Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

27 Oktober 2012

FILE 284 : Takbir Ba'da Sholat Fardlu di Hari Tasyrik

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Amalan di Hari Tasyrik. .
.
 Oleh:
Ust. Ammi Nur Baits


Pengertian Hari Tasyrik
 
Istilah tasyrik diambil dari kata [شرقت الشمش] yang artinya matahari terbit. Menjemur sesuatu, dalam bahasa Arab dinyatakan: [شَرَّقَ الشَيْءَ لِلشَّمْشِ].

Hari tasyrik adalah tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Ada juga yang menyatakan, bahwa hari tasyrik meliputi empat hari, hari Idul Adha dan 3 hari setelahnya.

Abu Ubaid mengatakan: Ada dua pendapat ulama tentang alasan penamaan hari-hari tersebut dengan hari tasyrik:  

Pertama, dinamakan hari tasyrik karena kaum muslimin pada hari itu menjemur daging kurban untuk dibuat dendeng. 

Kedua, karena kegiatan berqurban, tidak dilakukan, kecuali setelah terbit matahari. (Lisanul Arab, 10:173).

 
Keutamaan Hari Tasyrik

Allah berfirman,

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ

Ingatlah Allah di hari-hari yang terbilang.” (QS. Al-Baqarah: 203).

Yang dimaksud dengan “hari-hari yang terbilang” adalah tiga hari setelah Idul Adha, yaitu hari tasyrik. Ini merupakan pendapat Ibnu Umar dan mayoritas ulama. Sementara Ibnu Abbas dan Atha berpendapat bahwa “hari-hari yang terbilang” jumlahnya empat hari; Idul Adha dan 3 hari setelahnya. (Lathaiful Ma’arif, Hal. 314).

Allah Ta’ala mengistimewakan hari tasyrik, dengan Allah jadikan hari ini sebagai waktu istimewa untuk berdzikir. Sehingga Allah perintahkan kaum muslimin untuk memperbanyak dzikir di hari ini.

Dalam hadis dari Abdullah bin Qurth radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَعْظَمُ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمُ النَّحْرِ، ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ

Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari qurban (Idul Adha) kemudian hari al-qarr.” (HR. Abu Daud 1765, Ibnu Khuzaimah 2866, dan dishahihkan al-Albani. 

Al-A’dzami mengatakan dalam Ta’liq Shahih Ibn Khuzaimah: Sanadnya Sahih).
Yang dimaksud hari ‘al-qarr’ adalah tanggal 11 Dzulhijjah. Ini berdasarkan keterangan Ibnu Khuzaimah, bahwa Abu Bakar mengatakan:

يَوْمَ الْقَرِّ يَعْنِي يَوْمَ الثَّانِي مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ

“Hari ‘al-qarr’ adalah hari kedua setelah hari qurban”


Di hari Tasyrik, Dilarang Puasa

Di hari tasyrik, kita dilarang untuk berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai hari makan dan minum, serta banyak berdzikir kepada Allah.

Dari Nubaisyah al-Hudzali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلَّهِ

Hari Tasyrik adalah hari makan, minum, dan banyak mengingat Allah.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, Nasa’i).

Ibnu Rajab mengatakan:

و إنما نهى عن صيام أيام التشريق لأنها أعياد للمسلمين مع يوم النحر فلا تصام بمنى و لا غيرها عند جمهور العلماء، خلافا لعطاء في قوله : إن النهي يختص بأهل منى

“Kita dilarang berpuasa pada hari tasyrik karena hari tasyrik adalah hari raya kaum muslimin, disamping hari raya qurban. Karena itu, tidak boleh puasa di Mina maupun di daerah lainnya, menurut mayoritas ulama. Tidak sebagaimana pendapat Atha' yang mengatakan, sesungguhnya larangan puasa di hari tasyrik, khusus bagi orang yang tinggal di Mina.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 509).

Selanjutnya Ibnu Rajab menjelaskan rahasia di balik larangan puasa di hari tasyrik,

Ketika orang-orang yang bertamu ke Baitullah telah mengalami keletihan karena perjalanan berat yang mereka lalui, di samping kelelahan setelah ihram dan melaksanakan manasik haji dan umrah, Allah mensyariatkan kepada mereka untuk beristirahat dengan tinggal di Mina pada hari qurban dan 3 hari setelahnya. Allah perintahkan mereka untuk makan daging sembelihan mereka. Di saat itulah, mereka mendapatkan jamuan dari Allah, karena kasih sayang Allah kepada mereka.

Sementara itu, kaum muslimin di belahan negeri yang lain, turut menyemarakkan ibadah seperti yang dilakukan jamaah haji. Kaum muslimin memperbanyak amalan ibadah selama 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Mereka juga disyariatkan untuk memperbanyak dzikir, bersungguh-sungguh dalam ibadah, dan bersama-sama berusaha menggapai ampunan Allah, dengan menyembelih hewan qurban. Setelah itu, mereka bersama-sama merayakan Idul Adha dan hari tasyrik. Setelah mereka lelah dengan memperbanyak ibadah, selanjutnya mereka beristirahat, menikmati hidangan daging qurban di hari tasyrik.

Allah syariatkan kaum muslimin untuk menjadikan hari ini sebagai hari makan-makan dan minum, agar mereka bisa membantu mereka untuk semakin giat dalam berdzikir mengingat Allah dan melakukan ketaatan kepada-Nya. Dan itu merupakan bentuk syukur nikmat yang paling sempurna. Dimana, nikmat yang kita terima, menjadi sarana untuk membantu agar semakin giat melakukan ibadah.


Amalan di Hari Tasyrik

Mengingat keistimewaan hari tasyrik, sebagai orang yang beriman, hendaknya kita maksimalkan upaya untuk mendapatkan limpahan rahmat dan pahala dari Allah di hari itu. Berusaha untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Memperbanyak amal soleh dan berbagai bentuk ibadah kepada Allah. Hanya saja, ada beberapa amal yang disyariatkan untuk dilakukan di hari tasyrik:

Pertama, anjuran memperbanyak berdzikir

Allah berfirman,

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ

Ingatlah Allah di hari-hari yang terbilang.” (QS. Al-Baqarah: 203). Yaitu di hari tasyrik.

Dari Nubaisyah al-Hudzali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلَّهِ

“Hari Tasyrik adalah hari makan, minum, dan banyak mengingat Allah.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, Nasa’i).

Menyemarakkan dzikir pada hari tasyrik, bisa dilakukan dalam beberapa bentuk, diantaranya (Lathaiful Ma’arif, 504 – 505):

Melakukan Takbiran setiap selesai shalat wajib. Ini sebagaimana yang dilakukan para sahabat. Sebagaimana praktek Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau dulu bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah dzuhur pada tanggal 13 Dzulhijjah. (Ibn Abi Syaibah dan al-Baihaqi dan sanadnya dishahihkan al-Albani)

Demikian juga dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau juga bertakbir setelah ashar. (HR. Ibn Abi Syaibah dan al-Baihaqi. Al-Albani mengatakan: “Shahih dari Ali”).

Mengingat Allah dan berdzikir ketika menyembelih. Karena penyembelihan qurban, bisa dilaksanakan sampai hari tasyrik berakhir.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

Di setiap hari tasyrik, boleh menyembelih.” (HR. Ahmad, ibn Hibban, Ad-Daruquthni, dan yang lainnya).

Mengingat Allah dengan membaca basmalah sebelum makan dan hamdalah setelah makan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الله عزَّ وجل يرضى عن العبد أن يأكل الأكلة فيحمده عليها ، ويشرب الشَّربة فيحمده عليها

Sesungguhnya Allah ridha terhadap hamba yang makan sesuap makanan kemudian memuji Allah, atau minum seteguk air dan memuji Allah karenanya.” (HR. Muslim 2734)
Mengingat Allah dengan melantunkan takbir ketika melempar jumrah di hari tasyrik. Yang hanya dilakukan jamaah haji.

Mengingat Allah dengan memperbanyak takbiran secara mutlak, di manapun dan kapanpun. Sebagaimana yang dilakukan oleh Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau melakukan takbiran di kemahnya di Mina, kemudian diikuti oleh banyak orang, sehingga Mina bergetar karena gema takbir. (HR. Bukhari sebelum hadis no.970)

Kedua, memperbanyak berdoa kepada Allah

Sebagian ulama menganjurkan untuk memperbanyak berdoa di hari ini.

Ikrimah (murid Ibn Abbas) mengatakan:

كان يستحب أن يقال في أيام التشريق :   رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ 

Doa berikut dianjurkan untuk dibaca pada hari tasyrik: RABBANAA  AATINAA  FID-DUN-YAA HASANAH WA FIL AA-KHIRATI HASANAH, WA QINAA ADZAABAN-NAAR. (Lathaiful Ma’arif, Hal. 505).

Doa ini kita kenal dengan doa sapu jagad. Dan memang demikian, doa ini dianggap sebagai doa yang isinya mengumpulkan semua bentuk kebaikan dan menolak semua bentuk keburukan. Karena itulah, doa ini menjadi pilihan yang sangat sering dilantunkan oleh manusia terbaik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Anas bin Malik mengatakan:

كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  اللَّهُمَّ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Doa yang paling banyak dilantunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah RABBANAA  AATINAA  FID-DUN-YAA HASANAH dst.. (HR. Bukhari 6389 dan Muslim 2690).

Disamping itu, doa merupakan bentuk mengingat Allah yang sangat agung. Berisi pujian dan harapan manusia kepada Tuhannya. Sehingga, hari ini menjadi hari yang istimewa untuk memperbanyak doa.

Ziyad Al-Jasshas meriwayatkan dari Abu Kinanah al-Qurasyi, bahwa beliau mendengar Abu Musa al-Asy’ari berceramah dalam khutbahnya ketika Idul Adha:

بعد يوم النحر ثلاثة أيام التي ذكر الله الأيام المعدودات لا يرد فيهن الدعاء فارفعوا رغبتكم إلى الله عز و جل

Setelah hari raya qurban ada tiga hari, dimana Allah menyebutnya sebagai al-Ayyam al-Ma’dudat (hari-hari yang terbilang), doa pada hari-hari ini, tidak akan ditolak. Karena itu, perbesarlah harapan kalian. (Lathaiful Ma’arif, Hal. 506).

Demikian, semoga Allah memudahkan kita untuk senantiasa istiqamah dalam menggapai ampunan-Nya.

Allahu a’lam


Takbiran Dulu atau Dzikir Dulu ?? .
.
Dijawab Oleh:
Ust. Ammi Nur Baits

Assalamualaikum.

Pada hari tasyrik 11,12,13 ketika selesai shalat berjamaah, mana lebih utama takbiran atau dzikir sesudah shalat dan bagaimana yang lebih afdhalnya?

Terimakasih atas penjelasan ustadz.

Rohaniah Islam (XXXXXXXXXXXX@gmail.com) 


Jawaban:

Wa alaikumus salam

Keterangan Syaikh Khalid Al-Musyaiqih,

ومتى يكبر ؟ هل يكبر بعد السلام مباشرة أو عقب الذكر ؟
نقول يكبر بعد الاستغفار وقول اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال والإكرام   ، فيستغفر الله ثلاثاً ثم يقول اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال والإكرام   ثم يشرع في التكبير ، يكبر ما شاء الله عز وجل ثم بعد ذلك يعود لأذكاره

Kapan mulai takbir setelah shalat? Apakah langsung bertakbir persis setelah salam ataukah setelah Dzikir?

Jawab: Kami katakan, sebaiknya bertakbir setelah istighfar dan membaca,

اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال والإكرام

Hendaknya dia istighfar 3 kali kemudian membaca; dzikir di atas (Allahumma antas salam…. dst.), setelah itu mulai bertakbir. Dia bisa bertakbir dengan jumlah bebas, kemudian kembali berdzikir lagi.

Sumber: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=264613
.
*****
Sumber: konsultasisyariah.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin 

20 Oktober 2012

FILE 283 : Wajibkah Berqurban ?

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Wajibkah Melaksanakan Ibadah Kurban

.Oleh:
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin


Pertanyaan
Apakah setiap kaum Muslimin itu harus berkurban ? Bolehkah lima orang bersekutu dalam mengurbankan satu binatang kurban ?"

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab :

الحمد لله رب العالمين وأصلي وأسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين

Udhhiyyah (hewan kurban) adalah hewan yang disembelih oleh seseorang dalam rangka beribadah kepada Allah Azza wa Jalla pada hari raya Idul 'Adha dan tiga hari setelahnya. Ibadah ini termasuk diantara ibadah-ibadah yang paling afdhal (terbaik). Karena Allah Azza wa Jalla menyebutkannya beriringan setelah perintah shalat dalam firman-Nya :

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah. [al-Kautsar/108:1-2]

Allâh juga berfirman :

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah, "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)". [al-An'am/6:162-163]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah berkurban dengan dua hewan, satu atas nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kelurga dan yang satu lagi atas nama semua umat beliau yang beriman.[1] Dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi dan menyemangati umatnya agar melakukan ibadah ini.

Para Ulama berbeda pendapat mengenai apakah ibadah kurban itu wajib ataukah tidak ?
menjadi dua pendapat.[2] Diantara para Ulama, ada yang mengatakan bahwa ibadah kurban ini hukumnya wajib bagi yang mampu, karena ada perintah (dari Allâh) untuk melakukannya dalam al-Qur'an. Yaitu dalam firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah
. [al-Kautsar/108:1-2]

Juga berdasarkan perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada orang yang melakukannya sebelum shalat 'Id agar dia menyembelih hewan kurban lagi setelah shalat.[3] Juga berdasarkan riwayat :

مَنْ وَجَدَ سَعَةً وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Barangsiapa memiliki kemampuan tapi dia tidak melakukan ibadah kurban, maka janganlah dia mendekati masjid kami. [4]

Oleh karena itu, tidak selayaknya bagi orang yang mampu meninggalkan ibadah ini
. Hendaklah dia berkurban dengan satu hewan (kambing) atas nama dia dan keluarganya. Dan tidak sah dua orang atau lebih bersekutu dalam kepemilikan seekor kambing kurban. Sedangkan pada sapi atau unta, maka itu boleh ada tujuh orang bersekutu dalam kepemilikannya. Sekali lagi, ini dalam kepemilikan.

Adapun bersekutu dalam pahala, maka tidak apa-apa seseorang berkurban dengan satu kambing atas nama dirinya dan keluarganya, meskipun jumlahnya banyak. Bahkan dia boleh berkurban atas nama dirinya dan seluruh Ulama Islam atau yang serupa dengan itu, (misalnya) atas nama banyak orang sampai tidak ada yang bisa menghitungnya kecuali Allah Azza wa Jalla .

Catatan :
Disini, saya merasa perlu mengingatkan satu hal yang sering dilakukan oleh umat dengan keyakinan bahwa ibadah kurban itu dilakukan khusus atas nama orang-orang yang sudah mati. Sampai-sampai jika mereka ditanya, "Sudahkah kamu melakukan ibadah kurban atas nama dirimu ?" maka dia akan menjawab, "Apakah saya melaksanakan ibadah kurban ? padahal saya masih hidup ?!" Dia mengingkarinya.

Sepantasnya untuk diketahui bahwa ibadah kurban itu disyari'atkan bagi kaum Muslimin yang masih hidup. Ibadah ini termasuk diantara ibadah-ibadah khusus yang merupakan kewajiban orang yang masih hidup. Oleh karena itu tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ibadah kurban atas nama keluarga dekat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah meninggal, tidak pula atas nama istri-istri beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam secara khusus. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkurban atas nama Khadijah Radhiyallahu anha , istri pertama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak atas nama Zainab binti Khuzaimah Radhiyallahu anha, istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meninggal tidak lama setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam nikahi, juga tidak berkurban atas nama Hamzah bin Abdul Mutthalib, paman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang syahid dalam perang Uhud. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berkurban atas nama dirinya dan semua keluarganya. Ini mencakup keluarga yang masih hidup dan yang sudah meninggal.

Ada perbedaan antara mengkhususkan atau berdiri sendiri (istiqlal) dengan memasukkan (tabi'un). Artinya orang yang sudah meninggal bisa mendapatkan pahala ibadah kurban karena dia termasuk dalam lingkup keluarga orang yang melakukan ibadah kurban atas nama dirinya dan keluarganya. Dan berniat atas nama keluarganya yang masih hidup dan yang sudah meninggal.

Adapun melakukan ibadah kurban khusus atas nama orang yang sudah meninggal, maka sepengetahuan saya, perbuatan ini tidak ada dasarnya dalam sunnah. Sedangkan, jika orang yang sudah meniggal itu sudah berwasiat agar disembelihkan hewan kurban, maka ini harus dilaksanakan dalam rangka menunaikan wasiatnya. Semoga masalah ini bisa difahami. Bahwasanya ibadah kurban itu hanya disyari'atkan bagi orang yang masih hidup, bukan bagi orang yang sudah meninggal.

Berkurban atas nama orang yang sudah meninggal hanya ada pada (dua keadaan yaitu) ikutan (artinya si mayyit termasuk anggota kelurga dari orang yang melakukan ibadah kurban atas nama dirinya dan keluarganya, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati-red) atau karena wasiat. Sedangkan selain dua itu, meskipun boleh, namun sebaiknya tidak melakukan hal itu.

Sumber : Majmu' Fatawa wa Rasa'il Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 25/21-23


MENYEMBELIH BUKAN PADA HARI RAYA IDUL ADHA

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya tentang seseorang yang beribadah kepada Allâh dengan menyembelih hewan tapi bukan pada saat-saat disyari'atkan berkorban. Apakah dia mendapatkan pahala ?

Beliau rahimahullah menjawab :
Telah diketahui bersama bahwa beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan menyembelih hewan sembelihan bukan pada saat disyari'atkan berkorban tidak akan menghasilkan pahala ibadah korban. Namun jika dia bershadaqah dengan daging hewan tersebut, maka dia mendapatkan pahala shadaqah, bukan pahala berkorban. Oleh karena itu, kami mengatakan kepada orang itu, "Jangan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan sesembelihan kecuali dengan niat beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan menyedekahkan dagingnya


BOLEHKAH BERHUTANG UNTUK BERKURBAN


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah ditanya, "Apa hukum ibadah kurban ? Bolehkah bagi seseorang berhutang untuk melaksanakan ibadah kurban ?"


Beliau rahimahullah menjawab :
Ibadah kurban itu hukumnya sunnah mu'akkadah (ibadah sunat yang sangat ditekankan) bagi orang yang mampu melaksanakannya. Bahkan sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa ibadah kurban itu hukumnya wajib. Diantara yang berpendapat wajib adalah imam Abu Hanîfah dan murid-murid beliau rahimahullah. Ini juga riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah dan pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Berdasarkan keterangan ini maka tidak seyogyanya bagi orang yang mampu meninggalkan ibadah ini. Sedangkan orang yang tidak memiliki uang, maka tidak seharusnya dia mencari hutangan untuk melaksanakan ibadah kurban. Karena (kalau dia berhutang), dia akan tersibukkan dengan tanggungan hutang, sementara dia tidak tahu, apakah dia akan mampu melunasinya ataukah tidak ? Namun bagi yang mampu, maka janganlah dia meninggalkan ibadah ini karena itu sunnah. Dan sebenarnya ibadah kurban itu satu untuk seseorang dan keluarganya. Inilah yang sunnah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkorban dengan seekor kambing atas nama diri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semua keluarganya.

Jika ada orang yang berkorban seekor kambing atas nama diri dan semua keluarganya, maka itu sudah cukup untuk semua, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia tanpa perlu mengkhususkan ibadah korban atas nama orang yang sudah meninggal dunia, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang. Mereka melakukan ibadah korban khusus atas nama orang yang sudah meninggal dunia dan membiarkan diri dan keluarga mereka. Mereka tidak melakukan ibadah korban atas nama diri dan keluarga mereka.

Adapun melakukan ibadah korban atas nama orang yang sudah meninggal dunia karena wasiat yang diwasiatkannya, maka itu wajib dilaksanakan.

Wallahu a'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
______
Footnote
[1]. HR. Ahmad 6/391 dan Ibnu Majah, no. 3122
[2]. Dalam fatwa yang lain, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan pilihan beliau yaitu sunnah mu'akkadah.Ustadz Dzulqarnain hafidhahullah juga menguatkan pendapat akan tidak wajibnya qurban (bisa dilihat di artikel pada website beliau), begitu pula Ustadz Kholid Syamhudi hafidhahullah di majalah Assunnah (artikel).
[3]. HR. Bukhari, Kitâbul Adhâhi, Bâb Man Dzabaha Qablas Shalâti fal Yu'id (no. 5561) dan Muslim dalam Kitâbul Adhâhi, Bâbu Waqtiha (no. 1960)
[4]. HR. Ahmad 2/321 dan Ibnu Mâjah, Kitâbul Adhâhi, Bâbul Adhai Wajibah Hiya am La ? (no. 3123) dan al-Hakim (2/389) dan beliau rahimahullah menilainya sebagai hadits shahih.

*****
Sumber: almanhaj.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

14 Oktober 2012

FILE 282 : Mengenal Allah lewat Nama-Nya Yang Indah

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًۭا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّۭا لِّلَّهِ

"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah."
QS. Al Baqarah [2]: 165
  
Bagaimana cara untuk meraih أَشَدُّ حُبًّۭا (sangat cinta) kepada Allah tersebut ? Sebagaimana pepatah "Tak kenal, maka tak sayang", di antara cara meraih kecintaan terhadap sesuatu adalah dengan mengenal sesuatu tersebut lebih dekat.

Berikut ini saya mencoba menampilkan artikel yang membahas beberapa nama Allah yang lebih dikenal dengan Asma-ul Husna.
وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا

"Hanya milik Allah-lah Asmaul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaaul Husna itu."
QS. Al A'raf [7]: 180
 
Melalui pengenalan terhadap beberapa nama Allah tersebut, semoga kita bisa meraih derajat orang mu'min yang sangat cinta kepada Allah.

Wallaahu a'lam bish showab.

--oo00oo--

Al 'Uluw, Apa Arti Allah Maha Tinggi ?

.Oleh:
Ust. Ahmas Faiz Asifuddin


Salah satu di antara nama Allah yang sangat indah adalah al 'Aliyy. Makna yang terkandung dalam nama ini merupakan sifat-Nya, yaitu Maha Tinggi. Sifat Maha Tinggi Allah merupakan salah satu di antara sifat sempurna-Nya yang jumlahnya tanpa batas. Namun apa yang dimaksud Allah bernama al 'Aliyy dan bersifat Maha Tinggi?

Sebelum memaparkan jawaban dari pertanyaan di atas, sebaiknya terlebih dahulu dikemukakan dalil-dalil tentang nama Allah al 'Aliyy dan sifat Maha Tinggi-Nya.


DALIL DARI KITABULLAH
Berikut ini adalah beberapa dalil tersebut:

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar
. [al Baqarah/2:255]

فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ

Maka putusan (sekarang ini) hanyalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Ghafir/40 :12).

Ayat ini dengan tegas menjelaskan nama Allah 'Aliyy, 'Azhim dan Kabir, yang maknanya Maha Tinggi, Maha Agung dan Maha Besar. Makna ini sekaligus menunjukkan sifat-Nya.

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi. [al A'la/87:1]

وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ

Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi. [an-Nahl/16:60]

Dari penggalan empat ayat di atas, dua di antaranya menunjukkan sifat Maha Tinggi Allah melalui tadhammun al ismi laha (penjelasan sifat yang terkandung dalam nama-Nya). Dan dua berikutnya melalui tashrih bish-shifah (penegasan langsung dengan sifat). Maksudnya, sifat Maha Tinggi Allah pada penggalan dua ayat pertama dapat diketahui melalui makna yang terkandung dalam nama-Nya. Dan pada penggalan dua ayat berikutnya dapat diketahui dengan lafazh yang langsung menunjukkan sifat-Nya.

Jadi beberapa ayat di atas menjelaskan dua metode di antara tiga metode al Qur`an dan Sunnah di dalam menetapkan sifat Allah.

Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah , ada tiga cara al Qur`an dan Sunnah di dalam memberikan pembuktian mengenai penetapan sifat Allah Azza wa Jalla, [1] yaitu:

Pertama, tashrih bish shifah (penegasan langsung dengan lafazh yang menunjukkan sifat Allah). Misalnya, sifat al 'Izzah (perkasa), al Quwwah (kuat), ar-Rahmah (kasih sayang), al Bath-syu (sifat menyiksa), al Wajhu (wajah), al Yadain (dua tangan) dan sifat-sifat lainnya.

Kedua, tadhammun al ismi laha (sifat Allah yang dikandung dalam nama-Nya). Contohnya, nama Allah al-Ghafur mengandung sifat Maha Pengampun, as-Sami' mengandung sifat Maha Mendengar dan seterusnya.

Ketiga, tashrih bil fi'li aw al washfi dallin 'alaihima (penegasan sifat melalui kata kerja atau kata yang menunjukkan sifat). Contohnya, Allah bersemayam di atas 'Arsy. Sifat bersemayam ini disebutkan dalam ayat dengan bentuk fi'il (kata kerja). Misalnya kata istawa dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

Allah Yang Maha Penyayang bersemayam di atas 'Arsy. [Thaha/20 : 5]

Contoh lainnya, sifat memberikan balasan siksa yang keras. Sifat ini tersebut dalam al Qur`an dengan bentuk kata yang menunjukkan sifat, yaitu berbentuk isim fa'il. Misalnya kata muntaqimun dalam firman Allah Ta'ala:

إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ

Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan siksa kepada orang-orang yang berdosa. [As-Sajdah/32 : 22]

Demikianlah beberapa dalil yang menunjukkan sifat Maha Tingginya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas segenap makhluk-Nya.

Sesungguhnya, seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah,[2] dalil tentang sifat Maha Tinggi Allah sangat banyak; dari al Qur`an, Sunnah, Ijma', akal dan fithrah. Sementara itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam al 'Aqidah al Wasithiyah [3] mengelompokkan dalil-dalil itu secara terpisah, kelompok dalil dari al Qur`an sendiri dan kelompok dalil dari Sunnah Nabawiyah sendiri.

Adapun dalil dari al Qur`an dan Sunnah, hampir tidak bisa dibatasi. Disamping ayat yang sudah dipaparkan di atas, juga beberapa ayat berikut ini:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ

Dan Dialah yang berkuasa, berada di atas sekalian hamba-hamba-Nya. [al An'am/6:18]

Kata fauqa menunjukkan, Allah Maha Tinggi berada di atas seluruh makhluk.

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di atas langit bahwa Dia menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang. Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di atas langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. [al Mulk/67:16-17].

Kata man fis-sama` pada ayat di atas memiliki makna Allah yang di atas langit. Fis-sama`, artinya 'alas-sama` (di atas langit), ini bila yang dimaksud dengan sama` (langit) adalah langit dalam bentuk bangunan fisik. Namun bila yang dimaksud dengan sama` adalah segala yang bersifat atas, maka fi artinya untuk menunjukkan tempat. Maksudnya Allah Maha berada di atas.[4]

Demikian juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shaleh dinaikkan-Nya. [Fathir/35:10].

Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan menjelaskan, di dalam ayat ini terdapat penetapan sifat Maha Tingginya Allah di atas segenap makhluk-Nya, karena sebutan naik dan diangkat, menunjukkan ke arah atas.[5]

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَأَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَىٰ إِلَٰهِ مُوسَىٰ وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا

Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Ilahnya Musa, dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta". [al Mu'min/40:36-37].

Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan menjelaskan, di dalam ayat ini terdapat penetapan sifat Maha Tinggi Allah di atas segenap makhlukNya, sebab Nabi Musa Alaihissallam telah mengkhabarkan kepada Fir'aun tentang itu, namun Fir'aun berupaya mendustakannya.[6] Dan masih sangat banyak dalil dari al Qur`an yang menunjukkan sifat Maha Tinggi Allah, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Intinya, dalil-dalil dari al Qur`an memiliki beragam pembuktian. Kadang-kadang dengan sebutan 'uluw, fauqiyah, istiwa' 'ala al Arsy atau sebutan fis-sama`, yang semuanya menunjukkan Allah Maha Tinggi, Maha di atas, bersemayam di atas Arsy, dan Maha di atas langit.

Atau kadang-kadang dengan sebutan shu'ud al asy-ya`, 'uruj al asy-ya` dan raf'uha ilaihi, yang artinya, naiknya pelbagai perkara atau makhluk kepada Allah. Misalnya firman Allah:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ

Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik. –Fathir/35 ayat 10- dengan sebutan shu'ud (naik)nya perkataan-perkataan yang baik kepada Allah.

Juga firman Allah:

تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabb. -al Ma'arij/70 ayat 4- dengan sebutan 'uruj (naik)nya para malaikat kepada Allah.

Demikian pula firmanNya:

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَىٰ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ

(Ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai 'Isa, sesungguhnya Aku akan menidurkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku. –Ali Imran/3 ayat 55- dengan sebutan raf'u (mengangkat) Isa naik kepada Allah.

Dan kadang-kadang dengan sebutan nuzul al asy-ya` minhu (turunnya pelbagai hal dari Allah) atau sebutan sejenisnya. Hal yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas, sebab kata turun dari sisi-Nya hanya terjadi dari atas. Misalnya firman Allah Ta'ala:

قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ

Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al Qur`an itu dari Rabbmu". –an-Nahl/16 ayat 102- dengan sebutan menurunkan al Qur`an dari sisi Allah.

Demikian juga firman-Nya:

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi. [as-Sajdah/32:5][7].


DALIL DARI SUNNAH NABAWIYAH

Adapun dalil-dalil dari Sunnah Nabawiyah, jumlahnyapun sangat banyak dan mencapai tingkatan mutawatir, serta dengan pendalilan yang juga beragam.[8] Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَلَا تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ .متفق عليه

Apakah kalian tidak memberikan kepercayaan kepadaku, sedangkan aku adalah orang kepercayaan Allah, Dzat yang ada di atas langit?
[9]

Begitu juga hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَصْعَدُ إِلَى اللَّهِ إِلَّا الطَّيِّبُ فَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فُلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ. رواه البخاري

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang bersodaqoh senilai satu biji korma dari hasil usaha yang baik (halal) –sedangkan tidak akan ada yang naik kepada Allah kecuali yang baik saja-, niscaya Allah akan menerimanya dengan Tangan kananNya, kemudian Allah memeliharanya untuk pemiliknya sebagaimana seseorang di antara kamu memelihara anak kudanya yang masih kecil. Sehingga sodaqoh tadi akan menjadi besar laksana gunung".[10]

Juga jawaban seorang budak perempuan milik Mu'awiyah bin al Hakam as-Sulami yang dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau bertanya kepada budak tersebut tentang di mana Allah. Beliau bersabda:

أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ .رواه مسلم

"Di mana Allah?" Budak wanita itu menjawab: "Di atas langit," Beliau bertanya lagi: "Siapa aku?" Ia menjawab,"Engkau adalah Rasul Allah," maka Beliaupun bersabda: "Merdekakan ia, karena ia seorang wanita mu'minah!" [11]

Dalam hadits ini, budak wanita milik Mu'awiyah bin al Hakam menjawab bahwa Allah ada di atas langit. Dan jawabannya dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pernyataan beliau, bahwa ia merupakan wanita mu'minah.

Hadits yang lain ialah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa sujudnya:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى .رواه مسلم

Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi.[12]

Demikian pula hadits yang menjelaskan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabatnya pada hari Arafah, yaitu saat beliau meminta kesaksian kepada mereka; apakah beliau sudah menyampaikan risalah Allah? Lalu mereka menjawab: "Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, telah menunaikan dan telah memberikan nasihat," maka beliau mengangkat tangannya memberikan isyarat ke arah atas, lalu tangan yang mulia itu di turunkan menunjuk ke arah para sahabatnya seraya bersabda:

اللَّهُمَّ اشْهَدْ! اللَّهُمَّ اشْهَدْ! ثلاث مرات.رواه مسلم

Ya Allah saksikanlah (mereka), saksikanlah (mereka)!
Beliau mengucapkannya tiga kali.[13]

Hadits ini menegaskan bahwa Allah ada di atas segenap makhluk-Nya, karena Nabi mengangkat tangan beliau ke arah atas ketika meminta kesaksian mereka tentang risalah yang diembannya. Dan masih banyak hadits lain, yang seluruhnya menunjukkan bahwa Allah berada di atas dan Maha Tinggi.


DALIL AKAL

Akal yang sehat menunjukkan kepastian, bahwa Allah memiliki sifat sempurna dan tidak mungkin Allah memiliki sifat-sifat kurang. Sifat Maha Tinggi dan Maha di atas adalah sifat sempurna, sedangkan sifat rendah dan sifat bawah adalah sifat kurang. Dengan demikian, secara akal, pasti Allah bersifat Maha Tinggi dan Dia Maha Suci dari sifat sebaliknya.


DALIL FITHRAH

Secara fithrah, tidak ada seorangpun yang berdoa kepada Allah atau meminta pertolongan kepada-Nya dari segala yang menakutkannya, kecuali pasti hatinya mengarah ke atas. Tidak mungkin ketika ia memohon kepada Allah, hatinya tertuju ke arah samping kanan atau kiri, tetapi ke atas.


DALIL IJMA'

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, sesungguhnya para ulama telah menyebutkan adanya Ijma' (kesepakatan) para sahabat, tabi'in dan para imam Islam, bahwa Allah berada di atas seluruh langit milik-Nya, Dia bersemayam di atas Arsy. Perkataan mereka tentang ini sudah sangat masyhur.

Imam al Auza'i mengatakan: "Kami dahulu, ketika jumlah para tabi'in sangat banyak, mengatakan bahwa Allah Yang Maha Tinggi berada di atas Arsy-Nya. Kami mengimani berita tentang sifat Allah apa saja yang datang di dalam Sunnah".[14]

Imam adz-Dzahabi (673-748 H) bahkan menyusun kitab khusus tentang Sifat Maha Tingginya Allah dengan judul al 'Uluwwu lil 'Aliyyi al Ghaffar, yang kemudian di-mukhtashar (diringkas) oleh Syaikh al Albani rahimahullah. Isinya menegaskan semua pemaparan di atas, termasuk menyebutkan banyak sekali riwayat dari para salaf tentang itu.

Intinya, merupakan hal yang pasti, bahwa di antara nama Allah adalah al 'Aliyy, dan di antara sifat-Nya adalah Maha Tinggi berada di atas segenap makhluk-Nya. Mengingkari sifat ini adalah kufur.

Namun Apa Arti Nama Allah; Al 'Aliyy Dan Sifat Maha TinggiNya?

Setiap nama Allah pasti menunjukkan maknanya. Makna dari setiap nama Allah adalah sifat-Nya. Jadi nama-nama Allah bukanlah sekedar nama-nama kosong tanpa makna sebagaimana anggapan orang-orang Jahmiyah. Maka nama al 'Aliyy adalah nama bagi Dzat Allah Azza wa Jalla, dan sekaligus merupakan pensifatan bagi-Nya. Sebab semua nama-Nya merupakan a'lam wa aushaf (nama-nama dan pensifatan bagi Dzat-Nya).[15]

Berbeda dengan manusia, maka setiap nama manusia kecuali Nabi, hanya sekedar nama belaka sebagai panggilan bagi dirinya dan tidak menunjukkan sifatnya. Dengan demikian, nama al 'Aliyy benar-benar menunjukkan sifat Maha Tinggi Allah Subhanahu wa Ta’ala secara mutlak dan hakiki. Dan sifat Maha Tinggi Allah meliputi:

1. Maha Tinggi Dzat-Nya, karena Dia berada di atas semua makhluk-Nya.
2. Maha Tinggi kedudukan-Nya, sebab hanya kepunyaan Dia saja segala sifat sempurna.
3. Dan Maha Tinggi kekuasaan-Nya, sesab Dia Maha berkuasa atas segala sesuatu.[16]

Kemudian, harus pula difahami bahwa Maha Tinggi dan Maha di atas ini tidak bertentangan dengan Maha dekatnya Allah yang senantiasa menyertai makhluk-Nya. Allah Maha dekat, tetapi Dia tetap Maha di atas Arsy. Maha di atas segenap makhluk-Nya, tetapi Dia Maha dekat.[17] Dan ini tidak sulit dimengerti oleh akal sehat.

Demikianlah, dengan memahami sifat-sifat Allah secara benar seperti yang ada di dalam al Qur`an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salafush-Shalih, niscaya orang akan semakin mengagungkan Allah, semakin cinta kepada-Nya, semakin bersemangat beribadah hanya kepada-Nya dan takut akan siksaanNya. Sebab ia tahu bahwa Allah Maha Sempurna dalam segala nama dan sifat-Nya. Allah Maha Tinggi secara mutlak, dan Dia bersemayam di atas Arsy, namun Dia Maha dekat dan selalu menyertai setiap makhluk dengan pengawasan, ilmu, pendengaran, penglihatan, kekuasaan dan kadang dengan pertolongan-Nya kepada hamba yang dikasihi. 

Wallahu waliyyu at-Taufiq.

Maraji' :
1. Al Qowa'idul Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, karya Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Tahqiq & Takhrij: Asyraf bin Abdul Maqshud bin Abdur-Rahim, Cetakan I – 1411 H/1990 M, Maktabah as-Sunnah.
2. Fat-hul Bari Syarh Shahih al Bukhari, Tarqim wa tabwib Muhammad Fu'ad Abdul Baqi. Tash-sih wa tahqiq wa isyraf wa muqobalah Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Jami'atul Imam Muhammad bin Saud al Islamiyah, Riyadh
3. Mukhtashor al 'Uluw li al 'Aliyyi al Ghoffar, Imam adz-Dzahabi, diringkas dan di-tahqiq oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Cetakan II (copy), Tahun 1412 H/1991 M, al Maktab al Islami,
4. Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma'mun Syiha, Dar al Ma'rifah.
5. Syarh al 'Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Cetakan VI, Tahun 1413 H/1993 M, Maktabah al Ma'arif, Riyadh.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Al Qowa'idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah , Tahqiq & Takhrij Asyraf bin Abdul Maqshud bin 'Abdur-Rahim, Cetakan I–1411H/1990M, Maktabah as-Sunnah, hlm. 38, Kaidah Ketujuh (Qawa'id fi Shifatillah).
[2]. Al Qowa'idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, hlm. 66-68 dan hlm. 97-98.
[3]. Syarh al 'Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Cetakan VI, Th. 1413H/1993M, Maktabah al Ma'arif, Riyadh, di bawah sub judul itsbat Istiwa'i Allah 'ala 'Arsyihi & itsbat 'Uluwwi Allah 'ala Makhluqotihi pada kelompok penetapan Asma' dan Sifat berdasarkan al Qur`anul-Karim, serta itsbat 'Uluwwi Allah 'ala Kholqihi wa istiwa'ihi 'ala 'Arsyihi pada kelompok penetapan Asma' wa Sifat berdasarkan dalil Sunnah Nabawiyah.
[4]. Lihat keterangan Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan dalam Syarh al 'Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, di bawah sub judul Itsbat 'Uluwwi Allah 'ala Makhluqotihi, hlm. 80.
[5]. Lihat Syarh al 'Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, hlm. 80.
[6]. Lihat Syarh al 'Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, hlm. 80.
[7]. Lihat Al Qowa'idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, hlm. 66.
[8]. Lihat Al Qowa'idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, hlm. 66.
[9]. HR Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al Maghazi, Bab Ba'tsu 'Aliy bin Abi Thalib 'alaihis-Salam wa Khalid ibni al Walid ila al Yaman qabla Hajjati al Wada', hadits no. 4351 – Fat-hul Bari (VIII/67) –Jami'atul Imam Muhammad bin Saud al Islamiyah, Riyadh, Tarqim wa Tabwib Muhammad Fu'ad Abdul Baqi. Tash-sih wa Tahqiq wa Isyraf wa Muqabalah Syaikh Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz. Dan Muslim dalam Kitab az Zakah, Bab Dzikri al Khawarij wa Shifatihim – Syarh Nawawi (VII/161-162)- Tahqiq Kholil Ma'mun Syiha, Cetakan II, 1415 H/1995 M, Dar al Ma'rifah, no. hadits 2449.
[10]. HR Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab at Tauhid, no. hadits 7430 – Fat-hul Bari (XIII/415), Jami'atul Imam Muhammad bin Saud al Islamiyah, Riyadh, Tarqim wa Tabwib Muhammad Fu'ad Abdul-Baqi. Tash-sih wa Tahqiq wa Isyraf wa Muqabalah Syaikh Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz.
[11]. HR Muslim. Lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma'mun Syiha (V/23-26) dalam sebuah hadits panjang no. 1199, Kitab al Masajid wa Mawadhi' ash-Shalah, Bab Tahrim al Kalam fi ash-Shalah wa Naskhu Ma Kana min Ibahatihi, Cetakan III, Tahun 1417 H/1996 M, Dar al Ma'rifah.
[12]. HR Muslim. Lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Kholil Ma'mun Syiha (VI/303-304) dalam sebuah hadits panjang no. 1811, Kitab Shalatul-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbab Tathwil al Qira'ah fi Shalati al Lail, Cetakan III, Tahun 1417 H/1996 M, Dar al Ma'rifah.
[13]. HR Muslim. Lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma'mun Syiha (VIII/413) dalam sebuah hadits yang sangat panjang no. 2941, Kitab al Hajj, Bab Hajjati an-Nabiyyi Shallallohu 'alaihi wa sallam, Cetakan II, Tahun 1415 H/1995 M, Dar al Ma'rifah.
[14]. Lihat dalil-dalil semacam ini, misalnya dalam Kitab al Qowa'idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, hlm. 66-67.
[15]. Lihat al Qowa'idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, hlm. 11 tentang qaidah kedua dari Qawa'id fi Asma'illah.
[16]. Lihat keterangan Syaikh Shalih al Fauzan ketika menerangkan nama al 'Aliyy pada ayat Kursi dalam kitab Syarh al 'Aqidah al Wasithiyah, hal. 26.
[17]. Lihat Syarh al 'Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Sholih bin Fauzan al Fauzan, di bawah sub judul Itsbat Ma'iyyati Alloh Ta'ala li Kholqihi wa annaha La Tunafi 'Uluwwahu fauqa Arsyihi, hlm. 119. 

Al Jamil, Yang Maha Indah

.Oleh:
Ust. Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.


DASAR PENETAPAN
 
Nama Allah Azza wa Jalla ini disebutkan dalam sebuah hadits yang shahîh, dari ‘Abdullâh bin Mas'ûd Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ حَسَناً وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قاَلَ: إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji debu. Ada seorang yang bertanya, “Sesungguhnya setiap orang suka (memakai) baju yang indah, dan alas kaki yang bagus, (apakah ini termasuk sombong?). Rasulullâh bersabda: "Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain."[1] .

 
MAKNA AL-JAMIL SECARA BAHASA
 
Ibnu Fâris rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya adalah indah/bagus [2]. Adapun al-Fairûz Abâdi rahimahullah, beliau menjelaskan bahwa asal kata nama ini mengandung pengertian keindahan dalam tingkah laku dan rupa.[3] Sementara itu, pakar bahasa yang lain yang bernama Ibnul Atsîr rahimahullah lebih lanjut menjelaskan bahwa al-Jamîl berarti Yang Maha Indah perbuatan-perbuatan-Nya dan sempurna sifat-sifat-Nya [4].

 
PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AL-JAMIL
 
Nama Allah Azza wa Jalla al-Jamîl ini menunjukkan kesempurnaan keindahan Allah Azza wa Jalla pada semua nama, sifat, dzat dan perbuatan-Nya.[5] Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan makna hadits di atas dengan mengatakan, “Semua urusan Allah Azza wa Jalla itu indah dan baik, dan Dia Azza wa Jalla memiliki nama-nama yang Maha Indah serta sifat-sifat yang Maha Bagus dan Sempurna”.[6]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan hal ini secara lebih terperinci pada keterangan berikut, “Keindahan Allah Azza wa Jalla ada empat tingkatan; Pertama: keindahan dzat, kedua: keindahan sifat, ketiga: keindahan perbuatan dan keempat: keindahan nama. Atas dasar itu, semua nama Allah Azza wa Jalla Maha Indah, seluruh sifat-Nya Maha Sempurna, dan semua perbuatan-Nya mengandung hikmah, kemaslahatan (kebaikan) dan keadilan serta rahmat (kasih-sayang). Adapun keindahan dzat dan apa yang ada padanya, maka ini adalah perkara yang tidak bisa dicapai dan diketahui oleh selain Allah Azza wa Jalla. Semua makhluk tidak memiliki pengetahuan tentang itu kecuali (sedikit) pengetahuan yang dengan itulah Dia Azza wa Jalla memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba yang dimuliakan-Nya. Sesungguhnya keindahan-Nya itu terjaga dari (segala bentuk) perubahan, terlindungi dengan tabir selendang dan sarung (kemuliaan), sebagaimana hadits Rasulullâh shallallaahu 'alaihi wa sallam dari Allah Azza wa Jalla (hadits qudsi): "Kebesaran itu adalah selendang-Ku dan keagungan itu adalah sarung-Ku…"[7] . Maka bagaimana anggapanmu terhadap keindahan yang dibalut dengan sifat-sifat kesempurnaan, keagungan dan kemuliaan?

Dari makna inilah kita dapat memahami sebagian dari arti keindahan dzat-Nya, karena seorang hamba akan terus meningkat pengetahuannya tentang Allah Azza wa Jalla, mulai dari mengenal perbuatan-perbuatan-Nya meningkat menjadi mengenal sifat-sifat-Nya, dan dari mengenal sifat-sifat-Nya meningkat menjadi mengenal dzat-Nya. Jika dia menyaksikan sesuatu (yang merupakan pengaruh baik) dari keindahan perbuatan-Nya, dia akan menjadikannya sebagai (argumentasi) yang menunjukkan keindahan sifat-Nya, kemudian keindahan sifat ini dijadikannya sebagai (landasan) yang menunjukkan keindahan dzat-Nya.
 
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa segala pujian hanya milik Allah Azza wa Jalla. Tidak ada seorang makhluk-pun yang mampu membatasi/menghitung sanjungan bagi-Nya. Dia Subhanahu wa Ta'ala adalah seperti pujian yang ditujukan-Nya untuk diri-Nya sendiri. Dialah yang berhak diibadahi, dicintai dan disyukuri karena dzat-Nya, dan Dia mencintai, memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Sesungguhnya kecintaan, pujian, sanjungan dan pengesaan-Nya terhadap diri-Nya sendiri, pada hakikatnya merupakan pujian, sanjungan, cinta dan tauhid (yang sebenarnya). 

Maka Allah Azza wa Jalla adalah seperti pujian yang ditujukan untuk diri-Nya sendiri dan di atas pujian yang ditujukan para makhluk kepada-Nya; dan Dia Azza wa Jalla dicintai dzat, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Semua perbuatan-Nya indah dan dicintai, meskipun di antara obyek perbuatan-Nya ada yang dibenci dan tidak disukai-Nya. Namun, tidak ada pada perbuatan-Nya sesuatu yang dibenci dan dimurkai. Tidak ada satu pun di alam ini yang dicintai, dipuji karena dzatnya kecuali Allah Azza wa Jalla. Semua yang dicintai selain Allah Azza wa Jalla, jika kecintaan tersebut mengikuti kecintaan kepada-Nya Azza wa Jalla, yaitu mencintainya karena Allah Azza wa Jalla, maka kecintaan ini adalah kecintaan yang benar. Adapun selain itu adalah kecintaan yang batil (salah).

Inilah hakikat ilâhiyyah (penghambaan diri kepada-Nya). Karena itu, dzat yang diibadahi dengan sebenarnya, dialah yang dicintai dan dipuji dzat-Nya. Terlebih lagi, jika semua itu dihubungkan dengan (mengingat dan menyakini) kebaikan, limpahan nikmat, kelembutan, pengampunan, pemaafan, anugerah dan rahmat-Nya.

Untuk itu, hendaknya seorang hamba meyakini bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Azza wa Jalla, kemudian mencintai dan memuji-Nya karena dzat dan kesempurnaan-Nya. Selanjutnya, hendaknya dia meyakini bahwa pada hakekatnya tidak ada yang memberikan kebaikan berupa berbagai macam kenikmatan, yang lahir maupun dan batin, kecuali Allah Azza wa Jalla. Karena itu, dia mencintai-Nya dan serta memuji-Nya atas semua itu. Dengan itu, dia mencintai Allah Azza wa Jalla dari kedua segi itu secara bersamaan.

Sebagaimana tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah Azza wa Jalla, maka kecintaan kepada-Nya tidak seperti kecintaan kepada selain-Nya. Kecintaan yang disertai ketundukan itulah (hakekat) penghambaan diri kepada-Nya, yang merupakan tujuan penciptaan makhluk-Nya. Karena ubûdiyyah (penghambaan diri) merupakan bentuk kecintaan yang utuh, disertai ketundukan yang sempurna, yang tidak pantas ditujukan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Sehingga, menyekutukan Allah Azza wa Jalla termasuk perbuatan syirik yang tidak diampuni oleh Allah Azza wa Jalla dan tidak diterima amal perbuatan pelakunya"[8].

Di tempat lain, beliau rahimahullah berkata, "Kecintaan itu memiliki dua sebab yang membangkitkannya, yaitu keindahan dan pengagungan, dan Allah Azza wa Jalla memiliki kesempurnaan yang mutlak pada semua itu karena Dia Maha Indah dan mencintai keindahan, bahkan semua keindahan adalah milik-Nya, dan semua pengagungan (bersumber) dari-Nya, sehingga tidak ada sesuatu pun yang berhak untuk dicintai dari semua segi karena dzatnya kecuali Allah Azza wa Jalla"[9].

 
PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH AL-JAMIL
 
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, "Di antara bentuk pengetahuan yang paling mulia adalah mengenal sifat Allah Azza wa Jalla al-jamâl (Maha Indah). Ini adalah pengetahuan istimewa yang dimiliki hamba-hamba Allah Azza wa Jalla. Semua dapat manusia mengenal-Nya dengan satu sifat dari semua sifat-Nya, akan tetapi yang paling sempurna pengetahuannya (tentang Allah Azza wa Jalla) adalah yang mengenal-Nya dengan sifat kesempurnaan, keagungan dan keindahan-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dalam semua sifat-Nya. Seandainya semua makhluk memiliki rupa yang paling indah, kemudian keindahan mereka lahir dan batin itu dibandingkan dengan keindahan Allah Azza wa Jalla, maka sungguh (perbandingannya) lebih rendah daripada perbandingan pelita yang redup cahayanya dengan (terangnya cahaya) lingkaran matahari. Cukuplah (yang menunjukkan kesempurnaan) keindahan-Nya bahwa semua keindahan lahir dan batin di dunia dan akhirat adalah termasuk jejak-jejak penciptaan-Nya, maka bagaimana pula dengan dzat yang bersumber dari-Nya (semua) keindahan ini?"[10].

Kemudian, pengaruh positif mengimani nama Allah Azza wa Jalla yang Maha Agung ini sebenarnya dapat kita ambil melalui penjelasan makna hadits di atas.

Sabda Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan” mengandung dua unsur landasan Islam yang agung, yaitu pengetahuan tentang sifat Allah Azza wa Jalla dan pengamalan konsekuensi sifat tersebut. Yang pertama, kita mengenal Allah Azza wa Jalla dengan sifat Maha Indah yang tidak diserupai oleh satu makhluk-pun, kemudian yang kedua kita beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan sifat indah yang dicintai-Nya, dalam ucapan, perbuatan dan akhlak.

Allah Azza wa Jalla mencintai seorang hamba yang menghiasi ucapannya dengan kejujuran, menghiasi hatinya dengan keikhlasan, kecintaan, selalu kembali dan bertawakkal kepada-Nya, menghiasi anggota badannya dengan ketaatan kepada-Nya, dan menghiasi tubuhnya dengan memperlihatkan nikmat yang dianugerahkan-Nya kepadanya, seperti dalam berpakaian, membersihkan tubuh dari najis dan kotoran, memotong kuku, dan sebagainya. Jadi, hamba yang dicintai Allah Azza wa Jalla adalah hamba yang mengenal Allah Azza wa Jalla dengan sifat-Nya yang Maha Indah, selanjutnya beribadah kepada-Nya dengan keindahan yang ada pada agama dan syariat-Nya.

Pengertian hadits di atas, selain keindahan pada pakaian dan alas kaki yang ditanyakan oleh Sahabat di atas, secara umum juga menyangkut keindahan pada segala sesuatu. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



إِنَّ اللهَ يُحِبُ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلىَ عَبْدِهِ

Sesungguhnya Allah suka melihat (tampaknya) bekas nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada hamba-Nya. [11]

Allah Azza wa Jalla suka melihat terlihatnya bekas nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-Nya, karena ini termasuk keindahan yang dicintai-Nya, dan ini juga termasuk bentuk syukur kepada-Nya. Bersyukur adalah bentuk keindahan batin. Karena itu, Allah Azza wa Jalla suka melihat keindahan lahir yang berupa tampaknya bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.

Oleh karena itulah, Allah Azza wa Jalla menurunkan pakaian dan perhiasan kepada para hamba-Nya untuk memperindah penampilan lahir mereka, dan Dia Azza wa Jalla memerintahkan mereka agar bertakwa, karena ini akan memperindah batin mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:



يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi 'auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, dan pakaian takwa itulah yang lebih baik [al-A'râf/7:26]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang keadaan penduduk surga yang Allah Azza wa Jalla anugerahi keindahan lahiriyah dan batiniyah :



وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا

Dan Dia menganugerahkan kepada mereka kecerahan (wajah) dan kegembiraan (hati). Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera [al-Insân/76:11-12]

Allah Azza wa Jalla menghiasi wajah mereka dengan kecerahan, menghiasi batin mereka dengan kegembiraan, dan menghiasi tubuh mereka dengan pakaian sutera.[12]

 
PENUTUP
 
Kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang Maha Indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar berkenan menganugerahkan kepada kita semua keindahan lahir dan batin, di dunia dan akhirat kelak, serta memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar. Sesungguhnya Dia Maha Indah dan Maha Mengabulkan doa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim (no. 91).
[2]. Mu'jamu Maqâyîsil Lughah (1/427).
[3]. Al-Qâmûsul Muhîth (hlm. 1266).
[4]. An-Nihâyah fi Gharîbil Hadîts wal Atsâr (1/812).
[5]. Lihat Fiqhul Asmâ-il Husnâ (hlm. 291).
[6]. Syarh Shahîh Muslim (2/90).
[7]. HR Abu Dâwud (no. 4090) dan Ibnu Mâjah (no. 4174), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albâni.
[8]. Al-Fawâid hlm. 182-183
[9]. Al-Jawâbul Kâfi hlm. 164
[10]. Al-Fawâid hlm. 181-182
[11]. HR at-Tirmidzi no. 2819 dan al-Hâkim no. 7188, dinyatakan shahîh oleh al-Hâkim dan disepakati adz-Dzahabi, juga dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan al-Albâni.
[12]. Lihat Fiqhul Asmâ-il Husnâ hlm. 293-294 

Syarah Nama Allah, Al Fattah

.Oleh:
Ust. DR. Ali Musri Semjan Putra


ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA MEMPUNYAI NAMA-NAMA YANG INDAH
 
Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama yang sangat mulia dan indah. Kemuliaan dan keindahan tersebut ditinjau dari dua segi, yaitu segi lafazh dan segi maknanya. Makna dari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut menunjukkan sifat Allah yang Maha Sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :


وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan Allah memiliki nama-nama yang indah, maka berdoalah kepadanya dengan nama-nama-Nya tersebut. Dan jauhilah orang-orang yang menyimpang dalam (memahami) nama-nama-Nya. Mereka akan dibalasi terhadap apa yang mereka lakukan. [al-A'râf/07:180]

Tentang nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala , ada beberapa hal yang harus kita pahami sebagaimana terdapat pada ayat di atas.

