :

"Semalam aku amati, kudapati ruangan terasa hangat dan api penghangat ruangan menyala. Sedangkan aku berada di dipan sambil santai. Aku sedang berfikir tentang tema yang akan kutulis. Lampu ada di sampingku, telepon di dekatku, anak-anakku sedang menulis, adapun ibu mereka sedang menenun kain wol.

Kami telah makan dan minum, dan radio mengeluarkan suara lirih, semuanya dalam ketenangan. Tidak ada yang aku keluhkan dan tidak ada pula yang aku meminta tambahannya. Maka lisanku berucap "Alhamdulillah...", kulepaskan dari lubuk hatiku

Lalu akupun merenung ... aku mendapati bahwasanya "Alhamdulillah" bukanlah sebuah kata yang sekedar diucapkan oleh lisan, meskipun diulang-ulang seribu kali...., akan tetapi "Alhamdulillah" atas kenikmatan-kenikmatan adalah sampainya aliran kenikmatan tersebut kepada orang yang membutuhkannya.

"Alhamdulillah" nya si kaya adalah memberi pemberian kepada faqir miskin, "alhamdulillah" nya si kuat dengan membantu kaum lemah, "alhamdulillah" nya si sehat dengan membantu orang-orang sakit, dan "alhamdulillah" nya si hakim dengan berbuat adil kepada orang-orang yang ia hukumi.

Lantas apakah aku sedang memuji Allah atas nikmat-nikmat ini, jika aku dan anak-anakku dalam keadaan kenyang dalam ruangan yang hangat, sementara tetanggaku dan anak-anaknya kelaparan dan kedinginan??

Jika tetanggaku tidak meminta-minta kepadaku, lantas apakah tidak wajib bagiku untuk bertanya kepadanya tentang kondisinya??

Istriku bertanya kepadaku, "Apa yang sedang kau renungkan?", lalu akupun mengabarkannya. Iapun berkata, "Benar, akan tetapi tidak ada yang bisa memberi kecukupan bagi para hamba kecuali Dzat yang telah menciptakan mereka. Jika engkau hendak memberi kecukupan kepada tetangga-tetanggamu yang miskin maka engkau akan memiskinkan dirimu sebelum engkau berhasil menjadikan mereka berkecukupan"

Aku berkata, "Jika aku seorang kaya tentunya aku tidak akan mampu menjadikan mereka berkecukupan (kaya), maka bagaimana lagi jika aku hanyalah seorang yang pas-pasan (tidak ada penghasilan jelas), Allah memberi rezeki kepadaku sebagaimana memberi rezeki kepada burung yang terbang di pagi hari dengan perut kosong dan balik di sore hari dengan perut kenyang"?

Tidak..., tidak...!!, aku tidak ingin menjadikan para faqir miskin menjadi orang-orang yang kaya berkecukupan, akan tetapi aku ingin berkata, "Permasalahannya adalah relatif !!!"

Dibandingkan para pemilik jutaan uang, aku adalah seorang yang faqir miskin, akan tetapi jika dibandingkan dengan pekerja yang menanggung sepuluh anak dan ia tidak memiliki penghasilan lain kecuali upah kulinya maka aku adalah seorang yang kaya. Pekerja ini jika dibandingkan dengan seorang wanita janda yang hidup sendirian tanpa penghasilan sama sekali dan tidak memegang sepeser hartapun maka sang pekerja adalah seorang kaya. Sang jutawan terhitung miskin jika dibandingkan dengan sang milyarder. Tidak ada seorangpun di dunia yang miskin absolut/mutlak atau kaya secara mutlak/absolut (semuanya relatif).

Kalian (mungkin) berkata, "Hari ini si At-Thonthoowi berfilsafat !!"

Tidak…, aku tidak sedang berfilsafat, akan tetapi aku ingin mengutarakan kepada kalian bahwasanya setiap kita –baik lelaki maupun wanita- bisa menemukan orang yang lebih miskin darinya lalu memberi bantuan kepadanya. Jika engkau wahai wanita yang mulia tidak memiliki kecuali lima potong roti, dan sepiring mujaddaroh (yaitu jenis makanan yang terbuat dari nasi dan 'adas, yang ini merupakan sederhana yang ma'ruf di Suria-pen) maka engkau mampu untuk memberikan sepotong rotimu kepada seorang yang sama sekali tidak memiliki roti. Seseorang yang setelah makan malam masih tersisa tiga piring sayur fasuliya (sejenis kacang-kacangan), nasi, dan sedikit buah-buahan, serta sedikit kue, maka ia mampu untuk memberikan sebagiannya sedikit kepada sang pemilik roti.

