Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

29 Desember 2012

FILE 293 : Partai Politik, Bolehkah ?

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Partai Politik Menurut Salafi

.Diterjemahkan Oleh: 
Ust. Aris Munandar


..........

Seorang yang dengan penuh kesungguhan mengumpulkan dan mengkaji perkataan para ulama besar salafi mengenai membentuk partai politik akan mengetahui bahwa mereka tidaklah melarang pembentukan partai politik secara mutlak. Akan tetapi fatwa yang diberikan oleh para ulama salafi mengenai masalah ini berbeda-beda tergantung negeri dan perbedaan kondisi penduduknya. Uraian lebih detailnya adalah sebagai berikut:

Pertama, para ulama salafi membolehkan kaum muslimin yang tinggal di negara kafir untuk membentuk partai politik dalam kerangka tolong menolong dalam kebaikan dan takwa sebagaimana fatwa Lajnah Daimah yang membolehkan pembentukan partai politik ketika Lajnah Daimah memberikan jawaban untuk pertanyaan yang terdapat dalam fatwa Lajnah Daimah no 5651 23/407-408 yang ditandatangani oleh Syaikh Abdullah bin Qaud, Syaikh Abdullah bin Ghadayan, Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Fatwa beliau-beliau itu terkait teks pertanyaan berikut ini:

 سؤال : هل يجوز إقامة أحزاب إسلامية في دولة علمانية وتكون الأحزاب رسمية ضمن القانون، ولكن غايتها غير ذلك، وعملها الدعوي سري؟

Pertanyaan, “Apakah diperbolehkan membentuk partai Islam di sebuah negara yang murni sekuler dan partai tersebut legal sebagaimana UU kepartaian yang ada? Akan tetapi tujuan dibentuknya partai tidaklah semata-mata partai. Tujuan dakwah dari partai ini disembunyikan”.

الجواب : يشرع للمسلمين المبتلين بالإقامة في دولة كافرة أن يتجمعوا ويترابطوا ويتعاونوا فيما بينهم سواء كان ذلك باسم أحزاب إسلامية أو جمعيات إسلامية؛ لما في ذلك من التعاون على البر والتقوى 

Jawaban Lajnah Daimah, “Dibenarkan bagi kaum muslimin yang tinggal di negara kafir untuk berkumpul, menjalin hubungan dan tolong-menolong di antara sesama mereka baik dengan nama partai politik Islam ataupun ormas Islam. Dikarenakan hal tersebut adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan dan takwa”.

Sekali lagi kami tegaskan bahwa hendaknya keberadaan partai tersebut adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.


Kedua, para ulama besar salafi membolehkan sebagian kaum muslimin yang tinggal di sebagian negeri Islam yang di sana ahlus sunnah wal jamaah ditindas dan diinjak-injak oleh ahli bid’ah setelah bermusyawarah bersama para ulama untuk saling tolong menolong di antara sesama, menata barisan dan menyatukan pandangan dan tidaklah mengapa jika mereka mengangkat ketua atau pimpinan ahlu sunnah di negara tersebut. Sebagaimana penjelasan Syaikh Utsman al Khamis terkait penderitaan ahli sunnah di Iraq sebagai contoh. Beliau mengatakan,
 
 ولذلك وبحسب ما تعلَّمنا من مشايخنا وعلمائنا الذين وجَّهونا إلى وجوب ردِّ الأمر إلى أهله؛ اقتداء بقول الله -تبارك وتعالى-: {وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ} , لذلك كله قمنا بأخذ الأسئلة والتوجه بها إلى العلماء من أمثال سماحة المفتي: عبد العزيز بن عبد الله آل الشيخ، وسماحة الشيخ: صالح بن فوزان الفوزان، وسماحة الشيخ: عبد الله المطلق، وسماحة الشيخ: محمد بن حسن آل الشيخ، وفضيلة الشيخ: عبد العزيز السدحان ، والذين تطابقت إجاباتهم على:

“Oleh karena itu menurut apa yang kami pelajari dari para ulama kita yang mereka sendiri yang mengarahkan kita untuk mengembalikan urusan besar kepada orang yang capable untuk menanganinya dalam rangka mengikuti firman Allah yang artinya, “Andai mereka mengembalikan permasalahan tersebut kepada rasul atau ulul amri (baca: ulama) di antara mereka tentu orang-orang yang hendak membuat kesimpulan dari permasalahan tersebut pasti akan mengetahui kesimpulan yang benar tentangnya” [QS an Nisa:83].

Oleh karena itu kami telah menuliskan berbagai pertanyaan lalu mengajukannya kepada para ulama semisal Syaikh Mufti KSA Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Syaikh Abdullah al Muthlaq, Syaikh Muhammad bin Hasan alu Syaikh dan Syaikh Abdul Aziz as Sadhan. Mereka semua bersepakat untuk memberikan jawaban sebagai berikut:

 وجوب التعاون بين جميع المنتسبين لأهل السنة.
وعلى الدفاع عن النفس والعرض والمال إذا تمَّ التعرض لهم.
وعلى كفِّ اليد ما لم تكن هناك راية، وما لم تُعد العدة.
وعلى لزوم الدعوة إلى الله ونشر العقيدة الصحيحة بين الناس.
وعلى عدم إثارة أي طرف عليهم.
وعلى أن ينظِّموا صفوفهم وأن تتحد كلمتهم.
وعلى أن يكونوا حذرين ممنْ حولهم.
ولا مانع أن يجعلوا لهم أميرا
.

Wajibnya tolong menolong di antara semua orang yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari ahli sunnah.
Wajibnya mana kala nyawa, kehormatan dan harta diganggu.
Tidak berperang selama belum ada komandan yang legal secara syariat dan perlengkapan senjata belum disiapkan dengan baik.
Wajibnya terus giat mendakwahkan agama Allah dan menebarkan akidah yang benar di tengah-tengah masyarakat.
Wajib tidak melakukan tindakan yang memancing kebrutalan pihak tertentu terhadap ahlu sunnah.
Wajibnya menata barisan dan menyamakan presepsi.
Wajib mewaspadai orang-orang di sekeliling mereka.
Tidaklah mengapa mengangkat seseorang sebagai ketua ahli sunnah
.

Sekali lagi kami tegaskan bahwa ini semua dilakukan dalam kerangka musyawarah bersama para ulama.


Ketiga, memang benar bahwa salafi melarang pembentukan partai politik dan keagamaan di negeri kaum muslimin yang dipimpin oleh seorang penguasa muslim. Salafi melarang hal tersebut karena beberapa alasan. Di antara alasan pokoknya adalah sebagai berikut:

Pertama, terpecahnya kaum muslimin menjadi berbagai aliran keagamaan atau pun berbagai partai politik adalah fenomena yang memilukan sekaligus perilaku yang terlarang karena bertabrakan dengan berbagai ayat al Qur’an dan berbagai hadits Nabi di antaranya:

{وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا} ,

Yang artinya, “Berpegang teguhlah kalian semua dengan agama Allah dan janganlah kalian berpecah belah” [QS Ali Imran:103]

وقوله سبحانه : {إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ} الآية

Yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terbagi menjadi beberapa kelompok sama sekali engkau bukanlah bagian dari mereka” [QS Al An’am:159].

وقوله سبحانه قال الله تعالى:  إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أمة وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ  

Yang artinya, “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Aku adalah sesembahan kalian maka sembahlah aku” [QS Al Anbiya:92]

وفي الآية الأخرى :  وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُون

Dalam ayat yang lain, “Dan aku adalah Rabb kalian maka bertakwalah kalian kepadaku” [QS Al Mukminun:52].

وقال تعالى:  وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ 

Yang artinya, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah sampai kepada mereka berbagai bukti yang nyata. Untuk mereka siksaan yang besar” [QS Ali Imran:105].

Kedua, membentuk berbagai partai politik yang memiliki tujuan pokok menjadi oposisi pemerintah adalah tindakan yang berlawanan dengan prinsip taat kepada penguasa muslim selama dalam bingkai ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Di samping itu, juga bertolak belakang dengan berbagai dalil yang mengharamkan tindakan membangkang kepada penguasa dan taat kepada Allah, rasul-Nya dan penguasa, bukan selainnya.

Ketiga, konsekuensi dari masuk ke dalam dunia politik praktis dan membentuk berbagai partai politik adalah membicarakan berbagai permasalahan yang menjadi kewenangan penguasa dengan tujuan menyalahkan kebijakan penguasa lalu menyebarluaskan kesalahan penguasa tersebut. Tentu saja, sikap ini sangat jauh dari sikap menginginkan kebaikan untuk penguasa. Sehingga tindakan ini bertolak belakang dengan berbagai dalil syariat.

Oleh karena itu para ulama dakwah salafiyyah menolak pembentukan partai politik. Barang siapa yang memiliki ‘catatan’ terhadap kebijakan pemerintah maka hendaklah dia menyampaikan nasihat dengan baik. Jika nasihat diterima, maka itulah yang diharapkan. Jika tidak, yang penting dia telah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Mengumbar sikap pemerintah yang tidak menerima kritikan adalah tindakan membuka lebar-lebar pintu keburukan.

Referensi: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=125296

*****
Sumber: ustadzaris.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

22 Desember 2012

FILE 292 : Adab Kepada Allah

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Kita sering mendengung-dengungkan akhlak dan tata krama kepada sesama makhluk, namun umumnya malah melupakan adab kepada Sang Pencipta, Dzat yang paling berhak untuk kita berakhlaq kepada-Nya.

Apa saja adab kepada Allah yang semestinya kita lakukan ? Semoga artikel berikut bisa sedikit mencerahkan.

--oo00oo--


Adab Kepada Allah 'Azza wa Jalla

.Disusun Oleh:
Ust. Abu Isma'il Muslim Al Atsari


Sesungguhnya nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hambaNya sangat banyak, tidak terhitung jumlahnya. Kemana saja seorang hamba mengarahkan pandangannya, dia akan melihat nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala di hadapannya. Kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah diperoleh hamba-Nya semenjak dia berupa setetes air mani yang bercampur dengan sel telur yang bergantung di dalam rahim ibunya. Kemudian selalu mengiringinya sampai ajal menjemputnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. [an-Nahl/16:53]

Bahkan jika manusia hendak menghitung nikmat-Nya, maka dia tidak akan mampu menghitungnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[an-Nahl/16:18]

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hak yang menjadi kewajiban para hamba-Nya. Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut harus diutamakan daripada hak-hak sesama makhluk. Diantara yang menjadi hak Allah Azza wa Jalla dan menjadi kewajiban para hamba yaitu memiliki adab yang baik kepada Allah Azza wa Jalla. Maka wajib bagi seorang hamba memiliki adab-adab sebagai berikut:


1. Iman dan Tidak Kufur
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk beriman kepada-Nya dan kepada perkara-perkara yang wajib diimani. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا


Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah , malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.
[an-Nisâ’/4:136]

Maka sepantasnya seorang hamba beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, meyakini kebenaran firman-Nya dan tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya. Sungguh tidak beradab ketika ada seorang hamba yang ingkar dan menentang-Nya. Allah Azza wa Jalla mencela orang-orang yang ingkar kepada-Nya dengan celaan yang keras, sebagaimana firman-Nya:

كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?
[al-Baqarah/2: 28]

Termasuk beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah meyakini keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan mengimani nama-nama dan sifat-sifat-Nya sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

Demikian juga termasuk syarat iman adalah menjauhi syirik, karena syirik itu menghapuskan amal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
.
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
 

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. [az-Zumar/39:65]


2. Syukur dan Tidak Kufur Nikmat
Nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hambanya sangat banyak, oleh karena itu kewajiban seorang hamba untuk mensyukurinya adalah dengan mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , memuji-Nya dengan lidah, dan mempergunakan nikmat-nikmat tersebut untuk keridhaan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
[al-Baqarah/2:152]

Sungguh tidak beradab, perbuatan mengingkari kenikmatan dan keutamaan dari Rabb pemberi kebaikan.


3. Mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Tidak Melupakan-Nya
Manusia hendaklah selalu mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak melupakan-Nya. Karena kewajiban hamba adalah mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kecintaan yang paling tinggi. Seseorang yang mencintai sesuatu, dia akan selalu mengingat dan menyebutnya serta tidak melupakannya. Orang yang melupakan Allah Azza wa Jalla , Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan melupakannya; Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membiarkannya dalam kesusahan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.
[al-Hasyr/59:19]


4. Taat dan Tidak Bermaksiat
Yaitu selalu berusaha mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri (ulama dam umarâ’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
[an-Nisâ' / 4:59]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya agar mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengulangi kata kerja (yakni: ta'atilah!) sebagai pemberitahuan bahwa mentaati Rasul-Nya wajib secara mutlak, yaitu dengan tanpa meninjau apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan terhadap Al-Qur’an. Jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, wajib mentaatinya secara mutlak, baik apakah yang beliau perintahkan itu ada dalam Al-Qur’an atau tidak ada di dalamnya. Karena sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi al-Kitâb dan yang semisalnya bersamanya”. [I’lâmul Muwaqqi’în 2/46, penerbit: Dârul Hadîts, Kairo, th: 1422 H /2002 H]

Oleh karena itulah seorang mukmin akan selalu tunduk terhadap keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) dari urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
[al-Ahzâb / 33: 36]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat ini umum, mencakup semua perkara, yaitu jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun untuk menyelisihinya, dan di sini tidak ada pilihan bagi siapapun, tidak ada juga pendapat dan perkataan (yang menyelisihi ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya)”. [Tafsîr Ibnu Katsîr, Surat al-Ahzâb /33:36]

Sungguh tidak beradab, jika ada seorang hamba yang lemah berani menentang Penguasanya Yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa dengan perbuatan maksiat dan kezhaliman.


5. Tidak Mendahului Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
[al-Hujurât /49:1]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Maksudnya : 'Janganlah kamu berkata sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, janganlah kamu memerintah sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah, janganlah kamu berfatwa sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berfatwa, janganlah kamu memutuskan perkara sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memutuskan perkara padanya dan melangsungkan keputusannya.” [I’lâmul Muwaqqi’în, 2/49), penerbit: Dârul Hadîts, Kairo, Th: 1422 H /2002 H]


6. Takut Terhadap Siksa-Nya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.
[al-Mâidah/5: 44]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimin rahimahullah berkata: "Takut itu ada beberapa macam: Pertama : Takut karena ibadah, merendahkan diri, pengagungan, dan ketundukan. Inilah yang dinamakan khauf sirr. Ini tidak pantas kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Barangsiapa menyekutukan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan takut ini-pen) dia adalah orang yang melakukan syirik akbar. Contoh : Orang yang takut kepada patung, orang yang telah mati, atau orang-orang yang mereka sangka sebagai wali dan mereka yakini bisa mendatangkan manfaat dan bahaya bagi mereka, sebagaimana dilakukan oleh sebagian penyembah kubur, dia takut kepada penghuni kubur melebihi takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ". [al-Qaulul Mufîd, 2/166; penerbit: Dârul ' Âshimah]


7. Malu Kepada-Nya
Seorang muslim akan selalu menyadari bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pengawasan-Nya itu meliputi segala sesuatu, termasuk semua keadaannya. Oleh karena itu hatinya penuh dengan rasa hormat dan pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia malu berbuat maksiat dan menyelisihi keridhaan-Nya. Karena bukanlah merupakan adab, ketika seorang hamba menampakkan perbuatan maksiatnya kepada tuannya atau membalas kebaikannya dengan keburukan-keburukan, padahal tuannya selalu mengawasinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan para sahabatnya agar benar-benar merasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana dalam hadits:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلَّهِ قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

Dari ‘Abdullah bin Mas’ûd radliyallaahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah shallallaahu 'alayhi wa sallam bersabda: “Hendaklah kamu benar-benar merasa malu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala !” Kami menjawab: “Wahai Rasulullah, al-hamdulillah kami malu ( kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala )” Beliau bersabda: “Bukan begitu (sebagaimana yang kamu sangka-pen). Tetapi malu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya adalah engkau menjaga kepala dan apa yang dikumpulkannya, menjaga perut dan apa yang dikandungnya, serta mengingat kematian dan kebinasaan. Dan barangsiapa menghendaki akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa telah melakukan ini, maka dia telah malu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya." [HR. Tirmidzi, no. 2458; Ahmad, no. 3662; Syaikh Al-Albâni menyatakan ‘Hasan lighairihi, dalam kitab Shahîh at-Targhîb, 3/6, no. 2638, penerbit. Maktabah al-Ma’ârif]

Disebutkan dalam kitab Tuhfatul Ahwâdzi Syarh Tirmidzi pada penjelasan hadits ini: “Maksudnya adalah menjaga kepala dari penggunaannya untuk selain ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , yaitu engkau tidak sujud kepada selain-Nya, tidak shalat karena riya’, engkau tidak menundukkan kepala untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan engkau tidak mengangkatnya karena sombong. Dan menjaga apa yang dikumpulkan oleh kepala maksudnya adalah menjaga lidah, mata serta telinga dari perkara yang tidak halal.

Menjaga perut maksudnya menjaganya dari makanan yang haram, dan menjaga apa yang berhubungan dengannya maksudnya yaitu kemaluan, kedua kaki, kedua tangan, dan hati. Karena semua anggota badan ini berhubungan dengan rongga perut. Adapun cara menjaganya adalah dengan tidak menggunakannya untuk berbuat maksiat, tetapi digunakan dalam keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mengingat kematian dan kebinasaan, maksudnya yaitu engkau mengingat keadaanmu dalam kubur yang sudah menjadi tulang dalam kehidupanmu. Dan barangsiapa menghendaki akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia. Karena keduanya tidak akan berkumpul dalam bentuk yang sempurna, walaupun bagi orang-orang yang kuat, sebagaimana dikatakan oleh al-Qâri. Adapun al-Munâwi mengatakan: “Karena keduanya seperti dua madu, jika salah satunya dijadikan ridha, yang lain dijadikan marah”


8. Bertaubat Kepada-Nya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa di antara sifat manusia adalah banyak berbuat dosa dan kesalahan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Semua anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang-orang yang banyak berbuat kesalahan adalah orang-orang yang banyak bertaubat.
[HR. Tirmidzi, no. 2499; Ibnu Mâjah; Ahmad; ad-Dârimi. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni]

Oleh karena itu sepantasnya seorang manusia agar selalu memperbanyak taubat dan tidak putus asa dari rahmat dan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mendorong orang-orang musyrik yang bergelimang dengan dosa-dosa untuk bertaubat kepada-Nya dengan firman-Nya:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[az-Zumar/39:53]


9. Husnuzhan (Berbaik Sangka) Kepada-Nya
Termasuk adab kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah berbaik sangka kepada-Nya. Karena merupakan adab dan prasangka yang buruk, ketika seseorang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia menyangka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengawasinya dan tidak akan membalasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:

وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَٰكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ وَذَٰلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu, namun kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Rabbmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka kamu menjadi termasuk orang-orang yang merugi. [Fushshilat/41: 22-23]

Demikian juga termasuk buruk sangka, ketika seorang hamba melakukan ketaqwaan dan ketaatan, lalu dia menyangka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan membalas amal baiknya.