Pertama : Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama yang sangat mulia lagi indah. Barang siapa yang tidak meyakini nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka orang tersebut tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala secara utuh dan benar. Bila kita perhatikan, begitu banyak ayat Al-Qur`ân yang ditutup dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dan makna nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut sangat erat hubungannya dengan konteks ayat itu sendiri.

Kedua : Nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut menggandung makna yang sangat sempurna yang disebut sifat. Orang yang tidak meyakini tentang sifat yang terkandumg dalam nama-nama Allah berarti ia telah melakukan penyimpangan dalam beriman kepada Allah.

Ketiga : Berdoa dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama mulia itu. Untuk mencapai kesempurnaan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , ialah dengan memahami makna nama-mana Allah tersebut. Sehingga menghadirkan rasa khusyu' dalam beribadah, karena saat beribadah seolah-olah kita melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau kita merasa sedang dilihat oleh-Nya.

 
KEUTAMAAN MENGHAFAL 99 NAMA-NAMA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA YANG INDAH
 
Setelah memperhatikan perihal di atas, semakin jelaslah bagi kita betapa penting mempelajari makna nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan pula dalam sabdanya:


إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ  متفق عليه .

Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kecuali satu, barang siapa yang menghafalnya akan masuk surga. [HR al-Bukhâri Muslim]

Kata الإِحْصَاء (menghafal) dijelaskan oleh para ulama, memiliki beberapa tingkatan. Pertama, menghafalnya dengan lisan. Kedua, memahami makna yang terkandung di dalam nama-mana Allah tersebut. Ketiga, mengaplikasikan makna nama-nama Allah dalam doa dan ibadah, atau dengan kata lain menghafalnya dalam bentuk amalan.[1]

Hadits di atas tidak menunjukkan pembatasan jumlah keseluruhan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi, membatasi jumlah nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mesti dihafalkan untuk memperoleh keutamaan seperti disebutkan dalam hadits, yaitu masuk surga. Sebab, telah dijelaskan dalam hadits lain, bahwa jumlah keseluruhan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah semata. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengetahuinya secara pasti, seperti tersurat pada doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:



أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ رواه أحمد وغيره.

Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki, yang Engkau beri nama dengannya diri-Mu, atau Engkau beritahukan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau simpan di sisi-Mu di alam ghaib. [HR Ahmad dan lainnya, dishahîhkan oleh Ibnul Qayyim dan Syaikh al-Albâni].[2]

Dalam hadits ini disebutkan tiga bagian dari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala .

  1. Bagian pertama, nama yang Allah beritahukan kepada sebahagian makhluk-Nya, baik dari kalangan malaikat atau lainnya, tetapi tidak menyebutkannya di dalam kitab suci Allah.
  2. Bagian kedua, nama yang Allah turunkan dan menyebutkannya di dalam kitab suci-Nya.
  3. Bagian ketiga, nama yang Allah sembunyikan di sisi-Nya di alam ghaib.
Dari penjelasan ini, maka nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya dapat kita ketahui melalui kitab Al-Qur`ân dan hadits-hadits yang shahîh. Dalam hal ini, menurut pendapat ulama yang telah melakukan penelitian, mereka menyatakan bahwa nama-nama Allah yang terdapat di dalam Al-Qur`ân dan hadits-hadits shahîh jumlahnya lebih dari sembilan puluh sembilan nama.[3]

Lalu, bagaimana memahami kedua hadits di atas? Kedua hadits tersebut tidak saling bertentangan. Hal tersebut bisa dipahami dengan contoh berikut.

Umpamanya, jika seseorang mengatakan "saya memiliki uang sejumlah 99.000 rupiah untuk saya infakkan". Tentu, perkataan ini tidak akan dipahami bahwa ia tidak memiliki uang yang lain. Boleh jadi, ia memiliki 200.000 rupiah, tetapi yang diinfakkan hanya 99.000 rupiah. Dengan demikian, kedua hadits tersebut sangat mudah untuk ditemukan. Yang penting, ialah menghafal 99 nama Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai tebusan untuk mendapatkan surga. Nama-nama yang dihafal mungkin saja berbeda lafazhnya, tetapi jumlahnya sama. Karena nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih dari 99.

 
PENJELASAN TENTANG MAKNA-MAKNA AL FATTAH
 
Secara etimologi (bahasa) makna kata (الفتّاح) dalam bahasa Arab berarti "al-Hâkim" (yang memutuskan perkara dengan adil), sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :


رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ

Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil)[4], dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya. [al-A'râf/07: 89].

Kata "al-Fath" (الْفَتْحُ), juga berarti kemenangan atau pertolongan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



إِنْ تَسْتَفْتِحُوا فَقَدْ جَاءَكُمُ الْفَتْحُ

Jika kalian meminta kemenangan, maka telah datang kemenangan itu kepada kalian. [al-Anfâl/08: 19]

Imam ath-Thabari rahimahullah berkata: "Asal kata al-Fattâh dalam bahasa Arab berarti النَّصْرُ (kemenangan, pertolongan), الْقَضَاءُ (keputusan) dan الْحُكْمُ (hukum). Bila ada orang mengatakan "ya Allah, bukakanlah antara aku dan si Fulan," itu maknanya "berilah keputusan antara aku dan dia"[5].

Adapun makna al-Fattâh (الفتّاح) secara syar'i, ialah sesuai dengan pengertian yang terkandung dalam Al-Qur`ân dan Hadits disertai dengan penjelasan para ulama. Nama ini terdapat dalam surat Saba' ayat 26 :

وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ

Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.

 
Allah Subhanahu wa Ta’ala Menetapkan Keputusan
 
Para ulama menjelaskan, nama Allah al-Fattâh memiliki makna yang sangat sempurna dari segala segi. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi keputusan dengan adil dalam segala perkara yang terjadi antara sesama makhluk, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membutuhkan saksi-saksi dalam menetapkan keputusan hukum. Karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang lahir (tampak) maupun yang tersembunyi. Karena itu, nama "al-Fattâh" dalam ayat di atas digandengkan dengan nama Allah "al-'Alîm" (Yang Maha Mengetahui).

Imam ath-Thabari rahimahullah berkata dalam menjelaskan maksud ayat di atas: "Katakanlah kepada mereka: Rabb akan mengumpulkan kita pada hari Kiamat di hadapan-Nya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengeluarkan keputusan antara kita secara adil. Sehingga akan jelas ketika itu siapa yang mendapat petunjuk diantara kita dan siapa yang sesat. Dia Maha Pemberi keputusan dan Maha Mengetahui, Yang Maha Tahu dengan keputusan diantara makhluk-Nya, Yang tidak tersembunyi bagi-Nya sekecil apa pun. Dan Dia Subhanahu wa Ta'ala tidak membutuhkan saksi-saksi untuk memberi tahu siapa yang benar dan siapa yang salah".[6]

Allah-lah yang memberi keputusan antara ahlul-haq dan ahlul-batil, antara para rasul dan musuh-musuh mereka, antara orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Di antara keputusan Allah terhadap antara ahlul-haq dan ahlul-batil, antara para rasul dan musuh-musuh mereka, antara orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir ketika di dunia, ialah membela dan menolong para ahlul haq, para rasul dan orang-orang beriman dalam menghadapi tantangan dan perlawanan dari musuh-musuh mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisahkan kemenangan yang dibukakan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman ketika perang Badr.[7]



إِنْ تَسْتَفْتِحُوا فَقَدْ جَاءَكُمُ الْفَتْحُ

Jika kalian meminta kemenangan, maka telah datang kemenangan itu kepada kalian. [al-Anfâl/08:19].

 
Allah Subhanahu wa Ta’ala Menolong Kaum Mukminin yang Berjuang Menaklukkan Negeri-Negeri Kaum Kuffar
 
Pengertian al-Fattâh yang lain, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menolong orang-orang beriman dalam berjuang membuka (menaklukkan) negeri-negeri kaum kuffâr. Seperti dibukanya negeri Khaibar melalui Khalifah 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَوْمَ خَيْبَرَ لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ رَجُلًا يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَى يَدَيْهِ  متفق عليه

dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu anhu, dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada waktu perang Khaibar: "Saya akan berikan bendera perang kepada seseorang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuka kemenangan melalui tangannya". [HR Bukhâri dan Muslim].

Demikian pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan janji kepada kaum mukminin dengan penaklukan kota Makkah dalam beberapa firman-Nya:



لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) .[al-Fath/48: 18]

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala membuktikan janji kemenangan yang tersebut pada ayat di atas dengan dibukanya kota Makkah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. [al-Fath/48:1].

Menurut pendapat sebagian ulama tafsir, ayat ini mengisahkan tentang penaklukan kota Makkah [8], setelah sebelumnya kaum kuffar Quraisy mengusir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum mukminin dari kota Makkah. Karena itu, para nabi dan rasul berdoa agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menolong mereka dan memberi keputusan terhadap kaum mereka yang menentang. Nabi Syu'aib Alaihissallam memanjatkan doa berikut :



رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ

Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya. [al-A'râf/07: 89]

Begitu pula Nabi Nuh Alaihissallam berdoa:



قَالَ رَبِّ إِنَّ قَوْمِي كَذَّبُونِ فَافْتَحْ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ فَتْحًا وَنَجِّنِي وَمَنْ مَعِيَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Nuh berkata: "Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah mendustakan aku; maka adakanlah suatu keputusan antaraku dan antara mereka, dan selamatkanlah aku dan orang-orang mukmin yang bersamaku. [Asy-Syu'arâ`/26: 116-118].

Keputusan yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kaum Nabi Nuh Alaihissallam, ialah dengan dibukanya pintu adzab untuk mereka dari langit sebagaimana yang terdapat dalam kalam Allah:



فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ

Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. [al-Qamar/54:11].

Demikian, keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap setiap kaum yang menentang kebenaran dan melupakan peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan mendatangkan adzab yang sangat pedih untuk mereka. Seketika itu, mereka berputus-asa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.[al-An'âm/06: 44].

Di antara keputusan dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap Rasul 'Alaihimush sholaatu wa sallam dan kaum mukminin, ialah Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka rahasia kemunafikan yang tersembunyi dalam diri orang-orang munafik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَىٰ أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ ۚ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ

Maka, kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka
. [al-Mâ`idah/05:52].

Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lain disebutkan (artinya): (Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah, mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat, dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. [an-Nisâ`/04:141]
.
Demikian pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi keputusan dengan seadil-adilnya terhadap hamba-Nya yang berbantah-bantah di hadapan-Nya di akhirat kelak. Disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :



قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ

Katakanlah: "Rabb kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar (adil). Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui". [Saba/34:26].

Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lain dinyatakan, yang artinya: Kemudian, sesungguhnya kamu pada hari kiamat akan berbantah-bantah di hadapan Rabbmu. [az-Zumar/39:31].

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Maksud ayat ini; sesungguhnya kalian pasti akan berpindah dari dunia ini. Kalian akan berkumpul di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat. Kemudian kalian berbantah-bantah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang perkara tauhid dan syirik waktu di dunia. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi keputusan dengan haq (adil). Dia Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui. Lantas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan orang-orang mukmin, orang-orang yang bertauhid serta orang-orang yang ikhlas. Dan mengadzab orang-orang kafir, orang-orang yang mengingkari (ayat-ayat Allah), dan orang-orang musyrik serta orang-orang yang mendustakan (kebenaran)"[9].

 
Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pembuka Segala Kunci Kebaikan
 
Al Fattâh (الفتّاح), juga berarti Maha Pembuka segala kunci kebaikan atas seluruh hamba-Nya. Baik berupa iman, ilmu dan hidayah. Barang siapa dibukakan baginya kebaikan, maka tidak seorang pun yang dapat menghalanginya. Demikian pula, barang siapa yang ditutup dan dikunci hatinya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka tidak seorang pun dapat membuka dan menunjukinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Apa yang dibukakan Allah kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorang pun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Fâthir/35:2].

Syaikh Hâfizh al-Hakami rahimahullah berkata: "Al Fattâh, adalah Dzat Yang Membuka bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya, untuk memperoleh karunia-karunia-Nya yang luas sesuai yang diinginkan-Nya pula. Seseorang dibukakan kekayaan baginya. Sementara orang lainnya dibukakan kekuasaan. Dan orang satu lagi dibukakan ilmu dan hikmah. Demikianlah, karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki karunia yang besar. (Allah berfirman, yang artinya), 'apa yang dibukakan Allah kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana'." [10]

Oleh sebab itu, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sebuah doa ketika akan memasuki masjid:



اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ  رواه مسلم

Ya Allah bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu [HR Muslim].

 
Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pembuka Pintu-Pintu Rejeki dan Rahmat Bagi Hamba-Nya Yang Bertakwa

Al-Fattâh (الفتّاح), juga berarti Maha Pembuka pintu-pintu rizki dan rahmat untuk para hamba-Nya yang bertakwa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :



وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri mau beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan membukakan untuk mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya [al-A'râf/07:96].

Segala kunci yang ghaib hanya berada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada yang dapat membuka dan mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :



وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri... [al-An'âm/6:59].

Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka sebagian dari hal yang ghaib bagi hamba-hamba yang dikehendaki-Nya dari kalangan rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. [Ali 'Imrân/03:179].

 
Allah Subhanahu wa Ta’ala Mengajarkan Puji-Pujian Kepada Rasulullah Untuk Memuji-Nya
 
Di padang mahsyar, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membukakan (mengajarkan) kalimat-kalimat pujian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memuji kepada-Nya. Hingga membuka pintu syafa'at untuk seluruh umat manusia saat menjalani hisab (perhitungan amal). Kalimat-kalimat pujian tersebut belum pernah diketahui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya ketika di dunia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: 
"Apabila hari Kiamat telah terjadi, (saat itu) manusia akan saling berdesak-desakan. Mereka mendatangi Adam Alaihissallam seraya berkata: 'Mintakanlah syafaat kepada Rabbmu untuk kami'. Adam menjawab: 'Saya tidak berhak untuk itu. Coba datangilah Ibraahiim. Sesungguhnya dia adalah Khaliilullah,' maka mereka mendatangi Ibraahiim. (Dan) Ibraahiim pun menjawab: 'Saya tidak berhak untuk itu. Coba datangilah Musa, sesungguhnya dia adalah Kaliimullah,' kemudian Musa menjawab: 'Saya tidak berhak untuk itu. Cobalah datangi Isa, sesungguhnya dia Ruhullah,' maka, Isa pun menjawab: 'Saya tidak berhak untuk itu. Coba datangilah Muhammad,' kemudian mereka datang kepadaku. Aku pun menjawab: 'Saya yang berhak untuk itu,' lantas saya memohon izin kepada Rabbku, lalu aku diberi idzin. Dan Allah mengilhamkan kepadaku puji-pujian sebagai pujianku pada-Nya yang tidak aku ketahui sekarang. Selanjutnya aku memuji-Nya dengan puji-pujian tersebut". [HR Bukhâri dan Muslim].

 
BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL DARI NAMA ALLAH "AL FATTAH"
 
Sebetulnya, inilah tujuan sesungguhnya bagi seorang muslim dalam mengetahui nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Pengenalan terhadap nama Allah al-Fattâh beserta makna-maknanya, memberikan pengaruh positif pada iman dan ibadah serta akhlak seorang muslim dalam kehidupannya sehari-hari. 

Dengan memahami makna nama Allah al-Fattâh, akan menumbuhkan sifat-sifat mulia dalam diri seorang muslim. di antaranya sebagai berikut.

1. Menumbuhkan sifat tawakkal dalam diri seorang mukmin, terutama bagi seorang da'i dalam menghadapi tantangan di medan dakwah. Sebagaimana dahulu para nabi dan rasul bertawakal dalam dakwah mereka. Dengan keyakinan, bahwa Allah Maha Pemberi keputusan dengan adil terhadap hamba-hamba-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, sikap tawakkal sangat erat hubungannya dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia, di antaranya nama "al-Fattâh".[11]

2. Menumbuhkan sifat ikhlas dalam meminta petunjuk dan rizki kepada Allah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Kuasa membuka hati seseorang untuk menerima petunjuk. Allah jugalah yang berkuasa membukakan pintu rizki bagi seorang hamba. Bila hal ini dapat ditanamkan dalam diri kita, tentu kita tidak akan meminta sekalipun kepada sang kiyai atau wali yang sudah mati. Kita tidak meminta kecuali hanya kepada Allah semata.

3. Menumbuhkan sikap rajâ` (berharap-harap akan rahmat dan pertolongan Allah) dalam diri seorang muslim. Karena segala kunci rahmat dan kebaikan berada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada yang mampu membuka pintu-pintu rahmat tersebut kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pintu-pintu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan terbuka di dunia ini bagi hamba-hamba yang bertakwa. Rahmat di sini dalam arti luas, yakni bisa berupa iman, ilmu, petunjuk, rizki, kesehatan, kesuksesan dan lain-lain. Adapun rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat kelak, tentunya jauh lebih luas dan lebih besar bila dibandingkan dengan yang ada di dunia.

4. Menumbuhkan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah membuka hati kita untuk beriman, bertauhid dan beribadah kepada-Nya. Demikian pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membuka pintu-pintu nikmat lainnya untuk kita. Mulai dari nikmat sewaktu kita dalam rahim ibu, terlahir dengan selamat tanpa cacat, kemudian pintu nikmat dan rahmat senantiasa dibukakan Allah di hadapan kita. Tidakkah selayaknya kita bersyukur kepada Allah?! Kita tidak pernah terlepas dari nikmat Allah walau satu detik saja.

5. Memupuk rasa ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena pintu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan senantiasa terbuka untuk orang-orang yang bertakwa. Kesulitan mendapatkan pekerjaan, harga barang yang senantiasa melonjak naik, musibah yang tak henti-hentinya, semua itu tidak ada yang sanggup mengeluarkan kita dari pintu kesulitan menuju pintu yang luas penuh kebahagiaan dan ketentraman, kecuali Allah al-Fattîh (Dzat Yang Maha Pembuka segala kesulitan). Mari kita simak kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri mau beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan membukakan untuk mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". [al-A'rîf/07:96].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: "Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya". [ath-Thalâq/65: 2-3].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: "Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya". [ath-Thalâq/65:4].

Demikianlah bahasan kita berkaitan dengan nama Allah, al-Fattâh. Semoga Allah senantiasa membuka pintu hati kita dengan iman, ilmu dan amal, serta membuka pintu-pintu rizki untuk kita, anak kita dan saudara-saudara kita seiman. Wallahu a'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Fâ`idah al-Jalîlah fi Qawâid al-Husnâ min Badaai' al-Fawâ`id, Tahqîq: Syaikh 'Abdurrazzâq al-Badr.
[2]. Syifâ`ul-'Alîl", hlm. 274, dan ash-Shahîhah, 1/336.
[3]. Al-Fatâwâ al-Kubra, 1/217. Majmû' al-Fatâwâ, 22/482. Mausû'ah Asma wash-Shifât, 1/18-25.
[4]. An-Nihâyah fi Gharîbil-Hadits, 3/406. Lisânul-'Arab, 2/539.
[5]. Tafsir ath-Thabari, 2/254.
[6]. Tafsir ath-Thabari, 22/95.
[7]. Tafsir al-Qurthubi, 7/386 dan Tafsir Ibnu Katsîr, 2/297.
[8]. Tafsir al-Qurthubi, 7/387.
[9]. Tafsir Ibnu Katsir, 4/53.
[10]. Ma'ârijul-Qabûl, 1/48.
[11]. Madârijus-Sâlikîn, 2/125.

Al Qabidh dan Al Baa-sith, Dua Di Antara Nama Allah yang Indah

.Oleh:
Ust. Ahmas Faiz Asifuddin


Di antara nama Allah Azza wa Jalla yang jarang disebut dan diingat orang adalah al-Qâbidh dan al-Bâsith. Kalaupun ada yang menyebutnya, maka hanya dalam bentuk main-main karena disenandungkan dalam suatu nyanyian bermusik. Padahal kedua nama itu termasuk al-Asmâ’ al-Husnâ.

Mestinya nama-nama Allah disebut dengan sungguh-sungguh, khusyu’, tawadhu’ dan penuh penghormatan.

Allah Azza wa Jalla berfirman:



وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Hanya milik Allah Asma-ul Husna (nama-nama yang sangat indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [al-A’râf/7:180]

Dalil yang membuktikan al-Qâbidh dan al-Bâsith sebagai nama Allah ialah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Ia berkata:



غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقَالُوْا : يَا رَسُوْلَ الله! سَعِّرْ لَنَا! فَقَالَ : إِنَّ اللهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ، اَلْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ (عند الترمذي: الرَّزَّاقُ) وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللهَ (عند الترمذي وابن ماجه : أن أَلْقَى رَبِّي) وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ (عند الترمذي: يَطْلُبُنِي). أخرجه أبو داود والترمذي وابن ماجه

Harga barang-barang pernah menjadi mahal pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, karenanya para sahabat berkata: Ya Rasulallah, tetapkanlah harga untuk kami. Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah-lah yang membuat ketetapan harga, Dia adalah al-Qâbidh (Maha menahan/menyempitkan rizki), al-Bâsith (Maha membentangkan/meluaskan rizki), ar-Râziq (Maha menganugerahkan rizki) –Dalam riwayat Tirmidzi, dengan lafal : ar-Razzâq-. Dan sesungguhnya aku berharap menjumpai Allah dalam keadaan tiada seorangpun yang menuntut kepadaku (di hadapan Allah) karena suatu kezaliman yang aku lakukan, baik berkaitan dengan darah maupun harta. [HSR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah][1].

Banyak ulama memasukkan kedua nama ini dalam himpunan nama-nama Allah Azza wa Jalla yang mereka kumpulkan.[2]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin juga memasukkannya ke dalam himpunan nama-nama Allah yang beliau kumpulkan dalam kitabnya al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillâh wa Asmâ’ihi al-Husnâ.

Menurut Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadiy, pensyarah Sunan Abu Dawud, juga Mubarakfûriy- pensyarah Jâmi’ at-Tirmidzi, ma’na Al-Qâbidh dan al-Bâsith ialah : Allah Maha Menyempitkan dan Maha meluaskan rizki serta lainnya bagi siapa yang dikehendaki, menurut cara yang dikehendaki dan kapanpun Dia kehendaki.[3]

Karena al-Qâbidh dan al-Bâsith merupakan nama Allah Azza wa Jalla , maka sepantasnya setiap muslim mengenalnya dan memahami serta menghayati maknanya. Yaitu bahwa setiap rizki dan setiap kemudahan dalam hal apa saja, hanya datang dari Allah Azza wa Jalla. Begitu pula ketika seseorang mengalami kesulitan, krisis rizki dan tidak mendapatkan seperti yang diharapkannya, atau tidak mendapatkan kemudahan, semua itu tidak lain hanya Allah-lah yang menetapkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
:

اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ

Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. [ar-Ra’d/13:26]



وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Dan Allah menyempitkan serta melapangkan (rizki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. [al-Baqarah/2:245] 

.
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ

Sesungguhnya Rabbmu melapangkan rizki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. [al-Isrâ’/17:30]

Dan masih banyak ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang menerangkan bahwa Allah-lah yang melapangkan rizki atau menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.

Sepantasnya pula, setiap muslim menjaga, menghormati dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebut atau mengingat nama itu sesuai dengan tuntutan maknanya, baik doa dalam arti memohon maupun doa dalam arti melakukan peribadatan-peribadatan lain. Sebab doa memiliki dua pengertian, pertama : memohon dan kedua : melakukan peribadatan selain memohon, seperti berdiri atau duduk dalam shalat atau dzikir-dzikir yang tidak bersifat meminta.[4]

Artinya, ketika seseorang memohon agar Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan dan kelapangan hidup yang baik, bersih dan halal serta menjauhkannya dari kesulitan rizki, maka tidak ada salahnya kalau ia menyebut-nyebut nama al-Qâbidh dan al-Bâsith.

Atau ketika menjalani kehidupan, baik dalam keadaan sempit maupun dalam keadaan lapang, ia selalu tetap konsisten beribadah kepada Allah, sebab ia selalu ingat bahwa di antara nama Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah nama al-Qâbidh dan al-Bâsith. Di saat lapang ia ingat bahwa kelapangan yang diperolehnya semata karena Allah yang bernama al-Bâsith. Sehingga ia semakin bersemangat dalam beribadah, semakin bersyukur atas segala karuniaNya dan semakin bersemangat memohon kelapangan rizki yang halal. Pada saat yang sama ia pun menyadari dan siap jika suatu ketika Allah menyempitkan rizki baginya karena Allah adalah al-Qâbidh, sehingga ia tidak kaget.

Maka di saat ia benar-benar dalam keadaan sempit, ia bersabar, bertawakkal dan banyak memohon pertolongan kepada Allah. Ia tetap yakin bahwa Allah yang bernama al-Qâbidh dan al-Bâsith, suatu ketika akan melepaskannya dari kesempitan yang menimpanya dan dengan itu ia juga mengharapkan pahala dari Allah.

Dan apabila selalu demikian keadaannya, berarti ia telah merealisasikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terdapat dalam firmanNya:



وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah Asma-ul Husna (nama-nama yang sangat indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu. [al-A’râf/7:180]

Berarti ia telah berdoa, dalam arti seluas-luasnya kepada Allah, meliputi doa permohonan dan doa peribadatan lain, dengan menyebut atau mengingat nama-nama Allah sesuai dengan tuntutan maknanya. Wallahu A’lam.

Yang tidak kalah pentingnya, tidak mendendangkan Asmâ’ul Husnâ dalam lagu-lagu dan main-main, apalagi dalam suasana ikhtilâth (campur) antara laki-laki dan perempuan. Tetapi dengan sungguh-sungguh, khusyu’ dan tawadhu’. 

Dan tidak harus pula menyebutkan Asmâ’ul husnâ itu secara keseluruhan sebanyak sembilan puluh sembilan nama secara berurutan. Sebab tidak ada nash yang shahih yang menyebutkan sembilan puluh sembilan nama itu secara berurut. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Tidak benar adanya penentuan urut-urutan nama-nama Allah ini dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam tentang penentuan urut-urutan ini lemah”.[5]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Shahîh Sunan Abi Dawud, Maktabah al-Ma’arif – Riyâdh, II/361, no. 3451, Kitab al-Buyû’, Bab fi at-Tas’îr; Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Maktabah al-Ma’arif – Riyâdh, II/60, no. 1314, Kitab al-Buyû’, Bab Mâ Jâ’a fi at-Tas’îr, dan Shahîh Sunan Ibnu Majah, Maktabah al-Ma’ârif – Riyâdh, II/222, no. 1801 – (2230), Kitab at-Tijârât, Bab Man Kariha an Yusa’ir.
[2]. Seperti yang dinyatakan oleh Syaikh Muhammad bin Khalifah at-Tamîmi dalam Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fî Asmâ’i Allah al-Husnâ. Penerbit: Adhwâ’ as-Salaf – Riyâdh, Cet. I – 1419 H/1999 M. hal. 143 dan 160.
[3]. Lihat ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abi Dawud, ma’a Ta’lîqât al-Hâfizh Ibnu al-Qayyim. Takhrîj al-Ahâdîts: ‘Isham ash-Shabâbithiy. Dâr al-Hadîts, Kairo, VI/308, no. 3448, Kitab al-Buyû’, bab Fi at-Tas’îr, dan Tuhfah al-Ahwadziy Bi Syarh Jâmi’ at-Tirmidziy, wa ma’ahu Syifâ’ul Ghalal fî Syarh Kitab al-‘Ilal, Daar al-Fikr – Beirut, Libanon – 1424 H/2003 M, IV/448-449, no. 1314, Kitab al-Buyû’, Bab Mâ Jâ’a fi at-Tas’îr.
[4]. Lihat pengertian ini dalam kitab al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillah wa Asmâ’ihi al-Husnâ, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah, Tahqîq wa Takhrîj Ahâditsihi: Asyraf bin Abdul Maqshud bin Abdur Rahîm, Maktabah as-Sunnah – Kairo, cet. I- 1411 H/1990 M, hal. 7 – Muqaddimah al-Mu’allif.
[5]. Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillah wa Asmâ’ihi al-Husnâ, karya , Tahqîq wa Takhrîj Ahâditsihi: Asyraf bin Abdul Maqshud bin Abdur Rahîm, Maktabah as-Sunnah – Kairo, cet. I- 1411 H/1990 M, hal. 17 - 18 – Wallahu al-Musta’aan 

Syarah Nama Allah, Asy Syakur
.Oleh:
Ust. DR. Ali Musri Semjan Putra

   
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, shalawat dan salam untuk nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga, semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.

Pada kesempatan kali ini, kita akan melanjutkan pembahasan seputar makna dari nama-nama Allah yang indah lagi mulia. Kemudian kita mencoba memetik berbagai pelajaran dari nama-nama Allah tersebut.

Di antara nama-nama Allah kita pilih kali ini, yaitu nama Allah, "asy-Syakûr". Landasannya, ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :



إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ

... Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri
. [asy-Syûra/42:23].

Nama Allah yang mulia ini terulang dalam dalam Al-Qur'an sebanyak empat kali.[1] Secara etimologi, kata Asy-Syakûr, dalam bahasa Arab berarti:

Kata asy-Syakûr berbentuk mubâlaghah (menunjukan kebersangatan). Maka Allah adalah Dzat Yang Maha Mensyukuri (yang memiliki kesempurnaan mutlak dalam membalas amal kebaikan). Dan bila dinisbatkan kepada manusia, maka ia adalah seseorang yang teramat sangat bersungguh-sungguh dalam mensyukuri Rabbnya dengan ketaatan, dan melakukan apa yang ditugaskan Rabb tersebut kepadanya dari berbagai bentuk ibadah.[2] Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Nuh Alaihissallam.



إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا

... Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur
. [al-Isrâ`/17:3].

Dari ayat di atas, kita dapat melihat bahwa nama asy-Syakûr juga diberikan Allah kepada makhluk yang paling banyak bersyukur.[3] Lalu, bagaimanakah perbedaan di antara keduanya?

Oleh karena itu, berikut ini terlebih dahulu perlunya penjelasan untuk menjawab pertanyaan di atas. Setelah itu, penjabaran secara luas makna "asy-Syakûr" sebagai salah satu dari nama Allah yang mulia.

 
PERBEDAAN ANTARA SIFAT ALLAH DENGAN SIFAT MAKHLUK KETIKA SAMA DALAM PENYEBUTAN NAMA
 
Asy-Syakûr sebagai salah satu dari nama Allah adalah Dzat Yang Maha Sempurna dalam membalas amalan hamba-Nya dan menumbuhkembangkan amalan para hamba meskipun amalan tersebut sedikit, lalu Dia melipatgandakan pahala bagi mereka. [4]

Walaupun ada kesamaan dari segi lafazh nama antara sifat hamba dengan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi hakikat makna dari masing-masing nama tersebut sangat jauh berbeda, sebagaimana perbedaan antara Allah itu sendiri dengan makhluk-Nya. Kesamaan disini hanya dalam bentuk nama atau lafazh kata saja, dan tidak dalam segi makna secara keseluruhan. Sebagaimana terdapat dalam sifat-sifat yang lainnya ada kesamaan dalam bentuk lafazh nama, namun tidak sama dalam segi hakikat makna secara keseluruhan.

Sebagaimana Allah bersifat hidup (al-Hayyu), maka demikian pula makhluk juga bersifat hidup, tetapi hidup Allah tidak sama dengan hidup makhluk. Hidup Allah tidak membutuhkan makan dan minum. Adapun sifat hidup makhluk membutuhkan makan dan minum serta memiliki berbagai kekurangan, seperti sakit, capek, letih, haus, lapar dan seterusnya. Hidup Allah Azza wa Jalla tidak diawali dengan ketiadaan ('adam), dan tidak pula diakhiri dengan kematian (al-fanâ`). Adapun hidup makhluk, ia diawali dengan ketiadaan dan diakhiri oleh kematian. Sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:



عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الَّذِي لَا يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالْإِنْسُ يَمُوتُونَ  متفق عليه .

Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamberdoa: "Aku berlindung dengan keperkasaan Engkau yang tiada berhak disembah kecuali Engkau, Dzat yang tidak akan pernah mati. Sedangkan jin dan manusia akan mati." [HR Bukhâri dan Muslim]

Dalam sabda yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru:



  اللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ  رواه مسلم.

Ya, Allah. Engkaulah Yang pertama, tiada sesuatupun sebelum Engkau. Dan Engkaulah yang terakhir, tiada sesuatupun setelah Engkau. [HR Muslim].

Hidup Allah sangat sempurna dari segala segi, adapun hidup makhluk penuh dengan berbagai kekurangan. Allah adalah Dzat Yang Maha Hidup Sempurna, sebagaimana Allah menyebutkan dalam firman-Nya:



اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ

Allah, tidak ada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak pernah ditimpa rasa ngantuk dan tidak pula tidur. [al-Baqarah/2:255].

Demikianlah, kita mengimani seluruh sifat-sifat Allah. Kita tidak boleh menyerupakan Allah dengan makhluk. Kita juga tidak boleh mengingkari nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla , yang Dia tetapkan untuk diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau, dengan berlandaskan pada perkataan Allah:
:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

... Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42:11].

Dalam ayat di atas ditegaskan, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. Sebagian orang memahami ayat tersebut bahwa Allah tidak memilki sifat-sifat lantaran ada kesamaan dalam penamaan dengan sifat-sifat makhluk. Anggapan tersebut bertentangan dengan penggalan akhir dari ayat. Dalam hal ini Allah mengatakan "Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat", sedangkan manusia juga mendengar dan melihat sebagaimana Allah sebutkan dalan firman-Nya:



إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), maka Kami jadikan dia mendengar dan melihat
. [al-Insân/76:2].

Dari sini, kita dapat memahami bahwa Allah Azza wa Jalla memilki sifat-sifat sempurna sekalipun sifat-sifat tersebut terdapat pada sebahagian mahkluk, namun maknanya tidak sama dengan makna sifat-sifat Allah. Seandainya yang dimaksud dalam ayat yang lalu menafikan sifat, tentu konteksnya tidak sebagaimana tersebut di atas. Pasti Allah langsung menafikan bahwa Dia tidak memiliki sifat. Jadi, yang dinafikan ialah kesamaan makna sifat, bukan sifatnya; meskipun dalam penamaan sifat tersebut ada kesamaan dengan sifat makhluk.

Hal ini dapat terima oleh akal, fakta dan agama. Sesuatu yang sama dalam penyebutan nama, namun kualitas dan kuantitas bisa berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari, sanyat banyak nama yang sama namun berbeda bentuk dan kualitasnya.

Sebagai contoh, manusia memiliki sifat melihat, kucing pun memiliki sifat melihat. Tetapi penglihatan manusia dengan penglihatan kucing tidak sama. Manusia tidak bisa melihat pada waktu malam tanpa cahaya. Adapun kucing bisa berjalan pada malam hari meskipun tanpa cahaya.

Jika sifat sesama makhluk saja tidak sama dalam hakikat kualitas makna, meskipun sama dalam segi penamaan, yaitu penglihatan. Maka kepastian perbedaan antara sifat Allah Yang Maha Sempurna dengan sifat makhluk, tentu jauh lebih pasti, meskipun sama dari segi lafazh nama.

Yang membedakan makna adalah, kemana sifat tersebut disandarkan, maka sifat tersebut memiliki makna dan bentuk sesuai dengat dzat tempat disandarkannya (digabungkan). Sehingga jangan dipahami, ketika menyebut tetang sifat Allah digambarkan seperti sifat makhluk. Sebagaimana kita tidak memahami tentang telinga gajah seperti telinga kodok atau telinga manusia, meskipun sama-sama disebut telinga.

Sifat-sifat akan berbeda sesuai dengan dzat masing-masing sifat tersebut. Bahkan pada dzat yang sama, ternyata sifat yang dimilikinya bisa berbeda. Seperti sifat pendengaran manusian, tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Ada yang dapat mendengar dengan jarak cukup jauh, dan sebaliknya ada yang tidak bisa mendengar kecuali dengan alat bantu. Namanyapun tetap disebut pendengaran. Bahkan sifat bisa berubah-rubah kualitas dan frekuwensinya pada satu dzat. Misalnya, pendengaran seseorang ketika berumur lima tahun, tidak sama ketika ia telah berumur lima puluh tahun.

Demikian halnya dalam mengimani segala sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur`ân dan hadits-hadits yang shahîh. Allah Azza wa Jalla memiliki sifat-sifat yang sempurna sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah itu sendiri tidak seperti sifat-sifat makhluk.

Setelah memahami adanya perbedaan antara sifat yang disandarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat yang disandarkan kepada makhluk meskipun ada kesamaan dalam segi lafazh penamaannya, maka berikut ini adalah penjelasan makna nama Allah "asy-Syakûr" yang menjadi topik bahasan kali ini.

 
PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH "ASY-SYAKÛR"
 
Jika kita memperhatikan konteks ayat-ayat yang menyebutkan tentang nama Allah "asy-Syakûr", penyebutannya selalu berada setelah menyebutkan tentang anjuran untuk melakukan amal-amal shalih dan balasannya. Oleh karena itu, nama tersebut sangat erat hubungannya dengan amal shalih dan balasannya.

Untuk lebih jelasnya, kita simak ayat-ayat tersebut pada berikut ini.



إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dalam bentuk tersembunyi dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan pernah merugi. Allah akan menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri
. [Fâthir35/:29-30].

Dalam ayat di atas, nama Allah "Asy-Syakûr" disebutkan setelah menyebutkan tentang balasan bagi orang-orang yang beramal shalih, seperti membaca Al-Qur`ân, mendirikan shalat dan berinfaq; baik dalam keadaan tersembunyai maupun secara terang-terangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka balasan yang sempurna. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menambah karunia-Nya kepada mereka sebagai tambahan atas pahala amalan mereka tersebut. Lalu ayat yang mulia tersebut ditutup dengan nama Allah "asy-Syakûr". Dari sini, dapat kita pahami bahwa balasan yang diberikan kepada mereka merupakan aplikasi dan pembuktian tentang makna dari nama Allah "asy-Syakûr" (Maha Sempurna dalam membalas budi).

Bentuk-bentuk dari kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam membalas amal shalih yang dikerjakan hamba tergambar dalam berbagai bentuk.

  • Di antara makna "asy-Syakûr", yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amalan sedikit yang dikerjakan oleh hamba-Nya dan tidak menyia-nyiakannya walau sekecil apapun.
Sebagai bukti bahwa Allah Maha Sempurna dalam membalas amalan hamba-Nya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menyiakan-nyiakan amalan hamba-Nya, walau sekecil apapun amalan tersebut. Sebagaimana Allah menyebutkan dalam firman-Nya: 
.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak menzhalimi (seseorang) walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada satu kebajikan, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. [an-Nisâ`/4:40].

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
:

أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ

... Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan
. [Ali 'Imran/3:195].

Dan masih banyak ayat lain yang senada dengan kandungan ayat-ayat di atas.[5] Oleh sebab itu, kita jangan merasa malu untuk melakukan amal-amal shalih meski hanya sedikit menurut pandangan manusia. Demikian pula, tidak boleh meremehkan amalan seseorang walau sedikit, karena di sisi Allah tetap memiliki nilai sebagai amal shalih yang mungkin pahalanya bisa berlipat ganda. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:



عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ لِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ رواه مسلم.

Berkata Abu Dzar Radhiyallahu anhu : berkata kepadaku Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Janganlah engkau meremehkan sedikitpun dari kebaikan, sekalipun ketika engkau berjumpa saudarmu dengan wajah berseri". HR Muslim]

Dalam sabda yang lain beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyatakan pula:



عَنْ عَدِي بْنِ حَاتِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ شِقَّ تَمْرَةٍ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ رواه البخاري ومسلم.

Dari 'Adi bin Hatim Radhiyallahu anhu , ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Takutlah kamu dengan api neraka walau (bersedekah) dengan sebelah buah kurma. Jika kamu tidak mendapati sebelah buah kurma, maka dengan perkataan yang baik". [HR Bukhâri dan Muslim].

Sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan, Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti akan memperlihatkan balasan-Nya kepada kita, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya: 



فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. [al-Zalzalah/99:7].

  • Di antara makna "Asy Syakûr" pula, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji hamba yang taat dan beramal shalih kepada-Nya.
Sebagai bukti atas kesempurnaan Allah dalam membalas amalan para hamba-Nya, yaitu Allah memuji hamba-hamba yang tunduk dan patuh kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan kepada makhluk tentang ibadah dan perjuangan mereka.

Dalam Al-Qur`ân banyak ayat-ayat yang memuji makhluk yang taat dan tunduk kepada Allah, baik dari golongan para malaikat, jin, maupun manusia dari para nabi dan rasul serta pengikut-pengikut mereka.

Berikut ini adalah pujian Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para malaikat. Mereka adalah makhluk yang tidak pernah melanggar perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka mengerjakan segala apa yang diperintahkan kepada mereka: 



لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

..... Mereka tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. [at-Tahrîm/66:6]



بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ

... Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. [al-Anbiyâ`/21:26-27].

Begitu pula pujian Allah kepada para nabi dan rasul, mereka adalah orang-orang yang telah diberi petunjuk dan dipilih Allah. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, maka mereka tersungkur bersujud dan menangis. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya, yang artinya: Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh ahlinya untuk (menegakkan) shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya. Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka tersungkur bersujud dan menangis. [Maryam/:54-58].

Demikian pula pujian Allah terhadap para sahabat, bahwa mereka bersikap keras tarhadap musuh-musuh Allah, tetapi berkasih sayang terhadap sesama muslim. Mereka orang-orang yang banyak ruku' dan sujud dalam mencari nia dan keridhaan Allah, sehingga memberi bekas pada wajah mereka. Mereka bagaikan pohon yang berdaun rindang, akarnya menghujam ke bumi dan dahannya menjulang ke langit. Allah menjanjikan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. [al-Fath/:29].

  • Di antara makna "asy-Syakûr" pula, bahwasanya amalan yang sedikit akan senantiasa bertambah dan berkembang di sisi Allah.
Di antara bentuk kesempurnaan Allah dalam membalas amal baik dari makhluk, yaitu senantiasa berkembang dan bertambahnya pahala amalan tersebut di sisi Allah. Disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat berikut:


وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ

Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. [asy-Syûrâ/42: 23].

Demikian pula disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا تَصَدَّقَ أَحَدٌ بِصَدَقَةٍ مِنْ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ إِلَّا أَخَذَهَا الرَّحْمَنُ بِيَمِينِهِ وَإِنْ كَانَتْ تَمْرَةً فَتَرْبُو فِي كَفِّ الرَّحْمَنِ حَتَّى تَكُونَ أَعْظَمَ مِنَ الْجَبَلِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ فَصِيلَهُ
رواه مسلم.

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Tidak seorangpun bersedekah dari yang baik -dan Allah tidak menerima kecuali yang bailk- melainkan Allah ambil dengan tangan kanan-Nya, sekalipun sebiji kurma, maka ia akan semakin membesar di tangan Allah. Sehingga ia akan menjadi lebih besar dari gunung, sebagaimana salah seorang kalian memelihara anak kuda atau anak onta." [HR Muslim].

  • Begitu juga di antara makana "asy-Syakûr", yaitu Allah memberi balasan pahala terhadap sebuah amalan dengan pahala yang berlipat ganda, sampai tujuh ratus kali lipat dan bahkan berkali-kali lipat lagi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ

Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun. [at-Taghâbun/64:17].

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan: 



مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan (pahala) kepadanya dengan lipat ganda yang banyak…. [al-Baqarah/2:245].

Hal ini juga disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:



عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ
متفق عليه.

Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamtentang apa yang diriwayatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Robbnya: "Sesungguhnya Allah telah menulis segala kebaikan dan kejelekan. Kemudian Allah menjelaskan yang demikian. Barang siapa yang berencana melakukan sebuah kebaikan lalu ia tidak melakukannya, maka Allah telah menuliskan baginya satu kebaikan di sisi Allah. Jika ia berencana melakukan sebuah kebaika lalu dikerjakannya, maka Allah menuliskan di sisi-Nya untuk orang tersebut sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat, hingga berkali-kali lipat yang banyak". [HR Bukhâri dan Muslim].

  • Demikian pula di antara makna "asy-Syakûr", yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala menambah pahala secara berlipat-lipat tersebut dengan karunia yang berlipat ganda pula.
Allah Yang Maha Mesyukuri perbuatan amal shalih hamba yang sedikit dengan balasan berlipat-lipat. Amalan yang dilakukan beberapa hari saja ketika di dunia dibalas oleh Allah Azza wa Jalla dengan kenikmatan yang kekal abadi, yaitu surga dengan segala nikmat yang terdapat di dalamnya. Jika kita bandingkan nikmat yang diberikan Allah kepada kita dengan amal shalih yang kita lakukan, tentu tidak ada perbandingannya sama sekali. Bahkan amal shalih itu sendiri dapat kita lakukan juga karena berkat rahmat Allah. Semua alat dan fasilitas yang kita gunakan adalah milik Allah.

Karena itulah para penghuni surga memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mereka menikmati balasan amalan mereka serta karunia yang diterimanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :



جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا ۖ وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ ۖ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ

(Bagi mereka) surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas, dan dengan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutera. Dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Rabb kami benar-benar Maha Pengampum lagi Maha Mensyukuri". [al-Fâthir/35:33-34].

Bahkan nikmat yang terdapat dalam surga tersebut senantiasa bertambah setiap saat. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya: 



لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ

Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya. [Qâf/50:35].

Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya .... [Yunus/10:26].

Maka nikmat yang mereka terima ketika di surga tersebut, jika dibandingkan dengan amalan mereka, sungguh tidak ada bandingannya sama sekali. Jangankan untuk membeli surga dengan amalan mereka. Fasilitas dan rizki yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai sarana beramal kepada Allah, semua itu tidak akan pernah bisa ditebus dengan amalan mereka. Maka surga semata-mata karunia Allah Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya. Oleh sebab itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ  متفق عليه

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Seseorang tidak akan masuk surga karena amalannya (semata)". Sahabat bertanya: "Termasuk engkau, ya Rasulullah?" Beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab: "Termasuk aku, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepadaku". [HR Bukhâri dan Muslim].

Jadi, surga tidak dapat dibeli atau tukar dengan amalan kita, tetapi surga semata rahmat dan karunia dari Allah kepada orang-orang beramal sholeh. Kita mendapat rahmat karena kita mau beramal sholeh. Jika tidak, maka kita termasuk orang yang tidak berhak mendapat rahmat Allah.

  • Makna nama Allah "asy-Syakûr" menunjukkan kesempurnaan yang mutlak bagi Allah dalam membalas amal shalih para hamba-Nya.
Hal tersebut menjadi semakin jelas, ketika nama "asy-Syakûr" berpaparan dalam satu ayat dengan nama-nama Allah yang lain. Seperti nama Allah "asy-Syakûr" bergandengan dalam satu ayat dengan nama Allah "al-Ghafûr". Sebagaimana dalam firman Allah:


إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.... [asy-Syûrâ/42:23].

Hal ini terdapat dalam tiga tempat dalam Al-Qur`an, yang lainnya dalam surat Faathir/ ayat 30 dan 34. Dan pada kali yang lain, nama Allah "asy-Syakûr" bergandengan dalam satu ayat dengan nama Allah "al-Halîm". Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :  

.
إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ

Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun. [at-Taghâbun/64:17].

Para ulama menjelaskan penggandengan kedua nama tersebut memiliki hubungan makna dari kedua nama yang bergandengan tersebut. Dalam hal ini, makna tersebut tidak diperoleh saat nama-nama itu disebutkan secara tersendiri. Maka di antara penjabaran makna "asy-Syakûr" ketika berdampingan dengan nama Allah "al-Ghafûr", bahwasanya di antara bentuk balasan amal shalih ialah pengampunan terhadap dosa-dosa dan kesalahan pelakunya. Sehingga amal baik akan menghapus amalan jelek. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya:



إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ

... Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. [Hûd/11:114].

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :



يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ

Allah mengganti kejahatan mereka dengan kebajikan. [al-Furqân/25:70].

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :



إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)… . [an-Nisâ`/4:31].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:



عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ  رواه الترمذي وقال: "حديث حسن صحيح

Berkata Abu Dzar Radhiyallahu anhu : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Bertakwalah kepada Allah dimanpun kamu berada dan ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik, niscaya ia akan menghapus (dosa) perbuatan jelek tersebut, serta pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik". [HR Tirmidzi, dan ia berkata: "Hadits ini hasan shahîh"].

 
BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL DARI NAMA ALLAH "ASY-SYAKÛR"
 
Berikut ini beberapa faidah atau pelajaran yang bisa diambil dari makna nama Allah "asy-Syakûr". Dan inilah tujuan sesungguhnya bagi seorang muslim dalam mengetahui nama-nama Allah tersebut. Pengetahuan dan pemahaman tersebut memberikan bekas dan pengaruh kepada iman dan ibadah serta akhlak dalam kehidupannya sehari-hari.

Dengan memahami makna nama Allah "asy-Syakûr" akan menumbuhkan sifat-sifat yang mulia dalam diri seorang muslim, di antaranya:

1. Mewajibkan kita agar menyerahkan segala bentuk ibadah semata-mata hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , jika kita mengharapkan balasan yang berlipat ganda dari Allah. Adapun ibadah kepada selain Allah, baik kepada para malaikat, para nabi dan wali; merekapun mengharapkan pahala dari Allah. Jadi, sedikitpun tidak sepantasnya kita memberikan ibadah kepada mereka. Mereka tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk memberi balasan pahala kepada sesama makhluk. Ibadah dan perbuatan baik yang akan diberi pahala oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah ibadah yang semamta-mata ditujukan kepada Allah saja, serta ibadah yang tidak dicampuri sedikitpun oleh noda-noda kesyirikan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya : Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu berbuat syirik, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Qs. az-Zumar/39:65).

Sebagaimana juga dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsi:
:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ رواه مسلم.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Allah berkata: 'Aku, sedikitpun tidak membutuhkan kepada sekutu. Barang siapa yang beramal mempersekutukan Aku di dalamnya dengan selain-Ku, (maka) Aku tinggalkan dia dan kesyirikannya". [HR Muslim].

2. Memotivasi kita agar semangat dalam berbuat baik, sekalipun menurut pandangan manusia kebaikan itu hanya sedikit. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima amal baik walau hanya sebesar biji dzarrah sekalipun. Jika amal sedikit tetap mendapat pahala, tentu amalan yang besar akan semakin besar pula pahalanya. Balasan amal baik yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala amat beragam bentuknya, sebagaimana telah kita simak dalam penjelasan makna nama Allah "asy-Syakûr". Banyak amalan yang ringan, tetapi memiliki nilai yang berat di sisi Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
متفق عليه.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Dua kalimat amat ringan diucapkan, amat berat dalam timbangan, amat dicintai oleh Allah, yaitu 'Subhânallahil-'Azhîm, Subhânallahi wa bi-Hamdih". [HR Bukhâri dan Muslim].

3. Menumbuhkan rasa syukur yang tinggi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala limpahan rahmat-Nya yang tidak terhingga. Syukur seorang hamba terdiri atas tiga hal, dan ia belum bersyukur secara sempurna kecuali dengan ketiga hal itu. Pertama, pengakuan bahwa seluruh nikmat datang dari Allah semata. Kedua, memuji Allah atas segala nikmat yang diberikan-Nya. Ketiga, memanfaatkan kenikmatan itu untuk mencari keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Demikian juga, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menambah nikmat-nikmat yang lain serta menjaga nikmat yang telah diberikan kepada kita bila senantiasa bersyukur kepada Allah. Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencabut berbagai nikmat yang kita terima, jika kita kufur terhadap nikmat-nikmat Allah. Sebagaimana Allah menyebutkan dalam firman-Nya:



وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan ingatlah ketika Rabbmu memberitahukan: "Jika kamu besyukur, sungguh Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan tetapi jika kamu mengkufuri (nikmat tersebut) sesungguhnya adzab-Ku amat pedih”. [ Ibrâhîm/14:7].

4. Menumbuhkan sifat hormat dan taat kepada orang tua, karena hal tersebut termasuk dalam bentuk syukur kepada Allah. Sebagaimana Allah memerintahkan dalam firman-Nya:
:

أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ

…Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. [Lukman/31:14].

Dalam beberapa ayat Al-Qur`ân, perintah berbuat baik kepada kedua orang tua selalu dinyatakan setelah hak Allah. Ini menunjukkan betapa besar hak orang tua atas anak-anak mereka. Orang yang tidak berterima kasih kepada kedua orang tuanya, seakan-akan ia belum bersyukur kepada Allah. Betapa besar jasa orang tua, jika kita merenungkan sejenak tentang pengorbanan dan kesusahan mereka dalam mendidik anak-anaknya. Jalan terbaik untuk membalas jasa mereka, ialah menjadi anak yang shalih, dan senantiasa mendoakan mereka.

5. Menumbuhkan sikap suka berterima kasih dan membalas budi dalam diri kita kepada orang yang berbuat kebaikan kepada kita, sekalipun hanya berupa doa. Hal tersebut termasuk dalam bentuk syukur kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ " لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ ".
رواه أبو داود والترمذي. وقال الترمذي: هذا حديث حسن صحيح. وقال الشيخ الألباني : صحيح

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: "Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia". [HR Abu Dawud dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi berkata: "Hadits ini hasan shahîh". Juga dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni].



عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَ بِهِ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ رواه أبو داود والنسائي. وقال الشيخ الألباني : صحيح

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma , bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang berbuat baik kepadamu, maka hendaklah kamu membalasnya. Jika kamu tidak mendapati sesuatu untuk membalasnya, maka doakanlah dia, sampai kamu melihat bahwa kamu sudah membalasnya". [HR Abu Dawud dan Nasâ`i, dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni]

Demikianlah, pembahasan tentang nama Allah "asy-Syakûr". Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang senang bersyukur, berbuat baik kepada kedua orang tua, dan terbiasa berterima kasih dan membalas budi kepada orang yang berbuat baik kepada kita. Wallahu a'lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Qs. Fâthir ayat 30 dan 34, dan at-Taghâbun ayat 17.
[2]. Lisanul-'Arab, 4/424, 425.
[3]. Hal ini terdapat dalam banyak ayat. Lihat Qs. Ibrâhîm ayat 5, Lukman ayat 31, Saba` ayat 19, dan lain-lain.
[4]. An-Nihayah fi Gharîbil-Hadits (2/493) dan 'Uddatush-Shâbirîn (240).
[5]. Lihat Qs. Ali 'Imrân/3 ayat 171, at-Taubah/9 ayat 120, dan lain-lain.
 

Al Ghaniy, Maha Kaya
.Oleh:
Ust. Ahmas Faiz Asifuddin

   
Al-Ghaniy merupakan salah satu nama Allah Azza wa Jalla yang sangat indah. Keindahannya terletak pada nama dan makna-Nya. Nama ini, sebagaimana nama-nama Allah Azza wa Jalla lainnya, juga menunjukkan sifat kesempurnaan bagi Allah Azza wa Jalla , yaitu Kesempurnaan yang tidak mengandung unsur kelemahan sedikitpun ditinjau dari semua sudutnya.

Para ulama yang menghimpun nama-nama Allah Azza wa Jalla , mencantumkan nama ini di dalam kitab mereka.[1]

Imam al-Baihaqi (wafat th.458 H) memasukkannya ke dalam bab nama-nama Allah Azza wa Jalla yang penekanannya meniadakan penyerupaan antara Allah Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya.[2] . Sebagai dalil bahwa al-Ghaniy merupakan nama Allah Azza wa Jalla . beliau membawakan firman Allah Azza wa Jalla :



وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ

Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya). [Muhammad/ 47:38].

Selanjutnya, beliau rahimahullah membawakan perkataan al-Hulaimi tentang makna nama al-Ghaniy, yaitu: Bahwa Allah Azza wa Jalla Maha sempurna dengan apa yang Dia miliki dan apa yang ada disisi-Nya, Sehingga Dia tidak butuh kepada selain-Nya. Sifat tidak membutuhkan inilah yang menjadi sifat Allah Azza wa Jalla , dan sifat membutuhkan adalah sifat kekurangan. Seseorang yang membutuhkan adalah seseorang yang memerlukan apa yang dibutuhkannya hingga dapat ia capai dan ia raih.

Sementara itu, pihak yang dibutuhkan pasti memiliki kelebihan dibandingkan pihak yang membutuhkan. Jadi, segala sifat kurang tidak pernah ada pada Allah Azza wa Jalla dzat Yang Maha Qadîm (Maha terdahulu). Sifat lemah tidak pernah ada pada-Nya, dan tidak ada siapapun yang dapat melebihi Allah Azza wa Jalla . Segala sesuatu selain Allah Azza wa Jalla adalah makhluk yang diciptakan dan diadakan oleh-Nya, mereka tidak memiliki kewenangan apapun atas dirinya, kecuali menurut apa yang dikehendaki dan diatur oleh Allah Azza wa Jalla . Oleh karena itu, tidak boleh dibayangkan bahwa selain Allah Azza wa Jalla masih ada yang berpeluang memiliki kelebihan atas Allah Azza wa Jalla.[3]

Di tempat lain, Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam menafsirkan ayat di atas mengatakan: “Allah Azza wa Jalla Maha Kaya artinya, Allah Azza wa Jalla tidak membutuhkan harta benda kalian”.[4]

Imam at-Thabari juga menyatakan tafsir yang senada dalam Kitab Tafsir-nya.[5]

Di samping ayat di atas, Allah Azza wa Jalla juga berfirman :



وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Dan sesungguhnya Allah Azza wa Jalla benar-benar Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [al-Hajj/ 22:64]

Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: " Maka Allah Azza wa Jalla tidak membutuhkan sesuatupun dan Dia Azza wa Jalla Maha terpuji dalam segala keadaan-Nya.[6]

Pada ayat yang lain Allah Azza wa Jalla berfirman:



وَرَبُّكَ الْغَنِيُّ ذُو الرَّحْمَةِ

Dan Rabbmu Maha Kaya yang mempunyai sifat kasih sayang. [al-An’âm/ 6:133]

Imam al-Alûsi al-Baghdadi (wafat th.1270 H) menjelaskan: Arti ayat tersebut ialah, tidak ada satupun yang kaya dalam segala sesuatu kecuali Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla tidak membutuhkan hamba-Nya dan tidak membutuhkan pula untuk ibadah hamba-Nya.[7]

Demikian pula yang dikatakan oleh Imam Syaukani rahimahullah. Beliau rahimahullah mengatakan: Arti ayat tersebut adalah, Allah Azza wa Jalla Maha kaya terhadap makhluk-Nya. Dia tidak membutuhkan mereka dan tidak pula membutuhkan ibadah mereka. Iman mereka tidak memberi manfaat apapun kepada Allah Azza wa Jalla dan kekafiran mereka juga tidak mendatangkan madharat apapun kepada-Nya.[8]

Ini senada dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits qudsi, bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman:



يَاعِبَادِي! إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِي فَتَنْفَعُوْنِي. يَاعِبَادِي! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِي شَيْئًا. يَاعِبَادِي! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَفْجَرِقَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا. رواه مسلم

Artinya : " Wahai para hambaKu! Sesungguhnya kalian tidak akan mampu mencapai tingkat yang dapat membahayakanKu, dan tidak pula akan mampu mencapai tingkat yang dapat memberi manfaat kepadaKu. Wahai para hambaKu! Sesungguhnya jika makhluk pertama hingga makhluk terakhir dari kalian, baik jin maupun manusia, semuanya menjadi satu hati yang paling bertakwa di antara kalian, tidaklah yang demikian itu akan menambahkan kekuasaanKu sedikitpun. Wahai para hambaKu! Sesungguhnya jika makhluk pertama hingga makhluk terakhir dari kalian, baik jin maupun manusia, semuanya menjadi satu hati yang paling jahat di antara kalian, tidaklah yang demikian itu akan mengurangi kekuasaanKu sedikitpun". [Hadits Qudsi Shahîh Riwayat Imam Muslim][9]

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat th. 795 H) menjelaskan hadits Qudsi di atas sebagai berikut: [10]

Allah Azza wa Jalla :



يَاعِبَادِي! إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِي فَتَنْفَعُوْنِي

Artinya : " Wahai para hambaKu! Sesungguhnya kalian tidak akan mampu mencapai tingkat yang dapat membahayakanKu, dan tidak pula akan mampu mencapai tingkat yang dapat memberi manfaat kepadaKu."

Maknanya, para hamba Allah Azza wa Jalla tidak akan mampu menimpakan madharat kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak akan mampu memberikan manfaat kepada-Nya, sebab Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Yang Ghaniy (Maha kaya) dan Maha terpuji. Dia tidak membutuhkan ketaatan-ketaatan para hamba-Nya. Ketaatan para hamba tidak bermanfaat bagi Allah Azza wa Jalla , tetapi merekalah yang mengambil manfaat dengan ketaatannya kepada Allah Azza wa Jalla. Begitu pula, Allah tidak mengalami bahaya apapun jika mereka durhaka kepada-Nya, tetapi merekalah yang akan mengalami bahaya jika mereka durhaka kepada Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman:



وَلَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ ۚ إِنَّهُمْ لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا

Janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang segera menjadi kafir; sesungguhnya mereka tidak sekali-kali dapat memberi mudharat kepada Allah Azza wa Jalla sedikitpun
. [Ali-Imrân/ 3:176]

Kemudian firman Allah Azza wa Jalla dalam hadits Qudsi di atas:



يَاعِبَادِي! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِي شَيْئًا. يَاعِبَادِي! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَفْجَرِقَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا

Wahai para hambaKu! Sesungguhnya jika makhluk pertama hingga makhluk terakhir dari kalian, baik jin maupun manusia, semuanya menjadi satu hati yang paling bertakwa di antara kalian, yang demikian itu tidaklah menambahkan kekuasaanKu sedikitpun. Wahai para hambaKu! Sesungguhnya, jika makhluk pertama hingga makhluk terakhir dari kalian, baik jin maupun manusia, semuanya menjadi satu hati yang paling jahat di antara kalian, tidaklah yang demikian itu akan mengurangi kekuasaanKu sedikitpun.

Hadits ini merupakan isyarat bahwa kekuasaan Allah Azza wa Jalla tidak akan bertambah dengan ketaatan para hamba-Nya, meskipun semua berkumpul menjadi orang bertakwa.. Demikian pula, kekuasaan Allah Azza wa Jalla akan berkurang dengan kedurhakaan para hamba-Nya meskipun mereka semua, baik jin maupun manusia, menjadi satu untuk durhaka kepada Allah Azza wa Jalla. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Yang Ghaniy (Maha Kaya), tidak membutuhkan apapun kepada selain-Nya. Dia memiliki kesempurnaan yang mutlak, baik Dzat, sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Kekuasaan Allah Azza wa Jalla adalah kekuasaan sempurna yang tidak memiliki kekurangan sedikitpun, dalam semua seginya. (Sampai di sini perkataan Ibn Rajab secara ringkas dan bebas).

Kemudian terkait dengan perintah Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:



وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah Azza wa Jalla lah Asmâ-ul Husnâ (nama-nama yang sangat indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut/mengingat Asmâ-ul Husnâ itu. [al-A’râf/ 7:180]

Maka, berdoa kepada Allah Azza wa Jalla dengan menyebut atau mengingat nama al-Ghaniyu meliputi dua bentuk :

Pertama : Jika yang dimaksud berdoa adalah memohon, misalnya, ketika seseorang hendak memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar kebutuhan-kebutuhan moral maupun materinya dipenuhi, hendaknya ia terlebih dahulu menyebut nama al-Ghaniy.

Kedua : Jika yang dimaksud berdoa adalah beribadah secara umum, maka hendaknya seseorang melakukan peribadatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan penuh kesadaran, penuh semangat, penuh rasa harap, dan dengan cara yang benar, mengingat Allah Azza wa Jalla adalah al-Ghaniy, Rabb yang Maha Kaya. Manusia sangat butuh beribadah kepada Allah Azza wa Jalla agar mendapatkan kasih sayang serta ridha-Nya, sedangkan Allah Azza wa Jalla Maha Kaya, tidak membutuhkan segala ibadah manusia.

Begitulah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah, bahwa berdoa kepada Allah Azza wa Jalla meliputi dua pengertian, yaitu berdoa dalam arti memohon dan berdoa dalam arti beribadah secara umum.[11]

Sebagai penutup, ada beberapa faidah yang secara garis besar dapat diambil dari pengenalan terhadap nama Allah Azza wa Jalla; al-Ghaniy. Diantaranya:

  1. Akan menjadikan seseorang semakin bergantung dan bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, sebab ia meyakini Allah Azza wa Jalla Maha Kaya. Hal ini akan menjadikannya selalu tenteram dalam menjalani kehidupan.
  2. Akan membentuknya menjadi penuh harap kepada Allah Azza wa Jalla. Akan menjadikan orang bersikap tawâdhu' (rendah hati), tidak pernah sombong apalagi terhadap Allah Azza wa Jalla, karena ia ingat bahwa Allah Azza wa Jalla Maha Kaya, Maha tidak membutuhkan dirinya dan tidak membutuhkan ibadah serta ketaatannya.
  3. Akan menjadikan orang tersebut selalu bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla, karena Dia-lah yang mencukupi segala kebutuhannya.
  4. Akan menjauhkan seseorang dari memohon kepada selain Allah Azza wa Jalla, karena mereka tidak akan mungkin mampu memenuhi segala kebutuhannya. Hanya Allah Azza wa Jalla, al-Ghaniy, yang Maha Kaya dan memenuhi segala kebutuhannya.
Demikianlah, maka hendaknya kaum Muslimin berusaha lebih mengenal, memahami, menghayati dan menjalankan konsekuensi dari nama al-Ghaniy ini. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun. 
Allâhu Akbar Wa Lillâhi al-Hamdu. Wallâhu a'lam.

Marâji'
1. Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalil Ma’mun Syîha, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M.
2. Al-Asmâ’ was Shifât, karya Imam al-Baihaqiy, tahqîq : Abdullah bin ‘Âmir, Dâr al-Hadîts, Kairo, 1426 H/2005 M.
3. Tafsir al-Qurthbi, yaitu al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, Beirut- Libanon, tahqîq : Abdur Razzâq al-Mahdi, cet. II – 1420 H/1999 M.
4. Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Dhabth wa ta’lîq: Mahmud Syakir. Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut – Libanon, cet. I – 1421 H/2001 M.
5. Rûh al-Ma’âni Fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab’i al-Matsâni, karya Imam al-Alusi al-Baghdâdi, tahqiiq : Muhammad Ahmad al-Amad & Umar Abdus Salam as-Salâmi, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut, Libanon, cet. I dari terbitan terbaru th. 1420 H/2000 M
6. Fathu al-Qadîr, karya Imam asy-Syaukani
7. Îqâzh al-Himam al-Muntaqâ min Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam oleh al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali, karya Syaikh Abu Usâmah Sâlim bin ‘Îd al-Hilâliy, Dâr Ibnu al-Jauzi, cet. VII, Muharam 1425 H.
8. Al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillah wa Asmâ’ihi al-Husnâ, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin, tahqîq : Asyraf bin Abdul Maqshûd bin Abdur Rahîm, Maktabah as-Sunnah- Kairo, cet. I, 1411 H/1990 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Mu’taqâd Ahli Sunnah wal Jama’âh Fî Asmâ'illâh al-Husna, Dr.Muh. Khalîfah at Tamîmi, Penerbit Adhwâ' as-Salaf, Riyâdh, cet. I th 1419 H/1999 M hal. 159.
[2]. Lihat Al-Asmâ’ was Shifât, karya Imam al-Baihaqi, tahqîq : Abdullâh bin ‘Âmir, Dâr al-Hadîts, Kairo, th 1426 H/2005 M. Hal. 45-50
[3]. Lihat Al-Asmâ’ was Shifât hal. 49-50
[4]. Lihat Tafsir al-Qurthubi, yaitu al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, Beirut- Libanon, tahqîq : Abdur Razzaq al-Mahdi, cet. II – 1420 H/1999 M. Juz 16 hal. 219
[5]. Lihat Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl al-Qur’ân, Dhabth wa ta’lîq: Mahmûd Syâkir. Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut – Libanon, cet. I–1421 H/2001M. Juz 26, hal 77.
[6]. Lihat Tafsîr al-Qurthbiy, Juz 12, hal. 86
[7]. Rûh al-Ma’âni Fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab’i al-Matsâni, karya Imam al-Alusi al-Baghdadi, tahqîq : Muhammad Ahmad al-Amad & Umar Abdus Salâm as-Salâmi, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabî, Beirut, Libanon, cet. I terbitan terbaru th. 1420 H/2000 M, Juz 8, hal. 380
[8]. Lihat Fathu al-Qadîr, karya Imam asy-Syaukani, ayat 133 dari Surah al-An’âm
[9]. Lihat Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalil Ma’mûn Syîha, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M. Juz XVI/348 – Kitab al-Birr wash Shilah, Bab 15, no. 6517.
[10]. Lihat Îqazh al-Himam al-Muntaqâ min Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, oleh al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali, karya Syaikh Abû Usâmah Salîm bin ‘Îd al-Hilâli, Dâr Ibnu al-Jauzi, cet. VII, Muharam 1425 H, hadits ke 24, hal. 345 dan 347-348, dinukil secara bebas dan ringkas.
[11]. Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah pada al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillâh wa Asmâ’ihi al-Husnâ, tentang Makna berdoa kepada Allah Azza wa Jalla dan tentang cara menyebut atau mengingat nama-nama Allah Azza wa Jalla ketika berdoa kepada-Nya, hal. 7; halaman muqadimah 

Al 'Afuw, Maha Pemaaf
.Oleh:
Ust. Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.

   
MAKNA AL-‘AFUW SECARA BAHASA
 
Ibnu Fâris rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya adalah meninggalkan sesuatu.[1]

Ibnul Atsîr rahimahullah berkata: "Nama Allah "al-'Afuw" adalah wazan fa'ûl dari kata al-'afwu (memaafkan) yang berarti memaafkan perbuatan dosa dan tidak menghukumnya, asal maknanya: menghapus dan menghilangkan.[2]

Al-Fairuz Abadi rahimahullah berkata: "al-'Afwu adalah permaafan dan pengampunan Allah Subhanahu wa Ta'ala atas (dosa-dosa) makhluk-Nya, serta tidak memberikan siksaan kepada orang yang pantas (mendapatkannya).[3]

 
PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AL-‘AFUW
 
Al-'Afuw adalah zat yang maha menghapuskan dosa-dosa dan memaafkan perbuatan-perbuatan maksiat.[4]

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla :



إنَّ اللهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ

Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun [al-Hajj/22:60]

Beliau berkata: "Artinya: Dia maha memaafkan orang-orang yang berbuat dosa dengan tidak menyegerakan sikasaan bagi mereka, serta mengampuni dosa-dosa mereka. Maka Allah Azza wa Jalla menghapuskan dosa dan bekas-bekasnya dari diri mereka. Inilah sifat Allah Azza wa Jalla yang tetap dan terus ada pada zat-Nya (yang Maha Mulia), dan inilah perlakuan-Nya kepada hamba-hamba-Nya di setiap waktu, (yaitu) dengan permaafan dan pengampunan…" [5].

Makna inilah yang dimaksud dalam doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dibaca pada malam lailatul qadr:



اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau suka memaafkan (hamba-Mu), maka maafkanlah aku [6].[7]

Dalam beberapa ayat al-Qur'ân Allah Azza wa Jalla menggandengkan nama ini dengan nama-Nya yang lain yaitu "al-Ghafûr" (Maha Pengampun), seperti dalam ayat di atas, demikian pula dalam surat an-Nisâ':43 dan 99. Allah Azza wa Jalla berfirman:



وَكَانَ الله ُعَفُوًّا غَفُوْرًا

Dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun [an-Nisâ'/4:99]

Kedua nama Allah Azza wa Jalla yang Maha Indah ini memang memiliki makna yang hampir sama, meskipun nama Allah 'al-Afuw memiliki makna yang lebih mendalam. Karena "pengampunan" mengisyaratkan arti as-sitru (menutupi), sedangkan "pemaafan" mengisyaratkan arti al-mahwu (menghapuskan) yang artinya lebih mendalam dalam penghapusan dosa. Meskipun demikian, kedua nama Allah Azza wa Jalla ini jika disebutkan sendirian maknanya mencakup keseluruhan arti tersebut.[8]

Sifat "memaafkan" dan "mengampuni" ini adalah sifat-sifat yang tetap dan terus-menerus ada pada zat Allah yang Maha Mulia. Dan pengaruh baik sifat-sifat ini senantiasa meliputi semua makhluk-Nya di siang dan malam hari. Karena sifat "memaafkan" dan "mengampuni" (yang dimiliki)-Nya meliputi semua makhluk, dosa dan perbuatan maksiat.

Padahal, mestinya perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan manusia menjadikan mereka ditimpa berbagai macam siksaan, akan tetapi pemaafan dan pengampunan-Nya menghalangi turunnya siksaan tersebut. Allah Azza wa Jalla berfirman:



وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَىٰ ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَٰكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيرًا

Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatan (dosa) mereka, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. [Fâthir/35:45]

Inilah kesempurnaan permaafan-Nya dan kalau bukan karena itu niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun.[9]

Senada dengan ayat di atas, dalam sebuah hadits yang shahîh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada satupun yang lebih bersabar menghadapi gangguan (celaan) yang didengarnya melebihi Allah Azza wa Jalla , sungguh orang-orang (kafir) menyekutukan-Nya dan mengatakan (bahwa) Dia mempunyai anak, (tapi bersamaan dengan itu) Dia tetap memaafkan (menangguhkan siksaan) dan memberi rezki bagi mereka"[10].

 
PEMBAGIAN SIFAT AL-AFUW (MEMAAFKAN) DARI ALLAH AZZA WA JALLA.
 
Sifat al-afwu (memaafkan) ini ada dua macam:

Pertama: Permaafan Allah Azza wa Jalla yang bersifat umum bagi semua orang yang berbuat maksiat, dari kalangan orang-orang kafir maupun yang selain mereka. Yaitu dengan tidak menimpakan siksaan yang telah ada sebab-sebabnya, yang seharusnya menjadikan mereka terhalangi dari kenikmatan duniawi yang mereka rasakan, padahal mereka menentang-Nya dengan mencela-Nya (menisbatkan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya), menyekutukan-Nya dan melakukan berbagai macam penyimpangan lainnya. Meskipun demikian, Allah Azza wa Jalla tetap memaafkan (menangguhkan siksaan-Nya), memberi rezki dan menganugerahkan berbagai macam kenikmatan kepada mereka, yang lahir maupun batin.

Kedua: Permaafan dan pengampunan-Nya yang bersifat khusus bagi orang-orang yang bertobat, meminta ampun, berdoa dan menghambakan diri kepada-Nya, demikian pula bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat-Nya dengan musibah-musibah yang menimpa mereka. Maka, semua orang yang bertobat kepada-Nya dengan tobat yang nashûh [11], Allah akan mengampuni dosa apapun yang dilakukannya, baik berupa kekafiran, kefasikan maupun kemaksiatan lainnya. Semua dosa tersebut termasuk dalam keumuman firman Allah Azza wa Jalla :



قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [az-Zumar/39:53][12]

 
PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH "AL-AFUW"
 
Memahami nama Allah Azza wa Jalla yang Maha Agung ini merupakan pintu utama untuk mencapai kedudukan yang tinggi di sisi-Nya, khususnya jika setelah memahaminya dengan baik, kita berusaha merealisasikan kandungan dan konsekuensi yang terkandung di dalamnya, yaitu melakukan istighfâr (meminta ampun kepada Allah Azza wa Jalla ) secara kontinyu, meminta permaafan, selalu bertobat, mengharapkan pengampunan dan tidak berputus asa (dari rahmat-Nya). Hal itu, karena Allah Azza wa Jalla Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun, sangat mudah bagi-Nya untuk mengampuni dosa (hamba-hamba-Nya) bagaimanapun besarnya dosa dan maksiat tersebut. Maka seorang hamba senantiasa berada dalam kebaikan yang agung selama dia selalu meminta permaafan dan mengharapkan pengampunan dari Allah. [13]

Renungkan makna yang agung ini dalam hadits qudsi berikut:
 
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman: "Seorang hamba melakukan perbuatan dosa, kemudian dia berdoa: "Ya Allah ampunilah dosaku". Maka Allah Azza wa Jalla berfirman: "Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai rabb yang (Maha) Mengampuni dan membalas perbuatan dosa". (Maka Allah Azza wa Jalla pun mengampuni dosanya), kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa: "Ya rabbku ampunilah dosaku". Maka Allah Azza wa Jalla berfirman: "Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai rabb yang (Maha) Mengampuni dan membalas perbuatan dosa". (Maka Allah Azza wa Jalla pun mengampuni dosanya), kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa: "Ya Tuhanku ampunilah dosaku". Maka Allah Azza wa Jalla berfirman: "Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai rabb yang (Maha) Mengampuni dan membalas perbuatan dosa, berbuatlah sesukamu wahai hamba-Ku, maka sungguh Aku telah mengampunimu". Yaitu: "selama kamu terus bertobat, memohon dan kembali kepada-Ku".[14]

Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla :



إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun
. [an-Nisâ'/4:43]

Beliau berkata: "Artinya: Allah memiliki banyak pemaafan dan pengampunan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dengan memudahkan dan meringankan syariat-Nya bagi mereka, sehingga mudah bagi mereka untuk menunaikannya dan tidak menyusahkan."

 
DI ANTARA BENTUK PEMAAFAN ALLAH AZZA WA JALLA
 
Di antara bentuk permaafan dan pengampunan-Nya adalah Rahmat-Nya bagi umat ini dengan mensyariatkan bersuci dengan tanah (debu) sebagai pengganti air ketika tidak mampu menggunakan air.

Dan di antara permaafan dan pengampunan-Nya adalah Dia membukakan pintu tobat dan kembali kepada-Nya bagi orang-orang yang berbuat dosa, bahkan dia menyeru mereka untuk bertobat dan menjanjikan pengampunan bagi dosa-dosa mereka.

Di antara permaafan dan pengampunan-Nya adalah bahwa seandainya seorang Mukmin datang menghadap-Nya di akhirat nanti dengan membawa dosa sepenuh bumi, tapi dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, maka Dia akan memberikan pada hamba-Nya itu pengampunan yang sepenuh bumi (pula) [16].[17]

Di antara bentuk permaafan-Nya adalah bahwa perbuatan baik dan amalan shalih bisa menghapuskan perbuatan buruk dan dosa. Allah Azza wa Jalla berfirman:



إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk [Hûd/11:114]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Ikutkanlah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan buruk tersebut." [18]

Demikian juga di antara bentuk permaafan-Nya adalah bahwa semua musibah yang menimpa pada diri seorang hamba, anak maupun hartanya, itu semua akan menghapuskan dosa-dosanya, khususnya jika hamba itu mengharapkan pahala dari musibah tersebut dan bersikap bersabar serta ridha (dengan takdir Allah Azza wa Jalla terhadap dirinya).

Dan di antara bentuk permaafan-Nya yang agung adalah bahwa hamba-Nya yang selalu menentang perintah-Nya dengan melakukan berbagai macam maksiat dan dosa besar, tapi Dia selalu berlaku lembut dan memberikan maaf-Nya kepadanya, kemudian dia melapangkan dada hamba-Nya itu untuk bertobat kepada-Nya, dan Dia pun menerima taubatnya. Bahkan Allah Azza wa Jalla bergembira dengan taubat hamba-Nya, padahal Allah Azza wa Jalla Maha Kaya lagi Maha Terpuji, tidak akan memberi manfaat bagi-Nya ketaatan orang-orang yang taat, sebagaimana tidak akan merugikan-Nya kemaksiatan orang-orang yang berbuat maksiat. [19]

 
PENUTUP
 
Sesungguhnya pintu-pintu permaafan dan pengampunan Allah Azza wa Jalla senantiasa terbuka lebar. Allah Azza wa Jalla senantiasa bersifat Maha Pemaaf dan Pengampun. Sungguh, Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan pengampunan dan permaafan bagi orang-orang yang mengerjakan sebab-sebabnya, sebagaimana dalam firman-Nya:


وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

Dan sesungguhnya Aku benar-benar Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal shaleh kemudian tetap di jalan yang benar [Thâhâ/20:82][20]

Demikianlah, semoga Allah Azza wa Jalla menganugerahkan kepada kita permaafan-Nya dan memuliakan kita dengan pengampunan-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Mu'jamu maqâyîsil lughah 4/45
[2]. An-Nihâyah fî gharîbil hadîts wal atsar 3/524
[3]. Al-Qamûs al-Muhîth hlm. 1693
[4]. Kitab Fiqhul asmâ-il husna hlm. 142
[5]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 388
[6]. HR at-Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Mâjah (no. 3850), dinyatakan shahîh oleh Syaikh al-Albâni.
[7]. Lihat kitab Faidhul Qadîr 2/239
[8]. Lihat kitab Fiqhul asmâ-il husnâ hlm. 142
[9]. Ibid hlm. 143
[10]. HSR al-Bukhâri no. 5748 dan Muslim 2804 dari Abu Mûsâ al-Asy'ari Radhiyallahu anhu.
[11]. Artinya: tobat yang murni untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla semata-mata, yang mencakup semua dosa, yang tidak disertai keragu-raguan dan sikap bersikeras pada perbuatan dosa tersebut.
[12]. Lihat kitab Fiqhul asmâil husnâ hlm. 143
[13]. Ibid hlm. 145
[14]. HSR al-Bukhâri no. 7068 dan Muslim no. 2758
[15]. Lihat kitab Fiqhul asmâil husnâ hlm. 145
[16]. Sebagaimana yang disebutkan dalam HSR Muslim no. 2687, at-Tirmidzi no. 3540 dll.
[17]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 103
[18]. HR at-Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5/153, dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albâni.
[19]. Lihat kitab Fiqhul asmâil husnâ hlm. 144
[20]. Ibid hlm. 145 

Al Raqib, Yang Maha Mengawasi
.Oleh:
Ust. Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.

   
PENETAPAN NAMA AR-RAQIB 

Nama Allah Subhanahu wa Ta'ala Yang Maha Agung ini disebutkan dalam tiga ayat al-Qur'an:


إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kamu sekalian [an-Nisâ'/4:1].



وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ رَقِيبًا

Dan adalah Allâh Maha Mengawasi segala sesuatu [al-Ahzâb/33:52]



وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ ۖ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ ۚ وَأَنْتَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Dan akulah yang menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah Yang Maha Mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu [al-Mâidah/5:117].

 
MAKNA AR-RAQIB SECARA BAHASA
 
Ibnu Fâris rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan makna yang satu, yaitu berdiri (tegak) untuk mengawasi atau memperhatikan sesuatu [1]. Sedanglan al-Fairuz Abâdi rahimahullah dalam al-Qamuus-nya menjelaskan bahwa nama ini secara bahasa berarti pengawas, penunggu dan penjaga [2]. Sementara itu, Ibnul Atsîr rahimahullah dan Ibnu Manzhûr rahimahullah menjelaskan bahwa nama Allah al-Raqîb berarti Maha Penjaga/Pengawas yang tidak ada sesuatu pun yang luput dari-Nya [3]. Demikian pemaparan para Ulama lughah (bahasa) tentang makna kata ar-raqiib melalui tinjauan bahasa.

 
PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AL-RAQIB
 
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah ketika menafsirkan ayat pertama di atas, beliau menjelaskan bahwa makna ar-Raqîb adalah zat yang maha mengawasi semua perbuatan dan keadaan manusia" [4]
.
Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah berkata: "Ar-Raqîb adalah zat yang maha memperhatikan dan mengawasi semua hamba-Nya ketika mereka bergerak(beraktifitas) maupun ketika mereka diam, (mengetahui) apa yang mereka sembunyikan maupun yang mereka tampakkan, dan (mengawasi) semua keadaan mereka" [5]

Di tempat lain beliau berkata, ar-Raqîb adalah zat yang maha mengawasi semua urusan (makhluk-Nya), maha mengetahui kesudahannya, dan maha mengatur semua urusan tersebut dengan sesempurna-sempurna aturan dan sebaik-sebaik ketentuan[6]".

Maka makna ar-Raqîb secara lebih terperinci adalah Dzat Yang Maha memperhatikan (mengetahui) segala yang tersembunyi dalam dada (hati) manusia, yang Maha mengawasi apa yang diusahakan setiap diri manusia, Yang Maha memelihara semua makhluk dan mengatur mereka dengan sebaik-baik aturan dan penataan paling sempurna, yang Maha mengawasi semua yang terlihat dengan penglihatan-Nya, tidak ada sesuatu pun yang luput dari-Nya, yang Maha mengawasi semua yang terdengar dengan pendengaran-Nya yang meliputi segala sesuatu, yang Maha mengawasi (memperhatikan) semua makhluk dengan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu [7].

 
PENGARUH POISTIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH AR-RAQIB
 
Pengaruh positif yang paling utama dengan mengimani nama Allâh Azza wa Jalla yang agung ini adalah senantiasa merasakan murâqabatullâh (pengawasan dari Allâh Azza wa Jalla ) dalam semua keadaan kita, dan timbulnya rasa malu yang sesungguhnya di hadapan-Nya. Kondisi ini akan mendorong seorang hamba untuk selalu konsisten melakukan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi semua perbuatan maksiat, di manapun ia berada [8].

Murâqabatullâh (selalu merasakan pengawasan Allâh Azza wa Jalla) adalah kedudukan yang sangat tinggi dan agung dalam Islam, sekaligus merupakan tahapan utama untuk menempuh perjalanan menuju perjumpaan dengan Allâh Azza wa Jalla dan negeri akhirat.

Hakekat murâqabatullâh adalah seorang hamba senantiasa merasakan dan meyakini pengawasan Allâh Azza wa Jalla terhadap (semua keadaannya) lahir dan batin. Selanjutnya, ia merasakan pengawasan-Nya ketika berhadapan dengan perintah-Nya, untuk kemudian ia laksanakan dengan sebaik-baiknya. Dan ketika berhadapan dengan larangan-Nya, ia berusaha keras menjauhinya dan menghindarinya [9].

Seorang penyair mengungkapkan makna ini dalam bait syairnya [10] :


Jika suatu hari kamu sedang sendirian, maka janganlah kamu berkata:
Aku sendirian”, akan tetapi katakanlah, “Ada (Allâh) yang mengawasiku
Dan janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa Dia akan lalai sesaat pun
Dan (jangan mengira) sesuatu yang tersembunyi akan luput dari (pengawasan)-Nya

Inilah makna al-ihsân yang disebutkan dalam hadits Jibrîl Alaihissallam yang terkenal, yaitu sabda Rasûlulâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :



أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

(Al-ihsân adalah) engkau beribadah kepada Allâh seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau kamu tidak bisa melihat-Nya, maka sungguh Dia melihatmu [11]

Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah berkata, "Murâqabatullâh (selalu merasakan pengawasan Allâh Azza wa Jalla) adalah termasuk amalan hati yang paling tinggi (keutamaannya dalam Islam), yaitu menghambakan diri (beribadah) kepada Allâh dengan (memahami dan mengamalkan makna yang terkandung dalam) nama-Nya ar-Raqîb (Yang Maha Mengawasi) dan asy-Syahîd (Yang Maha Menyaksikan). Maka ketika seorang hamba mengetahui (meyakini) bahwa semua gerakan (aktifitas) nya yang lahir maupun batin, tidak ada (satu pun) yang luput dari pengetahuan-Nya, dan dia (senantiasa) menghadirkan keyakinan ini dalam semua keadaannya, ini (semua) akan menjadikannya (selalu berusaha) menjaga batin (hati)nya dari (semua) pikiran (buruk) dan angan-angan yang dibenci Allâh Azza wa Jalla , menjaga lahir (anggota badan)nya dari (semua) ucapan dan perbuatan yang dimurkai Allâh Azza wa Jalla, dan akan beribadah (mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla ) dengan al-ihsân. Dengan itu, maka ia akan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla seakan-akan melihat-Nya, kalau tidak bisa melihat-Nya maka ia (yakin) sesungguhnya Allâh melihatnya"[12].

Kalau kita merenungkan dengan seksama ayat-ayat al-Qur'ân yang menerangkan luasnya ilmu Allâh Azza wa Jalla dan bahwasanya tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan dan pengawasan-Nya, baik yang tampak di mata manusia maupun tersembunyi, seperti ayat-ayat berikut:



وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ

Dan ketahuilah bahwasanya Allâh mengetahi apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya [al-Baqarah/2:235].

.

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَىٰ مِنَ الْقَوْلِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا

Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allâh, padahal Allâh beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allâh tidak ridhai. Dan adalah Allâh Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan [an-Nisâ/4:108]


يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan dalam hati
[al-Mu'min/40:19].

Dan ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat-ayat tersebut, merenungkan dan menghayati semua itu akan membangkitkan dalam diri seorang hamba sifat murâqabatullâh dalam semua perbuatan dan keadaannya. Karena murâqabatullâh adalah termasuk buah manis dari keyakinan seorang hamba bahwa Allâh Azza wa Jalla Maha mengawasi dan memperhatikan dirinya, Maha mendengarkan apa yang diucapkan lisannya dan Maha mengetahui semua perbuatannya setiap waktu, setiap tarikan nafas, bahkan setiap kedipan matanya [13].

 
PENUTUP
 
Dengan penjelasan di atas, kita dapat memahami bagaimana agungnya manfaat dan keutamaan membaca al-Qur'ân dengan merenungi dan menghayati kandungan maknanya. Sebab, dengan itulah kita bisa mengambil petunjuk agung yang terdapat di dalamnya dengan sempurna, untuk membawa kita mencapai kedudukan dan tingkatan yang tinggi di hadapan Allâh Azza wa Jalla. Allâh Azza wa Jalla berfirman:


كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah kitab (al-Qur'ân) yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran [Shâd/38:29].

Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar berkenan menganugerahkan kepada kita semua kedudukan murâqabatullâh yang agung dan mulia ini dan semua kedudukan yang tinggi dalam agama-Nya. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla Maha mendengar dan mengabulkan permohonan hamba-Nya. Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Mu'jamu Maqâyîsil Lughah (2/353).
[2]. Al-Qâmûs al-Muhîth hlm. 116
[3]. An-Nihâyah fi Gharîbil Hadits wal Atsar (2/609) dan Lisânul 'Arab (1/424)
[4]. Tafsîr Ibni Katsir (1/596)
[5]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 90
[6]. Ibid hlm. 487
[7]. Lihat Fiqhul Asmâ-il Husnâ hlm. 159
[8]. Lihat Tafsîr Ibni Katsir (1/596) dan Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 90
[9]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ hlm. 160
[10]. Dinukil oleh Imam Ibnu Hibbân al-Busti dalam Raudhatul 'Uqalâ hlm. 26
[11]. HR. Muslim no. 8
[12]. Tafsîru Asmâ Illâhil Husnâ hlm. 55
[13]. Lihat Fiqhul Asmâ-il Husnâ hlm. 160

*****
Sumber: almanhaj.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin