Salah satu di antara nama Allah yang sangat indah adalah al 'Aliyy.
Makna yang terkandung dalam nama ini merupakan sifat-Nya, yaitu Maha
Tinggi. Sifat Maha Tinggi Allah merupakan salah satu di antara sifat
sempurna-Nya yang jumlahnya tanpa batas. Namun apa yang dimaksud Allah
bernama al 'Aliyy dan bersifat Maha Tinggi?
Sebelum memaparkan jawaban dari pertanyaan di atas, sebaiknya terlebih
dahulu dikemukakan dalil-dalil tentang nama Allah al 'Aliyy dan sifat
Maha Tinggi-Nya.
DALIL DARI KITABULLAH
Berikut ini adalah beberapa dalil tersebut:
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat
memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. [al
Baqarah/2:255]
فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ
Maka putusan (sekarang ini) hanyalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Ghafir/40 :12).
Ayat ini dengan tegas menjelaskan nama Allah 'Aliyy, 'Azhim dan Kabir,
yang maknanya Maha Tinggi, Maha Agung dan Maha Besar. Makna ini
sekaligus menunjukkan sifat-Nya
.
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi. [al A'la/87:1]
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ
Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi. [an-Nahl/16:60]
Dari penggalan empat ayat di atas, dua di antaranya menunjukkan sifat
Maha Tinggi Allah melalui
tadhammun al ismi laha (penjelasan sifat yang
terkandung dalam nama-Nya). Dan dua berikutnya melalui
tashrih
bish-shifah (penegasan langsung dengan sifat). Maksudnya, sifat Maha
Tinggi Allah pada penggalan dua ayat pertama dapat diketahui
melalui
makna yang terkandung dalam nama-Nya. Dan pada penggalan dua ayat
berikutnya dapat diketahui dengan
lafazh yang langsung menunjukkan
sifat-Nya.
Jadi beberapa ayat di atas menjelaskan dua metode di antara tiga metode al Qur`an dan Sunnah di dalam menetapkan sifat Allah.
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah , ada tiga
cara al Qur`an dan Sunnah di dalam memberikan pembuktian mengenai
penetapan sifat Allah Azza wa Jalla,
[1] yaitu:
Pertama,
tashrih bish shifah (penegasan langsung dengan lafazh yang
menunjukkan sifat Allah). Misalnya, sifat al 'Izzah (perkasa), al Quwwah
(kuat), ar-Rahmah (kasih sayang), al Bath-syu (sifat menyiksa), al
Wajhu (wajah), al Yadain (dua tangan) dan sifat-sifat lainnya.
Kedua,
tadhammun al ismi laha (sifat Allah yang dikandung dalam
nama-Nya). Contohnya, nama Allah al-Ghafur mengandung sifat Maha
Pengampun, as-Sami' mengandung sifat Maha Mendengar dan seterusnya.
Ketiga,
tashrih bil fi'li aw al washfi dallin 'alaihima (penegasan sifat
melalui kata kerja atau kata yang menunjukkan sifat). Contohnya, Allah
bersemayam di atas 'Arsy. Sifat bersemayam ini disebutkan dalam ayat
dengan bentuk
fi'il (kata kerja). Misalnya kata
istawa dalam firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala :
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
Allah Yang Maha Penyayang bersemayam di atas 'Arsy. [Thaha/20 : 5]
Contoh lainnya, sifat memberikan balasan siksa yang keras. Sifat ini
tersebut dalam al Qur`an dengan bentuk kata yang menunjukkan sifat,
yaitu berbentuk
isim fa'il. Misalnya kata
muntaqimun dalam firman Allah
Ta'ala:
إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ
Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan siksa kepada orang-orang yang berdosa. [As-Sajdah/32 : 22]
Demikianlah beberapa dalil yang menunjukkan sifat Maha Tingginya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas segenap makhluk-Nya.
Sesungguhnya, seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al
‘Utsaimin rahimahullah,
[2] dalil tentang sifat Maha Tinggi Allah sangat
banyak; dari al Qur`an, Sunnah, Ijma', akal dan fithrah. Sementara itu
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam
al 'Aqidah al
Wasithiyah [3] mengelompokkan dalil-dalil itu secara terpisah, kelompok
dalil dari al Qur`an sendiri dan kelompok dalil dari Sunnah Nabawiyah
sendiri.
Adapun dalil dari al Qur`an dan Sunnah, hampir tidak bisa dibatasi.
Disamping ayat yang sudah dipaparkan di atas, juga beberapa ayat berikut
ini:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ
Dan Dialah yang berkuasa, berada di atas sekalian hamba-hamba-Nya. [al An'am/6:18]
Kata
fauqa menunjukkan, Allah Maha Tinggi berada di atas seluruh makhluk.
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا
هِيَ تَمُورُ أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ
عَلَيْكُمْ حَاصِبًا
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di atas langit bahwa Dia
menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi
itu bergoncang. Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di
atas langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. [al
Mulk/67:16-17].
Kata
man fis-sama` pada ayat di atas memiliki makna Allah yang di atas
langit
. Fis-sama`, artinya
'alas-sama` (di atas langit), ini bila yang
dimaksud dengan
sama` (langit) adalah langit dalam bentuk bangunan
fisik. Namun bila yang dimaksud dengan
sama` adalah segala yang bersifat
atas, maka
fi artinya untuk menunjukkan tempat. Maksudnya Allah Maha
berada di atas.
[4]
Demikian juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shaleh dinaikkan-Nya. [Fathir/35:10].
Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan menjelaskan, di dalam ayat ini
terdapat penetapan sifat Maha Tingginya Allah di atas segenap
makhluk-Nya, karena sebutan naik dan diangkat, menunjukkan ke arah
atas.
[5]
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ
الْأَسْبَابَأَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَىٰ إِلَٰهِ مُوسَىٰ
وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا
Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan
yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu
langit, supaya aku dapat melihat Ilahnya Musa, dan sesungguhnya aku
memandangnya seorang pendusta". [al Mu'min/40:36-37].
Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan menjelaskan, di dalam ayat ini
terdapat penetapan sifat Maha Tinggi Allah di atas segenap makhlukNya,
sebab Nabi Musa Alaihissallam telah mengkhabarkan kepada Fir'aun tentang
itu, namun Fir'aun berupaya mendustakannya.
[6] Dan masih sangat banyak
dalil dari al Qur`an yang menunjukkan sifat Maha Tinggi Allah, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Intinya, dalil-dalil dari al Qur`an memiliki beragam pembuktian.
Kadang-kadang dengan sebutan
'uluw,
fauqiyah,
istiwa' 'ala al Arsy atau
sebutan
fis-sama`, yang semuanya menunjukkan Allah Maha Tinggi, Maha di
atas, bersemayam di atas Arsy, dan Maha di atas langit.
Atau kadang-kadang dengan sebutan
shu'ud al asy-ya`,
'uruj al asy-ya`
dan
raf'uha ilaihi, yang artinya, naiknya pelbagai perkara atau makhluk
kepada Allah. Misalnya firman Allah:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik. –Fathir/35 ayat 10-
dengan sebutan
shu'ud (naik)nya perkataan-perkataan yang baik kepada
Allah.
Juga firman Allah:
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabb. -al
Ma'arij/70 ayat 4- dengan sebutan
'uruj (naik)nya para malaikat kepada
Allah.
Demikian pula firmanNya:
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَىٰ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ
(Ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai 'Isa, sesungguhnya Aku akan
menidurkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku. –Ali Imran/3 ayat 55- dengan
sebutan
raf'u (mengangkat) Isa naik kepada Allah.
Dan kadang-kadang dengan sebutan
nuzul al asy-ya` minhu (turunnya
pelbagai hal dari Allah) atau sebutan sejenisnya. Hal yang menunjukkan
bahwa Allah berada di atas, sebab kata turun dari sisi-Nya hanya terjadi
dari atas. Misalnya firman Allah Ta'ala:
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ
Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al Qur`an itu dari Rabbmu".
–an-Nahl/16 ayat 102- dengan sebutan menurunkan al Qur`an dari sisi
Allah.
Demikian juga firman-Nya:
يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi. [as-Sajdah/32:5]
[7].
DALIL DARI SUNNAH NABAWIYAH
Adapun dalil-dalil dari Sunnah Nabawiyah, jumlahnyapun sangat banyak dan
mencapai tingkatan mutawatir, serta dengan pendalilan yang juga
beragam.
[8] Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَلَا تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ .متفق عليه
Apakah kalian tidak memberikan kepercayaan kepadaku, sedangkan aku
adalah orang kepercayaan Allah, Dzat yang ada di atas langit? [9]
Begitu juga hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ
وَلَا يَصْعَدُ إِلَى اللَّهِ إِلَّا الطَّيِّبُ فَإِنَّ اللَّهَ
يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي
أَحَدُكُمْ فُلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ. رواه البخاري
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
"Barangsiapa yang bersodaqoh senilai satu biji korma dari
hasil usaha yang baik (halal) –sedangkan tidak akan ada yang naik kepada
Allah kecuali yang baik saja-, niscaya Allah akan menerimanya dengan
Tangan kananNya, kemudian Allah memeliharanya untuk pemiliknya
sebagaimana seseorang di antara kamu memelihara anak kudanya yang masih
kecil. Sehingga sodaqoh tadi akan menjadi besar laksana gunung".
[10]
Juga jawaban seorang budak perempuan milik Mu'awiyah bin al Hakam
as-Sulami yang dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika beliau bertanya kepada budak tersebut tentang di mana Allah.
Beliau bersabda:
أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ
رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ .رواه مسلم
"Di mana Allah?" Budak wanita itu menjawab: "Di atas langit," Beliau
bertanya lagi:
"Siapa aku?" Ia menjawab,"Engkau adalah Rasul Allah,"
maka Beliaupun bersabda:
"Merdekakan ia, karena ia seorang wanita
mu'minah!" [11]
Dalam hadits ini, budak wanita milik Mu'awiyah bin al Hakam menjawab
bahwa Allah ada di atas langit. Dan jawabannya dibenarkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pernyataan beliau, bahwa
ia merupakan wanita mu'minah.
Hadits yang lain ialah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa sujudnya:
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى .رواه مسلم
Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi.
[12]
Demikian pula hadits yang menjelaskan bahwa ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabatnya pada
hari Arafah, yaitu saat beliau meminta kesaksian kepada mereka; apakah
beliau sudah menyampaikan risalah Allah? Lalu mereka menjawab: "Kami
bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, telah menunaikan dan telah
memberikan nasihat," maka
beliau mengangkat tangannya memberikan isyarat
ke arah atas, lalu tangan yang mulia itu di turunkan menunjuk ke arah
para sahabatnya seraya bersabda:
اللَّهُمَّ اشْهَدْ! اللَّهُمَّ اشْهَدْ! ثلاث مرات.رواه مسلم
Ya Allah saksikanlah (mereka), saksikanlah (mereka)! Beliau mengucapkannya tiga kali.
[13]
Hadits ini menegaskan bahwa Allah ada di atas segenap makhluk-Nya,
karena Nabi mengangkat tangan beliau ke arah atas ketika meminta
kesaksian mereka tentang risalah yang diembannya. Dan masih banyak
hadits lain, yang seluruhnya menunjukkan bahwa Allah berada di atas dan
Maha Tinggi.
DALIL AKAL
Akal yang sehat menunjukkan kepastian, bahwa Allah memiliki sifat
sempurna dan tidak mungkin Allah memiliki sifat-sifat kurang. Sifat Maha
Tinggi dan Maha di atas adalah sifat sempurna, sedangkan sifat rendah
dan sifat bawah adalah sifat kurang. Dengan demikian, secara akal, pasti
Allah bersifat Maha Tinggi dan Dia Maha Suci dari sifat sebaliknya.
DALIL FITHRAH
Secara fithrah, tidak ada seorangpun yang berdoa kepada Allah atau
meminta pertolongan kepada-Nya dari segala yang menakutkannya, kecuali
pasti hatinya mengarah ke atas. Tidak mungkin ketika ia memohon kepada
Allah, hatinya tertuju ke arah samping kanan atau kiri, tetapi ke atas.
DALIL IJMA'
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
sesungguhnya para ulama telah menyebutkan adanya Ijma' (kesepakatan)
para sahabat, tabi'in dan para imam Islam, bahwa Allah berada di atas
seluruh langit milik-Nya, Dia bersemayam di atas Arsy. Perkataan mereka
tentang ini sudah sangat masyhur.
Imam al Auza'i mengatakan: "Kami dahulu, ketika jumlah para tabi'in
sangat banyak, mengatakan bahwa Allah Yang Maha Tinggi berada di atas
Arsy-Nya. Kami mengimani berita tentang sifat Allah apa saja yang datang
di dalam Sunnah".[14]
Imam adz-Dzahabi (673-748 H) bahkan menyusun kitab khusus tentang Sifat
Maha Tingginya Allah dengan judul al 'Uluwwu lil 'Aliyyi al Ghaffar,
yang kemudian di-mukhtashar (diringkas) oleh Syaikh al Albani
rahimahullah. Isinya menegaskan semua pemaparan di atas, termasuk
menyebutkan banyak sekali riwayat dari para salaf tentang itu.
Intinya, merupakan hal yang pasti, bahwa di antara nama Allah adalah al
'Aliyy, dan di antara sifat-Nya adalah Maha Tinggi berada di atas
segenap makhluk-Nya. Mengingkari sifat ini adalah kufur.
Namun Apa Arti Nama Allah; Al 'Aliyy Dan Sifat Maha TinggiNya?
Setiap nama Allah pasti menunjukkan maknanya. Makna dari setiap nama
Allah adalah sifat-Nya. Jadi nama-nama Allah bukanlah sekedar nama-nama
kosong tanpa makna sebagaimana anggapan orang-orang Jahmiyah. Maka nama
al 'Aliyy adalah nama bagi Dzat Allah Azza wa Jalla, dan sekaligus
merupakan pensifatan bagi-Nya. Sebab semua nama-Nya merupakan a'lam wa
aushaf (nama-nama dan pensifatan bagi Dzat-Nya).[15]
Berbeda dengan manusia, maka setiap nama manusia kecuali Nabi, hanya
sekedar nama belaka sebagai panggilan bagi dirinya dan tidak menunjukkan
sifatnya. Dengan demikian, nama al 'Aliyy benar-benar menunjukkan sifat
Maha Tinggi Allah Subhanahu wa Ta’ala secara mutlak dan hakiki. Dan
sifat Maha Tinggi Allah meliputi:
1. Maha Tinggi Dzat-Nya, karena Dia berada di atas semua makhluk-Nya.
2. Maha Tinggi kedudukan-Nya, sebab hanya kepunyaan Dia saja segala sifat sempurna.
3. Dan Maha Tinggi kekuasaan-Nya, sesab Dia Maha berkuasa atas segala sesuatu.[16]
Kemudian, harus pula difahami bahwa Maha Tinggi dan Maha di atas ini
tidak bertentangan dengan Maha dekatnya Allah yang senantiasa menyertai
makhluk-Nya. Allah Maha dekat, tetapi Dia tetap Maha di atas Arsy. Maha
di atas segenap makhluk-Nya, tetapi Dia Maha dekat.[17] Dan ini tidak
sulit dimengerti oleh akal sehat.
Demikianlah, dengan memahami sifat-sifat Allah secara benar seperti yang
ada di dalam al Qur`an dan Sunnah berdasarkan pemahaman
Salafush-Shalih, niscaya orang akan semakin mengagungkan Allah, semakin
cinta kepada-Nya, semakin bersemangat beribadah hanya kepada-Nya dan
takut akan siksaanNya. Sebab ia tahu bahwa Allah Maha Sempurna dalam
segala nama dan sifat-Nya. Allah Maha Tinggi secara mutlak, dan Dia
bersemayam di atas Arsy, namun Dia Maha dekat dan selalu menyertai
setiap makhluk dengan pengawasan, ilmu, pendengaran, penglihatan,
kekuasaan dan kadang dengan pertolongan-Nya kepada hamba yang dikasihi.
Wallahu waliyyu at-Taufiq.
Maraji'
:
1. Al Qowa'idul Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, karya Syaikh
Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Tahqiq & Takhrij: Asyraf bin Abdul
Maqshud bin Abdur-Rahim, Cetakan I – 1411 H/1990 M, Maktabah as-Sunnah.
2. Fat-hul Bari Syarh Shahih al Bukhari, Tarqim wa tabwib Muhammad Fu'ad
Abdul Baqi. Tash-sih wa tahqiq wa isyraf wa muqobalah Syaikh Abdul Aziz
bin Abdillah bin Baz, Jami'atul Imam Muhammad bin Saud al Islamiyah,
Riyadh
3. Mukhtashor al 'Uluw li al 'Aliyyi al Ghoffar, Imam adz-Dzahabi,
diringkas dan di-tahqiq oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani,
Cetakan II (copy), Tahun 1412 H/1991 M, al Maktab al Islami,
4. Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma'mun Syiha, Dar al Ma'rifah.
5. Syarh al 'Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan,
Cetakan VI, Tahun 1413 H/1993 M, Maktabah al Ma'arif, Riyadh.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Al Qowa'idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, Syaikh
Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah , Tahqiq & Takhrij
Asyraf bin Abdul Maqshud bin 'Abdur-Rahim, Cetakan I–1411H/1990M,
Maktabah as-Sunnah, hlm. 38, Kaidah Ketujuh (Qawa'id fi Shifatillah).
[2]. Al Qowa'idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, hlm. 66-68 dan hlm. 97-98.
[3]. Syarh al 'Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan,
Cetakan VI, Th. 1413H/1993M, Maktabah al Ma'arif, Riyadh, di bawah sub
judul itsbat Istiwa'i Allah 'ala 'Arsyihi & itsbat 'Uluwwi Allah
'ala Makhluqotihi pada kelompok penetapan Asma' dan Sifat berdasarkan al
Qur`anul-Karim, serta itsbat 'Uluwwi Allah 'ala Kholqihi wa istiwa'ihi
'ala 'Arsyihi pada kelompok penetapan Asma' wa Sifat berdasarkan dalil
Sunnah Nabawiyah.
[4]. Lihat keterangan Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan dalam Syarh al
'Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, di bawah sub
judul Itsbat 'Uluwwi Allah 'ala Makhluqotihi, hlm. 80.
[5]. Lihat Syarh al 'Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, hlm. 80.
[6]. Lihat Syarh al 'Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, hlm. 80.
[7]. Lihat Al Qowa'idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, hlm. 66.
[8]. Lihat Al Qowa'idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, hlm. 66.
[9]. HR Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab al Maghazi, Bab Ba'tsu 'Aliy bin
Abi Thalib 'alaihis-Salam wa Khalid ibni al Walid ila al Yaman qabla
Hajjati al Wada', hadits no. 4351 – Fat-hul Bari (VIII/67) –Jami'atul
Imam Muhammad bin Saud al Islamiyah, Riyadh, Tarqim wa Tabwib Muhammad
Fu'ad Abdul Baqi. Tash-sih wa Tahqiq wa Isyraf wa Muqabalah Syaikh Abdul
'Aziz bin 'Abdillah bin Baz. Dan Muslim dalam Kitab az Zakah, Bab
Dzikri al Khawarij wa Shifatihim – Syarh Nawawi (VII/161-162)- Tahqiq
Kholil Ma'mun Syiha, Cetakan II, 1415 H/1995 M, Dar al Ma'rifah, no.
hadits 2449.
[10]. HR Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab at Tauhid, no. hadits 7430 –
Fat-hul Bari (XIII/415), Jami'atul Imam Muhammad bin Saud al Islamiyah,
Riyadh, Tarqim wa Tabwib Muhammad Fu'ad Abdul-Baqi. Tash-sih wa Tahqiq
wa Isyraf wa Muqabalah Syaikh Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz.
[11]. HR Muslim. Lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma'mun
Syiha (V/23-26) dalam sebuah hadits panjang no. 1199, Kitab al Masajid
wa Mawadhi' ash-Shalah, Bab Tahrim al Kalam fi ash-Shalah wa Naskhu Ma
Kana min Ibahatihi, Cetakan III, Tahun 1417 H/1996 M, Dar al Ma'rifah.
[12]. HR Muslim. Lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Kholil Ma'mun
Syiha (VI/303-304) dalam sebuah hadits panjang no. 1811, Kitab
Shalatul-Musafirin wa Qashruha, Bab Istihbab Tathwil al Qira'ah fi
Shalati al Lail, Cetakan III, Tahun 1417 H/1996 M, Dar al Ma'rifah.
[13]. HR Muslim. Lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma'mun
Syiha (VIII/413) dalam sebuah hadits yang sangat panjang no. 2941, Kitab
al Hajj, Bab Hajjati an-Nabiyyi Shallallohu 'alaihi wa sallam, Cetakan
II, Tahun 1415 H/1995 M, Dar al Ma'rifah.
[14]. Lihat dalil-dalil semacam ini, misalnya dalam Kitab al Qowa'idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, hlm. 66-67.
[15]. Lihat al Qowa'idul-Mutsla fi Shifatillah wa Asma'ihil-Husna, hlm. 11 tentang qaidah kedua dari Qawa'id fi Asma'illah.
[16]. Lihat keterangan Syaikh Shalih al Fauzan ketika menerangkan nama
al 'Aliyy pada ayat Kursi dalam kitab Syarh al 'Aqidah al Wasithiyah,
hal. 26.
[17]. Lihat Syarh al 'Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Sholih bin Fauzan al
Fauzan, di bawah sub judul Itsbat Ma'iyyati Alloh Ta'ala li Kholqihi wa
annaha La Tunafi 'Uluwwahu fauqa Arsyihi, hlm. 119.
Al Jamil, Yang Maha Indah
.Oleh:
Ust. Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
DASAR PENETAPAN
Nama Allah Azza wa Jalla ini disebutkan dalam sebuah hadits yang shahîh,
dari ‘Abdullâh bin Mas'ûd Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ
كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ
حَسَناً وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قاَلَ: إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ
الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat
biji debu. Ada seorang yang bertanya, “Sesungguhnya setiap orang suka
(memakai) baju yang indah, dan alas kaki yang bagus, (apakah ini
termasuk sombong?). Rasulullâh bersabda: "Sesungguhnya Allah Maha Indah
dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan
merendahkan orang lain."[1] .
MAKNA AL-JAMIL SECARA BAHASA
Ibnu Fâris rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan
dua makna, salah satunya adalah indah/bagus [2]. Adapun al-Fairûz Abâdi
rahimahullah, beliau menjelaskan bahwa asal kata nama ini mengandung
pengertian keindahan dalam tingkah laku dan rupa.[3] Sementara itu,
pakar bahasa yang lain yang bernama Ibnul Atsîr rahimahullah lebih
lanjut menjelaskan bahwa al-Jamîl berarti Yang Maha Indah
perbuatan-perbuatan-Nya dan sempurna sifat-sifat-Nya [4].
PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AL-JAMIL
Nama Allah Azza wa Jalla al-Jamîl ini menunjukkan kesempurnaan keindahan
Allah Azza wa Jalla pada semua nama, sifat, dzat dan perbuatan-Nya.[5]
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan makna hadits di atas dengan
mengatakan, “Semua urusan Allah Azza wa Jalla itu indah dan baik, dan
Dia Azza wa Jalla memiliki nama-nama yang Maha Indah serta sifat-sifat
yang Maha Bagus dan Sempurna”.[6]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan hal ini secara lebih
terperinci pada keterangan berikut, “Keindahan Allah Azza wa Jalla ada
empat tingkatan; Pertama: keindahan dzat, kedua: keindahan sifat,
ketiga: keindahan perbuatan dan keempat: keindahan nama. Atas dasar itu,
semua nama Allah Azza wa Jalla Maha Indah, seluruh sifat-Nya Maha
Sempurna, dan semua perbuatan-Nya mengandung hikmah, kemaslahatan
(kebaikan) dan keadilan serta rahmat (kasih-sayang). Adapun keindahan
dzat dan apa yang ada padanya, maka ini adalah perkara yang tidak bisa
dicapai dan diketahui oleh selain Allah Azza wa Jalla. Semua makhluk
tidak memiliki pengetahuan tentang itu kecuali (sedikit) pengetahuan
yang dengan itulah Dia Azza wa Jalla memperkenalkan diri-Nya kepada
hamba-hamba yang dimuliakan-Nya. Sesungguhnya keindahan-Nya itu terjaga
dari (segala bentuk) perubahan, terlindungi dengan tabir selendang dan
sarung (kemuliaan), sebagaimana hadits Rasulullâh shallallaahu 'alaihi wa sallam dari Allah Azza wa
Jalla (hadits qudsi): "Kebesaran itu adalah selendang-Ku dan keagungan
itu adalah sarung-Ku…"[7] . Maka bagaimana anggapanmu terhadap keindahan
yang dibalut dengan sifat-sifat kesempurnaan, keagungan dan kemuliaan?
Dari makna inilah kita dapat memahami sebagian dari arti keindahan
dzat-Nya, karena seorang hamba akan terus meningkat pengetahuannya
tentang Allah Azza wa Jalla, mulai dari mengenal perbuatan-perbuatan-Nya
meningkat menjadi mengenal sifat-sifat-Nya, dan dari mengenal
sifat-sifat-Nya meningkat menjadi mengenal dzat-Nya. Jika dia
menyaksikan sesuatu (yang merupakan pengaruh baik) dari keindahan
perbuatan-Nya, dia akan menjadikannya sebagai (argumentasi) yang
menunjukkan keindahan sifat-Nya, kemudian keindahan sifat ini
dijadikannya sebagai (landasan) yang menunjukkan keindahan dzat-Nya.
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa segala pujian hanya milik Allah Azza
wa Jalla. Tidak ada seorang makhluk-pun yang mampu membatasi/menghitung
sanjungan bagi-Nya. Dia Subhanahu wa Ta'ala adalah seperti pujian yang ditujukan-Nya
untuk diri-Nya sendiri. Dialah yang berhak diibadahi, dicintai dan
disyukuri karena dzat-Nya, dan Dia mencintai, memuji dan menyanjung
diri-Nya sendiri. Sesungguhnya kecintaan, pujian, sanjungan dan
pengesaan-Nya terhadap diri-Nya sendiri, pada hakikatnya merupakan
pujian, sanjungan, cinta dan tauhid (yang sebenarnya).
Maka Allah Azza
wa Jalla adalah seperti pujian yang ditujukan untuk diri-Nya sendiri dan
di atas pujian yang ditujukan para makhluk kepada-Nya; dan Dia Azza wa
Jalla dicintai dzat, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Semua
perbuatan-Nya indah dan dicintai, meskipun di antara obyek perbuatan-Nya
ada yang dibenci dan tidak disukai-Nya. Namun, tidak ada pada
perbuatan-Nya sesuatu yang dibenci dan dimurkai. Tidak ada satu pun di
alam ini yang dicintai, dipuji karena dzatnya kecuali Allah Azza wa
Jalla. Semua yang dicintai selain Allah Azza wa Jalla, jika kecintaan
tersebut mengikuti kecintaan kepada-Nya Azza wa Jalla, yaitu
mencintainya karena Allah Azza wa Jalla, maka kecintaan ini adalah
kecintaan yang benar. Adapun selain itu adalah kecintaan yang batil
(salah).
Inilah hakikat ilâhiyyah (penghambaan diri kepada-Nya). Karena itu, dzat
yang diibadahi dengan sebenarnya, dialah yang dicintai dan dipuji
dzat-Nya. Terlebih lagi, jika semua itu dihubungkan dengan (mengingat
dan menyakini) kebaikan, limpahan nikmat, kelembutan, pengampunan,
pemaafan, anugerah dan rahmat-Nya.
Untuk itu, hendaknya seorang hamba meyakini bahwa tidak ada sesembahan
yang benar kecuali Allah Azza wa Jalla, kemudian mencintai dan
memuji-Nya karena dzat dan kesempurnaan-Nya. Selanjutnya, hendaknya dia
meyakini bahwa pada hakekatnya tidak ada yang memberikan kebaikan berupa
berbagai macam kenikmatan, yang lahir maupun dan batin, kecuali Allah
Azza wa Jalla. Karena itu, dia mencintai-Nya dan serta memuji-Nya atas
semua itu. Dengan itu, dia mencintai Allah Azza wa Jalla dari kedua segi
itu secara bersamaan.
Sebagaimana tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah Azza wa Jalla,
maka kecintaan kepada-Nya tidak seperti kecintaan kepada selain-Nya.
Kecintaan yang disertai ketundukan itulah (hakekat) penghambaan diri
kepada-Nya, yang merupakan tujuan penciptaan makhluk-Nya. Karena
ubûdiyyah (penghambaan diri) merupakan bentuk kecintaan yang utuh,
disertai ketundukan yang sempurna, yang tidak pantas ditujukan kecuali
kepada Allah Azza wa Jalla. Sehingga, menyekutukan Allah Azza wa
Jalla termasuk perbuatan syirik yang tidak diampuni oleh Allah Azza wa
Jalla dan tidak diterima amal perbuatan pelakunya"[8].
Di tempat lain, beliau rahimahullah berkata, "Kecintaan itu memiliki dua sebab yang
membangkitkannya, yaitu keindahan dan pengagungan, dan Allah Azza wa
Jalla memiliki kesempurnaan yang mutlak pada semua itu karena Dia Maha
Indah dan mencintai keindahan, bahkan semua keindahan adalah milik-Nya,
dan semua pengagungan (bersumber) dari-Nya, sehingga tidak ada sesuatu
pun yang berhak untuk dicintai dari semua segi karena dzatnya kecuali
Allah Azza wa Jalla"[9].
PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH AL-JAMIL
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, "Di antara bentuk pengetahuan
yang paling mulia adalah mengenal sifat Allah Azza wa Jalla al-jamâl
(Maha Indah). Ini adalah pengetahuan istimewa yang dimiliki hamba-hamba
Allah Azza wa Jalla. Semua dapat manusia mengenal-Nya dengan satu sifat
dari semua sifat-Nya, akan tetapi yang paling sempurna pengetahuannya
(tentang Allah Azza wa Jalla) adalah yang mengenal-Nya dengan sifat
kesempurnaan, keagungan dan keindahan-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan-Nya dalam semua sifat-Nya. Seandainya semua makhluk
memiliki rupa yang paling indah, kemudian keindahan mereka lahir dan
batin itu dibandingkan dengan keindahan Allah Azza wa Jalla, maka
sungguh (perbandingannya) lebih rendah daripada perbandingan pelita yang
redup cahayanya dengan (terangnya cahaya) lingkaran matahari. Cukuplah
(yang menunjukkan kesempurnaan) keindahan-Nya bahwa semua keindahan
lahir dan batin di dunia dan akhirat adalah termasuk jejak-jejak
penciptaan-Nya, maka bagaimana pula dengan dzat yang bersumber dari-Nya
(semua) keindahan ini?"[10].
Kemudian, pengaruh positif mengimani nama Allah Azza wa Jalla yang Maha
Agung ini sebenarnya dapat kita ambil melalui penjelasan makna hadits di
atas.
Sabda Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah Maha
Indah dan mencintai keindahan” mengandung dua unsur landasan Islam yang
agung, yaitu pengetahuan tentang sifat Allah Azza wa Jalla dan pengamalan
konsekuensi sifat tersebut. Yang pertama, kita mengenal Allah Azza wa
Jalla dengan sifat Maha Indah yang tidak diserupai oleh satu makhluk-pun,
kemudian yang kedua kita beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan
sifat indah yang dicintai-Nya, dalam ucapan, perbuatan dan akhlak.
Allah Azza wa Jalla mencintai seorang hamba yang menghiasi ucapannya
dengan kejujuran, menghiasi hatinya dengan keikhlasan, kecintaan, selalu
kembali dan bertawakkal kepada-Nya, menghiasi anggota badannya dengan
ketaatan kepada-Nya, dan menghiasi tubuhnya dengan memperlihatkan nikmat
yang dianugerahkan-Nya kepadanya, seperti dalam berpakaian,
membersihkan tubuh dari najis dan kotoran, memotong kuku, dan
sebagainya. Jadi, hamba yang dicintai Allah Azza wa Jalla adalah hamba
yang mengenal Allah Azza wa Jalla dengan sifat-Nya yang Maha Indah,
selanjutnya beribadah kepada-Nya dengan keindahan yang ada pada agama
dan syariat-Nya.
Pengertian hadits di atas, selain keindahan pada pakaian dan alas kaki
yang ditanyakan oleh Sahabat di atas, secara umum juga menyangkut
keindahan pada segala sesuatu. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ اللهَ يُحِبُ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلىَ عَبْدِهِ
Sesungguhnya Allah suka melihat (tampaknya) bekas nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada hamba-Nya. [11]
Allah Azza wa Jalla suka melihat terlihatnya bekas nikmat yang
dilimpahkan-Nya kepada hamba-Nya, karena ini termasuk keindahan yang
dicintai-Nya, dan ini juga termasuk bentuk syukur kepada-Nya. Bersyukur
adalah bentuk keindahan batin. Karena itu, Allah Azza wa Jalla suka
melihat keindahan lahir yang berupa tampaknya bekas nikmat-Nya pada diri
hamba-Nya.
Oleh karena itulah, Allah Azza wa Jalla menurunkan pakaian dan perhiasan
kepada para hamba-Nya untuk memperindah penampilan lahir mereka, dan
Dia Azza wa Jalla memerintahkan mereka agar bertakwa, karena ini akan
memperindah batin mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi
'auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, dan pakaian takwa itulah
yang lebih baik [al-A'râf/7:26]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang keadaan penduduk surga yang
Allah Azza wa Jalla anugerahi keindahan lahiriyah dan batiniyah :
وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَحَرِيرًا
Dan Dia menganugerahkan kepada mereka kecerahan (wajah) dan kegembiraan
(hati). Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka
(dengan) surga dan (pakaian) sutera [al-Insân/76:11-12]
Allah Azza wa Jalla menghiasi wajah mereka dengan kecerahan, menghiasi
batin mereka dengan kegembiraan, dan menghiasi tubuh mereka dengan
pakaian sutera.[12]
PENUTUP
Kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Azza wa Jalla dengan
nama-nama-Nya yang Maha Indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna,
agar berkenan menganugerahkan kepada kita semua keindahan lahir dan
batin, di dunia dan akhirat kelak, serta memudahkan kita untuk memahami
dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar. Sesungguhnya Dia
Maha Indah dan Maha Mengabulkan doa.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1431H/2010M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim (no. 91).
[2]. Mu'jamu Maqâyîsil Lughah (1/427).
[3]. Al-Qâmûsul Muhîth (hlm. 1266).
[4]. An-Nihâyah fi Gharîbil Hadîts wal Atsâr (1/812).
[5]. Lihat Fiqhul Asmâ-il Husnâ (hlm. 291).
[6]. Syarh Shahîh Muslim (2/90).
[7]. HR Abu Dâwud (no. 4090) dan Ibnu Mâjah (no. 4174), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albâni.
[8]. Al-Fawâid hlm. 182-183
[9]. Al-Jawâbul Kâfi hlm. 164
[10]. Al-Fawâid hlm. 181-182
[11]. HR at-Tirmidzi no. 2819 dan al-Hâkim no. 7188, dinyatakan shahîh
oleh al-Hâkim dan disepakati adz-Dzahabi, juga dinyatakan hasan oleh
at-Tirmidzi dan al-Albâni.
[12]. Lihat Fiqhul Asmâ-il Husnâ hlm. 293-294
Syarah Nama Allah, Al Fattah
.Oleh:
Ust. DR. Ali Musri Semjan Putra
ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA MEMPUNYAI NAMA-NAMA YANG INDAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama yang sangat mulia dan
indah. Kemuliaan dan keindahan tersebut ditinjau dari dua segi, yaitu
segi lafazh dan segi maknanya. Makna dari nama-nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala tersebut menunjukkan sifat Allah yang Maha Sempurna. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ
يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan Allah memiliki nama-nama yang indah, maka berdoalah kepadanya dengan
nama-nama-Nya tersebut. Dan jauhilah orang-orang yang menyimpang dalam
(memahami) nama-nama-Nya. Mereka akan dibalasi terhadap apa yang mereka
lakukan. [al-A'râf/07:180]
Tentang nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala , ada beberapa hal yang harus kita pahami sebagaimana terdapat pada ayat di atas.
Pertama : Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama
yang sangat mulia lagi indah. Barang siapa yang tidak meyakini nama-nama
Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka orang tersebut tidak beriman kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala secara utuh dan benar. Bila kita perhatikan,
begitu banyak ayat Al-Qur`ân yang ditutup dengan nama-nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala . Dan makna nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala
tersebut sangat erat hubungannya dengan konteks ayat itu sendiri.
Kedua : Nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut menggandung makna
yang sangat sempurna yang disebut sifat. Orang yang tidak meyakini
tentang sifat yang terkandumg dalam nama-nama Allah berarti ia telah
melakukan penyimpangan dalam beriman kepada Allah.
Ketiga : Berdoa dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
nama-nama mulia itu. Untuk mencapai kesempurnaan dalam beribadah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala , ialah dengan memahami makna nama-mana Allah
tersebut. Sehingga menghadirkan rasa khusyu' dalam beribadah, karena
saat beribadah seolah-olah kita melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau
kita merasa sedang dilihat oleh-Nya.
KEUTAMAAN MENGHAFAL 99 NAMA-NAMA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA YANG INDAH
Setelah memperhatikan perihal di atas, semakin jelaslah bagi kita betapa
penting mempelajari makna nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nabi
kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan pula
dalam sabdanya:
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ متفق عليه .
Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus
kecuali satu, barang siapa yang menghafalnya akan masuk surga. [HR
al-Bukhâri Muslim]
Kata الإِحْصَاء (menghafal) dijelaskan oleh para ulama, memiliki
beberapa tingkatan. Pertama, menghafalnya dengan lisan. Kedua, memahami
makna yang terkandung di dalam nama-mana Allah tersebut. Ketiga,
mengaplikasikan makna nama-nama Allah dalam doa dan ibadah, atau dengan
kata lain menghafalnya dalam bentuk amalan.[1]
Hadits di atas tidak menunjukkan pembatasan jumlah keseluruhan nama-nama
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi, membatasi jumlah nama-nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang mesti dihafalkan untuk memperoleh keutamaan
seperti disebutkan dalam hadits, yaitu masuk surga. Sebab, telah
dijelaskan dalam hadits lain, bahwa jumlah keseluruhan nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah semata.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengetahuinya
secara pasti, seperti tersurat pada doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ
عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ
اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ رواه أحمد وغيره.
Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki, yang Engkau
beri nama dengannya diri-Mu, atau Engkau beritahukan kepada salah
seorang dari makhluk-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau
Engkau simpan di sisi-Mu di alam ghaib. [HR Ahmad dan lainnya,
dishahîhkan oleh Ibnul Qayyim dan Syaikh al-Albâni].[2]
Dalam hadits ini disebutkan tiga bagian dari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala .
-
Bagian pertama, nama yang Allah beritahukan kepada sebahagian
makhluk-Nya, baik dari kalangan malaikat atau lainnya, tetapi tidak
menyebutkannya di dalam kitab suci Allah.
-
Bagian kedua, nama yang Allah turunkan dan menyebutkannya di dalam kitab suci-Nya.
-
Bagian ketiga, nama yang Allah sembunyikan di sisi-Nya di alam ghaib.
Dari penjelasan ini, maka nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya
dapat kita ketahui melalui kitab Al-Qur`ân dan hadits-hadits yang
shahîh. Dalam hal ini, menurut pendapat ulama yang telah melakukan
penelitian, mereka menyatakan bahwa nama-nama Allah yang terdapat di
dalam Al-Qur`ân dan hadits-hadits shahîh jumlahnya lebih dari sembilan
puluh sembilan nama.[3]
Lalu, bagaimana memahami kedua hadits di atas? Kedua hadits tersebut
tidak saling bertentangan. Hal tersebut bisa dipahami dengan contoh
berikut.
Umpamanya, jika seseorang mengatakan "saya memiliki uang sejumlah 99.000
rupiah untuk saya infakkan". Tentu, perkataan ini tidak akan dipahami
bahwa ia tidak memiliki uang yang lain. Boleh jadi, ia memiliki 200.000
rupiah, tetapi yang diinfakkan hanya 99.000 rupiah. Dengan demikian,
kedua hadits tersebut sangat mudah untuk ditemukan. Yang penting, ialah
menghafal 99 nama Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai tebusan untuk
mendapatkan surga. Nama-nama yang dihafal mungkin saja berbeda
lafazhnya, tetapi jumlahnya sama. Karena nama-nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala lebih dari 99.
PENJELASAN TENTANG MAKNA-MAKNA AL FATTAH
Secara etimologi (bahasa) makna kata (الفتّاح) dalam bahasa Arab berarti
"al-Hâkim" (yang memutuskan perkara dengan adil), sebagaimana yang
terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ
Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak
(adil)[4], dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.
[al-A'râf/07: 89].
Kata "al-Fath" (الْفَتْحُ), juga berarti kemenangan atau pertolongan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنْ تَسْتَفْتِحُوا فَقَدْ جَاءَكُمُ الْفَتْحُ
Jika kalian meminta kemenangan, maka telah datang kemenangan itu kepada kalian. [al-Anfâl/08: 19]
Imam ath-Thabari rahimahullah berkata: "Asal kata al-Fattâh dalam bahasa
Arab berarti النَّصْرُ (kemenangan, pertolongan), الْقَضَاءُ
(keputusan) dan الْحُكْمُ (hukum). Bila ada orang mengatakan "ya Allah,
bukakanlah antara aku dan si Fulan," itu maknanya "berilah keputusan
antara aku dan dia"[5].
Adapun makna al-Fattâh (الفتّاح) secara syar'i, ialah sesuai dengan
pengertian yang terkandung dalam Al-Qur`ân dan Hadits disertai dengan
penjelasan para ulama. Nama ini terdapat dalam surat Saba' ayat 26 :
وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ
Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.
Allah Subhanahu wa Ta’ala Menetapkan Keputusan
Para ulama menjelaskan, nama Allah al-Fattâh memiliki makna yang sangat
sempurna dari segala segi. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi keputusan
dengan adil dalam segala perkara yang terjadi antara sesama makhluk,
baik di dunia maupun di akhirat kelak. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
membutuhkan saksi-saksi dalam menetapkan keputusan hukum. Karena Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang lahir (tampak) maupun yang
tersembunyi. Karena itu, nama "al-Fattâh" dalam ayat di atas
digandengkan dengan nama Allah "al-'Alîm" (Yang Maha Mengetahui).
Imam ath-Thabari rahimahullah berkata dalam menjelaskan maksud ayat di
atas: "Katakanlah kepada mereka: Rabb akan mengumpulkan kita pada hari
Kiamat di hadapan-Nya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
mengeluarkan keputusan antara kita secara adil. Sehingga akan jelas
ketika itu siapa yang mendapat petunjuk diantara kita dan siapa yang
sesat. Dia Maha Pemberi keputusan dan Maha Mengetahui, Yang Maha Tahu
dengan keputusan diantara makhluk-Nya, Yang tidak tersembunyi bagi-Nya
sekecil apa pun. Dan Dia Subhanahu wa Ta'ala tidak membutuhkan saksi-saksi untuk memberi
tahu siapa yang benar dan siapa yang salah".[6]
Allah-lah yang memberi keputusan antara ahlul-haq dan ahlul-batil,
antara para rasul dan musuh-musuh mereka, antara orang-orang yang
beriman dan orang-orang kafir, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Di antara keputusan Allah terhadap antara ahlul-haq dan ahlul-batil,
antara para rasul dan musuh-musuh mereka, antara orang-orang yang
beriman dan orang-orang kafir ketika di dunia, ialah membela dan
menolong para ahlul haq, para rasul dan orang-orang beriman dalam
menghadapi tantangan dan perlawanan dari musuh-musuh mereka. Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah mengisahkan kemenangan yang dibukakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala untuk Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
orang-orang beriman ketika perang Badr.[7]
إِنْ تَسْتَفْتِحُوا فَقَدْ جَاءَكُمُ الْفَتْحُ
Jika kalian meminta kemenangan, maka telah datang kemenangan itu kepada kalian. [al-Anfâl/08:19].
Allah Subhanahu wa Ta’ala Menolong Kaum Mukminin yang Berjuang Menaklukkan Negeri-Negeri Kaum Kuffar
Pengertian al-Fattâh yang lain, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala
menolong orang-orang beriman dalam berjuang membuka (menaklukkan)
negeri-negeri kaum kuffâr. Seperti dibukanya negeri Khaibar melalui
Khalifah 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَوْمَ خَيْبَرَ لَأُعْطِيَنَّ
الرَّايَةَ رَجُلًا يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَى يَدَيْهِ متفق عليه
dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu anhu, dia mendengar Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda pada waktu perang Khaibar: "Saya akan berikan
bendera perang kepada seseorang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
membuka kemenangan melalui tangannya". [HR Bukhâri dan Muslim].
Demikian pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan janji kepada kaum
mukminin dengan penaklukan kota Makkah dalam beberapa firman-Nya:
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ
الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ
عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka
berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang
ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi
balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)
.[al-Fath/48: 18]
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala membuktikan janji kemenangan yang
tersebut pada ayat di atas dengan dibukanya kota Makkah. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. [al-Fath/48:1].
Menurut pendapat sebagian ulama tafsir, ayat ini mengisahkan tentang
penaklukan kota Makkah [8], setelah sebelumnya kaum kuffar Quraisy
mengusir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum mukminin dari kota
Makkah. Karena itu, para nabi dan rasul berdoa agar Allah Subhanahu wa
Ta’ala menolong mereka dan memberi keputusan terhadap kaum mereka yang
menentang. Nabi Syu'aib Alaihissallam memanjatkan doa berikut :
رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنْتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ
Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak
(adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.
[al-A'râf/07: 89]
Begitu pula Nabi Nuh Alaihissallam berdoa:
قَالَ رَبِّ إِنَّ قَوْمِي كَذَّبُونِ فَافْتَحْ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ فَتْحًا وَنَجِّنِي وَمَنْ مَعِيَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Nuh berkata: "Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah mendustakan aku; maka
adakanlah suatu keputusan antaraku dan antara mereka, dan selamatkanlah
aku dan orang-orang mukmin yang bersamaku. [Asy-Syu'arâ`/26: 116-118].
Keputusan yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kaum Nabi Nuh Alaihissallam, ialah dengan dibukanya
pintu adzab untuk mereka dari langit sebagaimana yang terdapat dalam
kalam Allah:
فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ
Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. [al-Qamar/54:11].
Demikian, keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap setiap kaum yang
menentang kebenaran dan melupakan peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
yaitu dengan mendatangkan adzab yang sangat pedih untuk mereka. Seketika
itu, mereka berputus-asa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ
شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً
فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada
mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka;
sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan
kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika
itu mereka terdiam berputus asa.[al-An'âm/06: 44].
Di antara keputusan dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap
Rasul 'Alaihimush sholaatu wa sallam dan kaum mukminin, ialah Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka
rahasia kemunafikan yang tersembunyi dalam diri orang-orang munafik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ
نَخْشَىٰ أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ ۚ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ
بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا أَسَرُّوا
فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ
Maka, kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya
(orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani),
seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah
akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan
dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa
yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. [al-Mâ`idah/05:52].
Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lain disebutkan (artinya):
(Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi
pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu
kemenangan dari Allah, mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang)
beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan
(kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan
membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan
di antara kamu di hari kiamat, dan Allah sekali-kali tidak akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman. [an-Nisâ`/04:141]
.
Demikian pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi keputusan dengan
seadil-adilnya terhadap hamba-Nya yang berbantah-bantah di hadapan-Nya
di akhirat kelak. Disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ
Katakanlah: "Rabb kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia
memberi keputusan antara kita dengan benar (adil). Dan Dia-lah Maha
Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui". [Saba/34:26].
Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lain dinyatakan, yang
artinya: Kemudian, sesungguhnya kamu pada hari kiamat akan
berbantah-bantah di hadapan Rabbmu. [az-Zumar/39:31].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Maksud ayat ini; sesungguhnya kalian
pasti akan berpindah dari dunia ini. Kalian akan berkumpul di hadapan
Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat. Kemudian kalian
berbantah-bantah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang perkara
tauhid dan syirik waktu di dunia. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
memberi keputusan dengan haq (adil). Dia Maha Pemberi keputusan lagi
Maha Mengetahui. Lantas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan
orang-orang mukmin, orang-orang yang bertauhid serta orang-orang yang
ikhlas. Dan mengadzab orang-orang kafir, orang-orang yang mengingkari
(ayat-ayat Allah), dan orang-orang musyrik serta orang-orang yang
mendustakan (kebenaran)"[9].
Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pembuka Segala Kunci Kebaikan
Al Fattâh (الفتّاح), juga berarti Maha Pembuka segala kunci kebaikan
atas seluruh hamba-Nya. Baik berupa iman, ilmu dan hidayah. Barang siapa
dibukakan baginya kebaikan, maka tidak seorang pun yang dapat
menghalanginya. Demikian pula, barang siapa yang ditutup dan dikunci
hatinya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka tidak seorang pun dapat
membuka dan menunjukinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ
وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ
Apa yang dibukakan Allah kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada
seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah
maka tidak seorang pun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Fâthir/35:2].
Syaikh Hâfizh al-Hakami rahimahullah berkata: "Al Fattâh, adalah Dzat
Yang Membuka bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya, untuk memperoleh
karunia-karunia-Nya yang luas sesuai yang diinginkan-Nya pula. Seseorang
dibukakan kekayaan baginya. Sementara orang lainnya dibukakan
kekuasaan. Dan orang satu lagi dibukakan ilmu dan hikmah. Demikianlah,
karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala diberikan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki karunia yang besar.
(Allah berfirman, yang artinya), 'apa yang dibukakan Allah kepada
manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya;
dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup
melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana'." [10]
Oleh sebab itu, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan kepada kita sebuah doa ketika akan memasuki masjid:
اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ رواه مسلم
Ya Allah bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu [HR Muslim].
Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pembuka Pintu-Pintu Rejeki dan Rahmat Bagi Hamba-Nya Yang Bertakwa
Al-Fattâh (الفتّاح), juga berarti Maha Pembuka pintu-pintu rizki dan
rahmat untuk para hamba-Nya yang bertakwa. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri mau beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan membukakan untuk mereka berkah dari langit dan bumi,
akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya [al-A'râf/07:96].
Segala kunci yang ghaib hanya berada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tidak ada yang dapat membuka dan mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri... [al-An'âm/6:59].
Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka sebagian dari hal yang ghaib bagi
hamba-hamba yang dikehendaki-Nya dari kalangan rasul. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan Allah sekali-kali tidak akan
memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih
siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. [Ali
'Imrân/03:179].
Allah Subhanahu wa Ta’ala Mengajarkan Puji-Pujian Kepada Rasulullah Untuk Memuji-Nya
Di padang mahsyar, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membukakan
(mengajarkan) kalimat-kalimat pujian kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk memuji kepada-Nya. Hingga membuka pintu syafa'at
untuk seluruh umat manusia saat menjalani hisab (perhitungan amal).
Kalimat-kalimat pujian tersebut belum pernah diketahui Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya ketika di dunia. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
"Apabila hari
Kiamat telah terjadi, (saat itu) manusia akan saling berdesak-desakan.
Mereka mendatangi Adam Alaihissallam seraya berkata: 'Mintakanlah
syafaat kepada Rabbmu untuk kami'. Adam menjawab: 'Saya tidak berhak
untuk itu. Coba datangilah Ibraahiim. Sesungguhnya dia adalah
Khaliilullah,' maka mereka mendatangi Ibraahiim. (Dan) Ibraahiim pun
menjawab: 'Saya tidak berhak untuk itu. Coba datangilah Musa,
sesungguhnya dia adalah Kaliimullah,' kemudian Musa menjawab: 'Saya
tidak berhak untuk itu. Cobalah datangi Isa, sesungguhnya dia Ruhullah,'
maka, Isa pun menjawab: 'Saya tidak berhak untuk itu. Coba datangilah
Muhammad,' kemudian mereka datang kepadaku. Aku pun menjawab: 'Saya yang
berhak untuk itu,' lantas saya memohon izin kepada Rabbku, lalu aku
diberi idzin. Dan Allah mengilhamkan kepadaku puji-pujian sebagai
pujianku pada-Nya yang tidak aku ketahui sekarang. Selanjutnya aku
memuji-Nya dengan puji-pujian tersebut". [HR Bukhâri dan Muslim].
BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL DARI NAMA ALLAH "AL FATTAH"
Sebetulnya, inilah tujuan sesungguhnya bagi seorang muslim dalam
mengetahui nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Pengenalan
terhadap nama Allah al-Fattâh beserta makna-maknanya, memberikan
pengaruh positif pada iman dan ibadah serta akhlak seorang muslim dalam
kehidupannya sehari-hari.
Dengan memahami makna nama Allah al-Fattâh, akan menumbuhkan sifat-sifat
mulia dalam diri seorang muslim. di antaranya sebagai berikut.
1. Menumbuhkan sifat tawakkal dalam diri seorang mukmin, terutama bagi
seorang da'i dalam menghadapi tantangan di medan dakwah. Sebagaimana
dahulu para nabi dan rasul bertawakal dalam dakwah mereka. Dengan
keyakinan, bahwa Allah Maha Pemberi keputusan dengan adil terhadap
hamba-hamba-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, sikap tawakkal sangat erat
hubungannya dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia, di
antaranya nama "al-Fattâh".[11]
2. Menumbuhkan sifat ikhlas dalam meminta petunjuk dan rizki kepada
Allah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Kuasa membuka hati
seseorang untuk menerima petunjuk. Allah jugalah yang berkuasa
membukakan pintu rizki bagi seorang hamba. Bila hal ini dapat ditanamkan
dalam diri kita, tentu kita tidak akan meminta sekalipun kepada sang
kiyai atau wali yang sudah mati. Kita tidak meminta kecuali hanya kepada
Allah semata.
3. Menumbuhkan sikap rajâ` (berharap-harap akan rahmat dan pertolongan
Allah) dalam diri seorang muslim. Karena segala kunci rahmat dan
kebaikan berada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada yang mampu
membuka pintu-pintu rahmat tersebut kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pintu-pintu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan terbuka di dunia ini
bagi hamba-hamba yang bertakwa. Rahmat di sini dalam arti luas, yakni
bisa berupa iman, ilmu, petunjuk, rizki, kesehatan, kesuksesan dan
lain-lain. Adapun rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat kelak,
tentunya jauh lebih luas dan lebih besar bila dibandingkan dengan yang
ada di dunia.
4. Menumbuhkan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah membuka hati kita untuk beriman,
bertauhid dan beribadah kepada-Nya. Demikian pula, Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah membuka pintu-pintu nikmat lainnya untuk kita. Mulai dari
nikmat sewaktu kita dalam rahim ibu, terlahir dengan selamat tanpa
cacat, kemudian pintu nikmat dan rahmat senantiasa dibukakan Allah di
hadapan kita. Tidakkah selayaknya kita bersyukur kepada Allah?! Kita
tidak pernah terlepas dari nikmat Allah walau satu detik saja.
5. Memupuk rasa ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Karena pintu rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan senantiasa terbuka
untuk orang-orang yang bertakwa. Kesulitan mendapatkan pekerjaan, harga
barang yang senantiasa melonjak naik, musibah yang tak henti-hentinya,
semua itu tidak ada yang sanggup mengeluarkan kita dari pintu kesulitan
menuju pintu yang luas penuh kebahagiaan dan ketentraman, kecuali Allah
al-Fattîh (Dzat Yang Maha Pembuka segala kesulitan). Mari kita simak
kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: "Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri mau beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
membukakan untuk mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya". [al-A'rîf/07:96].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: "Barang siapa
bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya".
[ath-Thalâq/65: 2-3].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: "Dan barang siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan
dalam urusannya". [ath-Thalâq/65:4].
Demikianlah bahasan kita berkaitan dengan nama Allah, al-Fattâh. Semoga
Allah senantiasa membuka pintu hati kita dengan iman, ilmu dan amal,
serta membuka pintu-pintu rizki untuk kita, anak kita dan
saudara-saudara kita seiman. Wallahu a'lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Fâ`idah al-Jalîlah fi Qawâid al-Husnâ min Badaai' al-Fawâ`id, Tahqîq: Syaikh 'Abdurrazzâq al-Badr.
[2]. Syifâ`ul-'Alîl", hlm. 274, dan ash-Shahîhah, 1/336.
[3]. Al-Fatâwâ al-Kubra, 1/217. Majmû' al-Fatâwâ, 22/482. Mausû'ah Asma wash-Shifât, 1/18-25.
[4]. An-Nihâyah fi Gharîbil-Hadits, 3/406. Lisânul-'Arab, 2/539.
[5]. Tafsir ath-Thabari, 2/254.
[6]. Tafsir ath-Thabari, 22/95.
[7]. Tafsir al-Qurthubi, 7/386 dan Tafsir Ibnu Katsîr, 2/297.
[8]. Tafsir al-Qurthubi, 7/387.
[9]. Tafsir Ibnu Katsir, 4/53.
[10]. Ma'ârijul-Qabûl, 1/48.
[11]. Madârijus-Sâlikîn, 2/125.
Al Qabidh dan Al Baa-sith, Dua Di Antara Nama Allah yang Indah
.Oleh:
Ust. Ahmas Faiz Asifuddin
Di antara nama Allah Azza wa Jalla yang jarang disebut dan diingat orang
adalah al-Qâbidh dan al-Bâsith. Kalaupun ada yang menyebutnya, maka
hanya dalam bentuk main-main karena disenandungkan dalam suatu nyanyian
bermusik. Padahal kedua nama itu termasuk al-Asmâ’ al-Husnâ.
Mestinya nama-nama Allah disebut dengan sungguh-sungguh, khusyu’, tawadhu’ dan penuh penghormatan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ
يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Hanya milik Allah Asma-ul Husna (nama-nama yang sangat indah), maka
berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap
apa yang telah mereka kerjakan. [al-A’râf/7:180]
Dalil yang membuktikan al-Qâbidh dan al-Bâsith sebagai nama Allah ialah
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
Ia berkata:
غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم،
فَقَالُوْا : يَا رَسُوْلَ الله! سَعِّرْ لَنَا! فَقَالَ : إِنَّ اللهَ
هُوَ الْمُسَعِّرُ، اَلْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ (عند الترمذي:
الرَّزَّاقُ) وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللهَ (عند الترمذي وابن ماجه
: أن أَلْقَى رَبِّي) وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ
فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ (عند الترمذي: يَطْلُبُنِي). أخرجه أبو داود
والترمذي وابن ماجه
Harga barang-barang pernah menjadi mahal pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam,
karenanya para sahabat berkata: Ya Rasulallah, tetapkanlah harga untuk
kami. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah-lah yang membuat
ketetapan harga, Dia adalah al-Qâbidh (Maha menahan/menyempitkan rizki),
al-Bâsith (Maha membentangkan/meluaskan rizki), ar-Râziq (Maha
menganugerahkan rizki) –Dalam riwayat Tirmidzi, dengan lafal :
ar-Razzâq-. Dan sesungguhnya aku berharap menjumpai Allah dalam keadaan
tiada seorangpun yang menuntut kepadaku (di hadapan Allah) karena suatu
kezaliman yang aku lakukan, baik berkaitan dengan darah maupun harta.
[HSR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah][1].
Banyak ulama memasukkan kedua nama ini dalam himpunan nama-nama Allah Azza wa Jalla yang mereka kumpulkan.[2]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin juga memasukkannya ke dalam
himpunan nama-nama Allah yang beliau kumpulkan dalam kitabnya al-Qawâ’id
al-Mutslâ Fî Shifâtillâh wa Asmâ’ihi al-Husnâ.
Menurut Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadiy, pensyarah
Sunan Abu Dawud, juga Mubarakfûriy- pensyarah Jâmi’ at-Tirmidzi, ma’na
Al-Qâbidh dan al-Bâsith ialah : Allah Maha Menyempitkan dan Maha
meluaskan rizki serta lainnya bagi siapa yang dikehendaki, menurut cara
yang dikehendaki dan kapanpun Dia kehendaki.[3]
Karena al-Qâbidh dan al-Bâsith merupakan nama Allah Azza wa Jalla , maka
sepantasnya setiap muslim mengenalnya dan memahami serta menghayati
maknanya. Yaitu bahwa setiap rizki dan setiap kemudahan dalam hal apa
saja, hanya datang dari Allah Azza wa Jalla. Begitu pula ketika
seseorang mengalami kesulitan, krisis rizki dan tidak mendapatkan
seperti yang diharapkannya, atau tidak mendapatkan kemudahan, semua itu
tidak lain hanya Allah-lah yang menetapkannya. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
:
اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ
Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. [ar-Ra’d/13:26]
وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Dan Allah menyempitkan serta melapangkan (rizki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. [al-Baqarah/2:245]
.
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ
Sesungguhnya Rabbmu melapangkan rizki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. [al-Isrâ’/17:30]
Dan masih banyak ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang menerangkan bahwa
Allah-lah yang melapangkan rizki atau menyempitkannya bagi siapa yang
Dia kehendaki.
Sepantasnya pula, setiap muslim menjaga, menghormati dan berdoa kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebut atau mengingat nama itu sesuai
dengan tuntutan maknanya, baik doa dalam arti memohon maupun doa dalam
arti melakukan peribadatan-peribadatan lain. Sebab doa memiliki dua
pengertian, pertama : memohon dan kedua : melakukan peribadatan selain
memohon, seperti berdiri atau duduk dalam shalat atau dzikir-dzikir yang
tidak bersifat meminta.[4]
Artinya, ketika seseorang memohon agar Allah Azza wa Jalla memberikan
kemudahan dan kelapangan hidup yang baik, bersih dan halal serta
menjauhkannya dari kesulitan rizki, maka tidak ada salahnya kalau ia
menyebut-nyebut nama al-Qâbidh dan al-Bâsith.
Atau ketika menjalani kehidupan, baik dalam keadaan sempit maupun dalam
keadaan lapang, ia selalu tetap konsisten beribadah kepada Allah, sebab
ia selalu ingat bahwa di antara nama Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah nama al-Qâbidh dan
al-Bâsith. Di saat lapang ia ingat bahwa kelapangan yang diperolehnya
semata karena Allah yang bernama al-Bâsith. Sehingga ia semakin
bersemangat dalam beribadah, semakin bersyukur atas segala karuniaNya
dan semakin bersemangat memohon kelapangan rizki yang halal. Pada saat
yang sama ia pun menyadari dan siap jika suatu ketika Allah menyempitkan
rizki baginya karena Allah adalah al-Qâbidh, sehingga ia tidak kaget.
Maka di saat ia benar-benar dalam keadaan sempit, ia bersabar,
bertawakkal dan banyak memohon pertolongan kepada Allah. Ia tetap yakin
bahwa Allah yang bernama al-Qâbidh dan al-Bâsith, suatu ketika akan
melepaskannya dari kesempitan yang menimpanya dan dengan itu ia juga
mengharapkan pahala dari Allah.
Dan apabila selalu demikian keadaannya, berarti ia telah merealisasikan
perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terdapat dalam firmanNya:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah Asma-ul Husna (nama-nama yang sangat indah), maka
berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu. [al-A’râf/7:180]
Berarti ia telah berdoa, dalam arti seluas-luasnya kepada Allah,
meliputi doa permohonan dan doa peribadatan lain, dengan menyebut atau
mengingat nama-nama Allah sesuai dengan tuntutan maknanya. Wallahu
A’lam.
Yang tidak kalah pentingnya, tidak mendendangkan Asmâ’ul Husnâ dalam
lagu-lagu dan main-main, apalagi dalam suasana ikhtilâth (campur) antara
laki-laki dan perempuan. Tetapi dengan sungguh-sungguh, khusyu’ dan
tawadhu’.
Dan tidak harus pula menyebutkan Asmâ’ul husnâ itu secara
keseluruhan sebanyak sembilan puluh sembilan nama secara berurutan.
Sebab tidak ada nash yang shahih yang menyebutkan sembilan puluh
sembilan nama itu secara berurut. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin
rahimahullah mengatakan: “Tidak benar adanya penentuan urut-urutan
nama-nama Allah ini dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits yang
diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam tentang penentuan urut-urutan ini lemah”.[5]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Shahîh Sunan Abi Dawud, Maktabah al-Ma’arif – Riyâdh, II/361,
no. 3451, Kitab al-Buyû’, Bab fi at-Tas’îr; Shahîh Sunan at-Tirmidzi,
Maktabah al-Ma’arif – Riyâdh, II/60, no. 1314, Kitab al-Buyû’, Bab Mâ
Jâ’a fi at-Tas’îr, dan Shahîh Sunan Ibnu Majah, Maktabah al-Ma’ârif –
Riyâdh, II/222, no. 1801 – (2230), Kitab at-Tijârât, Bab Man Kariha an
Yusa’ir.
[2]. Seperti yang dinyatakan oleh Syaikh Muhammad bin Khalifah at-Tamîmi
dalam Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fî Asmâ’i Allah al-Husnâ.
Penerbit: Adhwâ’ as-Salaf – Riyâdh, Cet. I – 1419 H/1999 M. hal. 143 dan
160.
[3]. Lihat ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abi Dawud, ma’a Ta’lîqât al-Hâfizh
Ibnu al-Qayyim. Takhrîj al-Ahâdîts: ‘Isham ash-Shabâbithiy. Dâr
al-Hadîts, Kairo, VI/308, no. 3448, Kitab al-Buyû’, bab Fi at-Tas’îr,
dan Tuhfah al-Ahwadziy Bi Syarh Jâmi’ at-Tirmidziy, wa ma’ahu Syifâ’ul
Ghalal fî Syarh Kitab al-‘Ilal, Daar al-Fikr – Beirut, Libanon – 1424
H/2003 M, IV/448-449, no. 1314, Kitab al-Buyû’, Bab Mâ Jâ’a fi
at-Tas’îr.
[4]. Lihat pengertian ini dalam kitab al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî
Shifâtillah wa Asmâ’ihi al-Husnâ, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih
al-Utsaimîn rahimahullah, Tahqîq wa Takhrîj Ahâditsihi: Asyraf bin Abdul
Maqshud bin Abdur Rahîm, Maktabah as-Sunnah – Kairo, cet. I- 1411
H/1990 M, hal. 7 – Muqaddimah al-Mu’allif.
[5]. Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah dalam kitab al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillah wa Asmâ’ihi
al-Husnâ, karya , Tahqîq wa Takhrîj Ahâditsihi: Asyraf bin Abdul
Maqshud bin Abdur Rahîm, Maktabah as-Sunnah – Kairo, cet. I- 1411 H/1990
M, hal. 17 - 18 – Wallahu al-Musta’aan
Syarah Nama Allah, Asy Syakur
.Oleh:
Ust. DR. Ali Musri Semjan Putra
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, shalawat dan salam untuk nabi
terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, yaitu Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga, semoga shalawat dan salam
terlimpahkan kepada keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang
tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Pada kesempatan kali ini, kita akan melanjutkan pembahasan seputar makna
dari nama-nama Allah yang indah lagi mulia. Kemudian kita mencoba
memetik berbagai pelajaran dari nama-nama Allah tersebut.
Di antara nama-nama Allah kita pilih kali ini, yaitu nama Allah,
"asy-Syakûr". Landasannya, ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
... Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. [asy-Syûra/42:23].
Nama Allah yang mulia ini terulang dalam dalam Al-Qur'an sebanyak empat
kali.[1] Secara etimologi, kata Asy-Syakûr, dalam bahasa Arab berarti:
Kata asy-Syakûr berbentuk mubâlaghah (menunjukan kebersangatan). Maka
Allah adalah Dzat Yang Maha Mensyukuri (yang memiliki kesempurnaan
mutlak dalam membalas amal kebaikan). Dan bila dinisbatkan kepada
manusia, maka ia adalah seseorang yang teramat sangat bersungguh-sungguh
dalam mensyukuri Rabbnya dengan ketaatan, dan melakukan apa yang
ditugaskan Rabb tersebut kepadanya dari berbagai bentuk ibadah.[2]
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Nuh Alaihissallam.
إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا
... Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. [al-Isrâ`/17:3].
Dari ayat di atas, kita dapat melihat bahwa nama asy-Syakûr juga
diberikan Allah kepada makhluk yang paling banyak bersyukur.[3] Lalu,
bagaimanakah perbedaan di antara keduanya?
Oleh karena itu, berikut ini terlebih dahulu perlunya penjelasan untuk
menjawab pertanyaan di atas. Setelah itu, penjabaran secara luas makna
"asy-Syakûr" sebagai salah satu dari nama Allah yang mulia.
PERBEDAAN ANTARA SIFAT ALLAH DENGAN SIFAT MAKHLUK KETIKA SAMA DALAM PENYEBUTAN NAMA
Asy-Syakûr sebagai salah satu dari nama Allah adalah Dzat Yang Maha
Sempurna dalam membalas amalan hamba-Nya dan menumbuhkembangkan amalan
para hamba meskipun amalan tersebut sedikit, lalu Dia melipatgandakan
pahala bagi mereka. [4]
Walaupun ada kesamaan dari segi lafazh nama antara sifat hamba dengan
sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi hakikat makna dari
masing-masing nama tersebut sangat jauh berbeda, sebagaimana perbedaan
antara Allah itu sendiri dengan makhluk-Nya. Kesamaan disini hanya dalam
bentuk nama atau lafazh kata saja, dan tidak dalam segi makna secara
keseluruhan. Sebagaimana terdapat dalam sifat-sifat yang lainnya ada
kesamaan dalam bentuk lafazh nama, namun tidak sama dalam segi hakikat
makna secara keseluruhan.
Sebagaimana Allah bersifat hidup (al-Hayyu), maka demikian pula makhluk
juga bersifat hidup, tetapi hidup Allah tidak sama dengan hidup makhluk.
Hidup Allah tidak membutuhkan makan dan minum. Adapun sifat hidup
makhluk membutuhkan makan dan minum serta memiliki berbagai kekurangan,
seperti sakit, capek, letih, haus, lapar dan seterusnya. Hidup Allah
Azza wa Jalla tidak diawali dengan ketiadaan ('adam), dan tidak pula
diakhiri dengan kematian (al-fanâ`). Adapun hidup makhluk, ia diawali
dengan ketiadaan dan diakhiri oleh kematian. Sebagaimana terdapat dalam
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ الَّذِي لَا
إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الَّذِي لَا يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالْإِنْسُ
يَمُوتُونَ متفق عليه .
Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallamberdoa: "Aku berlindung dengan keperkasaan
Engkau yang tiada berhak disembah kecuali Engkau, Dzat yang tidak akan
pernah mati. Sedangkan jin dan manusia akan mati." [HR Bukhâri dan
Muslim]
Dalam sabda yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru:
اللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ رواه مسلم.
Ya, Allah. Engkaulah Yang pertama, tiada sesuatupun sebelum Engkau. Dan
Engkaulah yang terakhir, tiada sesuatupun setelah Engkau. [HR Muslim].
Hidup Allah sangat sempurna dari segala segi, adapun hidup makhluk penuh
dengan berbagai kekurangan. Allah adalah Dzat Yang Maha Hidup Sempurna,
sebagaimana Allah menyebutkan dalam firman-Nya:
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ
Allah, tidak ada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha
Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak pernah
ditimpa rasa ngantuk dan tidak pula tidur. [al-Baqarah/2:255].
Demikianlah, kita mengimani seluruh sifat-sifat Allah. Kita tidak boleh
menyerupakan Allah dengan makhluk. Kita juga tidak boleh mengingkari
nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla , yang Dia tetapkan untuk
diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits-hadits beliau, dengan berlandaskan pada perkataan Allah:
:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
... Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42:11].
Dalam ayat di atas ditegaskan, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Allah. Sebagian orang memahami ayat tersebut bahwa Allah tidak memilki
sifat-sifat lantaran ada kesamaan dalam penamaan dengan sifat-sifat
makhluk. Anggapan tersebut bertentangan dengan penggalan akhir dari
ayat. Dalam hal ini Allah mengatakan "Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat", sedangkan manusia juga mendengar dan melihat sebagaimana Allah
sebutkan dalan firman-Nya:
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang
bercampur, Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), maka
Kami jadikan dia mendengar dan melihat. [al-Insân/76:2].
Dari sini, kita dapat memahami bahwa Allah Azza wa Jalla memilki
sifat-sifat sempurna sekalipun sifat-sifat tersebut terdapat pada
sebahagian mahkluk, namun maknanya tidak sama dengan makna sifat-sifat
Allah. Seandainya yang dimaksud dalam ayat yang lalu menafikan sifat,
tentu konteksnya tidak sebagaimana tersebut di atas. Pasti Allah
langsung menafikan bahwa Dia tidak memiliki sifat. Jadi, yang dinafikan
ialah kesamaan makna sifat, bukan sifatnya; meskipun dalam penamaan
sifat tersebut ada kesamaan dengan sifat makhluk.
Hal ini dapat terima oleh akal, fakta dan agama. Sesuatu yang sama dalam
penyebutan nama, namun kualitas dan kuantitas bisa berbeda. Dalam
kehidupan sehari-hari, sanyat banyak nama yang sama namun berbeda bentuk
dan kualitasnya.
Sebagai contoh, manusia memiliki sifat melihat, kucing pun memiliki
sifat melihat. Tetapi penglihatan manusia dengan penglihatan kucing
tidak sama. Manusia tidak bisa melihat pada waktu malam tanpa cahaya.
Adapun kucing bisa berjalan pada malam hari meskipun tanpa cahaya.
Jika sifat sesama makhluk saja tidak sama dalam hakikat kualitas makna,
meskipun sama dalam segi penamaan, yaitu penglihatan. Maka kepastian
perbedaan antara sifat Allah Yang Maha Sempurna dengan sifat makhluk,
tentu jauh lebih pasti, meskipun sama dari segi lafazh nama.
Yang membedakan makna adalah, kemana sifat tersebut disandarkan, maka
sifat tersebut memiliki makna dan bentuk sesuai dengat dzat tempat
disandarkannya (digabungkan). Sehingga jangan dipahami, ketika menyebut
tetang sifat Allah digambarkan seperti sifat makhluk. Sebagaimana kita
tidak memahami tentang telinga gajah seperti telinga kodok atau telinga
manusia, meskipun sama-sama disebut telinga.
Sifat-sifat akan berbeda sesuai dengan dzat masing-masing sifat
tersebut. Bahkan pada dzat yang sama, ternyata sifat yang dimilikinya
bisa berbeda. Seperti sifat pendengaran manusian, tidak sama antara satu
dengan yang lainnya. Ada yang dapat mendengar dengan jarak cukup jauh,
dan sebaliknya ada yang tidak bisa mendengar kecuali dengan alat bantu.
Namanyapun tetap disebut pendengaran. Bahkan sifat bisa berubah-rubah
kualitas dan frekuwensinya pada satu dzat. Misalnya, pendengaran
seseorang ketika berumur lima tahun, tidak sama ketika ia telah berumur
lima puluh tahun.
Demikian halnya dalam mengimani segala sifat-sifat Allah yang terdapat
dalam Al-Qur`ân dan hadits-hadits yang shahîh. Allah Azza wa Jalla
memiliki sifat-sifat yang sempurna sesuai dengan keagungan dan kebesaran
Allah itu sendiri tidak seperti sifat-sifat makhluk.
Setelah memahami adanya perbedaan antara sifat yang disandarkan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat yang disandarkan kepada makhluk
meskipun ada kesamaan dalam segi lafazh penamaannya, maka berikut ini
adalah penjelasan makna nama Allah "asy-Syakûr" yang menjadi topik
bahasan kali ini.
PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH "ASY-SYAKÛR"
Jika kita memperhatikan konteks ayat-ayat yang menyebutkan tentang nama
Allah "asy-Syakûr", penyebutannya selalu berada setelah menyebutkan
tentang anjuran untuk melakukan amal-amal shalih dan balasannya. Oleh
karena itu, nama tersebut sangat erat hubungannya dengan amal shalih dan
balasannya.
Untuk lebih jelasnya, kita simak ayat-ayat tersebut pada berikut ini.
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ
وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ
تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ
فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan
shalat dan menafkahkan sebahagian dari rizki yang Kami anugerahkan
kepada mereka dalam bentuk tersembunyi dan terang-terangan, mereka
mengharapkan perniagaan yang tidak akan pernah merugi. Allah akan
menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Mensyukuri. [Fâthir35/:29-30].
Dalam ayat di atas, nama Allah "Asy-Syakûr" disebutkan setelah
menyebutkan tentang balasan bagi orang-orang yang beramal shalih,
seperti membaca Al-Qur`ân, mendirikan shalat dan berinfaq; baik dalam
keadaan tersembunyai maupun secara terang-terangan. Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberikan kepada mereka balasan yang sempurna. Bahkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala menambah karunia-Nya kepada mereka sebagai tambahan
atas pahala amalan mereka tersebut. Lalu ayat yang mulia tersebut
ditutup dengan nama Allah "asy-Syakûr". Dari sini, dapat kita pahami
bahwa balasan yang diberikan kepada mereka merupakan aplikasi dan
pembuktian tentang makna dari nama Allah "asy-Syakûr" (Maha Sempurna
dalam membalas budi).
Bentuk-bentuk dari kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam membalas
amal shalih yang dikerjakan hamba tergambar dalam berbagai bentuk.
-
Di antara makna "asy-Syakûr", yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima
amalan sedikit yang dikerjakan oleh hamba-Nya dan tidak
menyia-nyiakannya walau sekecil apapun.
Sebagai bukti bahwa Allah Maha Sempurna dalam membalas amalan hamba-Nya,
yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menyiakan-nyiakan amalan
hamba-Nya, walau sekecil apapun amalan tersebut. Sebagaimana Allah
menyebutkan dalam firman-Nya:
.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak menzhalimi (seseorang) walaupun sebesar
dzarrah, dan jika ada satu kebajikan, niscaya Allah akan melipat
gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.
[an-Nisâ`/4:40].
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
:
أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ
... Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal
di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan. [Ali 'Imran/3:195].
Dan masih banyak ayat lain yang senada dengan kandungan ayat-ayat di
atas.[5] Oleh sebab itu, kita jangan merasa malu untuk melakukan
amal-amal shalih meski hanya sedikit menurut pandangan manusia. Demikian
pula, tidak boleh meremehkan amalan seseorang walau sedikit, karena di
sisi Allah tetap memiliki nilai sebagai amal shalih yang mungkin
pahalanya bisa berlipat ganda. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ لِيَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ
شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ رواه مسلم.
Berkata Abu Dzar Radhiyallahu anhu : berkata kepadaku Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam: "Janganlah engkau meremehkan sedikitpun dari
kebaikan, sekalipun ketika engkau berjumpa saudarmu dengan wajah
berseri". HR Muslim]
Dalam sabda yang lain beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyatakan pula:
عَنْ عَدِي بْنِ حَاتِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : اتَّقُوا النَّارَ
وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ شِقَّ تَمْرَةٍ فَبِكَلِمَةٍ
طَيِّبَةٍ رواه البخاري ومسلم.
Dari 'Adi bin Hatim Radhiyallahu anhu , ia berkata: Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Takutlah kamu dengan
api neraka walau (bersedekah) dengan sebelah buah kurma. Jika kamu
tidak mendapati sebelah buah kurma, maka dengan perkataan yang baik".
[HR Bukhâri dan Muslim].
Sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan, Allah Subhanahu wa Ta’ala
pasti akan memperlihatkan balasan-Nya kepada kita, sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. [al-Zalzalah/99:7].
-
Di antara makna "Asy Syakûr" pula, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji hamba yang taat dan beramal shalih kepada-Nya.
Sebagai bukti atas kesempurnaan Allah dalam membalas amalan para
hamba-Nya, yaitu Allah memuji hamba-hamba yang tunduk dan patuh
kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menggambarkan kepada makhluk
tentang ibadah dan perjuangan mereka.
Dalam Al-Qur`ân banyak ayat-ayat yang memuji makhluk yang taat dan
tunduk kepada Allah, baik dari golongan para malaikat, jin, maupun
manusia dari para nabi dan rasul serta pengikut-pengikut mereka.
Berikut ini adalah pujian Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para
malaikat. Mereka adalah makhluk yang tidak pernah melanggar perintah
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka mengerjakan segala apa yang
diperintahkan kepada mereka:
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
..... Mereka tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan kepada mereka. [at-Tahrîm/66:6]
بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ
... Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang
dimuliakan, mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka
mengerjakan perintah-perintah-Nya. [al-Anbiyâ`/21:26-27].
Begitu pula pujian Allah kepada para nabi dan rasul, mereka adalah
orang-orang yang telah diberi petunjuk dan dipilih Allah. Apabila
dibacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, maka mereka tersungkur bersujud
dan menangis. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya,
yang artinya: Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail
(yang tersebut) di dalam Al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang
benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh
ahlinya untuk (menegakkan) shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah
seorang yang diridhai di sisi Rabbnya. Dan ceritakanlah (hai Muhammad
kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur`an.
Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.
Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. Mereka itu adalah
orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari
keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan
dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami
beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah
Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka tersungkur bersujud dan
menangis. [Maryam/:54-58].
Demikian pula pujian Allah terhadap para sahabat, bahwa mereka bersikap
keras tarhadap musuh-musuh Allah, tetapi berkasih sayang terhadap sesama
muslim. Mereka orang-orang yang banyak ruku' dan sujud dalam mencari
nia dan keridhaan Allah, sehingga memberi bekas pada wajah mereka.
Mereka bagaikan pohon yang berdaun rindang, akarnya menghujam ke bumi
dan dahannya menjulang ke langit. Allah menjanjikan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar.
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya
maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan
tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang
kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar. [al-Fath/:29].
- Di antara makna "asy-Syakûr" pula, bahwasanya amalan yang sedikit akan senantiasa bertambah dan berkembang di sisi Allah.
Di antara bentuk kesempurnaan Allah dalam membalas amal baik dari
makhluk, yaitu senantiasa berkembang dan bertambahnya pahala amalan
tersebut di sisi Allah. Disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
ayat berikut:
وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan
pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Mensyukuri. [asy-Syûrâ/42: 23].
Demikian pula disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا تَصَدَّقَ أَحَدٌ بِصَدَقَةٍ مِنْ طَيِّبٍ
وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ إِلَّا أَخَذَهَا الرَّحْمَنُ
بِيَمِينِهِ وَإِنْ كَانَتْ تَمْرَةً فَتَرْبُو فِي كَفِّ الرَّحْمَنِ
حَتَّى تَكُونَ أَعْظَمَ مِنَ الْجَبَلِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ
فَلُوَّهُ أَوْ فَصِيلَهُ
رواه مسلم.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam: "Tidak seorangpun bersedekah dari yang baik -dan
Allah tidak menerima kecuali yang bailk- melainkan Allah ambil dengan
tangan kanan-Nya, sekalipun sebiji kurma, maka ia akan semakin membesar
di tangan Allah. Sehingga ia akan menjadi lebih besar dari gunung,
sebagaimana salah seorang kalian memelihara anak kuda atau anak onta."
[HR Muslim].
-
Begitu juga di antara makana "asy-Syakûr", yaitu Allah memberi balasan
pahala terhadap sebuah amalan dengan pahala yang berlipat ganda, sampai
tujuh ratus kali lipat dan bahkan berkali-kali lipat lagi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah
melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha
Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun. [at-Taghâbun/64:17].
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan
(pahala) kepadanya dengan lipat ganda yang banyak…. [al-Baqarah/2:245].
Hal ini juga disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ
كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ
بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً
كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ
عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ
كَثِيرَةٍ
متفق عليه.
Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallamtentang apa yang diriwayatkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari Robbnya: "Sesungguhnya Allah telah menulis segala kebaikan
dan kejelekan. Kemudian Allah menjelaskan yang demikian. Barang siapa
yang berencana melakukan sebuah kebaikan lalu ia tidak melakukannya,
maka Allah telah menuliskan baginya satu kebaikan di sisi Allah. Jika ia
berencana melakukan sebuah kebaika lalu dikerjakannya, maka Allah
menuliskan di sisi-Nya untuk orang tersebut sepuluh kebaikan sampai
tujuh ratus kali lipat, hingga berkali-kali lipat yang banyak". [HR
Bukhâri dan Muslim].
-
Demikian pula di antara makna "asy-Syakûr", yaitu Allah Subhanahu wa
Ta’ala menambah pahala secara berlipat-lipat tersebut dengan karunia
yang berlipat ganda pula.
Allah Yang Maha Mesyukuri perbuatan amal shalih hamba yang sedikit
dengan balasan berlipat-lipat. Amalan yang dilakukan beberapa hari saja
ketika di dunia dibalas oleh Allah Azza wa Jalla dengan kenikmatan yang
kekal abadi, yaitu surga dengan segala nikmat yang terdapat di dalamnya.
Jika kita bandingkan nikmat yang diberikan Allah kepada kita dengan
amal shalih yang kita lakukan, tentu tidak ada perbandingannya sama
sekali. Bahkan amal shalih itu sendiri dapat kita lakukan juga karena
berkat rahmat Allah. Semua alat dan fasilitas yang kita gunakan adalah
milik Allah.
Karena itulah para penghuni surga memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala
ketika mereka menikmati balasan amalan mereka serta karunia yang
diterimanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana terdapat dalam
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ
ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا ۖ وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ وَقَالُوا الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ ۖ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ
شَكُورٌ
(Bagi mereka) surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka
diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas, dan dengan mutiara, dan
pakaian mereka di dalamnya adalah sutera. Dan mereka berkata: "Segala
puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami.
Sesungguhnya Rabb kami benar-benar Maha Pengampum lagi Maha Mensyukuri".
[al-Fâthir/35:33-34].
Bahkan nikmat yang terdapat dalam surga tersebut senantiasa bertambah
setiap saat. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya:
لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ
Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya. [Qâf/50:35].
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya .... [Yunus/10:26].
Maka nikmat yang mereka terima ketika di surga tersebut, jika
dibandingkan dengan amalan mereka, sungguh tidak ada bandingannya sama
sekali. Jangankan untuk membeli surga dengan amalan mereka. Fasilitas
dan rizki yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai sarana
beramal kepada Allah, semua itu tidak akan pernah bisa ditebus dengan
amalan mereka. Maka surga semata-mata karunia Allah Azza wa Jalla kepada
para hamba-Nya. Oleh sebab itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا
عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا
وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ متفق
عليه
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa ia mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Seseorang tidak akan
masuk surga karena amalannya (semata)". Sahabat bertanya: "Termasuk
engkau, ya Rasulullah?" Beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab:
"Termasuk aku, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
kepadaku". [HR Bukhâri dan Muslim].
Jadi, surga tidak dapat dibeli atau tukar dengan amalan kita, tetapi
surga semata rahmat dan karunia dari Allah kepada orang-orang beramal
sholeh. Kita mendapat rahmat karena kita mau beramal sholeh. Jika tidak,
maka kita termasuk orang yang tidak berhak mendapat rahmat Allah.
-
Makna nama Allah "asy-Syakûr" menunjukkan kesempurnaan yang mutlak bagi Allah dalam membalas amal shalih para hamba-Nya.
Hal tersebut menjadi semakin jelas, ketika nama "asy-Syakûr" berpaparan
dalam satu ayat dengan nama-nama Allah yang lain. Seperti nama Allah
"asy-Syakûr" bergandengan dalam satu ayat dengan nama Allah "al-Ghafûr".
Sebagaimana dalam firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.... [asy-Syûrâ/42:23].
Hal ini terdapat dalam tiga tempat dalam Al-Qur`an, yang lainnya dalam
surat Faathir/ ayat 30 dan 34. Dan pada kali yang lain, nama Allah
"asy-Syakûr" bergandengan dalam satu ayat dengan nama Allah "al-Halîm".
Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
.
إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah
melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha
Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun. [at-Taghâbun/64:17].
Para ulama menjelaskan penggandengan kedua nama tersebut memiliki
hubungan makna dari kedua nama yang bergandengan tersebut. Dalam hal
ini, makna tersebut tidak diperoleh saat nama-nama itu disebutkan secara
tersendiri. Maka di antara penjabaran makna "asy-Syakûr" ketika
berdampingan dengan nama Allah "al-Ghafûr", bahwasanya di antara bentuk
balasan amal shalih ialah pengampunan terhadap dosa-dosa dan kesalahan
pelakunya. Sehingga amal baik akan menghapus amalan jelek. Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ
... Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. [Hûd/11:114].
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ
Allah mengganti kejahatan mereka dengan kebajikan. [al-Furqân/25:70].
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu
(dosa-dosamu yang kecil)… . [an-Nisâ`/4:31].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ
وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ
بِخُلُقٍ حَسَنٍ رواه الترمذي وقال: "حديث حسن صحيح
Berkata Abu Dzar Radhiyallahu anhu : Telah bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Bertakwalah kepada Allah dimanpun kamu
berada dan ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik, niscaya ia
akan menghapus (dosa) perbuatan jelek tersebut, serta pergaulilah
manusia dengan akhlak yang baik". [HR Tirmidzi, dan ia berkata: "Hadits
ini hasan shahîh"].
BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL DARI NAMA ALLAH "ASY-SYAKÛR"
Berikut ini beberapa faidah atau pelajaran yang bisa diambil dari makna
nama Allah "asy-Syakûr". Dan inilah tujuan sesungguhnya bagi seorang
muslim dalam mengetahui nama-nama Allah tersebut. Pengetahuan dan
pemahaman tersebut memberikan bekas dan pengaruh kepada iman dan ibadah
serta akhlak dalam kehidupannya sehari-hari.
Dengan memahami makna nama Allah "asy-Syakûr" akan menumbuhkan sifat-sifat yang mulia dalam diri seorang muslim, di antaranya:
1. Mewajibkan kita agar menyerahkan segala bentuk ibadah semata-mata
hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , jika kita mengharapkan balasan
yang berlipat ganda dari Allah. Adapun ibadah kepada selain Allah, baik
kepada para malaikat, para nabi dan wali; merekapun mengharapkan pahala
dari Allah. Jadi, sedikitpun tidak sepantasnya kita memberikan ibadah
kepada mereka. Mereka tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk memberi
balasan pahala kepada sesama makhluk. Ibadah dan perbuatan baik yang
akan diberi pahala oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah ibadah yang
semamta-mata ditujukan kepada Allah saja, serta ibadah yang tidak
dicampuri sedikitpun oleh noda-noda kesyirikan. Sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang artinya : Dan sesungguhnya telah diwahyukan
kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu berbuat
syirik, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk
orang-orang yang merugi." (Qs. az-Zumar/39:65).
Sebagaimana juga dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsi:
:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ
فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ رواه مسلم.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: "Allah berkata: 'Aku, sedikitpun tidak
membutuhkan kepada sekutu. Barang siapa yang beramal mempersekutukan Aku
di dalamnya dengan selain-Ku, (maka) Aku tinggalkan dia dan
kesyirikannya". [HR Muslim].
2. Memotivasi kita agar semangat dalam berbuat baik, sekalipun menurut
pandangan manusia kebaikan itu hanya sedikit. Karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan menerima amal baik walau hanya sebesar biji dzarrah
sekalipun. Jika amal sedikit tetap mendapat pahala, tentu amalan yang
besar akan semakin besar pula pahalanya. Balasan amal baik yang
diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala amat beragam bentuknya, sebagaimana
telah kita simak dalam penjelasan makna nama Allah "asy-Syakûr". Banyak
amalan yang ringan, tetapi memiliki nilai yang berat di sisi Allah.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى
اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ
سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
متفق عليه.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: "Dua kalimat amat ringan diucapkan, amat
berat dalam timbangan, amat dicintai oleh Allah, yaitu
'Subhânallahil-'Azhîm, Subhânallahi wa bi-Hamdih". [HR Bukhâri dan
Muslim].
3. Menumbuhkan rasa syukur yang tinggi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
atas segala limpahan rahmat-Nya yang tidak terhingga. Syukur seorang
hamba terdiri atas tiga hal, dan ia belum bersyukur secara sempurna
kecuali dengan ketiga hal itu. Pertama, pengakuan bahwa seluruh nikmat
datang dari Allah semata. Kedua, memuji Allah atas segala nikmat yang
diberikan-Nya. Ketiga, memanfaatkan kenikmatan itu untuk mencari
keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Demikian juga, Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan menambah nikmat-nikmat yang lain serta menjaga nikmat yang
telah diberikan kepada kita bila senantiasa bersyukur kepada Allah.
Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencabut berbagai nikmat yang
kita terima, jika kita kufur terhadap nikmat-nikmat Allah. Sebagaimana
Allah menyebutkan dalam firman-Nya:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan ingatlah ketika Rabbmu memberitahukan: "Jika kamu besyukur, sungguh
Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan tetapi jika kamu mengkufuri
(nikmat tersebut) sesungguhnya adzab-Ku amat pedih”. [ Ibrâhîm/14:7].
4. Menumbuhkan sifat hormat dan taat kepada orang tua, karena hal
tersebut termasuk dalam bentuk syukur kepada Allah. Sebagaimana Allah
memerintahkan dalam firman-Nya:
:
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
…Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. [Lukman/31:14].
Dalam beberapa ayat Al-Qur`ân, perintah berbuat baik kepada kedua orang
tua selalu dinyatakan setelah hak Allah. Ini menunjukkan betapa besar
hak orang tua atas anak-anak mereka. Orang yang tidak berterima kasih
kepada kedua orang tuanya, seakan-akan ia belum bersyukur kepada Allah.
Betapa besar jasa orang tua, jika kita merenungkan sejenak tentang
pengorbanan dan kesusahan mereka dalam mendidik anak-anaknya. Jalan
terbaik untuk membalas jasa mereka, ialah menjadi anak yang shalih, dan
senantiasa mendoakan mereka.
5. Menumbuhkan sikap suka berterima kasih dan membalas budi dalam diri
kita kepada orang yang berbuat kebaikan kepada kita, sekalipun hanya
berupa doa. Hal tersebut termasuk dalam bentuk syukur kepada Allah.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ " لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ
النَّاسَ ".
رواه أبو داود والترمذي. وقال الترمذي: هذا حديث حسن صحيح. وقال الشيخ الألباني : صحيح
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda: "Tidak bersyukur kepada Allah orang yang
tidak berterima kasih kepada manusia". [HR Abu Dawud dan Tirmidzi. Dan
Tirmidzi berkata: "Hadits ini hasan shahîh". Juga dishahîhkan oleh
Syaikh al-Albâni].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا
فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَ بِهِ فَادْعُوا لَهُ
حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ رواه أبو داود والنسائي.
وقال الشيخ الألباني : صحيح
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma , bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang berbuat baik kepadamu,
maka hendaklah kamu membalasnya. Jika kamu tidak mendapati sesuatu untuk
membalasnya, maka doakanlah dia, sampai kamu melihat bahwa kamu sudah
membalasnya". [HR Abu Dawud dan Nasâ`i, dishahihkan oleh Syaikh
al-Albâni]
Demikianlah, pembahasan tentang nama Allah "asy-Syakûr". Semoga Allah
menjadikan kita sebagai orang-orang yang senang bersyukur, berbuat baik
kepada kedua orang tua, dan terbiasa berterima kasih dan membalas budi
kepada orang yang berbuat baik kepada kita. Wallahu a'lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Qs. Fâthir ayat 30 dan 34, dan at-Taghâbun ayat 17.
[2]. Lisanul-'Arab, 4/424, 425.
[3]. Hal ini terdapat dalam banyak ayat. Lihat Qs. Ibrâhîm ayat 5, Lukman ayat 31, Saba` ayat 19, dan lain-lain.
[4]. An-Nihayah fi Gharîbil-Hadits (2/493) dan 'Uddatush-Shâbirîn (240).
[5]. Lihat Qs. Ali 'Imrân/3 ayat 171, at-Taubah/9 ayat 120, dan lain-lain.
Al Ghaniy, Maha Kaya
.Oleh:
Ust. Ahmas Faiz Asifuddin
Al-Ghaniy merupakan salah satu nama Allah Azza wa Jalla yang sangat
indah. Keindahannya terletak pada nama dan makna-Nya. Nama ini,
sebagaimana nama-nama Allah Azza wa Jalla lainnya, juga menunjukkan
sifat kesempurnaan bagi Allah Azza wa Jalla , yaitu Kesempurnaan yang
tidak mengandung unsur kelemahan sedikitpun ditinjau dari semua
sudutnya.
Para ulama yang menghimpun nama-nama Allah Azza wa Jalla , mencantumkan nama ini di dalam kitab mereka.[1]
Imam al-Baihaqi (wafat th.458 H) memasukkannya ke dalam bab nama-nama
Allah Azza wa Jalla yang penekanannya meniadakan penyerupaan antara
Allah Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya.[2] . Sebagai dalil bahwa
al-Ghaniy merupakan nama Allah Azza wa Jalla . beliau membawakan firman
Allah Azza wa Jalla :
وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ
Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya). [Muhammad/ 47:38].
Selanjutnya, beliau rahimahullah membawakan perkataan al-Hulaimi tentang
makna nama al-Ghaniy, yaitu: Bahwa Allah Azza wa Jalla Maha sempurna
dengan apa yang Dia miliki dan apa yang ada disisi-Nya, Sehingga Dia
tidak butuh kepada selain-Nya. Sifat tidak membutuhkan inilah yang
menjadi sifat Allah Azza wa Jalla , dan sifat membutuhkan adalah sifat
kekurangan. Seseorang yang membutuhkan adalah seseorang yang memerlukan
apa yang dibutuhkannya hingga dapat ia capai dan ia raih.
Sementara itu, pihak yang dibutuhkan pasti memiliki kelebihan
dibandingkan pihak yang membutuhkan. Jadi, segala sifat kurang tidak
pernah ada pada Allah Azza wa Jalla dzat Yang Maha Qadîm (Maha
terdahulu). Sifat lemah tidak pernah ada pada-Nya, dan tidak ada
siapapun yang dapat melebihi Allah Azza wa Jalla . Segala sesuatu selain
Allah Azza wa Jalla adalah makhluk yang diciptakan dan diadakan
oleh-Nya, mereka tidak memiliki kewenangan apapun atas dirinya, kecuali
menurut apa yang dikehendaki dan diatur oleh Allah Azza wa Jalla . Oleh
karena itu, tidak boleh dibayangkan bahwa selain Allah Azza wa Jalla
masih ada yang berpeluang memiliki kelebihan atas Allah Azza wa
Jalla.[3]
Di tempat lain, Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam menafsirkan ayat di
atas mengatakan: “Allah Azza wa Jalla Maha Kaya artinya, Allah Azza wa
Jalla tidak membutuhkan harta benda kalian”.[4]
Imam at-Thabari juga menyatakan tafsir yang senada dalam Kitab Tafsir-nya.[5]
Di samping ayat di atas, Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Dan sesungguhnya Allah Azza wa Jalla benar-benar Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [al-Hajj/ 22:64]
Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: " Maka Allah Azza wa Jalla
tidak membutuhkan sesuatupun dan Dia Azza wa Jalla Maha terpuji dalam
segala keadaan-Nya.[6]
Pada ayat yang lain Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَرَبُّكَ الْغَنِيُّ ذُو الرَّحْمَةِ
Dan Rabbmu Maha Kaya yang mempunyai sifat kasih sayang. [al-An’âm/ 6:133]
Imam al-Alûsi al-Baghdadi (wafat th.1270 H) menjelaskan: Arti ayat
tersebut ialah, tidak ada satupun yang kaya dalam segala sesuatu kecuali
Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla tidak membutuhkan hamba-Nya
dan tidak membutuhkan pula untuk ibadah hamba-Nya.[7]
Demikian pula yang dikatakan oleh Imam Syaukani rahimahullah. Beliau
rahimahullah mengatakan: Arti ayat tersebut adalah, Allah Azza wa Jalla
Maha kaya terhadap makhluk-Nya. Dia tidak membutuhkan mereka dan tidak
pula membutuhkan ibadah mereka. Iman mereka tidak memberi manfaat apapun
kepada Allah Azza wa Jalla dan kekafiran mereka juga tidak mendatangkan
madharat apapun kepada-Nya.[8]
Ini senada dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits qudsi, bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَاعِبَادِي! إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ
تَبْلُغُوْا نَفْعِي فَتَنْفَعُوْنِي. يَاعِبَادِي! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ
وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ
رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِي شَيْئًا.
يَاعِبَادِي! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ
وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَفْجَرِقَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا
نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا. رواه مسلم
Artinya : " Wahai para hambaKu! Sesungguhnya kalian tidak akan mampu
mencapai tingkat yang dapat membahayakanKu, dan tidak pula akan mampu
mencapai tingkat yang dapat memberi manfaat kepadaKu. Wahai para
hambaKu! Sesungguhnya jika makhluk pertama hingga makhluk terakhir dari
kalian, baik jin maupun manusia, semuanya menjadi satu hati yang paling
bertakwa di antara kalian, tidaklah yang demikian itu akan menambahkan
kekuasaanKu sedikitpun. Wahai para hambaKu! Sesungguhnya jika makhluk
pertama hingga makhluk terakhir dari kalian, baik jin maupun manusia,
semuanya menjadi satu hati yang paling jahat di antara kalian, tidaklah
yang demikian itu akan mengurangi kekuasaanKu sedikitpun". [Hadits Qudsi
Shahîh Riwayat Imam Muslim][9]
Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat th. 795 H) menjelaskan hadits Qudsi di atas sebagai berikut: [10]
Allah Azza wa Jalla :
يَاعِبَادِي! إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِي فَتَنْفَعُوْنِي
Artinya : " Wahai para hambaKu! Sesungguhnya kalian tidak akan mampu
mencapai tingkat yang dapat membahayakanKu, dan tidak pula akan mampu
mencapai tingkat yang dapat memberi manfaat kepadaKu."
Maknanya, para hamba Allah Azza wa Jalla tidak akan mampu menimpakan
madharat kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak akan mampu memberikan
manfaat kepada-Nya, sebab Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Yang Ghaniy
(Maha kaya) dan Maha terpuji. Dia tidak membutuhkan ketaatan-ketaatan
para hamba-Nya. Ketaatan para hamba tidak bermanfaat bagi Allah Azza wa
Jalla , tetapi merekalah yang mengambil manfaat dengan ketaatannya
kepada Allah Azza wa Jalla. Begitu pula, Allah tidak mengalami bahaya
apapun jika mereka durhaka kepada-Nya, tetapi merekalah yang akan
mengalami bahaya jika mereka durhaka kepada Allah Azza wa Jalla. Allah
Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ ۚ إِنَّهُمْ لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا
Janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang segera menjadi kafir;
sesungguhnya mereka tidak sekali-kali dapat memberi mudharat kepada
Allah Azza wa Jalla sedikitpun. [Ali-Imrân/ 3:176]
Kemudian firman Allah Azza wa Jalla dalam hadits Qudsi di atas:
يَاعِبَادِي! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ
وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا
زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِي شَيْئًا. يَاعِبَادِي! لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ
وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَفْجَرِقَلْبِ
رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا
Wahai para hambaKu! Sesungguhnya jika makhluk pertama hingga makhluk
terakhir dari kalian, baik jin maupun manusia, semuanya menjadi satu
hati yang paling bertakwa di antara kalian, yang demikian itu tidaklah
menambahkan kekuasaanKu sedikitpun. Wahai para hambaKu! Sesungguhnya,
jika makhluk pertama hingga makhluk terakhir dari kalian, baik jin
maupun manusia, semuanya menjadi satu hati yang paling jahat di antara
kalian, tidaklah yang demikian itu akan mengurangi kekuasaanKu
sedikitpun.
Hadits ini merupakan isyarat bahwa kekuasaan Allah Azza wa Jalla tidak
akan bertambah dengan ketaatan para hamba-Nya, meskipun semua berkumpul
menjadi orang bertakwa.. Demikian pula, kekuasaan Allah Azza wa Jalla
akan berkurang dengan kedurhakaan para hamba-Nya meskipun mereka semua,
baik jin maupun manusia, menjadi satu untuk durhaka kepada Allah Azza wa
Jalla. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Yang Ghaniy
(Maha Kaya), tidak membutuhkan apapun kepada selain-Nya. Dia memiliki
kesempurnaan yang mutlak, baik Dzat, sifat maupun
perbuatan-perbuatan-Nya. Kekuasaan Allah Azza wa Jalla adalah kekuasaan
sempurna yang tidak memiliki kekurangan sedikitpun, dalam semua seginya.
(Sampai di sini perkataan Ibn Rajab secara ringkas dan bebas).
Kemudian terkait dengan perintah Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah Azza wa Jalla lah Asmâ-ul Husnâ (nama-nama yang sangat
indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut/mengingat Asmâ-ul
Husnâ itu. [al-A’râf/ 7:180]
Maka, berdoa kepada Allah Azza wa Jalla dengan menyebut atau mengingat nama al-Ghaniyu meliputi dua bentuk :
Pertama : Jika yang dimaksud berdoa adalah memohon, misalnya, ketika
seseorang hendak memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar
kebutuhan-kebutuhan moral maupun materinya dipenuhi, hendaknya ia
terlebih dahulu menyebut nama al-Ghaniy.
Kedua : Jika yang dimaksud berdoa adalah beribadah secara umum, maka
hendaknya seseorang melakukan peribadatan kepada Allah Azza wa Jalla
dengan penuh kesadaran, penuh semangat, penuh rasa harap, dan dengan
cara yang benar, mengingat Allah Azza wa Jalla adalah al-Ghaniy, Rabb
yang Maha Kaya. Manusia sangat butuh beribadah kepada Allah Azza wa
Jalla agar mendapatkan kasih sayang serta ridha-Nya, sedangkan Allah
Azza wa Jalla Maha Kaya, tidak membutuhkan segala ibadah manusia.
Begitulah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih
al-‘Utsaimin rahimahullah, bahwa berdoa kepada Allah Azza wa Jalla
meliputi dua pengertian, yaitu berdoa dalam arti memohon dan berdoa
dalam arti beribadah secara umum.[11]
Sebagai penutup, ada beberapa faidah yang secara garis besar dapat
diambil dari pengenalan terhadap nama Allah Azza wa Jalla; al-Ghaniy.
Diantaranya:
-
Akan menjadikan seseorang semakin bergantung dan bertawakkal kepada
Allah Azza wa Jalla, sebab ia meyakini Allah Azza wa Jalla Maha Kaya.
Hal ini akan menjadikannya selalu tenteram dalam menjalani kehidupan.
- Akan membentuknya menjadi penuh harap kepada Allah Azza wa Jalla. Akan menjadikan orang bersikap tawâdhu' (rendah hati), tidak pernah
sombong apalagi terhadap Allah Azza wa Jalla, karena ia ingat bahwa
Allah Azza wa Jalla Maha Kaya, Maha tidak membutuhkan dirinya dan tidak
membutuhkan ibadah serta ketaatannya.
-
Akan menjadikan orang tersebut selalu bersyukur kepada Allah Azza wa
Jalla, karena Dia-lah yang mencukupi segala kebutuhannya.
-
Akan menjauhkan seseorang dari memohon kepada selain Allah Azza wa
Jalla, karena mereka tidak akan mungkin mampu memenuhi segala
kebutuhannya. Hanya Allah Azza wa Jalla, al-Ghaniy, yang Maha Kaya dan
memenuhi segala kebutuhannya.
Demikianlah, maka hendaknya kaum Muslimin berusaha lebih mengenal,
memahami, menghayati dan menjalankan konsekuensi dari nama al-Ghaniy
ini. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Kaya dan tidak membutuhkan
apapun.
Allâhu Akbar Wa Lillâhi al-Hamdu. Wallâhu a'lam.
Marâji'
1. Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalil Ma’mun Syîha, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M.
2. Al-Asmâ’ was Shifât, karya Imam al-Baihaqiy, tahqîq : Abdullah bin ‘Âmir, Dâr al-Hadîts, Kairo, 1426 H/2005 M.
3. Tafsir al-Qurthbi, yaitu al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr al-Kitâb
al-‘Arabi, Beirut- Libanon, tahqîq : Abdur Razzâq al-Mahdi, cet. II –
1420 H/1999 M.
4. Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Dhabth wa ta’lîq: Mahmud
Syakir. Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut – Libanon, cet. I – 1421
H/2001 M.
5. Rûh al-Ma’âni Fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab’i al-Matsâni,
karya Imam al-Alusi al-Baghdâdi, tahqiiq : Muhammad Ahmad al-Amad &
Umar Abdus Salam as-Salâmi, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut,
Libanon, cet. I dari terbitan terbaru th. 1420 H/2000 M
6. Fathu al-Qadîr, karya Imam asy-Syaukani
7. Îqâzh al-Himam al-Muntaqâ min Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam oleh
al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali, karya Syaikh Abu Usâmah Sâlim bin ‘Îd
al-Hilâliy, Dâr Ibnu al-Jauzi, cet. VII, Muharam 1425 H.
8. Al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillah wa Asmâ’ihi al-Husnâ, karya
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin, tahqîq : Asyraf bin Abdul
Maqshûd bin Abdur Rahîm, Maktabah as-Sunnah- Kairo, cet. I, 1411 H/1990
H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Mu’taqâd Ahli Sunnah wal Jama’âh Fî Asmâ'illâh al-Husna,
Dr.Muh. Khalîfah at Tamîmi, Penerbit Adhwâ' as-Salaf, Riyâdh, cet. I th
1419 H/1999 M hal. 159.
[2]. Lihat Al-Asmâ’ was Shifât, karya Imam al-Baihaqi, tahqîq : Abdullâh
bin ‘Âmir, Dâr al-Hadîts, Kairo, th 1426 H/2005 M. Hal. 45-50
[3]. Lihat Al-Asmâ’ was Shifât hal. 49-50
[4]. Lihat Tafsir al-Qurthubi, yaitu al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr
al-Kitâb al-‘Arabi, Beirut- Libanon, tahqîq : Abdur Razzaq al-Mahdi,
cet. II – 1420 H/1999 M. Juz 16 hal. 219
[5]. Lihat Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl al-Qur’ân, Dhabth wa ta’lîq: Mahmûd
Syâkir. Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Beirut – Libanon, cet. I–1421
H/2001M. Juz 26, hal 77.
[6]. Lihat Tafsîr al-Qurthbiy, Juz 12, hal. 86
[7]. Rûh al-Ma’âni Fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab’i al-Matsâni,
karya Imam al-Alusi al-Baghdadi, tahqîq : Muhammad Ahmad al-Amad &
Umar Abdus Salâm as-Salâmi, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabî, Beirut,
Libanon, cet. I terbitan terbaru th. 1420 H/2000 M, Juz 8, hal. 380
[8]. Lihat Fathu al-Qadîr, karya Imam asy-Syaukani, ayat 133 dari Surah al-An’âm
[9]. Lihat Shahîh Muslim Syarh Nawawi, tahqîq : Khalil Ma’mûn Syîha, Dâr
al-Ma’rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M. Juz XVI/348 – Kitab
al-Birr wash Shilah, Bab 15, no. 6517.
[10]. Lihat Îqazh al-Himam al-Muntaqâ min Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam,
oleh al-Hâfizh Ibnu Rajab al-Hanbali, karya Syaikh Abû Usâmah Salîm bin
‘Îd al-Hilâli, Dâr Ibnu al-Jauzi, cet. VII, Muharam 1425 H, hadits ke
24, hal. 345 dan 347-348, dinukil secara bebas dan ringkas.
[11]. Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin
rahimahullah pada al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillâh wa Asmâ’ihi
al-Husnâ, tentang Makna berdoa kepada Allah Azza wa Jalla dan tentang
cara menyebut atau mengingat nama-nama Allah Azza wa Jalla ketika berdoa
kepada-Nya, hal. 7; halaman muqadimah
Al 'Afuw, Maha Pemaaf
.Oleh:
Ust. Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
MAKNA AL-‘AFUW SECARA BAHASA
Ibnu Fâris rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan
dua makna, salah satunya adalah meninggalkan sesuatu.[1]
Ibnul Atsîr rahimahullah berkata: "Nama Allah "al-'Afuw" adalah wazan
fa'ûl dari kata al-'afwu (memaafkan) yang berarti memaafkan perbuatan
dosa dan tidak menghukumnya, asal maknanya: menghapus dan
menghilangkan.[2]
Al-Fairuz Abadi rahimahullah berkata: "al-'Afwu adalah permaafan dan
pengampunan Allah Subhanahu wa Ta'ala atas (dosa-dosa) makhluk-Nya, serta tidak memberikan
siksaan kepada orang yang pantas (mendapatkannya).[3]
PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AL-‘AFUW
Al-'Afuw adalah zat yang maha menghapuskan dosa-dosa dan memaafkan perbuatan-perbuatan maksiat.[4]
Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla :
إنَّ اللهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun [al-Hajj/22:60]
Beliau berkata: "Artinya: Dia maha memaafkan orang-orang yang berbuat
dosa dengan tidak menyegerakan sikasaan bagi mereka, serta mengampuni
dosa-dosa mereka. Maka Allah Azza wa Jalla menghapuskan dosa dan
bekas-bekasnya dari diri mereka. Inilah sifat Allah Azza wa Jalla yang
tetap dan terus ada pada zat-Nya (yang Maha Mulia), dan inilah
perlakuan-Nya kepada hamba-hamba-Nya di setiap waktu, (yaitu) dengan
permaafan dan pengampunan…" [5].
Makna inilah yang dimaksud dalam doa yang diajarkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dibaca pada malam lailatul qadr:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau suka memaafkan (hamba-Mu), maka maafkanlah aku [6].[7]
Dalam beberapa ayat al-Qur'ân Allah Azza wa Jalla menggandengkan nama
ini dengan nama-Nya yang lain yaitu "al-Ghafûr" (Maha Pengampun),
seperti dalam ayat di atas, demikian pula dalam surat an-Nisâ':43 dan
99. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَكَانَ الله ُعَفُوًّا غَفُوْرًا
Dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun [an-Nisâ'/4:99]
Kedua nama Allah Azza wa Jalla yang Maha Indah ini memang memiliki makna
yang hampir sama, meskipun nama Allah 'al-Afuw memiliki makna yang
lebih mendalam. Karena "pengampunan" mengisyaratkan arti as-sitru
(menutupi), sedangkan "pemaafan" mengisyaratkan arti al-mahwu
(menghapuskan) yang artinya lebih mendalam dalam penghapusan dosa.
Meskipun demikian, kedua nama Allah Azza wa Jalla ini jika disebutkan
sendirian maknanya mencakup keseluruhan arti tersebut.[8]
Sifat "memaafkan" dan "mengampuni" ini adalah sifat-sifat yang tetap dan
terus-menerus ada pada zat Allah yang Maha Mulia. Dan pengaruh baik
sifat-sifat ini senantiasa meliputi semua makhluk-Nya di siang dan malam
hari. Karena sifat "memaafkan" dan "mengampuni" (yang dimiliki)-Nya
meliputi semua makhluk, dosa dan perbuatan maksiat.
Padahal, mestinya perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan manusia
menjadikan mereka ditimpa berbagai macam siksaan, akan tetapi pemaafan
dan pengampunan-Nya menghalangi turunnya siksaan tersebut. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَىٰ
ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَٰكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ۖ
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيرًا
Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatan (dosa)
mereka, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu
makhluk yang melata pun, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan)
mereka sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.
[Fâthir/35:45]
Inilah kesempurnaan permaafan-Nya dan kalau bukan karena itu niscaya Dia
tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang
melatapun.[9]
Senada dengan ayat di atas, dalam sebuah hadits yang shahîh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada satupun yang lebih
bersabar menghadapi gangguan (celaan) yang didengarnya melebihi Allah
Azza wa Jalla , sungguh orang-orang (kafir) menyekutukan-Nya dan
mengatakan (bahwa) Dia mempunyai anak, (tapi bersamaan dengan itu) Dia
tetap memaafkan (menangguhkan siksaan) dan memberi rezki bagi
mereka"[10].
PEMBAGIAN SIFAT AL-AFUW (MEMAAFKAN) DARI ALLAH AZZA WA JALLA.
Sifat al-afwu (memaafkan) ini ada dua macam:
Pertama: Permaafan Allah Azza wa Jalla yang bersifat umum bagi semua
orang yang berbuat maksiat, dari kalangan orang-orang kafir maupun yang
selain mereka. Yaitu dengan tidak menimpakan siksaan yang telah ada
sebab-sebabnya, yang seharusnya menjadikan mereka terhalangi dari
kenikmatan duniawi yang mereka rasakan, padahal mereka menentang-Nya
dengan mencela-Nya (menisbatkan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya),
menyekutukan-Nya dan melakukan berbagai macam penyimpangan lainnya.
Meskipun demikian, Allah Azza wa Jalla tetap memaafkan (menangguhkan
siksaan-Nya), memberi rezki dan menganugerahkan berbagai macam
kenikmatan kepada mereka, yang lahir maupun batin.
Kedua: Permaafan dan pengampunan-Nya yang bersifat khusus bagi
orang-orang yang bertobat, meminta ampun, berdoa dan menghambakan diri
kepada-Nya, demikian pula bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat-Nya
dengan musibah-musibah yang menimpa mereka. Maka, semua orang yang
bertobat kepada-Nya dengan tobat yang nashûh [11], Allah akan mengampuni
dosa apapun yang dilakukannya, baik berupa kekafiran, kefasikan maupun
kemaksiatan lainnya. Semua dosa tersebut termasuk dalam keumuman firman
Allah Azza wa Jalla :
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا
تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ
جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya
Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang [az-Zumar/39:53][12]
PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH "AL-AFUW"
Memahami nama Allah Azza wa Jalla yang Maha Agung ini merupakan pintu
utama untuk mencapai kedudukan yang tinggi di sisi-Nya, khususnya jika
setelah memahaminya dengan baik, kita berusaha merealisasikan kandungan
dan konsekuensi yang terkandung di dalamnya, yaitu melakukan istighfâr
(meminta ampun kepada Allah Azza wa Jalla ) secara kontinyu, meminta
permaafan, selalu bertobat, mengharapkan pengampunan dan tidak berputus
asa (dari rahmat-Nya). Hal itu, karena Allah Azza wa Jalla Maha Pemaaf
lagi Maha Pengampun, sangat mudah bagi-Nya untuk mengampuni dosa
(hamba-hamba-Nya) bagaimanapun besarnya dosa dan maksiat tersebut. Maka
seorang hamba senantiasa berada dalam kebaikan yang agung selama dia
selalu meminta permaafan dan mengharapkan pengampunan dari Allah. [13]
Renungkan makna yang agung ini dalam hadits qudsi berikut:
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman: "Seorang hamba melakukan
perbuatan dosa, kemudian dia berdoa: "Ya Allah ampunilah dosaku". Maka
Allah Azza wa Jalla berfirman: "Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia
meyakini bahwa dia mempunyai rabb yang (Maha) Mengampuni dan membalas
perbuatan dosa". (Maka Allah Azza wa Jalla pun mengampuni dosanya),
kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa: "Ya rabbku ampunilah
dosaku". Maka Allah Azza wa Jalla berfirman: "Hamba-Ku telah berbuat
dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai rabb yang (Maha)
Mengampuni dan membalas perbuatan dosa". (Maka Allah Azza wa Jalla pun
mengampuni dosanya), kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa:
"Ya Tuhanku ampunilah dosaku". Maka Allah Azza wa Jalla berfirman:
"Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai
rabb yang (Maha) Mengampuni dan membalas perbuatan dosa, berbuatlah
sesukamu wahai hamba-Ku, maka sungguh Aku telah mengampunimu". Yaitu:
"selama kamu terus bertobat, memohon dan kembali kepada-Ku".[14]
Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla :
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. [an-Nisâ'/4:43]
Beliau berkata: "Artinya: Allah memiliki banyak pemaafan dan pengampunan
bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dengan memudahkan dan meringankan
syariat-Nya bagi mereka, sehingga mudah bagi mereka untuk menunaikannya
dan tidak menyusahkan."
DI ANTARA BENTUK PEMAAFAN ALLAH AZZA WA JALLA
Di antara bentuk permaafan dan pengampunan-Nya adalah Rahmat-Nya bagi
umat ini dengan mensyariatkan bersuci dengan tanah (debu) sebagai
pengganti air ketika tidak mampu menggunakan air.
Dan di antara permaafan dan pengampunan-Nya adalah Dia membukakan pintu
tobat dan kembali kepada-Nya bagi orang-orang yang berbuat dosa, bahkan
dia menyeru mereka untuk bertobat dan menjanjikan pengampunan bagi
dosa-dosa mereka.
Di antara permaafan dan pengampunan-Nya adalah bahwa seandainya seorang
Mukmin datang menghadap-Nya di akhirat nanti dengan membawa dosa sepenuh
bumi, tapi dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, maka Dia akan
memberikan pada hamba-Nya itu pengampunan yang sepenuh bumi (pula)
[16].[17]
Di antara bentuk permaafan-Nya adalah bahwa perbuatan baik dan amalan
shalih bisa menghapuskan perbuatan buruk dan dosa. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk [Hûd/11:114]
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Ikutkanlah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka niscaya perbuatan baik itu
akan menghapuskan perbuatan buruk tersebut." [18]
Demikian juga di antara bentuk permaafan-Nya adalah bahwa semua musibah
yang menimpa pada diri seorang hamba, anak maupun hartanya, itu semua
akan menghapuskan dosa-dosanya, khususnya jika hamba itu mengharapkan
pahala dari musibah tersebut dan bersikap bersabar serta ridha (dengan
takdir Allah Azza wa Jalla terhadap dirinya).
Dan di antara bentuk permaafan-Nya yang agung adalah bahwa hamba-Nya
yang selalu menentang perintah-Nya dengan melakukan berbagai macam
maksiat dan dosa besar, tapi Dia selalu berlaku lembut dan memberikan
maaf-Nya kepadanya, kemudian dia melapangkan dada hamba-Nya itu untuk
bertobat kepada-Nya, dan Dia pun menerima taubatnya. Bahkan Allah Azza
wa Jalla bergembira dengan taubat hamba-Nya, padahal Allah Azza wa Jalla
Maha Kaya lagi Maha Terpuji, tidak akan memberi manfaat bagi-Nya
ketaatan orang-orang yang taat, sebagaimana tidak akan merugikan-Nya
kemaksiatan orang-orang yang berbuat maksiat. [19]
PENUTUP
Sesungguhnya pintu-pintu permaafan dan pengampunan Allah Azza wa Jalla
senantiasa terbuka lebar. Allah Azza wa Jalla senantiasa bersifat Maha
Pemaaf dan Pengampun. Sungguh, Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan
pengampunan dan permaafan bagi orang-orang yang mengerjakan
sebab-sebabnya, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ
Dan sesungguhnya Aku benar-benar Maha Pengampun bagi orang yang
bertobat, beriman, beramal shaleh kemudian tetap di jalan yang benar
[Thâhâ/20:82][20]
Demikianlah, semoga Allah Azza wa Jalla menganugerahkan kepada kita
permaafan-Nya dan memuliakan kita dengan pengampunan-Nya, sesungguhnya
Dia Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Mu'jamu maqâyîsil lughah 4/45
[2]. An-Nihâyah fî gharîbil hadîts wal atsar 3/524
[3]. Al-Qamûs al-Muhîth hlm. 1693
[4]. Kitab Fiqhul asmâ-il husna hlm. 142
[5]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 388
[6]. HR at-Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Mâjah (no. 3850), dinyatakan shahîh oleh Syaikh al-Albâni.
[7]. Lihat kitab Faidhul Qadîr 2/239
[8]. Lihat kitab Fiqhul asmâ-il husnâ hlm. 142
[9]. Ibid hlm. 143
[10]. HSR al-Bukhâri no. 5748 dan Muslim 2804 dari Abu Mûsâ al-Asy'ari Radhiyallahu anhu.
[11]. Artinya: tobat yang murni untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa
Jalla semata-mata, yang mencakup semua dosa, yang tidak disertai
keragu-raguan dan sikap bersikeras pada perbuatan dosa tersebut.
[12]. Lihat kitab Fiqhul asmâil husnâ hlm. 143
[13]. Ibid hlm. 145
[14]. HSR al-Bukhâri no. 7068 dan Muslim no. 2758
[15]. Lihat kitab Fiqhul asmâil husnâ hlm. 145
[16]. Sebagaimana yang disebutkan dalam HSR Muslim no. 2687, at-Tirmidzi no. 3540 dll.
[17]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 103
[18]. HR at-Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5/153, dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albâni.
[19]. Lihat kitab Fiqhul asmâil husnâ hlm. 144
[20]. Ibid hlm. 145
Al Raqib, Yang Maha Mengawasi
.Oleh:
Ust. Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
PENETAPAN NAMA AR-RAQIB
Nama Allah Subhanahu wa Ta'ala Yang Maha Agung ini disebutkan dalam tiga ayat al-Qur'an:
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kamu sekalian [an-Nisâ'/4:1].
وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ رَقِيبًا
Dan adalah Allâh Maha Mengawasi segala sesuatu [al-Ahzâb/33:52]
وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ ۖ فَلَمَّا
تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ ۚ وَأَنْتَ عَلَىٰ
كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Dan akulah yang menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di
antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah
Yang Maha Mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas
segala sesuatu [al-Mâidah/5:117].
MAKNA AR-RAQIB SECARA BAHASA
Ibnu Fâris rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan
makna yang satu, yaitu berdiri (tegak) untuk mengawasi atau
memperhatikan sesuatu [1]. Sedanglan al-Fairuz Abâdi rahimahullah dalam
al-Qamuus-nya menjelaskan bahwa nama ini secara bahasa berarti pengawas,
penunggu dan penjaga [2]. Sementara itu, Ibnul Atsîr rahimahullah dan
Ibnu Manzhûr rahimahullah menjelaskan bahwa nama Allah al-Raqîb berarti
Maha Penjaga/Pengawas yang tidak ada sesuatu pun yang luput dari-Nya
[3]. Demikian pemaparan para Ulama lughah (bahasa) tentang makna kata
ar-raqiib melalui tinjauan bahasa.
PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AL-RAQIB
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah ketika menafsirkan ayat pertama di atas,
beliau menjelaskan bahwa makna ar-Raqîb adalah zat yang maha mengawasi
semua perbuatan dan keadaan manusia" [4]
.
Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah berkata: "Ar-Raqîb adalah zat
yang maha memperhatikan dan mengawasi semua hamba-Nya ketika mereka
bergerak(beraktifitas) maupun ketika mereka diam, (mengetahui) apa yang
mereka sembunyikan maupun yang mereka tampakkan, dan (mengawasi) semua
keadaan mereka" [5]
Di tempat lain beliau berkata, ar-Raqîb adalah zat yang maha mengawasi
semua urusan (makhluk-Nya), maha mengetahui kesudahannya, dan maha
mengatur semua urusan tersebut dengan sesempurna-sempurna aturan dan
sebaik-sebaik ketentuan[6]".
Maka makna ar-Raqîb secara lebih terperinci adalah Dzat Yang Maha
memperhatikan (mengetahui) segala yang tersembunyi dalam dada (hati)
manusia, yang Maha mengawasi apa yang diusahakan setiap diri manusia,
Yang Maha memelihara semua makhluk dan mengatur mereka dengan
sebaik-baik aturan dan penataan paling sempurna, yang Maha mengawasi
semua yang terlihat dengan penglihatan-Nya, tidak ada sesuatu pun yang
luput dari-Nya, yang Maha mengawasi semua yang terdengar dengan
pendengaran-Nya yang meliputi segala sesuatu, yang Maha mengawasi
(memperhatikan) semua makhluk dengan ilmu-Nya yang meliputi segala
sesuatu [7].
PENGARUH POISTIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH AR-RAQIB
Pengaruh positif yang paling utama dengan mengimani nama Allâh Azza wa
Jalla yang agung ini adalah senantiasa merasakan murâqabatullâh
(pengawasan dari Allâh Azza wa Jalla ) dalam semua keadaan kita, dan
timbulnya rasa malu yang sesungguhnya di hadapan-Nya. Kondisi ini akan
mendorong seorang hamba untuk selalu konsisten melakukan ketaatan
kepada-Nya dan menjauhi semua perbuatan maksiat, di manapun ia berada
[8].
Murâqabatullâh (selalu merasakan pengawasan Allâh Azza wa Jalla) adalah
kedudukan yang sangat tinggi dan agung dalam Islam, sekaligus merupakan
tahapan utama untuk menempuh perjalanan menuju perjumpaan dengan Allâh
Azza wa Jalla dan negeri akhirat.
Hakekat murâqabatullâh adalah seorang hamba senantiasa merasakan dan
meyakini pengawasan Allâh Azza wa Jalla terhadap (semua keadaannya)
lahir dan batin. Selanjutnya, ia merasakan pengawasan-Nya ketika
berhadapan dengan perintah-Nya, untuk kemudian ia laksanakan dengan
sebaik-baiknya. Dan ketika berhadapan dengan larangan-Nya, ia berusaha
keras menjauhinya dan menghindarinya [9].
Seorang penyair mengungkapkan makna ini dalam bait syairnya [10] :
Jika suatu hari kamu sedang sendirian, maka janganlah kamu berkata:
“Aku sendirian”, akan tetapi katakanlah, “Ada (Allâh) yang mengawasiku”
Dan janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa Dia akan lalai sesaat pun
Dan (jangan mengira) sesuatu yang tersembunyi akan luput dari (pengawasan)-Nya
Inilah makna al-ihsân yang disebutkan dalam hadits Jibrîl Alaihissallam
yang terkenal, yaitu sabda Rasûlulâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
(Al-ihsân adalah) engkau beribadah kepada Allâh seakan-akan engkau
melihat-Nya, kalau kamu tidak bisa melihat-Nya, maka sungguh Dia
melihatmu [11]
Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah berkata, "Murâqabatullâh
(selalu merasakan pengawasan Allâh Azza wa Jalla) adalah termasuk amalan
hati yang paling tinggi (keutamaannya dalam Islam), yaitu menghambakan
diri (beribadah) kepada Allâh dengan (memahami dan mengamalkan makna
yang terkandung dalam) nama-Nya ar-Raqîb (Yang Maha Mengawasi) dan
asy-Syahîd (Yang Maha Menyaksikan). Maka ketika seorang hamba mengetahui
(meyakini) bahwa semua gerakan (aktifitas) nya yang lahir maupun batin,
tidak ada (satu pun) yang luput dari pengetahuan-Nya, dan dia
(senantiasa) menghadirkan keyakinan ini dalam semua keadaannya, ini
(semua) akan menjadikannya (selalu berusaha) menjaga batin (hati)nya
dari (semua) pikiran (buruk) dan angan-angan yang dibenci Allâh Azza wa
Jalla , menjaga lahir (anggota badan)nya dari (semua) ucapan dan
perbuatan yang dimurkai Allâh Azza wa Jalla, dan akan beribadah
(mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla ) dengan al-ihsân. Dengan
itu, maka ia akan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla seakan-akan
melihat-Nya, kalau tidak bisa melihat-Nya maka ia (yakin) sesungguhnya
Allâh melihatnya"[12].
Kalau kita merenungkan dengan seksama ayat-ayat al-Qur'ân yang
menerangkan luasnya ilmu Allâh Azza wa Jalla dan bahwasanya tidak ada
sesuatu pun yang luput dari pengetahuan dan pengawasan-Nya, baik yang
tampak di mata manusia maupun tersembunyi, seperti ayat-ayat berikut:
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ
Dan ketahuilah bahwasanya Allâh mengetahi apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya [al-Baqarah/2:235].
.
يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ
مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَىٰ مِنَ الْقَوْلِ ۚ وَكَانَ
اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا
Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari
Allâh, padahal Allâh beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka
menetapkan keputusan rahasia yang Allâh tidak ridhai. Dan adalah Allâh
Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan
[an-Nisâ/4:108]
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan dalam hati [al-Mu'min/40:19].
Dan ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat-ayat tersebut, merenungkan
dan menghayati semua itu akan membangkitkan dalam diri seorang hamba sifat
murâqabatullâh dalam semua perbuatan dan keadaannya. Karena
murâqabatullâh adalah termasuk buah manis dari keyakinan seorang hamba
bahwa Allâh Azza wa Jalla Maha mengawasi dan memperhatikan dirinya, Maha
mendengarkan apa yang diucapkan lisannya dan Maha mengetahui semua
perbuatannya setiap waktu, setiap tarikan nafas, bahkan setiap kedipan
matanya [13].
PENUTUP
Dengan penjelasan di atas, kita dapat memahami bagaimana agungnya
manfaat dan keutamaan membaca al-Qur'ân dengan merenungi dan menghayati
kandungan maknanya. Sebab, dengan itulah kita bisa mengambil petunjuk
agung yang terdapat di dalamnya dengan sempurna, untuk membawa kita
mencapai kedudukan dan tingkatan yang tinggi di hadapan Allâh Azza wa
Jalla. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah kitab (al-Qur'ân) yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan
berkah, supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran [Shâd/38:29].
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa
Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha
sempurna, agar berkenan menganugerahkan kepada kita semua kedudukan
murâqabatullâh yang agung dan mulia ini dan semua kedudukan yang tinggi
dalam agama-Nya. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla Maha mendengar dan
mengabulkan permohonan hamba-Nya. Wallâhu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1430H/2009M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Mu'jamu Maqâyîsil Lughah (2/353).
[2]. Al-Qâmûs al-Muhîth hlm. 116
[3]. An-Nihâyah fi Gharîbil Hadits wal Atsar (2/609) dan Lisânul 'Arab (1/424)
[4]. Tafsîr Ibni Katsir (1/596)
[5]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 90
[6]. Ibid hlm. 487
[7]. Lihat Fiqhul Asmâ-il Husnâ hlm. 159
[8]. Lihat Tafsîr Ibni Katsir (1/596) dan Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 90
[9]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ hlm. 160
[10]. Dinukil oleh Imam Ibnu Hibbân al-Busti dalam Raudhatul 'Uqalâ hlm. 26
[11]. HR. Muslim no. 8
[12]. Tafsîru Asmâ Illâhil Husnâ hlm. 55
[13]. Lihat Fiqhul Asmâ-il Husnâ hlm. 160
*****
Sumber:
almanhaj.or.id
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin