Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..
Umat Islam, khususnya Ahlussunnah, adalah umat pertengahan. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala di dalam Al Qur'an,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةًۭ
وَسَطًۭا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ
شَهِيدًۭا
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu." (QS. Al Baqarah [2]: 143)
Untuk itu pula lah, kita tak lepas-lepasnya berdo'a, minimal sebanyak tujuh belas kali dalam sehari, di dalam sholat, memohon kepada Allah agar kita ditetapkan untuk senantiasa meniti jalur pertengahan tersebut,
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
"Tunjukilah kami jalan yang lurus (yang tidak menyimpang), (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (QS. Al Fatihah [1]: 6-7)
Dalam rangka lebih memahami tentang karakteristik umat pertengahan ini, saya mencoba mengkompilasi beberapa artikel yang membahas dengan bagus tentang permasalah ini.
Semoga bisa sedikit mencerahkan.
--oo00oo--
Sikap Pertengahan Umat Islam,
Antara Yahudi dan Nasrani
.Disusun Oleh: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja'ah : M.A. Tuasikal
Umat Islam adalah umat yang terbaik sekaligus umat yang paling mulia. Di
antara sebabnya adalah sikap adil yang dimiliki umat Islam, yakni bersikap
pertengahan di antara dua kelompok yang terlalu berlebih-lebihan dan terlalu
meremehkan. Umat Nashrani bersikap berlebih-lebihan dalam beragama, sedangkan
umat Yahudi terlalu meremehkan. Kedua-duanya telah keliru dalam memahami
agama. Adapun umat Islam adalah umat yang adil, berada di tengah-tengah antara
keduanya.
Dalam Perkara Tauhid
Dalam permasalahan tauhid
kepada Allah dan terhadap sifat-sifat-Nya, umat Islam bersikap pertengahan
antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menyifati Allah
Ta’ala
dengan sifat kekurangan yang dimiliki makhluk sehingga mereka menyamakan Allah
dengan makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah bakhil (kikir) dan fakir,
memiliki sifat malas sehingga butuh istirahat, Allah menyerupai bentuk manusia,
serta perkataan lain yang senada.
Adapun umat Nashrani menyifati makhluk
dengan sifat Al Kholiq (Yang Maha Pencipta). Mereka manyamakan makhluk dengan
Allah
Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah al Masih bin
Maryam, al Masih adalah
Ibnullah (anak Allah), dia dapat mencipta,
memberi rizki, mengampuni dosa, memberi rahmat, serta memberi pahala dan
mengadzab.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mentauhidkan
Allah
‘Azza wa Jalla semata. Mereka menyifati Allah dengan sifat yang
sempurna, dan menyucikannya dari seluruh sifat kekurangan, serta tidak
menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka meyakini bahwa tidak ada
satupun yang menyerupai Allah baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Dalam Keimanan Terhadap Para Nabi
Dalam hal keimanan terhadap para Nabi, umat Islam bersikap pertengahan
antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi membunuh nabi-nabi mereka,
mencela mereka, serta berpaling dan sombong dengan tidak mau mengikuti ajaran
mereka. Sedangkan umat Nashrani mereka bersikap
ghuluw
(berlebih-lebihan) terhadap Nabi mereka. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan
selain Allah. Mereka menjadikan al Masih
‘alaihis salaam sebagai
Tuhan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mendudukkan
nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam senantiasa menolong
nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan mereka, mencintai
mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka semua adalah hamba Allah
sekaligus rasul yang memberi peringatan dan kabar gembira. Umat Islam tidak
bersikap berlebih-lebihan sampai menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai
sesembahan selain Allah karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan
mereka juga sedikit pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Dalam Permasalahan Syariat
Dalam permasalahan syariat, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi
dan Nashrani. Umat Yahudi menolak rasul utusan Allah yang tidak membawa syariat
Musa
‘alaihis salaam. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak boleh
menghapus syariat Musa
‘alahis salaam, serta tidak boleh
pula untuk menghilangkan dan menetapkan syariat yang Allah kehendaki. Adapun
kamu Nashrani mereka membolehkan pendeta-pendeta mereka merubah agama Allah,
menghalalkan perkara yang Allah haramkan dan mengharamkan perkara yang Allah
halalkan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam meyakini bahwa
segala penciptaan dan pengaturan hanyalah hak Allah. Allah menghilangkan dan
menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Penghapusan syariat bisa saja
terjadi di masa hidupnya Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapaun
setelah wafatnya beliau, maka tidak boleh seorang pun mengganti syariat Allah
betapa pun tingginya kedudukan dan besarnya kemampuan orang tersebut.
Dalam Perkara Halal Dan Haram
Dalam perkara halal dan haram, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi
dan Nashrani. Umat Yahudi banyak diharamkan dari hal-hal yang mubah.
Sebagaimana Allah kisahkan dalam Al Quran,
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلاًّ لِّبَنِى
إِسْرَاءِيلَ إِلاَّ مَاحَرَّمَ إِسْرَاءِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن
تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ
S"Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang
diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat
diturunkan…”(QS. Ali Imron [3]: 93)3
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا
عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
كَثِيرًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah” (QS. An Nisaa’ [4]:160)
Sedangkan umat Nashrani mereka berlebih-lebihan dalam menghalalkan hal-hal
yang diharamkan. Mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan dalam Taurat dan
diharamkan oleh al Masih
‘alaihis salaam. Mereka menghalalkan hal-hal
yang jelek dan semua hal yang haram seperti bangkai, darah, dan daging babi.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka tidak
berlebih-lebihan dalam perkara halal dan haram. Mereka menghalalkan hal-hal
yang telah Allah halalkan bagi mereka dalam Al Quran atau sabda Nabi s
halallhu
‘alaihi wa salaam. Mereka juga mengharamkan segala sesuatu hal yang jelek
yang diharamkan bagi mereka.
Allah
Ta’ala berfirman tentang kondisi
umat Islam,
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ
اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ
وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al A’rof:157)
Dalam Urusan Ibadah
Dalam urusan ibadah, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan
Nashrani. Umat Yahudi berilmu tetapi tidak mau beramal. Merekalah golongan yang
dimurkai. Mereka berpaling dari ibadah dan bersikap sombong dengan tidak mau
taat kepada Allah. Mereka mengikuti hawa nafsu mereka dan menghamba kepada diri
mereka sendiri sehingga mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyikapi dunia
daripada agama dan akhirat mereka.
Sedangkan umat Nashrani tidak memiliki ilmu sehingga beribadah kepada Allah di
atas kejahilan. Merekalah golongan yang sesat. Mereka beribadah berlandaskan
bid’ah yang tanpa dasar.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka berilmu sekaligus
mengamalkannya. Mereka adalah golongan yang Allah beri nikmat. Mereka menyembah
Allah semata dengan syariat-Nya, bukan berdasarkan hawa nafsu dan kebid’ahan.
Mereka juga tidak melupakan kebaikan untuk dunia mereka. Teladan mereka adalah
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa salaam.
Pembaca yang budiman, inilah keadilan akidah Islam. Bersikap pertengahan
antara dua kolompok yang terlalu berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan.
Semoga Allah meneguhkan kita di atas Islam sampai ajal menjemput kita.
Wa
shalallahu ‘alaa nabiyyina muhammaad.
[Disadur dengan sedikit perubahan redaksi dari kitab
Al Mufiid
fii Muhammaati at Tauhid, hal 43-48 karya Dr. ‘Abdul Qodir as
Shufi, Penerbit Daar Adwaus Salaf, Cetakan pertama, 1428/2007]
Selesai ditulis di Kompleks Ma’had Jamilurrohman
Kamis menjelang subuh, 18 Rabi’ul Awwal 1431 H/ 4 Februari 2010
Sumber:
muslim.or.id
---o0o---
Keempat Puluh Satu:
Ahlus Sunnah adalah Ahlul Wasath
.Oleh:
Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah
Ahlul Wasath (ummat yang pertengahan di
antara firqah-firqah
[1] yang menyimpang)
[2]. Sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan ummat (Islam) ini sebagai ummat
pertengahan (ummat yang adil dan terpilih), di kalangan semua ummat
manusia, sebagaimana firman-Nya:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian pula telah Kami jadikan kamu (ummat Islam), ummat yang
adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” [Al-Baqarah (2):
143]
Mereka (Ahlus Sunnah) adalah pertengahan di antara firqah-firqah
(golongan-golongan) yang sesat. Menurut penjelasan Imam ‘Abdullah Ibnul
Mubarak (wafat th. 181 H) dan Yusuf al-Asbath (wafat th. 195 H) bahwa
golongan yang binasa (sesat) banyak jumlahnya, akan tetapi sumber
perpecahannya ada empat firqah (golongan), yaitu:
-
Rafidhah.
- Khawarij.
-
Qadariyyah.
-
Murji'ah.
Ada orang yang bertanya kepada ‘Abdullah Ibnul Mubarak tentang golongan
Jahmiyyah, maka beliau menjawab: “Mereka itu bukan ummat Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
[3]
Di antara keyakinan dan manhaj Ahlus Sunnah yang merupakan pertengahan adalah:
1. Mereka (Ahlus Sunnah) adalah pertengahan dalam masalah Sifat-Sifat Allah antara golongan Jahmiyyah dan Musyabbihah.
Jahmiyyah adalah aliran yang sesat dan dikafirkan oleh para ulama.
Muncul pada akhir kekuasaan Bani Umayyah. Disebut demikian karena
dikaitkan dengan nama tokoh pendirinya, yaitu Abu Mahraz Jahm bin
Shafwan at-Tirmidzi yang dibunuh pada tahun 128 H. Di antara pendapat
aliran ini adalah mengingkari Asma’ dan Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa
Ta'ala, Al-Qur-an adalah makhluk (barang ciptaan) dan bahwa iman itu
adalah hanya sekedar mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka
berkeyakinan bahwa Surga dan Neraka itu fana (akan binasa) dan
lain-lain.
[4]
Musyabbihah yaitu aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Mereka
menyamakan atau menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
Termasuk dalam golongan
tamtsil ini adalah Jawaliqiyyah, Hisyamiyyah dan
Jawaribiyyah.
[5]
Sedangkan pandangan Ahlus Sunnah tentang Sifat Allah dapat dilihat dalam pembahasan Tauhid Asma’ wash Shifat.
[Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menetapkan sifat-sifat Allah tanpa
menyerupakannya (dengan makhluk). Mereka me-Mahasuci-kan Allah dari keserupaan dengan para
makhluk, tanpa meniadakannya (sifat Allah tersebut). Mereka memadukan antara Tanzih
(pemahasucian) dengan Itsbat (penetapan).
Allah telah membantah kedua kelompok yang menyimpang di atas dengan firman-Nya,
لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۭ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy Syura [42]: 11)
Firman-Nya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia…” adalah
bantahan terhadap kaum musyabbihah (yang menyerupakan sifat Allah dengan
sifat makhluk-Nya -pent), sedangkan firman Allah, “dan Dia-lah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat” adalah bantahan terhadap kaum mu’athilah (yang menafikan / meniadakan sifat-sifat Allah -pent). -
sumber-
]
2. Ahlus Sunnah pertengahan antara aliran Jabariyyah dan Qadariyyah dalam masalah af’alul ‘ibad (perbuatan hamba-Nya).
Jabariyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal
dari kata ‘
jabr’ artinya paksaan. Dan mereka mempunyai pandangan bahwa
manusia dalam segala perbuatan, gerak-gerik dan tingkah lakunya adalah
dipaksa, tidak memiliki kekuasaan dan kebebasan. Mereka menafikan (meniadakan) perbuatan hamba secara hakikat dan menyandarkannya kepada Allah.
Termasuk dalam aliran ini adalah Jahmiyyah, mereka berpandangan seperti
itu. Menurut Syahrastani bahwa Jabariyyah ada dua golongan: Jabariyyah
Khalishah dan Jabariyyah Mutawassithah.
[6]
Qadariyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal
dari kata ‘
qadar’, artinya ketentuan Ilahi. Aliran ini tidak mengakui
adanya qadar tersebut dan mengatakan manusia-lah yang menentukan nasibnya
sendiri dan dia-lah yang membuat perbuatannya, terlepas dari kodrat
serta iradat Ilahi. Termasuk dalam aliran ini adalah Mu’tazilah yang
juga berpandangan sama.
[7]
Pandangan Ahlus Sunnah tentang perbuatan hamba adalah:
Pertama : Perbuatan hamba pada hakekatnya adalah ciptaan Allah Azza wa Jalla.
[QS. Ash Shaffat [37]: 96]
Kedua : Yang melaksanakan perbuatan tersebut adalah hamba itu sendiri secara hakiki.
Ketiga : Seorang hamba mempunyai kekuasaan (kemampuan) untuk
melaksanakan perbuatannya secara hakiki dan mempunyai pengaruh atas
terjadinya perbuatan tersebut. Dan Allah-lah yang memberi kemampuan
kepada mereka untuk melakukan perbuatan tersebut
[QS. At Takwiir [81]: 28 - 29].
[8]
Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat th. 499 H) rahimahullah berkata:
“Pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan bahwa perbuatan
hamba adalah diciptakan Allah Azza wa Jalla. Dan mereka tidak ada yang
membantah serta tidak ada keraguan sedikit pun. Sebaliknya, mereka
menganggap orang yang mengingkari dan tidak menerima kenyataan itu
sebagai orang yang menyimpang dari petunjuk dan kebenaran.”
[9]
3. Mereka (Ahlus Sunnah) pertengahan dalam masalah ancaman Allah [10],
antara Murji’ah dan aliran Wa’idiyyah, dari kalangan Qadariyyah dan
selain mereka.
Murji’ah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal
dari kata
irja' yang berarti pengakhiran, sebab mereka mengakhirkan
(memisahkan) amal dari iman. Mereka mengatakan: “Suatu dosa tidak
membahayakan selama ada iman, sebagaimana suatu ketaatan tidak berguna
selama ada kekafiran.” Menurut mereka, amal tidaklah termasuk dalam
kriteria iman, serta iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang.
[11]
Wa’idiyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah, berasal
dari kata
wa’iid yang berarti ancaman. Mereka berpendapat bahwa Allah
harus melaksanakan ancaman-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam
Al-Qur'an. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar,
apabila ia wafat tanpa bertaubat, maka ia akan kekal di dalam Neraka,
sebagaimana yang diancamkan oleh Allah terhadap mereka, sebab Allah
tidak akan menyalahi janji-Nya.
[12]
Sedangkan menurut pandangan Ahlus Sunnah bahwasanya seorang Muslim yang
berbuat dosa besar akan mendapat ancaman dengan Neraka
apabila ia tidak
bertaubat; jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya, dan jika
Allah menghendaki, Dia akan menyiksanya di dalam Neraka.
Akan tetapi ia
tidak kekal di Neraka.
[13]
[Ahlus Sunnah mengatakan,"Menyelisihi ancaman merupakan kemurahan, berbeda dengan menyelisihi
janji kebaikan. Menyelisihi ancaman merupakan perbuatan terpuji, tidak
sebagaimana menyelisihi janji kebaikan." >> sesuai sifat Allah, Ar Rahmaan dan Ar Rahiim -Sa'ad-
Seorang penyair berkata,
Sungguh, bila aku mengancamnya atau menjanjikan kebaikan untuknya,
Kuselisihi ancamanku, dan kupenuhi janji baikku.
-
sumber-
]
4. Ahlus Sunnah pertengahan dalam hal nama-nama iman dan agama, antara
golongan Haruriyyah dan Mu’tazilah, serta antara kaum Murji’ah dan
Jahmiyyah.
Haruriyyah adalah aliran sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari
kata
haruura’ (
حَرُوْرَاءُ), yaitu suatu tempat di dekat Kufah.
Haruriyyah termasuk salah satu sekte dalam aliran Khawarij. Dinamakan
demikian karena di tempat itulah mereka ber-kumpul ketika mereka keluar
(memberontak) dari kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu.
Menurut mereka, pelaku dosa besar adalah kafir dan di akhirat ia kekal
di dalam Neraka.
[14]
Mu’tazilah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Mereka
adalah pengikut Washil bin ‘Atha' dan ‘Amr bin ‘Ubaid. Dikatakan
Mu’tazilah karena mereka mengeluarkan diri (
i'tizal) dari kelompok
kajian al-Hasan al-Bashri (wafat tahun 110 H) rahimahullah, atau karena
mereka mengisolir diri dari pandangan sebagian besar ummat Islam ketika
itu dalam hal pelaku dosa besar, karena menurut Washil bin ‘Atha',
pelaku dosa besar berada dalam status antara iman dan kafir, tidak
dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, atau disebut dengan
istilah mereka:
manzilah bainal manzilatain (
tempat di antara dua
kedudukan, tidak mukmin dan tidak kafir). Dan jika tidak bertaubat, maka
ia di akhirat akan kekal dalam Neraka.
[15]
[Jadi, ada dua tempat perbedaan antara Khawarij dan Mu’tazilah dan dua tempat pula yang mereka sepakati. Terjadi persamaan di antara mereka pada:
- Menolak keimanan bagi orang yang melaksanakan dosa besar
- Kekekalan orang tersebut di Neraka bersama orang-orang kafir
Adapun perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah:
- Orang-orang Khawarij menyebutnya sebagai orang kafir, sedangkan orang-orang Mu’tazilah mengatakan bahwa orang tersebut berada di suatu tempat di antara dua tempat.
- Khawarij menghalalkan darah dan hartanya, sedangkan Mu’tazilah tidak melakukan hal itu.
(Adapun) Murji’ah mengatakan bahwa suatu dosa tidak mendatangkan mudharat terhadap keimanan sebagaimana suatu ketaatan tidak berguna dengan adanya kekafiran.Mereka mengatakan bahwa iman hanyalah pembenaran di dalam hati.
Seorang yang melakukan dosa besar menurut mereka memiliki keimanan yang
sempurna dan tidak berhak dimasukkan ke Neraka. Dengan demikian, keimanan orang yang paling fasik sama dengan keimanan orang yang paling sempurna imannya.
>> mirip dengan poin ketiga -Sa'ad-
Demikian halnya dengan pendapat orang-orang Jahmiyah. Jadi, orang Jahmiyah telah melakukan bid’ah at-ta’thil, al-jabar dan al-irja’ (menolak sifat Allah, pemaksaan taqdir, dan mengeluarkan amal dari iman), sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim Rahimahullah. Orang yang melaksanakan dosa besar, menurut mereka, memiliki keimanan
yang sempurna dan tidak berhak dimasukkan ke dalam Neraka.
Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, telah mendapatkan petunjuk dari Allah untuk memahami kebenaran. Mereka mengatakan,
Sesungguhnya, iman adalah ucapan dengan lisan, perbuatan dengan
anggota badan, dan keyakinan dengan hati. Iman bertambah dengan ketaatan
dan berkurang dengan kemaksiatan.
Seorang pelaku dosa besar menurut mereka adalah seorang mukmin yang
kurang imannya. Berkurangnya iman dia itu sebanding dengan kadar maksiat
yang dilakukannya. Maka, mereka tidak sama sekali menafikan keimanan pelaku dosa besar
tersebut seperti pemahaman kaum Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka juga
tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu seorang yang memiliki iman sempurna seperti kaum Murji’ah dan Jahmiyah.
Adapun hukum orang tersebut di akhirat, di bawah kehendak Allah. Jika
Dia berkehendak, Dia akan memasukkannya ke Jannah sejak pertama kali
sebagai kasih sayang dan karunia dari Allah. Dan jika Dia menghendaki, Dia akan menyiksanya sesuai dengan kadar kemaksiatannya. Ini apabila ia
tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, tidak
menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan tidak mengharamkan apa
yang dihalalkan oleh Allah.
Hukum yang diyakini oleh Ahlus Sunnah bahwa seorang mukmin tidak
kekal di Neraka, juga merupakan hukum yang pertengahan antara yang
diyakini oleh kaum Khawarij dan kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa
manusia kekal di Neraka. Begitu juga dengan Murji’ah dan Jahmiyah yang
mengatakan bahwa manusia tidak berhak untuk mendapatkan hukuman
sekalipun melakukan kemaksiatan. -
sumber-
]
Menurut Ahlus Sunnah, pelaku dosa besar dari kaum Muslimin masih
tetap disebut Mukmin karena imannya, hanya saja ia itu fasiq karena
perbuatan dosa besarnya. Atau dikatakan ia itu Mukmin yang kurang
imannya, sedang urusannya di akhirat -
apabila belum bertaubat- adalah
terserah Allah, jika Allah Azza wa Jalla menghendaki, akan disiksa-Nya
(sesuai dengan keadilan-Nya) dan jika Dia menghendaki akan diampuni-Nya
(sesuai dengan sifat kasih-Nya)
[QS. At Taubah (9): 106].
[16]
5. Ahlus Sunnah juga pertengahan antara golongan Rafidhah dan Khawarij,
dalam masalah Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Rafidhah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal
dari kata ‘
Rafadha’, artinya menolak. (Rafidhah adalah) salah satu sekte di dalam aliran
Syi’ah. Mereka bersikap berlebih-lebihan terhadap ‘Ali dan Ahlul Bait,
serta mereka menyatakan permusuhan terhadap sebagian besar Sahabat,
khususnya Abu Bakar dan ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Disebut Rafidhah,
karena mereka menolak untuk membantu serta mendukung Zaid bin ‘Ali bin
al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib pada masa kepemimpinan Hisyam bin
‘Abdil Malik. Sebabnya, karena mereka meminta kepada Zaid supaya
menyatakan tidak berpihak kepada Abu Bakar dan ‘Umar, beliau menolak dan
tidak mau sehingga mereka pun menolak untuk mendukungnya. Oleh karena
itu mereka disebut Rafidhah.
[17]
[Sebab mereka disebut Rafidhah adalah, karena mereka meninggalkan Zaid
bin Ali bin Husain, ketika mereka bertanya, “Apakah engkau berlepas
diri dari Syaikhain, yaitu: Abu Bakar dan Umar?”
Maka Zaid menjawab, “Ma’adzallah (aku berlindung kepada Allah), keduanya
adalah wazir (pembantu) kakekku.” Maka mereka menolak Zaid, sehingga
dinamakan Rafidhah.
(Rafidhah berakar dari kata kerja rafadha, yang salah satu artinya adalah meninggalkan (menolak) -pent.)
Adapun golongan Zaidiyah mengatakan,"Kami berwala’ kepada keduanya dan berlepas diri dari siapa saja yang berlepas diri dari keduanya."Mereka mengikuti pendapat Zaid, sehingga mereka disebut sebagai Zaidiyah. -
sumber-
]
Khawarij adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal
dari kata
kharaja yang berarti keluar. Suatu aliran yang menyempal dari
agama Islam dan mereka keluar dari para Imam pilihan dari kaum Muslimin.
Bahkan mereka mengkafirkan ‘Ali dan Mu’awiyah serta para pendukung
keduanya. Mereka (Khawarij) disebut demikian karena menyatakan keluar
dari kekhalifahan ‘Ali setelah peristiwa Shiffin. Prinsip Khawarij yang
paling mendasar ada tiga, yang mereka telah menyimpang, sesat dan
menyesatkan kaum Muslimin:
Pertama : Mengkafirkan ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan dan dua hakim
[18] Radhiyallahu anhum.
Kedua : Wajib keluar (memberontak) dari penguasa yang zhalim.
Ketiga : Pelaku dosa besar adalah kafir dan di akhirat kekal dalam Neraka.
[19]
Firqah yang pertama kali keluar dari ummat Islam adalah Khawarij,
merekalah yang pertama kali mengkafirkan kaum Muslimin dengan sebab dosa
besar, dan mereka juga yang meng-halalkan darah kaum Muslimin dengan
sebab itu.
[20]
[Khawarij adalah kebalikan dari Rafidhah. Mereka mengkafirkan Ali, Mu’awiyah, dan sahabat-sahabat yang
bersama keduanya, sekaligus memerangi mereka serta menghalalkan darah
dan harta mereka. Sedangkan Nawashib adalah golongan yang menampakkan
permusuhan dan mencela Ahlul Bait.
Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, telah mendapatkan petunjuk kebenaran
dari Allah. Mereka tidak mengkultuskan Ali dan Ahlul Bait, tidak
menampakkan permusuhan terhadap para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, tidak mengkafirkan mereka, serta tidak berbuat sebagaimana golongan Nawashib yang memusuhi Ahlul Bait.
Sebaliknya, mereka mengakui hak dan keutamaan keduanya, berwala’
kepada mereka, meyakini peringkat keutamaan mereka sebagai berikut: Abu
Bakar, Umar, Utsman, kemudian Ali. Menahan diri dari pembicaraan yang
bertele-tele mengenai mereka, dan mendo’akan seluruh sahabat agar
mendapatkan limpahan rahmat Allah.
Jadi, mereka (Ahlus Sunnah) bersikap pertengahan antara pengkultusan yang dilakukan
oleh orang-orang Rafidhah dan kebencian orang-orang Khawarij. -
sumber-
]
[Disalin dari kitab
Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Firqah adalah kelompok atau golongan, aliran, pemahaman yang
menyimpang dari pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum. Mereka
mempunyai prinsip dan kaidah dalam beragama yang berbeda dengan prinsip
‘aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[2]. Untuk lebih jelas tentang pertengahan Ahlus Sunnah di antara
firqah-firqah yang sesat, bacalah kitab
Wasathiyyah Ahlus Sunnah bainal
Firaq karya Dr. Muhammad Bakarim Muhammad Ba’abdullah, cet. I- Daarur
Rayah, th. 1415 H.
[3].
Majmuu’ Fataawaa (III/350) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[4]. Lihat
Maqaalaat Islamiyyiin (juz I) oleh Abul Hasan al-Asy’ari,
al-Farqu bainal Firaq (hal. 158),
al-Milal wan Nihal (hal. 86-88) oleh
Syahrastani,
Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 185) oleh Khalil
Hirras,
tahqiq as-Saqqaf, dan
Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 296).
[5]. Lihat
Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 185) oleh Khalil
Hirras,
tahqiq as-Saqqaf,
al-Farqu bainal Firaq (hal. 170-174) dan
Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 317-318).
[6]. Lihat
Maqaalaatul Islamiyyiin (I/338),
al-Milal wan-Nihal (hal. 85)
oleh Syahrastani dan
Wasathiyah Ahlis Sunnah (hal. 374-375).
[7]. Lihat
al-Farqu bainal Firaq (hal. 79) oleh al-Khatib al-Baghdadi,
tahqiq Muhyidin ‘Abdul Hamid,
al-Milal wan-Nihal (hal. 43-45) oleh
Syahrastani dan
Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 378).
[8]. Lihat
Wasathiyyah (hal. 379) dan
Minhaajus Sunnah (II/298).
[9].
‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 90 no. 118).
[10]. Lihat pembahasan tentang
al-Wa’du wal Wa’iid pada buku ini (hal. 374-380).
[11]. Lihat
al-Milal wan-Nihal (hal. 139) oleh Syahrastani,
Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 294-295).
[12]. Lihat
Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 188) oleh Khalil
Hirras,
tahqiq as-Saqqaf dan
Wasathiyyah Ahlus Sunnah (hal. 355-356).
[13].
Wasathiyyah Ahlus Sunnah (hal. 357).
[14]. Lihat
Maqaalaatul Islamiyyiin (I/167) oleh Abul Hasan al-Asy’ari,
tahqiq Muhyidin ‘Abdul Hamid,
Majmu’ al-Fataawaa (VII/481-482) oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan
Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal.
190) oleh Khalil Hirras,
tahqiq as-Saqqaf.
[15]. Lihat
al-Farqu bainal Firaq (hal. 15),
Wasathiyyah (hal. 296-297, 341-343).
[16]. Lihat
Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 346) dan
Syarhul ‘Aqiidah
al-Waasithiyyah (hal. 191) oleh Khalil Hirras,
tahqiq as-Saqqaf.
[17]. Lihat
Minhaajus Sunnah (I/34-36) oleh Syaikhul Islam,
tahqiq Dr.
Muhammad Rasyad Salim,
Maqaalaatul Islamiyyiin (I/65, 88, 136) dan
Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 405-418).
[18]. Yang dimaksud dengan dua hakim adalah dua orang utusan untuk
melerai perselisihan antara ‘Ali dan Mu’awiyah. Dari pihak ‘Ali diutus
Abu Musa al-Asy’ari dan dari pihak Mu’awiyah diutus ‘Amr bin al-‘Ash,
رضوان الله عليهم أجمعين.
[19]. Lihat
Maqaalaatul Islaamiyyiin (I/167-168),
al-Milal wan-Nihal
(hal. 114-115) oleh Syahrastani,
Fat-hul Baari (XII/283-284) dan
Wasathiyyah (hal. 290-291).
[20].
Majmuu’ Fataawaa (III/349 dan VII/481) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Sumber:
almanhaj.or.id
---o0o---
Sikap Pertengahan dalam Beragama
.Diterjemahkan Oleh:
Yulian Purnama
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
rahimahullah ditanya
mengenai maksud dari sikap pertengahan dalam beragama. Beliau menjawab:
Sikap pertengahan dalam beragama adalah
sikap tidak ghuluw
(ekstrem) dalam beragama, yaitu melewati batasan yang ditetapkan Allah Azza
Wa Jalla, namun juga tidak kurang dari batasan yang ditetapkan Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Bersikap pertengahan dalam beragama yaitu dengan meneladai
jalan hidup Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Sedangkan sikap
ghuluw,
adalah melebihi dari apa yang beliau ajarkan. Dan
taqshiir adalah yang
melakukan kurang dari apa yang beliau ajarkan.
Contohnya, seseorang mengatakan: ‘
Saya ingin shalat malam dan tidak
tidur setiap hari, karena shalat adalah ibadah yang paling utama maka saya
ingin sepanjang malam saya dalam keadaan shalat‘. Maka kita katakan bahwa
sikap ini adalah sikap
ghuluw dalam beragama dan tidak benar. Hal yang
semisal ini pun pernah terjadi di masa Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam
اجتمع نفر فقال بعضهم: أنا أقوم ولا أنام، وقال الآخر:
أنا أصوم ولا أفطر، وقال الثالث: أنا لا أتزوج النساء، فبلغ ذلك النبي، صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فقال، عليه الصلاة والسلام: ” ما بال أقوامٍ يقولون
كذا وكذا أنا أصوم وأفطر، وأقوم، وأنام، وأتزوج النساء، فمن رغب عن سنتي فليس مني
“
Sekelompok orang berkumpul membicarakan sesuatu. Lelaki pertama
berkata, saya akan shalat malam dan tidak tidur. Yang lain berkata, saya akan
puasa dan tidak berbuka. Yang ketiga berkata, saya tidak akan menikah.
Perkataan mereka ini sampai kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
. Kemudian beliau berkata, kenapa ada orang-orang yang begini dan begitu?! Aku
shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi
wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku”
(HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam berlepas diri dari mereka
yang ghuluw karena mereka tidak menyukai sunnah Nabi, diantara yaitu puasa dan berbuka, shalat malam dan
tidur, serta menikah dengan para wanita.
Sedangkan
al muqashir (orang yang meremehkan) adalah orang yang
berkata: “Saya tidak butuh shalat sunnah,
saya cukup shalat wajib saja”.
Bahkan terkadang mereka meremehkan perkara-perkara yang wajib. Inilah
al
muqashir.
Adapun
al mu’tadil (orang yang bersikap pertengahan) adalah orang
yang menerapkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah
Shallallahu’alaihi
Wasallam dan para
khulafa' ar rasyidin.
Contoh lain, ada 3 orang yang sedang membahas seorang yang fasiq di depan
mereka.
Orang pertama mengatakan: ‘Saya tidak akan memberi salam pada orang fasiq
ini. Akan saya boikot dia, saya jauhi dan saya tidak mau bicara dengannya’.
Orang kedua mengatakan: ‘Saya akan berjalan bersama orang fasiq ini, bermuka
cerah di hadapannya, mengundangnya ke rumah saya, saya pun memenuhi
undangannya, dan sikap saya terhadapnya sama seperti sikap saya terhadap orang
shalih’.
Orang ketiga mengatakan: ‘Orang fasiq ini, saya benci dia karena perbuatan
fasiqnya. Namun saya masih cinta dia karena imannya. Saya tidak akan memboikot
dia kecuali jika memang diboikot ia menjadi lebih baik. Namun kalau boikot saya
itu malah menambah kefasikannya, maka saya tidak boikot dia’.
Kami katakan, orang yang pertama adalah ekstrim kanan (
ghalin)
sedangkan orang yang kedua adalah ekstrim kiri (
muqashir) dan
yang ketiga adalah orang yang pertengahan (
mutawashith). Demikian juga
hal ini terjadi dalam seluruh perkara ibadah dan muamalah. Yaitu orang-orang
pasti termasuk salah satu dari 3 keadaan ini,
muqashir,
ghalin dan
mutawashith.
Contoh ketiga, ada lelaki yang sudah berkeluarga, ia dikendalikan sesuai
keinginan istrinya. Suaminya tidak menentang perbuatan dosa yang dilakukan
istrinya dan tidak menyemangatinya untuk berbuat kebaikan. Istrinya telah
menguasai akalnya dan jadilah sang istri ‘pemimpin’ dalam rumah tangganya.
Lelaki yang lain, kasar, angkuh, dan merasa tinggi di hadapan istrinya.
Tidak peduli pada istrinya dan memperlakukan istrinya seolah istrinya lebih
rendah dari pada pembantu.
Lelaki yang ketiga adalah lelaki yang bersikap pertengahan. Ia bersikap
sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (QS. Al
Baqarah: 228)
لا يفرك مؤمن مؤمنة إن كره منها خلقا رضي منها خلقا آخر
“Janganlah seorang mu’min membenci seorang mu’minah. Jika ia tidak
menyukai salah satu sifatnya, hendaklah ia menyenangi sifat yang lainnya”
(HR. Muslim)
Lelaki yang terakhir tadi adalah yang
mutawashith, yang pertama itu
ghaalin dalam bermuamalah dengan istrinya sedangkan yang kedua
muqashir.
Demikian juga ini berlaku dalam seluruh amal ibadah dan muamalah.
[
Majmu' Fatawa War Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin,
1/43, Asy Syamilah ]
Sumber:
muslim.or.id
*****
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'aalamiinفر فقال بعضهم: أنا
أقوم ولا أنام، وقال الآخر: أنا أصوم ولا أفطر، وقال الثالث: أنا لا أتزوج
النساء، فبلغ ذلك النبي، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فقال، عليه
الصلاة والسلام: ” ما بال أقوامٍ يقولون كذا وكذا أنا أصوم وأفطر، وأقوم،
وأنام، وأتزوج النساء، فمن رغب عن سنتي فليس مني
“Sekelompok orang berkumpul membicarakan sesuatu. Lelaki pertama
berkata, saya akan shalat malam dan tidak tidur. Yang lain berkata, saya
akan puasa dan tidak berbuka. Yang ketiga berkata, saya tidak akan
menikah. Perkataan mereka ini sampai kepada
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam . Kemudian beliau berkata, kenapa
ada orang-orang yang begini dan begitu?! Aku shalat malam tapi juga
tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa
yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku” (HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berlepas diri dari mereka yang ghuluw karena mereka tidak menyukai sunnah Nabi, diantara yaitu puasa dan berbuka, shalat malam dan tidur, serta menikah dengan para wanita.
Sedangkan al muqashir (orang yang meremehkan) adalah orang yang berkata: “Saya tidak butuh shalat sunnah, saya cukup shalat wajib saja”. Bahkan terkadang mereka meremehkan perkara-perkara yang wajib. Inilah al muqashir.
Adapun al mu’tadil (orang yang bersikap pertengahan) adalah orang yang menerapkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para khulafa ar rasyidin.
Contoh lain, ada 3 orang yang sedang membahas seorang yang fasiq di depan mereka.
Yang pertama mengatakan: ‘Saya tidak akan memberi salam pada orang
fasiq ini. Akan saya boikot dia, saya jauhi dan saya tidak mau bicara
dengannya’.
Orang kedua mengatakan: ‘Saya akan berjalan bersama orang fasiq ini,
bermuka cerah di hadapannya, mengundangnya ke rumah saya, saya pun
memenuhi undangannya, dan sikap saya terhadapnya sama seperti sikap saya
terhadap orang shalih’.
Orang ketiga mengatakan: ‘Orang fasiq ini, saya benci dia karena
perbuatan fasiqnya. Namun saya masih cinta dia karena imannya. Saya
tidak akan memboikot dia kecuali jika memang diboikot ia menjadi lebih
baik. Namun kalau boikot saya itu malah menambah kefasikannya, maka saya
tidak boikot dia’.
Kami katakan, orang yang pertama adalah ekstrim kanan (ghalin) sedangkan orang yang kedua adalah ekstrim kirim (muqashir) dan yang ketiga adalah orang yang pertengahan (mutawashith).
Demikian juga hal ini terjadi dalam seluruh perkara ibadah dan
muamalah. Yaitu orang-orang pasti termasuk salah satu dari 3 keadaan
ini, muqashir, ghalin dan mutawashith.
Contoh ketiga, ada lelaki yang sudah berkeluarga, ia dikendalikan
sesuai keinginan istrinya. Suaminya tidak menentang perbuatan dosa yang
dilakukan istrinya dan tidak menyemangatinya untuk berbuat kebaikan.
Istrinya telah menguasai akalnya dan jadilah sang istri ‘pemimpin’ dalam
rumah tangganya.
Lelaki yang lain, kasar, angkuh, dan merasa tinggi di hadapan
istrinya. Tidak peduli pada istrinya dan memperlakukan istrinya seolah
istrinya lebih rendah dari pada pembantu.
Lelaki yang ketiga adalah lelaki yang bersikap pertengahan. Ia bersikap sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 228)
لا يفرك مؤمن مؤمنة إن كره منها خلقا رضي منها خلقا آخر
“Janganlah seorang mu’min membenci seorang mu’minah. Jika ia
tidak menyukai salah satu sifatnya, hendaklah ia menyenangi sifat yang
lainnya” (HR. Muslim)
Lelaki yang terakhir tadi adalah yang mutawashith, yang pertama itu ghaalin dalam bermuamalah dengan istrinya sedangkan yang kedua muqashir. Demikian juga ini berlaku dalam seluruh amal ibadah dan muamalah.
[ Majmu' Fatawa War Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 1/43, Asy Syamilah ]
mat
Islam adalah umat yang terbaik sekaligus umat yang paling mulia. Di
antara sebabnya adalah sikap adil yang dimiliki umat Islam, yakni
bersikap pertengahan di antara dua kelompok yang terlalu
berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Umat Nashrani bersikap
berlebih-lebihan dalam beragama, sedangkan umat Yahudi terlalu
meremehkan. Kedua-duanya telah keliru dalam memahami agama. Adapun umat
Islam adalah umat yang adil, berada di tengah-tengah antara keduanya.
Dalam Perkara Tauhid
Dalam permasalahan tauhid
kepada Allah dan terhadap sifat-sifat-Nya, umat Islam bersikap
pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menyifati Allah Ta’ala
dengan sifat kekurangan yang dimiliki makhluk sehingga mereka
menyamakan Allah dengan makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah bakhil
(kikir) dan fakir, memiliki sifat malas sehingga butuh istirahat, Allah
menyerupai bentuk manusia, serta perkataan lain yang senada. Adapun
umat Nashrani menyifati makhluk dengan sifat Al Kholiq (Yang Maha
Pencipta). Mereka manyamakan makhluk dengan Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah al Masih bin Maryam, al Masih adalah Ibnullah (anak Allah), dia dapat mencipta, memberi rizki, mengampuni dosa, memberi rahmat, serta memberi pahala dan mengadzab.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla
semata. Mereka menyifati Allah dengan sifat yang sempurna, dan
menyucikannya dari seluruh sifat kekurangan, serta tidak menyamakan
sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka meyakini bahwa tidak ada
satupun yang menyerupai Allah baik dalam dzat, sifat, maupun
perbuatan-Nya.
Dalam Keimanan Terhadap Para Nabi
Dalam hal keimanan terhadap para Nabi, umat Islam bersikap
pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi membunuh nabi-nabi
mereka, mencela mereka, serta berpaling dan sombong dengan tidak mau
mengikuti ajaran mereka. Sedangkan umat Nashrani mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi mereka. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan al Masih ‘alaihis salaam sebagai Tuhan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam
mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam
senantiasa menolong nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan
mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka
semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan
kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai
menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah
karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit
pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Dalam Permasalahan Syariat
Dalam permasalahan syariat, umat Islam bersikap pertengahan antara
Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menolak rasul utusan Allah yang tidak
membawa syariat Musa ‘alaihis salaam. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak boleh menghapus syariat Musa ‘alahis salaam,
serta tidak boleh pula untuk menghilangkan dan menetapkan syariat yang
Allah kehendaki. Adapun kamu Nashrani mereka membolehkan
pendeta-pendeta mereka merubah agama Allah, menghalalkan perkara yang
Allah haramkan dan mengharamkan perkara yang Allah halalkan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam meyakini
bahwa segala penciptaan dan pengaturan hanyalah hak Allah. Allah
menghilangkan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya.
Penghapusan syariat bisa saja terjadi di masa hidupnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapaun setelah wafatnya beliau, maka tidak boleh seorang pun mengganti
syariat Allah betapa pun tinngginya kedudukan dan besarnya kemampuan
orang tersebut.
Dalam Perkara Halal Dan Haram
Dalam perkara halal dan haram, umat Islam bersikap pertengahan antara
Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi banyak diharamkan dari hal-hal yang
mubah. Sebagaimana Allah kisahkan dalam Al Quran,
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ
حِلاًّ لِّبَنِى إِسْرَاءِيلَ إِلاَّ مَاحَرَّمَ إِسْرَاءِيلُ عَلَى
نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ … {93}
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan
yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum
Taurat diturunkan…”(QS. Ali Imron:93)
فَبِظُلْمٍ مِّنَ
الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا {160}
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah” (QS. An Nisaa’:160)
Sedangkan umat Nashrani mereka berlebih-lebihan dalam menghalalkan
hal-hal yang diharamkan. Mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan
dalam Taurat dan diharamkan oleh al Masih ‘alaihis salaam. Mereka menghalalkan hal-hal yang jelek dan semua hal yang haram seperti bangkai, darah, dan daging babi.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka tidak
berlebih-lebihan dalam perkara halal dan haram. Mereka menghalalkan
hal-hal yang telah Allah halalkan bagi mereka dalam Al Quran atau sabda
Nabi shalallhu ‘alaihi wa salaam. Mereka juga mengharamkan segala sesuatu hal yang jelek yang diharamkan bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang kondisi umat Islam,
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ
الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا
عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ
عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ … {157}
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala
yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al A’rof:157)
Dalam Urusan Ibadah
Dalam urusan ibadah, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi
dan Nashrani. Umat Yahudi berilmu tetapi tidak mau beramal. Merekalah
golongan yang dimurkai. Mereka berpaling dari ibadah dan bersikap
sombong dengan tidak mau taat kepada Allah. Mereka mengikuti hawa nafsu
mereka dan menghamba kepada diri mereka sendiri shingga mereka bersikap
berlebih-lebihan dalam menyikapi dunia daripada agama dan akhirat
mereka. Sedangkan umat Nashrani tidak memiliki ilmu
sehingga beribadah kepada Allah di atas kejahilan. Merekalah golongan
yang sesat. Mereka beribadah berlandaskan bid’ah yang tanpa dasar.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka berilmu
sekaligus mengamalkannya. Mereka adalah golongan yang Allah beri nikmat.
Mereka menyembah Allah semata dengan syariat-Nya, bukan berdasarkan
hawa nafsu dan kebid’ahan. Mereka juga tidak melupakan kebaikan untuk
dunia mereka. Teladan mereka adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam.
Pembaca yang budiman, inilah keadilan akidah Islam. Bersikap
pertengahan antara dua kolompok yang terlalu berlebih-lebihan dan
terlalu meremehkan. Semoga Allah meneguhkan kita di atas Islam sampai
ajal menjemput kita. Wa shalallahu ‘alaa nabiyyina muhammaad.
[Disadur dengan sedikit perubahan redaksi dari kitab Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid, hal 43-48 karya Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi, Penerbit Daar Adwaus Salaf, Cetakan pertama, 1428/2007]
Selesai ditulis di Kompleks Ma’had Jamilurrohman
Kamis menjelang subuh, 18 Rabi’ul Awwal 1431 H/ 4 Februari 2010
mat
Islam adalah umat yang terbaik sekaligus umat yang paling mulia. Di
antara sebabnya adalah sikap adil yang dimiliki umat Islam, yakni
bersikap pertengahan di antara dua kelompok yang terlalu
berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Umat Nashrani bersikap
berlebih-lebihan dalam beragama, sedangkan umat Yahudi terlalu
meremehkan. Kedua-duanya telah keliru dalam memahami agama. Adapun umat
Islam adalah umat yang adil, berada di tengah-tengah antara keduanya.
Dalam Perkara Tauhid
Dalam permasalahan tauhid
kepada Allah dan terhadap sifat-sifat-Nya, umat Islam bersikap
pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menyifati Allah Ta’ala
dengan sifat kekurangan yang dimiliki makhluk sehingga mereka
menyamakan Allah dengan makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah bakhil
(kikir) dan fakir, memiliki sifat malas sehingga butuh istirahat, Allah
menyerupai bentuk manusia, serta perkataan lain yang senada. Adapun
umat Nashrani menyifati makhluk dengan sifat Al Kholiq (Yang Maha
Pencipta). Mereka manyamakan makhluk dengan Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah al Masih bin Maryam, al Masih adalah Ibnullah (anak Allah), dia dapat mencipta, memberi rizki, mengampuni dosa, memberi rahmat, serta memberi pahala dan mengadzab.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla
semata. Mereka menyifati Allah dengan sifat yang sempurna, dan
menyucikannya dari seluruh sifat kekurangan, serta tidak menyamakan
sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka meyakini bahwa tidak ada
satupun yang menyerupai Allah baik dalam dzat, sifat, maupun
perbuatan-Nya.
Dalam Keimanan Terhadap Para Nabi
Dalam hal keimanan terhadap para Nabi, umat Islam bersikap
pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi membunuh nabi-nabi
mereka, mencela mereka, serta berpaling dan sombong dengan tidak mau
mengikuti ajaran mereka. Sedangkan umat Nashrani mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi mereka. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan al Masih ‘alaihis salaam sebagai Tuhan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam
mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam
senantiasa menolong nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan
mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka
semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan
kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai
menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah
karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit
pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Dalam Permasalahan Syariat
Dalam permasalahan syariat, umat Islam bersikap pertengahan antara
Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menolak rasul utusan Allah yang tidak
membawa syariat Musa ‘alaihis salaam. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak boleh menghapus syariat Musa ‘alahis salaam,
serta tidak boleh pula untuk menghilangkan dan menetapkan syariat yang
Allah kehendaki. Adapun kamu Nashrani mereka membolehkan
pendeta-pendeta mereka merubah agama Allah, menghalalkan perkara yang
Allah haramkan dan mengharamkan perkara yang Allah halalkan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam meyakini
bahwa segala penciptaan dan pengaturan hanyalah hak Allah. Allah
menghilangkan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya.
Penghapusan syariat bisa saja terjadi di masa hidupnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapaun setelah wafatnya beliau, maka tidak boleh seorang pun mengganti
syariat Allah betapa pun tinngginya kedudukan dan besarnya kemampuan
orang tersebut.
Dalam Perkara Halal Dan Haram
Dalam perkara halal dan haram, umat Islam bersikap pertengahan antara
Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi banyak diharamkan dari hal-hal yang
mubah. Sebagaimana Allah kisahkan dalam Al Quran,
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ
حِلاًّ لِّبَنِى إِسْرَاءِيلَ إِلاَّ مَاحَرَّمَ إِسْرَاءِيلُ عَلَى
نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ … {93}
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan
yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum
Taurat diturunkan…”(QS. Ali Imron:93)
فَبِظُلْمٍ مِّنَ
الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا {160}
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah” (QS. An Nisaa’:160)
Sedangkan umat Nashrani mereka berlebih-lebihan dalam menghalalkan
hal-hal yang diharamkan. Mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan
dalam Taurat dan diharamkan oleh al Masih ‘alaihis salaam. Mereka menghalalkan hal-hal yang jelek dan semua hal yang haram seperti bangkai, darah, dan daging babi.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka tidak
berlebih-lebihan dalam perkara halal dan haram. Mereka menghalalkan
hal-hal yang telah Allah halalkan bagi mereka dalam Al Quran atau sabda
Nabi shalallhu ‘alaihi wa salaam. Mereka juga mengharamkan segala sesuatu hal yang jelek yang diharamkan bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang kondisi umat Islam,
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ
الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا
عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ
عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ … {157}
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala
yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al A’rof:157)
Dalam Urusan Ibadah
Dalam urusan ibadah, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi
dan Nashrani. Umat Yahudi berilmu tetapi tidak mau beramal. Merekalah
golongan yang dimurkai. Mereka berpaling dari ibadah dan bersikap
sombong dengan tidak mau taat kepada Allah. Mereka mengikuti hawa nafsu
mereka dan menghamba kepada diri mereka sendiri shingga mereka bersikap
berlebih-lebihan dalam menyikapi dunia daripada agama dan akhirat
mereka. Sedangkan umat Nashrani tidak memiliki ilmu
sehingga beribadah kepada Allah di atas kejahilan. Merekalah golongan
yang sesat. Mereka beribadah berlandaskan bid’ah yang tanpa dasar.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka berilmu
sekaligus mengamalkannya. Mereka adalah golongan yang Allah beri nikmat.
Mereka menyembah Allah semata dengan syariat-Nya, bukan berdasarkan
hawa nafsu dan kebid’ahan. Mereka juga tidak melupakan kebaikan untuk
dunia mereka. Teladan mereka adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam.
Pembaca yang budiman, inilah keadilan akidah Islam. Bersikap
pertengahan antara dua kolompok yang terlalu berlebih-lebihan dan
terlalu meremehkan. Semoga Allah meneguhkan kita di atas Islam sampai
ajal menjemput kita. Wa shalallahu ‘alaa nabiyyina muhammaad.
[Disadur dengan sedikit perubahan redaksi dari kitab Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid, hal 43-48 karya Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi, Penerbit Daar Adwaus Salaf, Cetakan pertama, 1428/2007]
Selesai ditulis di Kompleks Ma’had Jamilurrohman
Kamis menjelang subuh, 18 Rabi’ul Awwal 1431 H/ 4 Februari 2010
mat
Islam adalah umat yang terbaik sekaligus umat yang paling mulia. Di
antara sebabnya adalah sikap adil yang dimiliki umat Islam, yakni
bersikap pertengahan di antara dua kelompok yang terlalu
berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Umat Nashrani bersikap
berlebih-lebihan dalam beragama, sedangkan umat Yahudi terlalu
meremehkan. Kedua-duanya telah keliru dalam memahami agama. Adapun umat
Islam adalah umat yang adil, berada di tengah-tengah antara keduanya.
Dalam Perkara Tauhid
Dalam permasalahan tauhid
kepada Allah dan terhadap sifat-sifat-Nya, umat Islam bersikap
pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menyifati Allah Ta’ala
dengan sifat kekurangan yang dimiliki makhluk sehingga mereka
menyamakan Allah dengan makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah bakhil
(kikir) dan fakir, memiliki sifat malas sehingga butuh istirahat, Allah
menyerupai bentuk manusia, serta perkataan lain yang senada. Adapun
umat Nashrani menyifati makhluk dengan sifat Al Kholiq (Yang Maha
Pencipta). Mereka manyamakan makhluk dengan Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah al Masih bin Maryam, al Masih adalah Ibnullah (anak Allah), dia dapat mencipta, memberi rizki, mengampuni dosa, memberi rahmat, serta memberi pahala dan mengadzab.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla
semata. Mereka menyifati Allah dengan sifat yang sempurna, dan
menyucikannya dari seluruh sifat kekurangan, serta tidak menyamakan
sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka meyakini bahwa tidak ada
satupun yang menyerupai Allah baik dalam dzat, sifat, maupun
perbuatan-Nya.
Dalam Keimanan Terhadap Para Nabi
Dalam hal keimanan terhadap para Nabi, umat Islam bersikap
pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi membunuh nabi-nabi
mereka, mencela mereka, serta berpaling dan sombong dengan tidak mau
mengikuti ajaran mereka. Sedangkan umat Nashrani mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi mereka. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan al Masih ‘alaihis salaam sebagai Tuhan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam
mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam
senantiasa menolong nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan
mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka
semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan
kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai
menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah
karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit
pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Dalam Permasalahan Syariat
Dalam permasalahan syariat, umat Islam bersikap pertengahan antara
Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menolak rasul utusan Allah yang tidak
membawa syariat Musa ‘alaihis salaam. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak boleh menghapus syariat Musa ‘alahis salaam,
serta tidak boleh pula untuk menghilangkan dan menetapkan syariat yang
Allah kehendaki. Adapun kamu Nashrani mereka membolehkan
pendeta-pendeta mereka merubah agama Allah, menghalalkan perkara yang
Allah haramkan dan mengharamkan perkara yang Allah halalkan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam meyakini
bahwa segala penciptaan dan pengaturan hanyalah hak Allah. Allah
menghilangkan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya.
Penghapusan syariat bisa saja terjadi di masa hidupnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapaun setelah wafatnya beliau, maka tidak boleh seorang pun mengganti
syariat Allah betapa pun tinngginya kedudukan dan besarnya kemampuan
orang tersebut.
Dalam Perkara Halal Dan Haram
Dalam perkara halal dan haram, umat Islam bersikap pertengahan antara
Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi banyak diharamkan dari hal-hal yang
mubah. Sebagaimana Allah kisahkan dalam Al Quran,
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ
حِلاًّ لِّبَنِى إِسْرَاءِيلَ إِلاَّ مَاحَرَّمَ إِسْرَاءِيلُ عَلَى
نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ … {93}
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan
yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum
Taurat diturunkan…”(QS. Ali Imron:93)
فَبِظُلْمٍ مِّنَ
الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا {160}
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah” (QS. An Nisaa’:160)
Sedangkan umat Nashrani mereka berlebih-lebihan dalam menghalalkan
hal-hal yang diharamkan. Mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan
dalam Taurat dan diharamkan oleh al Masih ‘alaihis salaam. Mereka menghalalkan hal-hal yang jelek dan semua hal yang haram seperti bangkai, darah, dan daging babi.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka tidak
berlebih-lebihan dalam perkara halal dan haram. Mereka menghalalkan
hal-hal yang telah Allah halalkan bagi mereka dalam Al Quran atau sabda
Nabi shalallhu ‘alaihi wa salaam. Mereka juga mengharamkan segala sesuatu hal yang jelek yang diharamkan bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang kondisi umat Islam,
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ
الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا
عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ
عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ … {157}
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala
yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al A’rof:157)
Dalam Urusan Ibadah
Dalam urusan ibadah, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi
dan Nashrani. Umat Yahudi berilmu tetapi tidak mau beramal. Merekalah
golongan yang dimurkai. Mereka berpaling dari ibadah dan bersikap
sombong dengan tidak mau taat kepada Allah. Mereka mengikuti hawa nafsu
mereka dan menghamba kepada diri mereka sendiri shingga mereka bersikap
berlebih-lebihan dalam menyikapi dunia daripada agama dan akhirat
mereka. Sedangkan umat Nashrani tidak memiliki ilmu
sehingga beribadah kepada Allah di atas kejahilan. Merekalah golongan
yang sesat. Mereka beribadah berlandaskan bid’ah yang tanpa dasar.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka berilmu
sekaligus mengamalkannya. Mereka adalah golongan yang Allah beri nikmat.
Mereka menyembah Allah semata dengan syariat-Nya, bukan berdasarkan
hawa nafsu dan kebid’ahan. Mereka juga tidak melupakan kebaikan untuk
dunia mereka. Teladan mereka adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam.
Pembaca yang budiman, inilah keadilan akidah Islam. Bersikap
pertengahan antara dua kolompok yang terlalu berlebih-lebihan dan
terlalu meremehkan. Semoga Allah meneguhkan kita di atas Islam sampai
ajal menjemput kita. Wa shalallahu ‘alaa nabiyyina muhammaad.
[Disadur dengan sedikit perubahan redaksi dari kitab Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid, hal 43-48 karya Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi, Penerbit Daar Adwaus Salaf, Cetakan pertama, 1428/2007]
Selesai ditulis di Kompleks Ma’had Jamilurrohman
Kamis menjelang subuh, 18 Rabi’ul Awwal 1431 H/ 4 Februari 2010