Bagaimanapun miskinnya seseorang maka ia mampu untuk memberikan sesuatu kepada orang yang lebih miskin darinya.

Dan janganlah kalian menyangka bahwa apa yang kalian berikan akan pergi hilang begitu saja gratisan, tidak demi Allah…, sesungguhnya kalian akan menerima harga pembayarannya berlipat-lipat ganda, kalian akan menerimanya di dunia sebelum di akhirat. Sungguh aku telah mencobanya dan merasakannya sendiri.

Aku bekerja dan berusaha, dan aku berinfaq/membiyai keluargaku semenjak lebih dari tiga puluh tahun. Aku tidak memiliki pintu-pintu kebaikan dan ibadah yang aku buka kecuali aku menyumbang di jalan Allah jika aku memiliki harta. Seumur hidup aku tidak pernah menabung sedikitpun. Istriku selalu berkata kepada, "Wahai suamiku, paling tidak minimal kau bangunkan rumah buat putri-putri kita !!". Aku hanya bisa berkata, "Biarlah itu diserahkan kepada Allah".

Tahukah kalian apa yang terjadi??. Sungguh apa yang telah aku sumbangkan di jalan Allah telah Allah simpan untukku di "bank" kebaikan yang bank tersebut memberi keuntungan bagi para nasabahnya setiap tahun besarnya 7000 %.

Iya…, Allah berfirman

كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ

"Serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji,…" (QS. Al Baqarah : 261)

Dan ada juga tambahan-tambahan yang melipat gandakan keuntungan

وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ

"…,Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki" (QS. Al Baqarah : 261)

Allah mengirimkan kepadaku seorang teman yang baik dan mulia, yang termasuk orang-orang terkenal di Damaskus, lalu iapun memberi pinjaman kepadaku biaya untuk membangun rumah. Lalu Allah juga mengirimkan kepadaku sahabat-sahabat yang baik, lalu mereka membangunkan rumah hingga selesai dan sempurna bangunannya. Adapun saya –demi Allah- sama sekali tidak mengetahui perkembangan pembangunan rumah tersebut kecuali sebagaimana orang-orang yang berjalan lewat depan rumah tersebut. Kemudian Allah menolongku dengan menganugerahkan kepadaku rizki yang halal yang tidak aku sangka-sangka, maka akupun melunasi seluruh hutang-hutangku. Kalau ada yang mau tahu maka aku akan menyebutkannya secara rinci dan aku akan sebutkan nama-nama para sahabatku tersebut.

Dan tidaklah aku terjatuh dalam kondisi sempit apapun kecuali Allah akan melapangkannya bagiku. Tidaklah aku membutuhkan sesuatupun kecuali Allah memberikannya kepadaku. Dan setiap aku memiliki harta berlebih kecuali aku simpan di bank akhirat ini.

Apakah ada di dunia ini orang yang berakal yang lebih memilih untuk berhubungan dengan bank makhluk (bank dunia) yang hanya memberi keuntungan yang haram yang hanya 5% , dan bisa jadi bank tersebut bangkrut atau terbakar, lalu ia meninggalkan bank Allah yang memberikan keuntungan bunga 7000% ?, selain itu hartanya di bank akhirat tersebut aman di sisi Penguasa alam semesta?, yang bank tersebut tidak akan bangkrut, tidak akan terbakar, dan tidak memakan harta masyarakat?

Karenanya janganlah kalian menyangka bahwa apa yang kalian sedekahkan akan hilang sia-sia, sesungguhnya Allah akan menggantinya (dengan lebih banyak) di dunia sebelum di akhirat.

Aku akan membawakan sebuah kisah bagi kalian, kisah tentang seorang ibu yang putranya sedang bersafar. Suatu hari ibu ini duduk sambil makan, dan tidak ada dihadapannya kecuali hanya sesuap sayur dan sepotong roti. Lalu datanglah seorang peminta-minta, lalu sang ibupun menahan mulutnya untuk tidak makan lalu ia memberikan makanan tersebut kepada sang peminta-minta sehingga iapun bermalam kelaparan. 