Inilah sedikit tulisan mengenai sebagian adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala , semoga Allah Azza wa Jalla selalu membimbing kita dalam kebaikan. Amin.

RUJUKAN:
1. Minhâjul Muslim, Syaikh Abû Bakar Jâbir al-Jazâiri
2. I’lâmul Muwaqqi’ în, penerbit: Dârul Hadîts, Kairo, th: 1422 H / 2002 H
3. Tafsîr Ibnu Katsîr, penerbit: Dârul Jail, Beirut, tanpa tahun.
4. al-Qaulul Mufîd, karya Syaikh al-‘Utsaimin, penerbit: Dârul 'Ashimah.
5. Shahîh At-Targhîb, karya Syaikh al-Albâni, penerbit Maktabah Al-Ma’ârif.
6. Tuhfatul Ahwâdzi Syarh Tirmidzi, dll.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


*****
Sumber: almanhaj.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

15 Desember 2012

FILE 291 : Umat Pertengahan

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Umat Islam, khususnya Ahlussunnah, adalah umat pertengahan. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala di dalam Al Qur'an,

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةًۭ وَسَطًۭا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًۭا 

"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu." (QS. Al Baqarah [2]: 143)

Untuk itu pula lah, kita tak lepas-lepasnya berdo'a, minimal sebanyak tujuh belas kali dalam sehari, di dalam sholat, memohon kepada Allah agar kita ditetapkan untuk senantiasa meniti jalur pertengahan tersebut,

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

"Tunjukilah kami jalan yang lurus (yang tidak menyimpang), (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (QS. Al Fatihah [1]: 6-7)

Dalam rangka lebih memahami tentang karakteristik umat pertengahan ini, saya mencoba mengkompilasi beberapa artikel yang membahas dengan bagus tentang permasalah ini. 

Semoga bisa sedikit mencerahkan.

--oo00oo--


Sikap Pertengahan Umat Islam, 
Antara Yahudi dan Nasrani

.Disusun Oleh: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja'ah : M.A. Tuasikal


Umat Islam adalah umat yang terbaik sekaligus umat yang paling mulia. Di antara sebabnya adalah sikap adil yang dimiliki umat Islam, yakni bersikap pertengahan di antara dua kelompok yang terlalu berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Umat Nashrani bersikap berlebih-lebihan dalam beragama, sedangkan umat Yahudi terlalu meremehkan.  Kedua-duanya telah keliru dalam memahami agama. Adapun umat Islam adalah umat yang adil, berada di tengah-tengah antara keduanya.


Dalam Perkara Tauhid

Dalam permasalahan tauhid kepada Allah dan terhadap sifat-sifat-Nya, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menyifati  Allah Ta’ala dengan sifat kekurangan yang dimiliki makhluk sehingga mereka menyamakan Allah dengan makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah bakhil (kikir) dan fakir, memiliki sifat malas sehingga butuh istirahat, Allah menyerupai bentuk manusia, serta  perkataan lain yang senada.

Adapun umat Nashrani menyifati makhluk dengan sifat Al Kholiq (Yang Maha Pencipta). Mereka manyamakan makhluk dengan Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah al Masih bin Maryam, al Masih adalah Ibnullah (anak Allah), dia dapat mencipta, memberi rizki, mengampuni dosa, memberi rahmat, serta memberi pahala dan mengadzab.

Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla semata. Mereka menyifati Allah dengan sifat yang sempurna, dan menyucikannya dari seluruh sifat kekurangan, serta tidak menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka meyakini bahwa tidak ada satupun yang menyerupai Allah baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya.


Dalam Keimanan Terhadap Para Nabi

Dalam hal keimanan terhadap para Nabi, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani.  Umat Yahudi membunuh nabi-nabi mereka, mencela mereka, serta berpaling dan sombong dengan tidak mau mengikuti ajaran mereka. Sedangkan umat Nashrani mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi mereka. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan al Masih ‘alaihis salaam sebagai Tuhan.

Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam senantiasa menolong  nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).


Dalam Permasalahan Syariat

Dalam permasalahan syariat, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menolak rasul utusan Allah yang tidak membawa syariat Musa ‘alaihis salaam. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak boleh menghapus syariat Musa  ‘alahis salaam, serta  tidak boleh pula untuk menghilangkan dan menetapkan syariat yang Allah kehendaki. Adapun kamu Nashrani mereka membolehkan pendeta-pendeta mereka merubah agama Allah, menghalalkan perkara yang Allah haramkan dan mengharamkan perkara yang Allah halalkan.

Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam meyakini bahwa segala penciptaan dan pengaturan hanyalah hak Allah. Allah menghilangkan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Penghapusan syariat bisa saja terjadi di masa hidupnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapaun setelah wafatnya beliau, maka tidak boleh seorang pun mengganti syariat Allah betapa pun tingginya kedudukan dan besarnya kemampuan orang tersebut.


Dalam Perkara Halal Dan Haram

Dalam perkara halal dan haram, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi banyak diharamkan dari hal-hal yang mubah. Sebagaimana Allah kisahkan dalam Al Quran,

كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلاًّ لِّبَنِى إِسْرَاءِيلَ إِلاَّ مَاحَرَّمَ إِسْرَاءِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ

S"Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan…(QS. Ali Imron [3]: 93)3

فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah (QS. An Nisaa’ [4]:160)

Sedangkan umat Nashrani mereka berlebih-lebihan dalam menghalalkan hal-hal yang diharamkan. Mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan dalam Taurat dan diharamkan oleh al Masih ‘alaihis salaam. Mereka menghalalkan hal-hal yang jelek dan semua hal yang haram seperti bangkai, darah, dan daging babi.

Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka tidak berlebih-lebihan dalam perkara halal dan haram. Mereka menghalalkan hal-hal yang telah Allah halalkan bagi mereka dalam Al Quran atau sabda Nabi shalallhu ‘alaihi wa salaam. Mereka juga mengharamkan segala sesuatu hal yang jelek yang diharamkan bagi mereka.

Allah Ta’ala berfirman tentang kondisi umat Islam,

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk … (QS. Al A’rof:157)


Dalam Urusan Ibadah

Dalam urusan ibadah, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi berilmu tetapi tidak mau beramal. Merekalah golongan yang dimurkai. Mereka berpaling dari ibadah dan bersikap sombong dengan tidak mau taat kepada Allah. Mereka mengikuti hawa nafsu mereka dan menghamba kepada diri mereka sendiri sehingga mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyikapi dunia daripada agama dan akhirat mereka.

Sedangkan umat Nashrani tidak memiliki ilmu sehingga beribadah kepada Allah di atas kejahilan. Merekalah golongan yang sesat. Mereka beribadah berlandaskan bid’ah yang tanpa dasar.

Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka berilmu sekaligus mengamalkannya. Mereka adalah golongan yang Allah beri nikmat. Mereka menyembah Allah semata dengan syariat-Nya, bukan berdasarkan hawa nafsu dan kebid’ahan. Mereka juga tidak melupakan kebaikan untuk dunia mereka. Teladan mereka adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam.

Pembaca yang budiman, inilah keadilan akidah Islam. Bersikap pertengahan antara dua kolompok yang terlalu berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Semoga Allah meneguhkan kita di atas Islam sampai ajal menjemput kita.  

Wa shalallahu ‘alaa nabiyyina muhammaad.

[Disadur dengan sedikit perubahan redaksi dari kitab  Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid, hal 43-48 karya  Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi, Penerbit Daar Adwaus Salaf, Cetakan pertama, 1428/2007]

Selesai ditulis di Kompleks Ma’had Jamilurrohman
Kamis menjelang subuh, 18 Rabi’ul Awwal 1431 H/ 4 Februari 2010

Sumber: muslim.or.id

---o0o---

Keempat Puluh Satu:
Ahlus Sunnah adalah Ahlul Wasath

.Oleh:  
Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Ahlul Wasath (ummat yang pertengahan di antara firqah-firqah [1] yang menyimpang) [2]. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan ummat (Islam) ini sebagai ummat pertengahan (ummat yang adil dan terpilih), di kalangan semua ummat manusia, sebagaimana firman-Nya:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikian pula telah Kami jadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
[Al-Baqarah (2): 143]

Mereka (Ahlus Sunnah) adalah pertengahan di antara firqah-firqah (golongan-golongan) yang sesat. Menurut penjelasan Imam ‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) dan Yusuf al-Asbath (wafat th. 195 H) bahwa golongan yang binasa (sesat) banyak jumlahnya, akan tetapi sumber perpecahannya ada empat firqah (golongan), yaitu:
  1. Rafidhah.
  2. Khawarij.
  3. Qadariyyah.
  4. Murji'ah.
Ada orang yang bertanya kepada ‘Abdullah Ibnul Mubarak tentang golongan Jahmiyyah, maka beliau menjawab: “Mereka itu bukan ummat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [3]

Di antara keyakinan dan manhaj Ahlus Sunnah yang merupakan pertengahan adalah:


1. Mereka (Ahlus Sunnah) adalah pertengahan dalam masalah Sifat-Sifat Allah antara golongan Jahmiyyah dan Musyabbihah.

Jahmiyyah adalah aliran yang sesat dan dikafirkan oleh para ulama. Muncul pada akhir kekuasaan Bani Umayyah. Disebut demikian karena dikaitkan dengan nama tokoh pendirinya, yaitu Abu Mahraz Jahm bin Shafwan at-Tirmidzi yang dibunuh pada tahun 128 H. Di antara pendapat aliran ini adalah mengingkari Asma’ dan Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala, Al-Qur-an adalah makhluk (barang ciptaan) dan bahwa iman itu adalah hanya sekedar mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka berkeyakinan bahwa Surga dan Neraka itu fana (akan binasa) dan lain-lain.[4]

Musyabbihah yaitu aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Mereka menyamakan atau menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Termasuk dalam golongan tamtsil ini adalah Jawaliqiyyah, Hisyamiyyah dan Jawaribiyyah.[5]

Sedangkan pandangan Ahlus Sunnah tentang Sifat Allah dapat dilihat dalam pembahasan Tauhid Asma’ wash Shifat.

[Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya (dengan makhluk). Mereka me-Mahasuci-kan Allah dari keserupaan dengan para makhluk, tanpa meniadakannya (sifat Allah tersebut). Mereka memadukan antara Tanzih (pemahasucian) dengan Itsbat (penetapan).

Allah telah membantah kedua kelompok yang menyimpang di atas dengan firman-Nya,

لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۭ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy Syura [42]: 11)

Firman-Nya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia…” adalah bantahan terhadap kaum musyabbihah (yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya -pent), sedangkan firman Allah, “dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” adalah bantahan terhadap kaum mu’athilah (yang menafikan / meniadakan sifat-sifat Allah -pent).  -sumber-]


2. Ahlus Sunnah pertengahan antara aliran Jabariyyah dan Qadariyyah dalam masalah af’alul ‘ibad (perbuatan hamba-Nya).

Jabariyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘jabr’ artinya paksaan. Dan mereka mempunyai pandangan bahwa manusia dalam segala perbuatan, gerak-gerik dan tingkah lakunya adalah dipaksa, tidak memiliki kekuasaan dan kebebasan. Mereka menafikan (meniadakan) perbuatan hamba secara hakikat dan menyandarkannya kepada Allah. Termasuk dalam aliran ini adalah Jahmiyyah, mereka berpandangan seperti itu. Menurut Syahrastani bahwa Jabariyyah ada dua golongan: Jabariyyah Khalishah dan Jabariyyah Mutawassithah. [6]

Qadariyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘qadar’, artinya ketentuan Ilahi. Aliran ini tidak mengakui adanya qadar tersebut dan mengatakan manusia-lah yang menentukan nasibnya sendiri dan dia-lah yang membuat perbuatannya, terlepas dari kodrat serta iradat Ilahi. Termasuk dalam aliran ini adalah Mu’tazilah yang juga berpandangan sama.[7]

Pandangan Ahlus Sunnah tentang perbuatan hamba adalah:

Pertama : Perbuatan hamba pada hakekatnya adalah ciptaan Allah Azza wa Jalla. [QS. Ash Shaffat [37]: 96]

Kedua : Yang melaksanakan perbuatan tersebut adalah hamba itu sendiri secara hakiki.

Ketiga : Seorang hamba mempunyai kekuasaan (kemampuan) untuk melaksanakan perbuatannya secara hakiki dan mempunyai pengaruh atas terjadinya perbuatan tersebut. Dan Allah-lah yang memberi kemampuan kepada mereka untuk melakukan perbuatan tersebut [QS. At Takwiir [81]: 28 - 29].[8]

Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat th. 499 H) rahimahullah berkata: “Pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan bahwa perbuatan hamba adalah diciptakan Allah Azza wa Jalla. Dan mereka tidak ada yang membantah serta tidak ada keraguan sedikit pun. Sebaliknya, mereka menganggap orang yang mengingkari dan tidak menerima kenyataan itu sebagai orang yang menyimpang dari petunjuk dan kebenaran.” [9]


3. Mereka (Ahlus Sunnah) pertengahan dalam masalah ancaman Allah [10], antara Murji’ah dan aliran Wa’idiyyah, dari kalangan Qadariyyah dan selain mereka.

Murji’ah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata irja' yang berarti pengakhiran, sebab mereka mengakhirkan (memisahkan) amal dari iman. Mereka mengatakan: “Suatu dosa tidak membahayakan selama ada iman, sebagaimana suatu ketaatan tidak berguna selama ada kekafiran.” Menurut mereka, amal tidaklah termasuk dalam kriteria iman, serta iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang.[11]

Wa’idiyyah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah, berasal dari kata wa’iid yang berarti ancaman. Mereka berpendapat bahwa Allah harus melaksanakan ancaman-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar, apabila ia wafat tanpa bertaubat, maka ia akan kekal di dalam Neraka, sebagaimana yang diancamkan oleh Allah terhadap mereka, sebab Allah tidak akan menyalahi janji-Nya.[12]

Sedangkan menurut pandangan Ahlus Sunnah bahwasanya seorang Muslim yang berbuat dosa besar akan mendapat ancaman dengan Neraka apabila ia tidak bertaubat; jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya, dan jika Allah menghendaki, Dia akan menyiksanya di dalam Neraka. Akan tetapi ia tidak kekal di Neraka.[13]

[Ahlus Sunnah mengatakan,"Menyelisihi ancaman merupakan kemurahan, berbeda dengan menyelisihi janji kebaikan. Menyelisihi ancaman merupakan perbuatan terpuji, tidak sebagaimana menyelisihi janji kebaikan."  >> sesuai sifat Allah, Ar Rahmaan dan Ar Rahiim -Sa'ad-

Seorang penyair berkata,
Sungguh, bila aku mengancamnya atau menjanjikan kebaikan untuknya, 
Kuselisihi ancamanku, dan kupenuhi janji baikku.
-sumber-]


4. Ahlus Sunnah pertengahan dalam hal nama-nama iman dan agama, antara golongan Haruriyyah dan Mu’tazilah, serta antara kaum Murji’ah dan Jahmiyyah.

Haruriyyah adalah aliran sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata haruura’ (حَرُوْرَاءُ), yaitu suatu tempat di dekat Kufah. Haruriyyah termasuk salah satu sekte dalam aliran Khawarij. Dinamakan demikian karena di tempat itulah mereka ber-kumpul ketika mereka keluar (memberontak) dari kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Menurut mereka, pelaku dosa besar adalah kafir dan di akhirat ia kekal di dalam Neraka.[14]

Mu’tazilah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Mereka adalah pengikut Washil bin ‘Atha' dan ‘Amr bin ‘Ubaid. Dikatakan Mu’tazilah karena mereka mengeluarkan diri (i'tizal) dari kelompok kajian al-Hasan al-Bashri (wafat tahun 110 H) rahimahullah, atau karena mereka mengisolir diri dari pandangan sebagian besar ummat Islam ketika itu dalam hal pelaku dosa besar, karena menurut Washil bin ‘Atha', pelaku dosa besar berada dalam status antara iman dan kafir, tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, atau disebut dengan istilah mereka: manzilah bainal manzilatain (tempat di antara dua kedudukan, tidak mukmin dan tidak kafir). Dan jika tidak bertaubat, maka ia di akhirat akan kekal dalam Neraka.[15]

[Jadi, ada dua tempat perbedaan antara Khawarij dan Mu’tazilah dan dua tempat pula yang mereka sepakati. Terjadi persamaan di antara mereka pada:
  1. Menolak keimanan bagi orang yang melaksanakan dosa besar
  2. Kekekalan orang tersebut di Neraka bersama orang-orang kafir
Adapun perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah:  
  1. Orang-orang Khawarij menyebutnya sebagai orang kafir, sedangkan orang-orang Mu’tazilah mengatakan bahwa orang tersebut berada di suatu tempat di antara dua tempat.
  2. Khawarij menghalalkan darah dan hartanya, sedangkan Mu’tazilah tidak melakukan hal itu.
(Adapun) Murji’ah mengatakan bahwa suatu dosa tidak mendatangkan mudharat terhadap keimanan sebagaimana suatu ketaatan tidak berguna dengan adanya kekafiran.Mereka mengatakan bahwa iman hanyalah pembenaran di dalam hati. Seorang yang melakukan dosa besar menurut mereka memiliki keimanan yang sempurna dan tidak berhak dimasukkan ke Neraka. Dengan demikian, keimanan orang yang paling fasik sama dengan keimanan orang yang paling sempurna imannya. >> mirip dengan poin ketiga -Sa'ad-

Demikian halnya dengan pendapat orang-orang Jahmiyah. Jadi, orang Jahmiyah telah melakukan bid’ah at-ta’thil, al-jabar dan al-irja’ (menolak sifat Allah, pemaksaan taqdir, dan mengeluarkan amal dari iman), sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim Rahimahullah. Orang yang melaksanakan dosa besar, menurut mereka, memiliki keimanan yang sempurna dan tidak berhak dimasukkan ke dalam Neraka. 

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, telah mendapatkan petunjuk dari Allah untuk memahami kebenaran. Mereka mengatakan,
Sesungguhnya, iman adalah ucapan dengan lisan, perbuatan dengan anggota badan, dan keyakinan dengan hati. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Seorang pelaku dosa besar menurut mereka adalah seorang mukmin yang kurang imannya. Berkurangnya iman dia itu sebanding dengan kadar maksiat yang dilakukannya. Maka, mereka tidak sama sekali menafikan keimanan pelaku dosa besar tersebut seperti pemahaman kaum Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka juga tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu seorang yang memiliki iman sempurna seperti kaum Murji’ah dan Jahmiyah.
Adapun hukum orang tersebut di akhirat, di bawah kehendak Allah. Jika Dia berkehendak, Dia akan memasukkannya ke Jannah sejak pertama kali sebagai kasih sayang dan karunia dari Allah. Dan jika Dia menghendaki, Dia akan menyiksanya sesuai dengan kadar kemaksiatannya. Ini apabila ia tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, tidak menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan tidak mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah.
Hukum yang diyakini oleh Ahlus Sunnah bahwa seorang mukmin tidak kekal di Neraka, juga merupakan hukum yang pertengahan antara yang diyakini oleh kaum Khawarij dan kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa manusia kekal di Neraka. Begitu juga dengan Murji’ah dan Jahmiyah yang mengatakan bahwa manusia tidak berhak untuk mendapatkan hukuman sekalipun melakukan kemaksiatan. -sumber-]

Menurut Ahlus Sunnah, pelaku dosa besar dari kaum Muslimin masih tetap disebut Mukmin karena imannya, hanya saja ia itu fasiq karena perbuatan dosa besarnya. Atau dikatakan ia itu Mukmin yang kurang imannya, sedang urusannya di akhirat -apabila belum bertaubat- adalah terserah Allah, jika Allah Azza wa Jalla menghendaki, akan disiksa-Nya (sesuai dengan keadilan-Nya) dan jika Dia menghendaki akan diampuni-Nya (sesuai dengan sifat kasih-Nya) [QS. At Taubah (9): 106].[16]


5. Ahlus Sunnah juga pertengahan antara golongan Rafidhah dan Khawarij, dalam masalah Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rafidhah adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata ‘Rafadha’, artinya menolak. (Rafidhah adalah) salah satu sekte di dalam aliran Syi’ah. Mereka bersikap berlebih-lebihan terhadap ‘Ali dan Ahlul Bait, serta mereka menyatakan permusuhan terhadap sebagian besar Sahabat, khususnya Abu Bakar dan ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Disebut Rafidhah, karena mereka menolak untuk membantu serta mendukung Zaid bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib pada masa kepemimpinan Hisyam bin ‘Abdil Malik. Sebabnya, karena mereka meminta kepada Zaid supaya menyatakan tidak berpihak kepada Abu Bakar dan ‘Umar, beliau menolak dan tidak mau sehingga mereka pun menolak untuk mendukungnya. Oleh karena itu mereka disebut Rafidhah.[17]

[Sebab mereka disebut Rafidhah adalah, karena mereka meninggalkan Zaid bin Ali bin Husain, ketika mereka bertanya, “Apakah engkau berlepas diri dari Syaikhain, yaitu: Abu Bakar dan Umar?”
 

Maka Zaid menjawab, “Ma’adzallah (aku berlindung kepada Allah), keduanya adalah wazir (pembantu) kakekku.” Maka mereka menolak Zaid, sehingga dinamakan Rafidhah.
(Rafidhah berakar dari kata kerja rafadha, yang salah satu artinya adalah meninggalkan (menolak) -pent.)


Adapun golongan Zaidiyah mengatakan,"Kami berwala’ kepada keduanya dan berlepas diri dari siapa saja yang berlepas diri dari keduanya."Mereka mengikuti pendapat Zaid, sehingga mereka disebut sebagai Zaidiyah.  -sumber-]

Khawarij adalah aliran yang sesat dan termasuk ahlul bid’ah. Berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Suatu aliran yang menyempal dari agama Islam dan mereka keluar dari para Imam pilihan dari kaum Muslimin. Bahkan mereka mengkafirkan ‘Ali dan Mu’awiyah serta para pendukung keduanya. Mereka (Khawarij) disebut demikian karena menyatakan keluar dari kekhalifahan ‘Ali setelah peristiwa Shiffin. Prinsip Khawarij yang paling mendasar ada tiga, yang mereka telah menyimpang, sesat dan menyesatkan kaum Muslimin:

Pertama : Mengkafirkan ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan dan dua hakim [18] Radhiyallahu anhum.

Kedua : Wajib keluar (memberontak) dari penguasa yang zhalim.

Ketiga : Pelaku dosa besar adalah kafir dan di akhirat kekal dalam Neraka.[19]

Firqah yang pertama kali keluar dari ummat Islam adalah Khawarij, merekalah yang pertama kali mengkafirkan kaum Muslimin dengan sebab dosa besar, dan mereka juga yang meng-halalkan darah kaum Muslimin dengan sebab itu.[20]

[Khawarij adalah kebalikan dari Rafidhah. Mereka mengkafirkan Ali, Mu’awiyah, dan sahabat-sahabat yang bersama keduanya, sekaligus memerangi mereka serta menghalalkan darah dan harta mereka. Sedangkan Nawashib adalah golongan yang menampakkan permusuhan dan mencela Ahlul Bait.

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, telah mendapatkan petunjuk kebenaran dari Allah. Mereka tidak mengkultuskan Ali dan Ahlul Bait, tidak menampakkan permusuhan terhadap para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, tidak mengkafirkan mereka, serta tidak berbuat sebagaimana golongan Nawashib yang memusuhi Ahlul Bait.

Sebaliknya, mereka mengakui hak dan keutamaan keduanya, berwala’ kepada mereka, meyakini peringkat keutamaan mereka sebagai berikut: Abu Bakar, Umar, Utsman, kemudian Ali. Menahan diri dari pembicaraan yang bertele-tele mengenai mereka, dan mendo’akan seluruh sahabat agar mendapatkan limpahan rahmat Allah.

Jadi, mereka (Ahlus Sunnah) bersikap pertengahan antara pengkultusan yang dilakukan oleh orang-orang Rafidhah dan kebencian orang-orang Khawarij.  -sumber-]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Firqah adalah kelompok atau golongan, aliran, pemahaman yang menyimpang dari pemahaman para Sahabat Radhiyallahu anhum. Mereka mempunyai prinsip dan kaidah dalam beragama yang berbeda dengan prinsip ‘aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[2]. Untuk lebih jelas tentang pertengahan Ahlus Sunnah di antara firqah-firqah yang sesat, bacalah kitab Wasathiyyah Ahlus Sunnah bainal Firaq karya Dr. Muhammad Bakarim Muhammad Ba’abdullah, cet. I- Daarur Rayah, th. 1415 H.
[3]. Majmuu’ Fataawaa (III/350) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[4]. Lihat Maqaalaat Islamiyyiin (juz I) oleh Abul Hasan al-Asy’ari, al-Farqu bainal Firaq (hal. 158), al-Milal wan Nihal (hal. 86-88) oleh Syahrastani, Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 185) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf, dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 296).
[5]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 185) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf, al-Farqu bainal Firaq (hal. 170-174) dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 317-318).
[6]. Lihat Maqaalaatul Islamiyyiin (I/338), al-Milal wan-Nihal (hal. 85) oleh Syahrastani dan Wasathiyah Ahlis Sunnah (hal. 374-375).
[7]. Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal. 79) oleh al-Khatib al-Baghdadi, tahqiq Muhyidin ‘Abdul Hamid, al-Milal wan-Nihal (hal. 43-45) oleh Syahrastani dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 378).
[8]. Lihat Wasathiyyah (hal. 379) dan Minhaajus Sunnah (II/298).
[9]. ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 90 no. 118).
[10]. Lihat pembahasan tentang al-Wa’du wal Wa’iid pada buku ini (hal. 374-380).
[11]. Lihat al-Milal wan-Nihal (hal. 139) oleh Syahrastani, Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 294-295).
[12]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 188) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf dan Wasathiyyah Ahlus Sunnah (hal. 355-356).
[13]. Wasathiyyah Ahlus Sunnah (hal. 357).
[14]. Lihat Maqaalaatul Islamiyyiin (I/167) oleh Abul Hasan al-Asy’ari, tahqiq Muhyidin ‘Abdul Hamid, Majmu’ al-Fataawaa (VII/481-482) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 190) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf.
[15]. Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal. 15), Wasathiyyah (hal. 296-297, 341-343).
[16]. Lihat Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 346) dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 191) oleh Khalil Hirras, tahqiq as-Saqqaf.
[17]. Lihat Minhaajus Sunnah (I/34-36) oleh Syaikhul Islam, tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim, Maqaalaatul Islamiyyiin (I/65, 88, 136) dan Wasathiyyah Ahlis Sunnah (hal. 405-418).
[18]. Yang dimaksud dengan dua hakim adalah dua orang utusan untuk melerai perselisihan antara ‘Ali dan Mu’awiyah. Dari pihak ‘Ali diutus Abu Musa al-Asy’ari dan dari pihak Mu’awiyah diutus ‘Amr bin al-‘Ash, رضوان الله عليهم أجمعين.
[19]. Lihat Maqaalaatul Islaamiyyiin (I/167-168), al-Milal wan-Nihal (hal. 114-115) oleh Syahrastani, Fat-hul Baari (XII/283-284) dan Wasathiyyah (hal. 290-291).
[20]. Majmuu’ Fataawaa (III/349 dan VII/481) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Sumber: almanhaj.or.id

---o0o---

Sikap Pertengahan dalam Beragama

.Diterjemahkan Oleh:
Yulian Purnama


Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ditanya mengenai maksud dari sikap pertengahan dalam beragama. Beliau menjawab:

Sikap pertengahan dalam beragama adalah sikap tidak ghuluw (ekstrem) dalam beragama, yaitu melewati batasan yang ditetapkan Allah Azza Wa Jalla, namun juga tidak kurang dari batasan yang ditetapkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bersikap pertengahan dalam beragama yaitu dengan meneladai jalan hidup Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Sedangkan sikap ghuluw, adalah melebihi dari apa yang beliau ajarkan. Dan taqshiir adalah yang melakukan kurang dari apa yang beliau ajarkan.

Contohnya, seseorang mengatakan: ‘Saya ingin shalat malam dan tidak tidur setiap hari, karena shalat adalah ibadah yang paling utama maka saya ingin sepanjang malam saya dalam keadaan shalat‘. Maka kita katakan bahwa sikap ini adalah sikap ghuluw dalam beragama dan tidak benar. Hal yang semisal ini pun pernah terjadi di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

اجتمع نفر فقال بعضهم: أنا أقوم ولا أنام، وقال الآخر: أنا أصوم ولا أفطر، وقال الثالث: أنا لا أتزوج النساء، فبلغ ذلك النبي، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فقال، عليه الصلاة والسلام: ” ما بال أقوامٍ يقولون كذا وكذا أنا أصوم وأفطر، وأقوم، وأنام، وأتزوج النساء، فمن رغب عن سنتي فليس مني

Sekelompok orang berkumpul membicarakan sesuatu. Lelaki pertama berkata, saya akan shalat malam dan tidak tidur. Yang lain berkata, saya akan puasa dan tidak berbuka. Yang ketiga berkata, saya tidak akan menikah. Perkataan mereka ini sampai kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam . Kemudian beliau berkata, kenapa ada orang-orang yang begini dan begitu?! Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku” (HR. Bukhari-Muslim)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berlepas diri dari mereka yang ghuluw karena mereka tidak menyukai sunnah Nabi, diantara yaitu puasa dan berbuka, shalat malam dan tidur, serta menikah dengan para wanita.

Sedangkan al muqashir (orang yang meremehkan) adalah orang yang berkata: “Saya tidak butuh shalat sunnah, saya cukup shalat wajib saja”. Bahkan terkadang mereka meremehkan perkara-perkara yang wajib. Inilah al muqashir.

Adapun al mu’tadil (orang yang bersikap pertengahan) adalah orang yang menerapkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para khulafa' ar rasyidin.

Contoh lain, ada 3 orang yang sedang membahas seorang yang fasiq di depan mereka.
Orang pertama mengatakan: ‘Saya tidak akan memberi salam pada orang fasiq ini. Akan saya boikot dia, saya jauhi dan saya tidak mau bicara dengannya’.
Orang kedua mengatakan: ‘Saya akan berjalan bersama orang fasiq ini, bermuka cerah di hadapannya, mengundangnya ke rumah saya, saya pun memenuhi undangannya, dan sikap saya terhadapnya sama seperti sikap saya terhadap orang shalih’.
Orang ketiga mengatakan: ‘Orang fasiq ini, saya benci dia karena perbuatan fasiqnya. Namun saya masih cinta dia karena imannya. Saya tidak akan memboikot dia kecuali jika memang diboikot ia menjadi lebih baik. Namun kalau boikot saya itu malah menambah kefasikannya, maka saya tidak boikot dia’.

Kami katakan, orang yang pertama adalah ekstrim kanan (ghalin) sedangkan orang yang kedua adalah ekstrim kiri (muqashir)  dan yang ketiga adalah orang yang pertengahan (mutawashith). Demikian juga hal ini terjadi dalam seluruh perkara ibadah dan muamalah. Yaitu orang-orang pasti termasuk salah satu dari 3 keadaan ini, muqashir, ghalin dan mutawashith.

Contoh ketiga, ada lelaki yang sudah berkeluarga, ia dikendalikan sesuai keinginan istrinya. Suaminya tidak menentang perbuatan dosa yang dilakukan istrinya dan tidak menyemangatinya untuk berbuat kebaikan. Istrinya telah menguasai akalnya dan jadilah sang istri ‘pemimpin’ dalam rumah tangganya.

Lelaki yang lain, kasar, angkuh, dan merasa tinggi di hadapan istrinya. Tidak peduli pada istrinya dan memperlakukan istrinya seolah istrinya lebih rendah dari pada pembantu.

Lelaki yang ketiga adalah lelaki yang bersikap pertengahan. Ia bersikap sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf (QS. Al Baqarah: 228)

لا يفرك مؤمن مؤمنة إن كره منها خلقا رضي منها خلقا آخر

Janganlah seorang mu’min membenci seorang mu’minah. Jika ia tidak menyukai salah satu sifatnya, hendaklah ia menyenangi sifat yang lainnya (HR. Muslim)

Lelaki yang terakhir tadi adalah yang mutawashith, yang pertama itu ghaalin dalam bermuamalah dengan istrinya sedangkan yang kedua muqashir. Demikian juga ini berlaku dalam seluruh amal ibadah dan muamalah.

Majmu' Fatawa War Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 1/43, Asy Syamilah ]

Sumber: muslim.or.id

*****

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'aalamiinفر فقال بعضهم: أنا أقوم ولا أنام، وقال الآخر: أنا أصوم ولا أفطر، وقال الثالث: أنا لا أتزوج النساء، فبلغ ذلك النبي، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فقال، عليه الصلاة والسلام: ” ما بال أقوامٍ يقولون كذا وكذا أنا أصوم وأفطر، وأقوم، وأنام، وأتزوج النساء، فمن رغب عن سنتي فليس منيSekelompok orang berkumpul membicarakan sesuatu. Lelaki pertama berkata, saya akan shalat malam dan tidak tidur. Yang lain berkata, saya akan puasa dan tidak berbuka. Yang ketiga berkata, saya tidak akan menikah. Perkataan mereka ini sampai kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam . Kemudian beliau berkata, kenapa ada orang-orang yang begini dan begitu?! Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku” (HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berlepas diri dari mereka yang ghuluw karena mereka tidak menyukai sunnah Nabi, diantara yaitu puasa dan berbuka, shalat malam dan tidur, serta menikah dengan para wanita.
Sedangkan al muqashir (orang yang meremehkan) adalah orang yang berkata: “Saya tidak butuh shalat sunnah, saya cukup shalat wajib saja”. Bahkan terkadang mereka meremehkan perkara-perkara yang wajib. Inilah al muqashir.
Adapun al mu’tadil (orang yang bersikap pertengahan) adalah orang yang menerapkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para khulafa ar rasyidin.
Contoh lain, ada 3 orang yang sedang membahas seorang yang fasiq di depan mereka.
Yang pertama mengatakan: ‘Saya tidak akan memberi salam pada orang fasiq ini. Akan saya boikot dia, saya jauhi dan saya tidak mau bicara dengannya’.
Orang kedua mengatakan: ‘Saya akan berjalan bersama orang fasiq ini, bermuka cerah di hadapannya, mengundangnya ke rumah saya, saya pun memenuhi undangannya, dan sikap saya terhadapnya sama seperti sikap saya terhadap orang shalih’.
Orang ketiga mengatakan: ‘Orang fasiq ini, saya benci dia karena perbuatan fasiqnya. Namun saya masih cinta dia karena imannya. Saya tidak akan memboikot dia kecuali jika memang diboikot ia menjadi lebih baik. Namun kalau boikot saya itu malah menambah kefasikannya, maka saya tidak boikot dia’.
Kami katakan, orang yang pertama adalah ekstrim kanan (ghalin) sedangkan orang yang kedua adalah ekstrim kirim (muqashir)  dan yang ketiga adalah orang yang pertengahan (mutawashith). Demikian juga hal ini terjadi dalam seluruh perkara ibadah dan muamalah. Yaitu orang-orang pasti termasuk salah satu dari 3 keadaan ini, muqashir, ghalin dan mutawashith.
Contoh ketiga, ada lelaki yang sudah berkeluarga, ia dikendalikan sesuai keinginan istrinya. Suaminya tidak menentang perbuatan dosa yang dilakukan istrinya dan tidak menyemangatinya untuk berbuat kebaikan. Istrinya telah menguasai akalnya dan jadilah sang istri ‘pemimpin’ dalam rumah tangganya.
Lelaki yang lain, kasar, angkuh, dan merasa tinggi di hadapan istrinya. Tidak peduli pada istrinya dan memperlakukan istrinya seolah istrinya lebih rendah dari pada pembantu.
Lelaki yang ketiga adalah lelaki yang bersikap pertengahan. Ia bersikap sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 228)

لا يفرك مؤمن مؤمنة إن كره منها خلقا رضي منها خلقا آخر
Janganlah seorang mu’min membenci seorang mu’minah. Jika ia tidak menyukai salah satu sifatnya, hendaklah ia menyenangi sifat yang lainnya” (HR. Muslim)
Lelaki yang terakhir tadi adalah yang mutawashith, yang pertama itu ghaalin dalam bermuamalah dengan istrinya sedangkan yang kedua muqashir. Demikian juga ini berlaku dalam seluruh amal ibadah dan muamalah.
Majmu' Fatawa War Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 1/43, Asy Syamilah ]


Dari artikel zakat mal by null
mat Islam adalah umat yang terbaik sekaligus umat yang paling mulia. Di antara sebabnya adalah sikap adil yang dimiliki umat Islam, yakni bersikap pertengahan di antara dua kelompok yang terlalu berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Umat Nashrani bersikap berlebih-lebihan dalam beragama, sedangkan umat Yahudi terlalu meremehkan.  Kedua-duanya telah keliru dalam memahami agama. Adapun umat Islam adalah umat yang adil, berada di tengah-tengah antara keduanya.
Dalam Perkara Tauhid
Dalam permasalahan tauhid kepada Allah dan terhadap sifat-sifat-Nya, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menyifati  Allah Ta’ala dengan sifat kekurangan yang dimiliki makhluk sehingga mereka menyamakan Allah dengan makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah bakhil (kikir) dan fakir, memiliki sifat malas sehingga butuh istirahat, Allah menyerupai bentuk manusia, serta  perkataan lain yang senada. Adapun umat Nashrani menyifati makhluk dengan sifat Al Kholiq (Yang Maha Pencipta). Mereka manyamakan makhluk dengan Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah al Masih bin Maryam, al Masih adalah Ibnullah (anak Allah), dia dapat mencipta, memberi rizki, mengampuni dosa, memberi rahmat, serta memberi pahala dan mengadzab.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla semata. Mereka menyifati Allah dengan sifat yang sempurna, dan menyucikannya dari seluruh sifat kekurangan, serta tidak menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka meyakini bahwa tidak ada satupun yang menyerupai Allah baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Dalam Keimanan Terhadap Para Nabi
Dalam hal keimanan terhadap para Nabi, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani.  Umat Yahudi membunuh nabi-nabi mereka, mencela mereka, serta berpaling dan sombong dengan tidak mau mengikuti ajaran mereka. Sedangkan umat Nashrani mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi mereka. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan al Masih ‘alaihis salaam sebagai Tuhan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam senantiasa menolong  nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Dalam Permasalahan Syariat
Dalam permasalahan syariat, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menolak rasul utusan Allah yang tidak membawa syariat Musa ‘alaihis salaam. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak boleh menghapus syariat Musa  ‘alahis salaam, serta  tidak boleh pula untuk menghilangkan dan menetapkan syariat yang Allah kehendaki. Adapun kamu Nashrani mereka membolehkan pendeta-pendeta mereka merubah agama Allah, menghalalkan perkara yang Allah haramkan dan mengharamkan perkara yang Allah halalkan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam meyakini bahwa segala penciptaan dan pengaturan hanyalah hak Allah. Allah menghilangkan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Penghapusan syariat bisa saja terjadi di masa hidupnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapaun setelah wafatnya beliau, maka tidak boleh seorang pun mengganti syariat Allah betapa pun tinngginya kedudukan dan besarnya kemampuan orang tersebut.
Dalam Perkara Halal Dan Haram
Dalam perkara halal dan haram, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi banyak diharamkan dari hal-hal yang mubah. Sebagaimana Allah kisahkan dalam Al Quran,

كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلاًّ لِّبَنِى إِسْرَاءِيلَ إِلاَّ مَاحَرَّمَ إِسْرَاءِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ … {93}
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan…”(QS. Ali Imron:93)
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا {160}
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah” (QS. An Nisaa’:160)
Sedangkan umat Nashrani mereka berlebih-lebihan dalam menghalalkan hal-hal yang diharamkan. Mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan dalam Taurat dan diharamkan oleh al Masih ‘alaihis salaam. Mereka menghalalkan hal-hal yang jelek dan semua hal yang haram seperti bangkai, darah, dan daging babi.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka tidak berlebih-lebihan dalam perkara halal dan haram. Mereka menghalalkan hal-hal yang telah Allah halalkan bagi mereka dalam Al Quran atau sabda Nabi shalallhu ‘alaihi wa salaam. Mereka juga mengharamkan segala sesuatu hal yang jelek yang diharamkan bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang kondisi umat Islam,
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ … {157}
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al A’rof:157)
Dalam Urusan Ibadah
Dalam urusan ibadah, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi berilmu tetapi tidak mau beramal. Merekalah golongan yang dimurkai. Mereka berpaling dari ibadah dan bersikap sombong dengan tidak mau taat kepada Allah. Mereka mengikuti hawa nafsu mereka dan menghamba kepada diri mereka sendiri shingga mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyikapi dunia daripada agama dan akhirat mereka. Sedangkan umat Nashrani tidak memiliki ilmu sehingga beribadah kepada Allah di atas kejahilan. Merekalah golongan yang sesat. Mereka beribadah berlandaskan bid’ah yang tanpa dasar.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka berilmu sekaligus mengamalkannya. Mereka adalah golongan yang Allah beri nikmat. Mereka menyembah Allah semata dengan syariat-Nya, bukan berdasarkan hawa nafsu dan kebid’ahan. Mereka juga tidak melupakan kebaikan untuk dunia mereka. Teladan mereka adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam.
Pembaca yang budiman, inilah keadilan akidah Islam. Bersikap pertengahan antara dua kolompok yang terlalu berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Semoga Allah meneguhkan kita di atas Islam sampai ajal menjemput kita. Wa shalallahu ‘alaa nabiyyina muhammaad.
[Disadur dengan sedikit perubahan redaksi dari kitab  Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid, hal 43-48 karya  Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi, Penerbit Daar Adwaus Salaf, Cetakan pertama, 1428/2007]
Selesai ditulis di Kompleks Ma’had Jamilurrohman
Kamis menjelang subuh, 18 Rabi’ul Awwal 1431 H/ 4 Februari 2010

Dari artikel akidah by null
mat Islam adalah umat yang terbaik sekaligus umat yang paling mulia. Di antara sebabnya adalah sikap adil yang dimiliki umat Islam, yakni bersikap pertengahan di antara dua kelompok yang terlalu berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Umat Nashrani bersikap berlebih-lebihan dalam beragama, sedangkan umat Yahudi terlalu meremehkan.  Kedua-duanya telah keliru dalam memahami agama. Adapun umat Islam adalah umat yang adil, berada di tengah-tengah antara keduanya.
Dalam Perkara Tauhid
Dalam permasalahan tauhid kepada Allah dan terhadap sifat-sifat-Nya, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menyifati  Allah Ta’ala dengan sifat kekurangan yang dimiliki makhluk sehingga mereka menyamakan Allah dengan makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah bakhil (kikir) dan fakir, memiliki sifat malas sehingga butuh istirahat, Allah menyerupai bentuk manusia, serta  perkataan lain yang senada. Adapun umat Nashrani menyifati makhluk dengan sifat Al Kholiq (Yang Maha Pencipta). Mereka manyamakan makhluk dengan Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah al Masih bin Maryam, al Masih adalah Ibnullah (anak Allah), dia dapat mencipta, memberi rizki, mengampuni dosa, memberi rahmat, serta memberi pahala dan mengadzab.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla semata. Mereka menyifati Allah dengan sifat yang sempurna, dan menyucikannya dari seluruh sifat kekurangan, serta tidak menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka meyakini bahwa tidak ada satupun yang menyerupai Allah baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Dalam Keimanan Terhadap Para Nabi
Dalam hal keimanan terhadap para Nabi, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani.  Umat Yahudi membunuh nabi-nabi mereka, mencela mereka, serta berpaling dan sombong dengan tidak mau mengikuti ajaran mereka. Sedangkan umat Nashrani mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi mereka. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan al Masih ‘alaihis salaam sebagai Tuhan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam senantiasa menolong  nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Dalam Permasalahan Syariat
Dalam permasalahan syariat, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menolak rasul utusan Allah yang tidak membawa syariat Musa ‘alaihis salaam. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak boleh menghapus syariat Musa  ‘alahis salaam, serta  tidak boleh pula untuk menghilangkan dan menetapkan syariat yang Allah kehendaki. Adapun kamu Nashrani mereka membolehkan pendeta-pendeta mereka merubah agama Allah, menghalalkan perkara yang Allah haramkan dan mengharamkan perkara yang Allah halalkan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam meyakini bahwa segala penciptaan dan pengaturan hanyalah hak Allah. Allah menghilangkan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Penghapusan syariat bisa saja terjadi di masa hidupnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapaun setelah wafatnya beliau, maka tidak boleh seorang pun mengganti syariat Allah betapa pun tinngginya kedudukan dan besarnya kemampuan orang tersebut.
Dalam Perkara Halal Dan Haram
Dalam perkara halal dan haram, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi banyak diharamkan dari hal-hal yang mubah. Sebagaimana Allah kisahkan dalam Al Quran,
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلاًّ لِّبَنِى إِسْرَاءِيلَ إِلاَّ مَاحَرَّمَ إِسْرَاءِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ … {93}
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan…”(QS. Ali Imron:93)
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا {160}
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah” (QS. An Nisaa’:160)
Sedangkan umat Nashrani mereka berlebih-lebihan dalam menghalalkan hal-hal yang diharamkan. Mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan dalam Taurat dan diharamkan oleh al Masih ‘alaihis salaam. Mereka menghalalkan hal-hal yang jelek dan semua hal yang haram seperti bangkai, darah, dan daging babi.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka tidak berlebih-lebihan dalam perkara halal dan haram. Mereka menghalalkan hal-hal yang telah Allah halalkan bagi mereka dalam Al Quran atau sabda Nabi shalallhu ‘alaihi wa salaam. Mereka juga mengharamkan segala sesuatu hal yang jelek yang diharamkan bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang kondisi umat Islam,
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ … {157}
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al A’rof:157)
Dalam Urusan Ibadah
Dalam urusan ibadah, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi berilmu tetapi tidak mau beramal. Merekalah golongan yang dimurkai. Mereka berpaling dari ibadah dan bersikap sombong dengan tidak mau taat kepada Allah. Mereka mengikuti hawa nafsu mereka dan menghamba kepada diri mereka sendiri shingga mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyikapi dunia daripada agama dan akhirat mereka. Sedangkan umat Nashrani tidak memiliki ilmu sehingga beribadah kepada Allah di atas kejahilan. Merekalah golongan yang sesat. Mereka beribadah berlandaskan bid’ah yang tanpa dasar.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka berilmu sekaligus mengamalkannya. Mereka adalah golongan yang Allah beri nikmat. Mereka menyembah Allah semata dengan syariat-Nya, bukan berdasarkan hawa nafsu dan kebid’ahan. Mereka juga tidak melupakan kebaikan untuk dunia mereka. Teladan mereka adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam.
Pembaca yang budiman, inilah keadilan akidah Islam. Bersikap pertengahan antara dua kolompok yang terlalu berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Semoga Allah meneguhkan kita di atas Islam sampai ajal menjemput kita. Wa shalallahu ‘alaa nabiyyina muhammaad.
[Disadur dengan sedikit perubahan redaksi dari kitab  Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid, hal 43-48 karya  Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi, Penerbit Daar Adwaus Salaf, Cetakan pertama, 1428/2007]
Selesai ditulis di Kompleks Ma’had Jamilurrohman
Kamis menjelang subuh, 18 Rabi’ul Awwal 1431 H/ 4 Februari 2010

Dari artikel akidah by null
mat Islam adalah umat yang terbaik sekaligus umat yang paling mulia. Di antara sebabnya adalah sikap adil yang dimiliki umat Islam, yakni bersikap pertengahan di antara dua kelompok yang terlalu berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Umat Nashrani bersikap berlebih-lebihan dalam beragama, sedangkan umat Yahudi terlalu meremehkan.  Kedua-duanya telah keliru dalam memahami agama. Adapun umat Islam adalah umat yang adil, berada di tengah-tengah antara keduanya.
Dalam Perkara Tauhid
Dalam permasalahan tauhid kepada Allah dan terhadap sifat-sifat-Nya, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menyifati  Allah Ta’ala dengan sifat kekurangan yang dimiliki makhluk sehingga mereka menyamakan Allah dengan makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah bakhil (kikir) dan fakir, memiliki sifat malas sehingga butuh istirahat, Allah menyerupai bentuk manusia, serta  perkataan lain yang senada. Adapun umat Nashrani menyifati makhluk dengan sifat Al Kholiq (Yang Maha Pencipta). Mereka manyamakan makhluk dengan Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah al Masih bin Maryam, al Masih adalah Ibnullah (anak Allah), dia dapat mencipta, memberi rizki, mengampuni dosa, memberi rahmat, serta memberi pahala dan mengadzab.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla semata. Mereka menyifati Allah dengan sifat yang sempurna, dan menyucikannya dari seluruh sifat kekurangan, serta tidak menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka meyakini bahwa tidak ada satupun yang menyerupai Allah baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Dalam Keimanan Terhadap Para Nabi
Dalam hal keimanan terhadap para Nabi, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani.  Umat Yahudi membunuh nabi-nabi mereka, mencela mereka, serta berpaling dan sombong dengan tidak mau mengikuti ajaran mereka. Sedangkan umat Nashrani mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi mereka. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan al Masih ‘alaihis salaam sebagai Tuhan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam senantiasa menolong  nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Dalam Permasalahan Syariat
Dalam permasalahan syariat, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menolak rasul utusan Allah yang tidak membawa syariat Musa ‘alaihis salaam. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak boleh menghapus syariat Musa  ‘alahis salaam, serta  tidak boleh pula untuk menghilangkan dan menetapkan syariat yang Allah kehendaki. Adapun kamu Nashrani mereka membolehkan pendeta-pendeta mereka merubah agama Allah, menghalalkan perkara yang Allah haramkan dan mengharamkan perkara yang Allah halalkan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam meyakini bahwa segala penciptaan dan pengaturan hanyalah hak Allah. Allah menghilangkan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Penghapusan syariat bisa saja terjadi di masa hidupnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapaun setelah wafatnya beliau, maka tidak boleh seorang pun mengganti syariat Allah betapa pun tinngginya kedudukan dan besarnya kemampuan orang tersebut.
Dalam Perkara Halal Dan Haram
Dalam perkara halal dan haram, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi banyak diharamkan dari hal-hal yang mubah. Sebagaimana Allah kisahkan dalam Al Quran,
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلاًّ لِّبَنِى إِسْرَاءِيلَ إِلاَّ مَاحَرَّمَ إِسْرَاءِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ … {93}
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan…”(QS. Ali Imron:93)
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا {160}
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah” (QS. An Nisaa’:160)
Sedangkan umat Nashrani mereka berlebih-lebihan dalam menghalalkan hal-hal yang diharamkan. Mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan dalam Taurat dan diharamkan oleh al Masih ‘alaihis salaam. Mereka menghalalkan hal-hal yang jelek dan semua hal yang haram seperti bangkai, darah, dan daging babi.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka tidak berlebih-lebihan dalam perkara halal dan haram. Mereka menghalalkan hal-hal yang telah Allah halalkan bagi mereka dalam Al Quran atau sabda Nabi shalallhu ‘alaihi wa salaam. Mereka juga mengharamkan segala sesuatu hal yang jelek yang diharamkan bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang kondisi umat Islam,
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ … {157}
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al A’rof:157)
Dalam Urusan Ibadah
Dalam urusan ibadah, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi berilmu tetapi tidak mau beramal. Merekalah golongan yang dimurkai. Mereka berpaling dari ibadah dan bersikap sombong dengan tidak mau taat kepada Allah. Mereka mengikuti hawa nafsu mereka dan menghamba kepada diri mereka sendiri shingga mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyikapi dunia daripada agama dan akhirat mereka. Sedangkan umat Nashrani tidak memiliki ilmu sehingga beribadah kepada Allah di atas kejahilan. Merekalah golongan yang sesat. Mereka beribadah berlandaskan bid’ah yang tanpa dasar.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka berilmu sekaligus mengamalkannya. Mereka adalah golongan yang Allah beri nikmat. Mereka menyembah Allah semata dengan syariat-Nya, bukan berdasarkan hawa nafsu dan kebid’ahan. Mereka juga tidak melupakan kebaikan untuk dunia mereka. Teladan mereka adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam.
Pembaca yang budiman, inilah keadilan akidah Islam. Bersikap pertengahan antara dua kolompok yang terlalu berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Semoga Allah meneguhkan kita di atas Islam sampai ajal menjemput kita. Wa shalallahu ‘alaa nabiyyina muhammaad.
[Disadur dengan sedikit perubahan redaksi dari kitab  Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid, hal 43-48 karya  Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi, Penerbit Daar Adwaus Salaf, Cetakan pertama, 1428/2007]
Selesai ditulis di Kompleks Ma’had Jamilurrohman
Kamis menjelang subuh, 18 Rabi’ul Awwal 1431 H/ 4 Februari 2010

Dari artikel akidah by null