Tatkala sang putra tiba dari safarnya maka sang putrapun menceritakan kepada sang ibu tentang apa yang ia temukan dalam perjalanan safarnya. Sang putra berkata, "Diantara perkara yang sangat menakjubkan dalam safarku yaitu di tengah jalan ada seekor singa yang mengikutiku, dan tatkala itu aku hanya sendirian. Maka akupun lari, akan tetapi sang singa berhasil meloncat menerkam aku, dan tanpa aku sadari tiba-tiba aku sudah di hadapan mulutnya. Akan tetapi tiba-tiba ada seorang lelaki yang memakai baju putih muncul di hadapanku lalu menyelamatkan aku dari singa tersebut. Lalu lelaki itu berkata, "Suapan dibalas dengan suapan". Dan aku tidak paham maksudnya.".

Lalu sang ibupun bertanya kepada putranya tersebut tentang kapan waktu kejadian tersebut, ternyata pada hari yang sama tatkala ia memberi sesuap makanan kepada pengemis. Sang ibu telah melepaskan tangannya yang berisi sesuap makanan yang hendak ia makan untuk  diberikan sesuap makanan tersebut kepada sang pengemis, maka Allahpun melepaskan dan menyelamatkan anaknya yang hampir menjadi suapan bagi mulut singa.

Sedekah menolak bala' dan dengan sedekah Allah menyembuhkan orang yang sakit, dan Allah menolak gangguan-gangguan. Hal ini sudah terbukti. Dan ada hadits-hadits yang menunjukkan tentang hal ini.

Seseorang yang beriman bahwasanya alam semesta ini memiliki Tuhan yang mengatur alam, dan di tanganNya lah karunia, dan Dialah yang meyembuhkan dan menyelamatkan, maka dia akan tahu bahwasanya hal ini adalah benar.

Para wanita lebih dekat kepada keimanan dan kelembutan, dan saya sedang menujukan pembicaraanku kepada para wanita yang mulia. Barang apa saja yang sudah tidak dibutuhkan seorang wanita, seperti baju lamanya atau baju anak-anaknya, atau barang-barang yang sudah tidak dibutuhkan seperti kasur atau karpet, demikian juga makanan dan minuman yang berlebihan. Lalu hendaknya ia mengecek keluarga yang miskin dan memberikan kepada mereka, maka jadilah barang-barang ini menjadi kebahagiaan bagi mereka pada bulan ini. Dan janganlah ia memberikan dengan gaya seorang yang sombong dan merasa tinggi. Sesungguhnya pemberian yang sederhana jika disertai dengan senyuman dihadapan wajah sang miskin lebih baik dari pada uang banyak yang kau berikan kepadanya sementara engkau sambil mengangkat hidung karena sombong dan merasa tinggi.

Sungguh aku masih ingat –beberapa tahun yang silam-  putri kecilku si Banan membawa dua piring makanan –di bulan Ramadhan- hendak ia berikan kepada seorang penjaga. Maka aku berkata kepadanya, "Wahai putriku, kemarilah…, ambilah nampan, sendok, garpu, dan gelas yang bersih, lalu berikan dua piring makanan tersebut bersamanya begini…, engkau tidak rugi sedikitpun. 

Makanannya tidak berubah sama saja, akan tetapi jika engkau berikan kepadanya hanya piring dan roti maka engkau akan menyedihkan hatinya, engkau membuatnya merasa seakan-akan ia seorang peminta-minta atau pengemis. Adapun jika engkau berikan makanan tersebut di atas sebuah nampan disertai gelas, sendok, dan garpu, serta tempat bumbu maka akan mengobati perasaannya dan dia akan merasa seakan-akan ia adalah seorang tamu yang dimuliakan.

Banyak pintu-pintu cara bersedekah yang dilalaikan oleh banyak orang, padahal mudah untuk dilakukan. Diantaranya bersikap mudah dan ramah terhadap para pedagang yang datang ke pintu-pintu rumah-rumah, mereka menjual sayur-mayur, buah-buahan, dan bawang. Lalu ada seorang wanita yang menawarnya dan mendebatnya agar ia menurunkan harga barangnya meskipun sedikit, agar sang wanita menampakkan kemahiran dan kehebatannya dalam menawar. Padahal bisa jadi wanita ini adalah dari keluarga jutawan/ keluarga kaya raya. Adapun sang penjual yang miskin tersebut harga dagangannya yang seharian penuh ia memutari rumah-rumah untuk menjualnya hanya senilai taruhlah 100 ribu rupiah, sementara untungnya hanya 20 ribu rupiah !!!

Wahai para wanita…aku mohon kepada kalian atas nama Allah agar kalian bermudah-mudah untuk membeli dagangan para penjual tersebut, berikan kepada mereka apa yang mereka minta. Jika salah seorang dari kalian merasa rugi sejumlah uang (karena tidak menawar…), maka anggaplah itu sebagai sedekah, bahkan sedekah kepada para penjual tersebut lebih baik daripada sedekah kepada pengemis…

Intinya -wahai para pembaca yang budiman- barang siapa yang ingin Allah kirimkan baginya orang yang lebih kaya dan lebih kuat darinya (untuk membantunya) maka hendaknya ia memperhatikan orang yang lebih lemah dan lebih miskin darinya. Hendaknya setiap kita memposisikan dirinya seperti posisi saudaranya (yang miskin), hendaknya ia menghendaki kebaikan bagi saudaranya sebagaimana ia menghendaki kebaikan bagi dirinya. Sesungguhnya kenikmatan dan karunia hanyalah terjaga dan bertambah dengan bersyukur kepada Allah, dan bersyukur tidak hanya dengan sekedar diucapkan oleh lisan saja. Jika ada seseorang yang memegang tasbih lalu mengucapkan "Alhamdulillah" sebanyak 1000 kali, sementara ia tetap pelit dengan hartanya, pelit dengan kedudukannya (tidak mau membantu dengan memanfaatkan kedudukannya-pen), dan ia menzolimi dengan kekuasaannya jika ia memiliki kekuasaan, maka ia bukanlah orang yang memuji Allah, akan tetapi seorang yang pendusta dan riyaa'.

Hendaknya kalian memuji Allah dengan praktek nyata, dan berbuatlah baik kepada orang lain sebagaimana kalian suka Allah berbuat baik kepada kalian. Ketahuilah apa yang aku serukan kepada kalian pada hari ini adalah merupakan sebab kemenangan dan kejayaan Islam mengalahkan para musuh, dan merupakan bentuk persiapan untuk meraih kemenangan. Ini merupakan bentuk jihad dengan berkorban harta, dan jihad ini adalah saudaranya jihad dengan berkorban jiwa.

Semoga Allah merahmati seorang yang mendengar nasehat lalu ia mengamalkannya, dan tidak menjadikan nasehat tersebut masuk di telinga kanannya untuk dikeluarkan dari telinga kirinya. 

(Tulisan indah ini ditulis oleh Syaikh Ali Ath-Thonthoowi rahimahullah di majalah al-Idzaa'ah pada tahun 1956. Tulisan ini banyak disebarkan di internet, diantaranya silahkan lihat http://www.paldf.net/forum/showthread.php?t=1075215, http://www.khawlan.com/vb/t23874.html, dan http://www.lyaleal6rb.net/vb/showthread.php?t=1405)

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 25-03-1433 H / 07 Februari 2011 M

*****
Sumber: firanda.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

02 Februari 2013

FILE 297 : Tafsir Surat Ar Ra'du Ayat 17

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Kebatilan Pasti Akan Tersingkir

.Disusun Oleh:
Ust. Arief B. bin Usman Rozali


أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا ۚ وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ ۚ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ

 
Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. [Ar Ra'd/13:17]

Para ulama berselisih pendapat tentang tempat diturunkannya surat Ar Ra'd yang mulia ini. Di antara mereka ada yang mengatakan makkiyah, ada yang mengatakan madaniyah, ada yang mengatakan sebagian besarnya makkiyah kecuali beberapa ayat, dan ada pula yang mengatakan sebagian besarnya madaniyah kecuali beberapa ayat [1].


PENJELASAN BEBERAPA ULAMA TENTANG AYAT DI ATAS
A. Penjelasan al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah
Beliau berkata:[2]
Ayat yang mulia ini mengandung dua perumpamaan, satu untuk menggambarkan kekokohan dan keabadian al haq, dan satu untuk menggambarkan kebinasaan dan kefanaan al bathil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ

"Allah telah menurunkan air dari langit …"
.

Maksudnya adalah air hujan.

Dan firman-Nya:


فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا

"…maka mengalirlah air itu di lembah-lembah menurut ukurannya…"
.

Maksudnya, setiap lembah menampung air hujan tersebut sesuai dengan ukurannya. Jika lembah tersebut besar (luas), maka bisa mampu menampung air dalam jumlah yang banyak. Dan jika lembah tersebut kecil (sempit), maka akan menampung air hujan tersebut sesuai ukurannya. Semua ini, merupakan isyarat terhadap hati manusia dan perbedaannya. Diantara hati manusia, ada yang dapat menampung ilmu yang banyak, dan di antara hati manusia, ada pula yang tidak dapat menampung ilmu dalam kapasitas yang banyak. Bahkan ia sempit untuk menampungnya.

Adapun firman-Nya:


فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا

"…maka arus (air) itu membawa buih yang mengambang…"
.

Maksudnya; arus air yang mengalir di lembah-lembah tersebut membawa buih-buih yang mengambang di atasnya. Inilah perumpamaan pertama.

Dan firman-Nya:

وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ

"…Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api…"
.

Inilah perumpamaan kedua. Yaitu, dari apa-apa yang mereka lebur di dalam api seperti emas atau perak.

Firman-Nya:


ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ

"… untuk membuat perhiasan…"
.

Maksudnya, tatkala mereka melebur logam-logam untuk membuat perhiasan dari perunggu atau besi, maka akan mengambanglah sisa-sisa (karat) dari logam tersebut sebagaimana buih-buih tadi mengambang di atas aliran air.

Firman-Nya:


كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ

"…Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil…"
.

Maksudnya. apabila keduanya berkumpul, maka sesuatu yang bathil tidak akan bertahan dan abadi. Sebagaimana buih-buih itu tidak akan pernah menetap berada di atas air. Dan sebagaimana sisa-sisa (karat) tidak akan pernah bercampur bersama logam yang asli ketika dilebur dalam api, bahkan akan hilang dan habis.

Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً

"…Adapun buih itu, maka dia akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya…"
.

Maksudnya, tidak dapat dimanfaatkan lagi. Buih tersebut akan berpencar-pencar dan berada di tepi-tepi lembah, atau menyangkut pada pepohonan, atau dihembus oleh angin. Demikian pula sisa-sisa (karat) logam, baik berasal dari emas, perak, perunggu, atau pun besi, maka ia akan hilang dan binasa. Tidak tersisa suatu apapun juga. Yang tersisa hanyalah aliran air atau logam-logam yang dapat dimanfaatkan.

Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ

"…adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan"
.

Juga sebagaimana firman-Nya :


وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu
. [al-'Ankabût/29:43].

Sebagian ulama salaf mengatakan : "Jika aku membaca (ayat yang berisi) perumpamaan dalam Al Qur'an, lalu aku tidak memahaminya, aku menangisi diriku sendiri. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :


وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu
[al-'Ankabût/29:43]

Kemudian, beliau (Imam Ibnu Katsîr rahimahullah ) menjelaskan penafsiran ayat di atas dari 'Abdullah bin 'Abbâs Radhiyallahu anhu , dan menjelaskan pula bahwa tafsir serupa diriwayatkan dari Mujâhid, al-Hasan al-Bashri, 'Athâ', Qatâdah, dan para ulama Salaf lainnya. Sebagaimana yang juga telah dibawakan sebelum beliau dengan sanad-sanadnya oleh Imam ath-Thabari rahimahullah di dalam tafsirnya.[3]

B. Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah

Setelah membawakan ayat di atas, beliau mengatakan :[4]
(Dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperumpamakan ilmu dengan air yang turun dari langit. Karena dengan ilmu, hati akan hidup, sebagaimana badan akan hidup dengan air. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memperumpamakan hati dengan lembah. Karena hati merupakan tempat ilmu, sebagaimana lembah merupakan tempat air. Maka, di antara hati (manusia), ada yang mampu menampung ilmu yang banyak, sebagaimana di antara lembah-lembah ada yang dapat menampung air yang banyak. Dan di antara hati (manusia), ada yang hanya mampu menampung sedikit ilmu, sebagaimana di antara lembah-lembah ada yang hanya dapat menampung sedikit air.

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menjelaskan bahwa pada air tersebut terdapat buih yang mengambang setelah bercampur-baur dengannya. Namun, lama-kelamaan menipis dan menghilang. Dan hal-hal yang masih bermanfaat bagi manusia, ia tetap eksis di bumi. Maka, demikianlah keadaan hati, ia pun dapat tercampuri oleh syahwat dan syubhat. Akan tetapi, tatkala yang tumbuh berkembang dalam hati tersebut adalah al-Haq (kebenaran), maka syahwat dan syubhat pun akan sirna. Dan yang tersisa di dalam hati hanyalah keimanan dan al-Qur'ân yang bermanfaat bagi pemilik hati tersebut dan juga orang lain.

Firman-Nya:


ۚ وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ

Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil


Penggalan ayat ini, merupakan perumpamaan yang kedua -setelah perumpamaan yang pertama di atas-. Dan ini merupakan perumpamaan dengan api. Perumpamaan pertama menunjukkan kehidupan, dan perumpamaan yang kedua menunjukkan cahaya yang menerangi. Terdapat perumpamaan yang semisal dengan dua perumpaan di atas, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan dalam surat Al Baqarah/2, ayat 17-19:


مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ ۚ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati, dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.

Maka, adapun orang kafir, sesungguhnya ia berada di dalam kegelapan kekufuran dan kesyirikan. Ia tidak hidup. Seandainya pun ia hidup, kehidupannya bagaikan kehidupan hewan ternak. Sungguh, ia kehilangan kehidupan ruh yang hakiki dan tinggi, yang sebabnya adalah keimanan. Dengan keimanan itulah seseorang dapat merasakan kebahagiaan di dunia dan akherat.

Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus para Rasul sebagai perantara antara Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hamba-Nya, dalam menerangkan kepada mereka apa-apa yang bermanfaat dan berbahaya bagi mereka. Para Rasul telah menyempurnakan kehidupan umat mereka masing-masing, baik yang berkaitan dengan kehidupan mereka di dunia, maupun di akherat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus mereka semua agar mereka mengajak umat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , menerangkan jalan yang dapat menyampaikan umat mereka kepada-Nya, dan menjelaskan keadaan umat mereka setelah sampai kepada-Nya
.

C. Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah

Beliau -setelah menjelaskan ayat di atas, dengan keterangan yang sangat mirip dan serupa dengan penjelasan gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,- berkata:[5]

Maksud -dari semua penjelasan di atas-, bahwa kebaikan sebuah hati (seseorang), kebahagiaan, dan keberuntungannya bergantung pada dua pokok perumpamaan di atas.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ

Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad), dan bersyair itu tidaklah layak baginya, Al Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya), dan supaya pastilah (ketetapan azdab) terhadap orang-orang kafir
. [Yâsîn/36:69-70].

Melalui ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa mengambil manfaat dan peringatan dari al- Qur'ân, hanyalah dapat dilakukan oleh orang yang hidup hatinya. Hal ini seperti (yang ditunjukkan) firman-Nya pada ayat yang lain:


إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. [Qâf/50:37].

Dan firman-Nya:

.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ


"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu…". [al-Anfâl, 8:24].

Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa kehidupan kita hanyalah tergantung pada apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya serukan kepada kita, berupa ilmu dan iman. Sehingga dari sini, dapat diketahui bahwa kematian sebuah hati dan kebinasaan adalah dengan sebab hilangnya ilmu dan iman itu (dari hatinya)
.


BEBERAPA HADITS SHAHIH YANG BERKAITAN DENGAN TAFSIR AYAT DI ATAS DAN PENJELASAN ULAMA TERHADAPNYA
A. Hadits Abu Musa al-Asy'ari Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ، كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضاً، فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ، قَبِلَتِ الْمَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيْرَ، وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ، أَمْسَكَتِ الْمَاءَ، فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ، فَشَرِبُوْا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا، وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيْعَانُ، لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِيْ دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ بِمَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْساً وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ

Sesungguhnya perumpamaan apa-apa yang Allah mengutusku dengannya berupa petunjuk dan ilmu, bagaikan hujan deras yang menimpa bumi. Maka, di antara bumi ada yang baik, menyerap air dan menumbuhkan pepohonan kecil dan rerumputan yang banyak. Dan di antara bagian bumi, ada yang keras (gersang), ia menyerap air. Allah pun memberikan manfaat kepada orang-orang dengannya. Mereka dapat minum darinya, mengambil air darinya, dan menggembalakan (hewan ternak mereka). Dan di antara bumi, ada pula yang bebatuan keras, tidak menyerap air dan tidak pula menumbuhkan pepohonan kecil. Itulah perumpamaan orang yang pandai dalam agama Allah, Allah memberikan manfaat kepadanya dengan apa-apa yang Allah mengutusku dengannya. Maka ia pun mengetahui (petunjuk dan ilmu tersebut) dan mengajarkannya. Dan itulah pula perumpamaan orang yang tidak perhatian sama sekali (terhadap petunjuk dan ilmu tersebut), dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa
.[6]

Setelah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan hadits di atas dan membagi manusia menjadi tiga golongan, beliau berkata:[7]

"Hadits yang mulia ini mengandung peringatan bahwa ilmu sangatlah mulia, demikian pula mengajarkannya. Ilmu begitu agung pengaruhnya. Sekaligus mengandung peringatan bahwa orang yang bukan ahlinya akan celaka dan sengsara. Hadits yang mulia ini pun menyebutkan golongan-golongan manusia. Di antara mereka ada yang celaka, dan di antara mereka ada pula yang bahagia. Dan yang bahagia di antara mereka, ada yang senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan, dan ada pula yang pertengahan (dalam kebaikan).[8]

Pada hadits ini juga terdapat dalil bahwa kebutuhan hamba akan ilmu seperti kebutuhan mereka kepada hujan, bahkan lebih besar lagi. Dan mereka, jika kehilangan ilmu ini, maka mereka bagaikan bumi yang kehilangan hujan. Imam Ahmad rahimahullaah berkata: "Kebutuhan manusia akan ilmu lebih besar daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari hanya sekali atau dua kali saja, sedangkan ilmu dibutuhkan sejumlah nafas
".

Kemudian Imam Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan ayat ke-17 dari surat Ar Ra'd di atas.

B. Hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلِيْ وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَاراً، فَجَعَلَ الْجَنَادِبُ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيْهَا، وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا، وَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ عَنِ النَّارِ وَأَنْتُمْ تَفَلَّتُوْنَ مِنْ يَدِيْ

Perumpamaan diriku dengan kalian bagaikan seorang yang menyalakan api, lalu mulailah belalang-belalang dan kupu-kupu berjatuhan pada api itu, sedangkan ia selalu mengusirnya (serangga-serangga tersebut) dari api tersebut. Dan aku (selalu berusaha) memegang (menarik) ujung-ujung pakaian kalian agar kalian tidak terjerumus ke dalam neraka, namun kalian (selalu) terlepas dari tanganku
[9]


BEBERAPA PELAJARAN DAN FAIDAH AYAT-AYAT [10]
  1. Dianjurkan menyampaikan perumpamaan untuk mendekatkan pemahaman.
  2. Kekokohan dan kelanggengan al-Haq (kebenaran), dan kehancuran kebatilan merupakan ketetapan dan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala
  3. Penjelasan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan surga bagi orang-orang yang tunduk patuh untuk beriman dan melakukan ketaatan.
  4. Penjelasan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang-orang yang tidak mau tunduk patuh
Demikian, mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat menambah ilmu, iman, dan amal shalih kita. Wallâhu A'lamu bish Shawâb .

Maraji’ & Mashadir:
  1. Al Quran dan terjemahnya, cet Mujamma’ Mâlik Fahd, Saudi Arabia.
  2. Shahîh al-Bukhâri, Abu Abdillah Muhammad bin Ismâil bin al Mughîrah al Bukhâri (194-256 H), tahqîq Musthafa Dîb al Bugha, Dâr Ibni Katsir, al Yamâmah, Beirut, Cet III, Th 1407 H/ 1987 M.
  3. Shahih Muslim, Abul Husain Muslim bin Hajjâj al-Qusyairi an-Naisaburi (204-261 H), tahqîq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.
  4. Tafsir ath-Thabari (Jâmi'ul Bayân 'an Ta'wîli Ayil Qur'ân), Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr ath Thabari (224-310 H), tahqîq Mahmud Syâkir, Daar Ihyâ at Turâts, Beirut, Cet. I, Th. 1421 H/ 2001 M.
  5. Zâdul Masîr, Abu al Faraj Jamâluddin 'Abdurrahmân bin 'Ali bin Muhammad al-Jauzi al Baghdâdi (508-597 H), al Maktab al Islami, Beirut, Cet. III, Th. 1404 H/ 1984 M.
  6. Tafsir Ibnu Katsîr (Tafsir Al Qur’aan Al ‘Azhîm), Abu al Fida’ Ismâil bin Umar bin Katsîr (700-774 H), tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Dâr ath Thayibah, Riyâdh, Cet I, Th 1422 H/2002 M.
  7. Aisarut Tafâsir li Kalâmil 'Aliyyil Kabîr, Abu Bakar Jabir al Jazâiri, Maktabah al-Ulum wal Hikam, Madinah Munawwarah, KSA, Cet VI, Th 1423 H/ 2003 M.
  8. An Nihâyah Fi Gharîbil Hadîtsi wal Atsar, Imam Majdud Dîn Abi as Sa’âdat al-Mubârak bin Muhammad al-Jazari Ibnu al-Atsîr (544-606 H), tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Dârul Ma’rifah, Beirut-Libanon, cet I, th 1422 H/ 2001 M.
  9. Majmû'ul Fatâwa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (728 H), takhrij 'Aamir Al Jazzâr dan Anwar Al Bâz, Maktabah Al Ubaikan, Riyâdh-KSA, Cet I, Th 1419 H/ 1998 M.
  10. Ighâtsatul Lahfân fî Mashâyidisy Syaithân, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), takhrîj Muhammad Nâshiruddîn al Albâni (1332-1420 H), tahqiq Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Dâr Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H.
  11. Miftâhu Dâris Sa'âdah, Wa Mansyûru Walâyati Ahlil 'Ilmi wal Irâdah, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), muraaja'ah Syaikh Bakr bin 'Abdillah Abu Zaid (1429 H), tahqiq 'Ali bin Hasan bin 'Ali al-Halabi, Dâr Ibn al Qayyim, Riyâdh-KSA, & Dâr Ibn 'Affân, Kairo-Mesir, Cet. I, Th. 1425 H/ 2004 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Di antara ulama yang mengatakan makkiyah adalah al-Hasan, Sa'îd bin Jubair, Qatâdah, 'Athâ`. Sementara di antara ulama yang mengatakan madaniyah adalah al-Kalbi, Jâbir bin Zaid. Lihat Zâdul Masîr (4/299).
Adapun ath-Thabari rahimahullah dalam Jâmi'ul Bayân 'an Ta'wîli Ayil Qur'ân (13/110) berpendapat madaniyah. Dan Ibnu Katsîr rahimahullah dalam tafsirnya (4/428) berpendapat makkiyah. Wallahu A'lam.
[2]. Tafsîrul Qur'ânil 'Azhîm (4/447).
[3]. Lihat Tafsîrul Qur'ânil 'Azhîm (4/447-448) dan Jâmi'ul Bayân 'an Ta'wîli Ayil Qur'ân (13/161-165).
[4]. Majmu'ul Fatâwa (19/94-95). Lihat pula Majmu'ul Fatâwa (10/766-767), dan Dar`u Ta'ârudhil 'Aqli Wan Naqli (7/427-428) dan (3/186).
[5]. Ighâtsatul Lahfân fî Mashâyidisy Syaithân (1/65).
[6]. HR al-Bukhâri (1/42 no. 79), Muslim (4/1787 no. 2282), dan lain-lain.
[7]. Miftahu Dâris Sa'âdah, Wa Mansyûru Walâyati Ahlil 'Ilmi wal Irâdah (1/248-249).
[8]. Syaikh 'Ali bin Hasan al-Halabi -hafizhahullah- berkata: "(Hal ini) seperti yang ditunjukkan pada ayat ke-32, dalam surat Fâthir". Lihat ta'lîq beliau dalam Miftâhu Dâris Sa'âdah, Wa Mansyûru Walâyati Ahlil 'Ilmi wal Irâdah (1/248).
[9]. HR Muslim (4/1790 no. 2285), dan lain-lain. Dan hadits yang semakna dengannya diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu, juga dalam Shahîh Muslim (4/1789 no. 2284).
Lihat penjelasan kosa kata yang asing pada hadits ini dalam An Nihayah fii Gharîbil Hadîtsi Wal Atsar (1/299 dan 337, 2/388).
[10]. Di sadur dari Aisarut Tafâsîr li Kalâmil 'Aliyyil Kabîr (1/601).
*****
Sumber: almanhaj.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin