Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

29 September 2012

FILE 280 : Fitnah Kekayaan dan Kemiskinan

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Kekayaaan Bukan Tanda Kemuliaan, Kemiskinan Bukan Petunjuk Kehinaan

.Oleh:
Ust. Abu Minhal, Lc.


فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

"Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Rabbku telah memuliakanku". Adapun bila Rabbnya (Allâh) mengujinya, lalu membatasi rezekinya (menjadikannya hidup dalam kekurangan), maka dia berkata: "Rabbku menghinakanku" .Sekali-kali tidak (demikian), …"[QS. al-Fajr/89:15-16]


PENJELASAN AYAT

Kenikmatan dunia menjadi bidikan utama orang-orang yang tidak beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari Kebangkitan (orang-orang kafir). Mereka berjuang siang dan malam demi kesuksesan duniawi semata. Limpahan kekayaan dalam pandangan mereka merupakan pertanda kemuliaan hidup dan sumber martabat. Dan sebaliknya, kurangnya materi, kemiskinan dan kehidupan ekonomi yang sulit di mata mereka menjadi petunjuk kehinaan, sekali lagi, dalam pandangan orang-orang materialis itu yang lazim disebut dengan mâddiyyûn (jamak dari kata mâddi) dalam bahasa Arab.


SALAH SATU SIFAT BAWAAN MANUSIA DAN ORANG KAFIR

Atas dasar itu, sebagian Ulama mengatakan bahwa melalui ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla mengabarkan salah satu sifat orang kafir dan musyrik saat menerima limpahan harta dan tatkala kekurangan materi dan terhimpit kesulitan ekonomi.[1] Sebagian Ulama lain menyebutkan bahwa itu merupakan sifat bawaan setiap manusia yang bersumber dari sifat jahl (kebodohan, ketidaktahuan tentang hakekat masalah) dan zhulm (kezhaliman).[2]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ

Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Rabbku telah memuliakanku"
.

Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengingkari manusia yang memiliki keyakinan jika diberi keluasan rezeki itu pertanda penganugerahan kemuliaan dari Allâh Subhanahu wa Ta'ala bagi dirinya. Faktanya, tidak demikian adanya. Akan tetapi, merupakan ujian dan cobaan bagi mereka dari Allâh Azza wa Jalla, [3] dan menguak apakah ia bersabar atau berkeluh-kesah, apakah ia bersyukur atau mengingkari nikmat. [4] Hal ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ ۚ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ

"Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar." [QS. al-Mukminûn/23:55-56]

Sebaliknya pada ayat berikutnya:

وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

Adapun bila Rabbnya (Allâh) mengujinya, lalu membatasi rezekinya (menjadikannya hidup dalam kekurangan), maka dia berkata: "Rabbku menghinakanku"

Tatkala Allâh Azza wa Jalla menguji manusia dengan menyempitkan rezekinya, sebagian orang beranggapan hal tersebut merupakan bentuk kehinaan yang harus ia terima.

Imam al-Qurthubi rahimahullah menegaskan salah satu sifat orang kafir, “Kemuliaan dan kehinaan pada pandangan orang kafir berdasarkan banyak sedikitnya kekayaan yang dimiliki seseorang”.[5]


KEKAYAAN BUKAN PERTANDA KEMULIAAN, KEKURANGAN BUKAN PERTANDA KEHINAAN


Allâh Azza wa Jalla tidak pernah menjadikan kekayaan dan kekurangan yang meliputi kondisi seseorang sebagai bentuk penilaian kemuliaan atau kerendahan derajatnya di sisi Allâh Azza wa Jalla . Namun, itu semua merupakan ujian dan cobaan yang Allâh Azza wa
Jalla berikan kepada umat manusia yang tidak lepas
dari takdir dan qodho-Nya.

Perhatikan firman Allâh Azza wa Jalla berikut:

قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

"Katakanlah: "Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." [QS. Saba/34:36]

Allâh Azza wa Jalla memberikan kekayaan kepada orang yang Dia Azza wa Jalla cintai dan orang yang tidak Dia Azza wa Jalla cintai, menyempitkan rezeki orang yang Dia Azza wa Jalla cintai dan orang yang tidak Dia Azza wa Jalla cintai. Pada ketentuan-ketentuan Allâh ini terdapat hikmah yang luhur lagi sempurna yang tidak diketahui selain-Nya. Akan tetapi, kebanyakan orang tidak menyadarinya.

Sedangkan firman Allâh Azza wa Jalla : (كَلاَّ) adalah bentuk kata bantahan guna menjelaskan bahwa kenyataannya tidak seperti yang kalian katakan dan tidak seperti pandangan manusia umumnya. Bantahan kepada orang-orang yang mengukur segala sesuatu dengan materi. Dalam kata ini terdapat unsur meluruskan pandangan yang keliru di atas, dan bahwa pemberian dan menahan rezeki tidak terkait dengan pemuliaan bagi seseorang maupun penghinaan baginya. Akan tetapi, itu semua merupakan ujian dari Allâh k kepada hamba-Nya. [6]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Masalahnya tidak seperti yang ia perkirakan. Tidak seperti pandangan yang pertama, juga tidak seperti pandangan yang kedua. (Sebab) Allâh Azza wa Jalla memberikan kekayaan kepada orang yang Allâh Azza wa Jalla cintai dan yang tidak Allâh Azza wa Jalla cintai, menyempitkan rezeki pada orang yang Allâh Azza wa Jalla cintai dan yang tidak Dia Azza wa Jalla cintai. Landasan dalam masalah ini ialah ketaatan kepada Allâh dalam dua kondisi tersebut, jika berlimpah harta, hendaknya bersyukur kepada Allâh k atas nikmat itu, bila mengalami kekurangan, hendaknya bersabar”.[7]

Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Kekayaan dan kemiskinan, keluasan dan sempitnya rezeki adalah cobaan dari Allâh Azza wa Jalla dan ujian untuk menguji para hamba-Nya, supaya dapat diketahui siapa saja yang bersyukur dan bersabar, kemudian Allâh Azza wa Jalla akan membalasnya dengan pahala yang besar. Barang siapa yang tidak demikian (tidak bersyukur atau bersabar), maka akan dibalas dengan siksa pedih”.[8]

Sementara itu, Syaikh ‘Athiyyah Sâlim rahimahullah juga berkata, “Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa Dia Azza wa Jalla memberi dan menahan (pemberian) sebagai ujian bagi seorang hamba”.[9]

Perhatikanlah firman Allâh Azza wa Jalla berikut:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan." [QS. al-Anbiyâ/21:35]

Dan juga firman Allâh Azza wa Jalla :

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

"Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allâh-lah pahala yang besar." [QS. al-Anfâl/8:28]

Sebagaimana menguji manusia dengan musibah (hal-hal yang tidak mengenakkan), Allâh Azza wa Jalla juga menguji manusia dengan kenikmatan.


PENTINGNYA INTROSPEKSI DIRI

Seorang Mukmin ketika mendapatkan kenikmatan dari Allâh Azza wa Jalla berupa kekayaan, ia akan mensyukuri Rabbnya, dan ia memandang itu murni merupakan kemurahan dan curahan kebaikan Allâh terhadap dirinya, bukan merupakan bentuk kemuliaan yang Allâh berikan kepada orang yang berhak. Dan sebaliknya, jika mengalami cobaan kesulitan ekonomi, rejeki seret, seorang Mukmin akan bersabar dan mengharapkan pahala dari Allâh Azza wa Jalla seraya berintrospeksi diri, kejadian ini tiada lain karena dosa-dosaku. Allâh Azza wa Jalla tidak sedang menghinaku dan tidak sedang menganiaya diriku.

Dalam dua ayat ini termuat satu petunjuk pentingnya seseorang menyadari saat menerima limpahan rezeki atau terhimpit ekonominya. Misalnya, mengatakan, “Mengapa Allâh Azza wa Jalla memberiku rezeki melimpah? Apa yang dikehendaki dariku? Pastilah aku harus bersyukur kepada-Nya. Mengapa Allâh Azza wa Jalla mengujiku dengan kekurangan harta dan penyakit? Pastilah Allâh Azza wa Jalla menghendaki agar aku bersabar.

Jadi, hendaklah selalu melakukan introspeksi diri dalam dua kondisi tersebut. Sikap demikian akan menjauhkan manusia dari dua sifat buruknya, kebodohan dan aniaya. Sebab limpahan kekayaan dan sempitnya rezeki terjadi berdasarkan hikmah dan keadilan Allâh Azza wa Jalla [10]. Manusia pun harus tetap memuji Allâh Azza wa Jalla dalam kedua kondisi tersebut. [11]


PELAJARAN DARI AYAT 
  • Pandangan materialisme berasal dari kaum kafir
  • Pandangan materialisme bersumber dari hubbun dun-ya (cinta dunia)
  • Pandangan materialisme bukan pandangan baru, sebab pandangan ini sudah bercokol pada hati kaum musyrikin Quraisy sejak 14 abad lalu
  • Allâh Azza wa Jalla membenci kekufuran dan kufur nikmat
  • Allâh Azza wa Jalla mencintai perbuatan syukur
  • Pentingnya introspeksi diri dalam semua keadaan
  • Pentingnya mendalami Islam karena akan mengenalkan kebenaran dan hakekat seluruh perkara. 
Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Jâmi’ul Bayân an Ay al-Qur`ân, Imam ath-Thabari 15/227, Al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân, Imam al-Qurthubi 20/47, Tatimmatu Adhwâul Bayân, Syaikh ‘Athiyyah Sâlim 9/217, Aisarut Tafâsir, Syaikh Abu Bakr al-Jazâiri, 2/1471
[2]. Taisîrul Karîmir Rahmân, Syaikh as-Sa’di, hlm. 1009, Tafsîr Juz ‘Amma, Syaikh al-‘Utsaimîn hlm. 200
[3]. Tafsîr al-Qur`ânil ‘Azhîm, Imam Ibnu Katsîr 8/398
[4]. Fathul Qadîr, asy-Syaukâni, 5/621
[5]. Al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân, 20/47
[6]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 1009, Tatimmatu Adhwâul Bayân 9/217, Aisarut Tafâsir 2/1471
[7]. Tafsîr al-Qur`anil ‘Azhîm 8/398
[8]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 1009
[9]. Tatimmatu Adhwâul Bayân 9/217
[10]. Tafsîr Juz ‘Amma hlm. 201
[11]. Jâmi’ul Bayân an Ay al-Qur`ân 15/229

*****
Sumber: almanhaj.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

22 September 2012

FILE 279 : Lima Kebutuhan Penting

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

DHARURIYYATUL-KHAMS
(Lima Kebutuhan Penting yang Harus Dijaga Oleh Kaum Muslimin)

.Oleh:
Syaikh Ali bin Hasan al Halabi


PENGANTAR

Apa yang dimaksud dengan dharûriyyâtul-khams? 
Makna dharûriyyâtul-khams, yaitu menyangkut lima kebutuhan penting yang semestinya dijaga oleh kaum Muslimin. Dan dalam masalah ini, Al-Qur‘an dan as-Sunnah telah memberikan perhatian yang besar. 

Berikut ini ulasan berkaitan dengan pembahasan judul di atas. Kami angkat berdasarkan ceramah Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari pada Daurah Syar’iyyah I yang diselenggarakan oleh Yayasan Imam Bukhari, Jakarta, di Ciloto, Bogor, Jawa Barat, pada pertengahan bulan Februari 2007, dan mengacu dengan kitab Maqâshidusy- Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, karya Dr. Yûsuf bin Muhammad Al-Badawi yang menjadi pegangan Syaikh dalam daurah tersebut

-------------

Dharûriyyâtul-khams yang dimaksudkan, yaitu meliputi penjagaan terhadap dîn (agama), jiwa, keturunan, akal, dan harta.

1. MENJAGA DIN (AGAMA).
Ini merupakan dharûriyyât yang terpenting dan berada pada urutan tertinggi. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku." [Adz-Dzâriyat/51: 56]

Demikian tujuan hakiki dari penciptaan makhluk. Untuk mencapai tujuan inilah, maka para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan. Sebagaimana firman-Nya.

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ

(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. [An-Nisâ/4: 165].

Begitu juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. [An-Nahl/16 : 36]

Agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga din (agama) dari kerusakan, karena din merupakan dharuriyat yang paling besar dan terpenting, maka syari’at juga mengharamkan riddah (murtad), memberi sanksi kepada orang yang murtad dan dibunuh. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia” [HR Bukhari]

Juga sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَ الْمُفَارِقُ لِدِينِهِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ


Tidak halal darah seorang muslim (tidak boleh dibunuh, Red.), kecuali dengan salah satu di antara tiga sebab yaitu jiwa dengan jiwa, orang tua yang berzina (dibunuh dengan dirajam, Red.), orang yang murtad meninggalkan agamanya dan jama’ahnya” [HR Bukhari]

Ini semua untuk menjaga din. Realisasinya dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya dengan :

(a). Beriman kepada Allah Azza wa Jalla, mencintai-Nya, mengagungkan-Nya, mengetahui Asmâ dan Sifat Allah.
(b). Berpegang teguh dengan agama, mempelajarinya, lalu mendakwahkannya.
(c). Menjauhi dan memperingatkan dari perbuatan syirik dan riya’.
(d). Memerangi orang-orang yang murtad.
(e). Mengingatkan dari perbuatan bid’ah dan melawan ahlul bid’ah.[1]


2. MENJAGA JIWA (HIFZHUN-NAFSI).
Menjaga jiwa juga termasuk dharûriyatul-khamsi, dan din tidak akan bisa tegak, jika tidak ada jiwa-jiwa yang menegakkannya. Kalau kita ingin menegakkan din, artinya, kita harus menjaga jiwa-jiwa yang akan menegakkan din ini. Untuk menjaga dan memuliakan jiwa-jiwa ini, Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” [Al-Baqarah/2:179]

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menjadikan qishash sebagai salah satu sebab kelestarian kehidupan, padahal qishash itu merupakan kematian. Mengapa? Karena, dengan keberadaan hukum qishash, maka para pelaku kriminal menjadi jera, kehidupan pun menjadi aman. Jadi, qishash merupakan salah satu sebab terwujudnya kehidupan yang damai, tenang, dan dalam naungan hidayah.

وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ

(Di antara sifat hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yaitu) tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina”. [Al-Furqân/25: 68]

Yang disebut dengan al-haq (kebenaran), yaitu harus dengan dalil dan bukti. Jika tidak, berarti melakukan pembunuhan tanpa alasan yang benar. Dan berdasarkan Al-Qur‘an dan as-Sunnah, melakukan pembunuhan tanpa alasan yang benar, hukumnya terlarang.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang penjagaan terhadap jiwa:

مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا

Barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung lalu dia membunuh dirinya (mati), maka dia akan berada dalam Neraka Jahannam dalam keadaan melemparkan diri selama-lamanya”. [HR. Bukhari]

Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap seseorang yang berpendapat “saya bebas melakukan apa saja atas diri saya”. Perkataan seperti ini merupakan perkataan keliru, karena di dalam Al- Qur`anul-Karim disebutkan tentang ucapan yang benar, sebagai petunjuk bagi kaum Mukminin jika tertimpa musibah. Allah Azza wa Jalla berfirman.

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” [Al-Baqarah/2: 156]

Inna lillahi (sesungguhnya kita milik Allah) dengan demikian, kita ini milik Allah Azza wa Jalla, tidak boleh berbuat sewenang-wenang atas diri kita, tidak boleh menyengaja melukai tangan sendiri lalu berkata “ini tangan saya, saya bebas melakukan apa saja terhadapnya”. Apalagi sampai mengatakan “ini adalah jiwaku, saya ingin membunuh diri atau menjatuhkan diri dari gunung, atau menenggak racun”, maka semua ini tidak boleh, karena termasuk berbuat sewenangwenang pada sesuatu yang bukan miliknya.

Wahai Hamba Allah! Jiwa yang pada dirimu itu adalah milik Pencipta dan Rabbmu, Dzat yang engkau ibadahi, yaitu Allah Azza wa Jalla . Engkau tidak boleh berbuat sewenang-wenang padanya.

Dalam hadits “barangsiapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung lalu dia membunuh dirinya (mati), maka dia akan berada dalam Neraka Jahannam dalam keadaan melemparkan diri selama-lamanya” terdapat pelajaran yang bisa kita ambil. Bahwa orang tersebut kekal selamanya dalam Neraka Jahannam, sedangkan di dalam Ahlu Sunnah wal-Jama’ah –di antaranya terdapat kaidah- Perbuatan dosa-dosa besar termasuk dalam kategori dosa-dosa yang bisa diampuni Allah Azza wa Jalla jika Allah berkehendak. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” [An-Nisâ/4: 48]

Bunuh diri, termasuk dalam bagian pertama ayat ini, ataukah bagian yang kedua? Apakah bunuh diri termasuk syirik, ataukah berada di bawah syirik? Jawabnya, bunuh diri termasuk dalam dosa di bawah dosa syirik. Namun dalam hadits itu dijelaskan, dia kekal selamanya di neraka. Lantas bagaimana jawabnya?

Para ulama mengatakan, pengertian hadits ini dibawa kepada orang yang membunuh diri, karena ia menganggapnya halal, atau karena meremehkan hukum syari’at, bukan karena maksiat semata, baik yang kecil maupun yang besar. Akan tetapi, ini merupakan pelanggaran terhadap dasar hukum syari’at, dia menentangnya dan menghalalkannya. Dalam kondisi seperti itu, maka dosa maksiat ini menjadi dosa kekufuran.

Oleh karena itu, Abu Ja’far ath-Thahawi, di dalam kitab ‘aqidah beliau yang masyhur, beliau mengatakan: “Kami tidak mengkafirkan ahlul-qiblah (kaum Muslimin) dengan sebab dosa, selama dia tidak menganggapnya halal.”

Pelaku perbuatan dosa ini, jika menganggapnya halal, maka dia menjadi kafir, meskipun perbuatan dosa tersebut lebih kecil atau lebih sedikit dari bunuh diri.

Secara ringkas, hifzhun-nafs dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya:

(a). Pada saat darurat (sangat terpaksa), wajib memakan apa saja demi menyambung hidup, meskipun yang ada saat itu sesuatu yang haram pada asalnya.
(b). Memenuhi kebutuhan diri, berupa makanan, minuman dan pakaian.
(c). Mewajibkan pelaksanaan qishash (hukum bunuh bagi yang membunuh, jika sudah terpenuhi syarat-syaratnya, Red.) dan mengharamkan menyakiti atau menyiksa diri [2]


3. MENJAGA AKAL (HIFZHUL-AQLI).
Sarana untuk menjaga akal ialah ilmu. Kalimat wahyu pertama kali yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyentuh telinga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah kalimat iqra’ (bacalah!), setelah itu kalimat:

عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

(Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. [Al-Alaq/96: 5]

Karena membaca merupakan jalan mendapatkan ilmu, meskipun bukan jalan satu-satunya, akan tetapi dia merupakan jalan terpenting.

Dalam nash Al-Qur‘an yang lain, Allah berfirman,

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

(dan katakanlah: “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” [Thaha/20 : 114]

Akan tetapi ilmu ini wajib diiringi dengan amal perbuatan. Ilmu bukan sekedar untuk diketahui, namun dengan ilmu agar bertakwa, beramal shalih, serta menjauhan diri dari perbuatan maksiat dengan landasan takwa kepada Allah Azza wa Jalla. Karenanya dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 91 disebutkan.

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan berjudi itu menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.

Khamr dan perjudian telah menyebabkan manusia terhalang dari jalan Allah dan bisa menghilangkan akal (kesadaran), sedangkan akal sangat dibutuhkan manusia untuk memahami perintah dan hukum-hukum syari’ah.

Dalam ayat ini, setelah Allah Azza wa jalla menjelaskan hukum syar’i dan menjelaskan kewajiban, kemudian seolah-olah Allah Azza wa Jalla hendak menggugah perhatian manusia. Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: (maka berhentilah kamu [dari mengerjakan pekerjaan itu]). Mengapa kalian tidak berhenti dari hal-hal yang kalian dilarang darinya, berupa kebiasaan orang-orang Jahiliyah, yaitu khamr dan perjudian? Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:.

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ

Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr itu haram”.

Meskipun banyak pabrik membuat produk, lalu setan membuat istilah-istilah untuk produk tersebut, namun kita memiliki kaidah yang mencakup semua nama, meskipun nama tersebut baru dan dirubahrubah, tetapi, setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr itu haram.

Dan bahwasanya, untuk menjaga kebaikan akal, maka syari’at mengharamkan semua yang bisa merusaknya, baik yang maknawi (abstrak) seperti perjudian, nyanyian, memandang sesuatu yang diharamkan, maupun yang bersifat fisik seperti khamr, narkoba serta memberikan sanksi kepada yang melakukannya.[3]


4. MENJAGA KETURUNAN (HIFZHUN-NASLI).
Di antara dharûriyyâtul-khams yang dipelihara dan dijaga dalam syari’at, yaitu menjaga keturunan. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. [Al-Isrâ/17: 32]

Bentuk penjagaan agar manusia menjauhkan manusia dari perbuatan zina, maka syari’at memperbolehkan dan menganjurkan pernikahan poligami, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla menyebutkan.

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

Maka kawinilah wanita wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat”[An-Nisâ/4: 3]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah dia melakukan puasa (sunat). Karena sesungguhnya puasa itu menjadi obat bagi dia”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Seorang pezina tidak akan melakukan perbuatan zina, sedangkan dia dalam keadaan beriman”.

Dalam sebagian riwayat dijelaskan, iman tercerabut darinya. Jika ia berhenti dari berzina, maka keimanannya kembali kepadanya. Semua nash-nash ini untuk menjaga keturunan.

Pemeliharaan keturunan ini, bisa dilihat dari beberapa hal berikut:

(a). Anjuran untuk melakukan pernikahan.
(b). Persaksian dalam pernikahan.
(c). Kewajiban memelihara dan memberikan nafkah kepada anak, termasuk kewajiban memperhatikan pendidikan anak.
(d). Mengharamkan nikah dengan pezina.
(e). Melarang memutuskan untuk thalaq jika tidak karena terpaksa.
(f). Mengharamkan ikhtilâth. [4]


5. MENJAGA HARTA (HIFZHUL-MALI).
Bagian terakhir dari dharuriyâtul-khams yang dijaga oleh syari’at. Yakni sesuatu yang menjadi penopang hidup, kesejahteraan dan kebahagiaan, yaitu menjaga harta. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan” [An-Nisâ‘/4 : 5]

Maksudnya, kemapanan keberadaan manusia ialah dengan harta. Oleh karenanya terdapat perintah mengeluarkan zakat, shadaqah. Dan zakat merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga orang yang berhak menerimanya terjaga dan harta yang mengeluarkannya juga menjadi bersih dan suci.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ

Allah Azza wa Jalla melaknat pencuri yang mencuri telur, lalu tangannya dipotong”.

Dalam syari’at Allah yang bijak ini, juga terdapat larangan melakukan perbuatan tabdzir (pemborosan). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya”. [Al-Isrâ/17 : 26-27]

Begitu juga Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang isrâf (berlebih-lebihan), sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.

وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [Al-An’am/6 :141]

Di antara cara dalam pemeliharaan harta ialah:

(a). Islam mewajibkan beramal dan berusaha.
(b). Memelihara harta manusia dalam kekuasaan mereka.
(c). Islam menganjurkan bershadaqah, memperbolehkan jual beli dan hutang-piutang.
(d). Islam mengharamkan perbuatan zhalim terhadap harta orang lain dan wajib menggantinya.
(e). Kewajiban menjaga harta dan tidak menyia-nyiakannya.[5]

Demikian beberapa nash dari Al-Qur‘an dan as- Sunnah, yang berkaitan dengan dharûriyyâtul-khams .

Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan kepada kaum Muslimin lainnya untuk memahaminya, sehingga semakin menambah dan mengokohkan keyakinan terhadap kebenaran din, agama yang haq ini.

Wallahu a’lam bish-Shawab

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 448-458
[2]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 462-465.
[3]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 467-468.
[4]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 473-478.
[5]. Maqâshidusy-Syarî’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah, hlm. 481-487.

*****
Sumber: almanhaj.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

15 September 2012

FILE 278 : Sinetron Islami, Syar'i kah ?

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Lagi ramai-ramainya isu film "Innocence of Muslims" di dunia nyata maupun maya. Jadi teringat tahun 2008 lalu ketika beredar film "Fitna". Ada yang menanggapi dengan usulan melawan perang pemikiran tersebut dengan membuat film juga, film religi istilahnya. 

Masalahnya, sudah sesuai syar'i kah metode tersebut ditinjau dari hukum Islam ?? Semoga artikel berikut bisa sedikit mencerahkan.

--oo00oo--


Menyoal Pelanggaran Agama dalam Sinetron Bermuatan Religi

.
Akhir-akhir ini di TV banyak ditayangkan sinetron-sinetron, yang dikatakan sinetron Islami. Misalnya, orang yang sering mabuk nanti pada saat mati, mayatnya dipenuhi ulat. Setelah usai tayangan kemudian dikomentari oleh seorang ustadz yang muncul, supaya orang bisa sadar. Bagaimana persoalan seperti ini?

Jika memperhatikan daftar acara tayangan film atau sinetron, kita akan menemukan semua stasiun televisi menampilkan tayangan semacam ini. Pada waktu sebelumnya, tayangan bernuansa "religi", biasanya hanya muncul saat Ramadhan dan Syawwal. Namun belakangan ini, tayangan sinetron "religi" seolah menjadi acara utama televisi. Berbagai tema dimunculkan. Dari yang wajar-wajar saja mengangkat persoalan kehidupan sosial masyarakat, hingga tema-tema keislaman yang hakikatnya mengusung masalah bid'ah dan kesyirikan.

Kenapa bisa demikian? Apakah pihak manejeman televisi menyadari keburukan program-program tayangannya? Seolah tanpa memiliki beban kekeliruan, mereka menayangkan sinetron "religi" yang sebenarnya sarat dengan penyesatan dan pembodohan. Ironisnya, banyak pemirsa yang sebagian besar kaum Muslimin, ternyata terpikat tayangan-tayangan ini tanpa merasa perlu mengkritisi. Padahal, tayangan seperti itu tidak selaras dan banyak yang tidak sesuai dengan pemahaman agama yang shahih.


SENI PERAN BUKAN DARI ISLAM [1]

Pada awal penulisan kitab Iqafun Nabil 'ala Hukmit-Tamtsil, Dr. Abdus Salam bin Barjas rahimahullah membahas mengenai seni peran (tamtsil), yang saat sekarang ini sudah tidak asing lagi. Menurut beliau, mula pertama seni peran adalah dari kebudayaan Yunani dan ajaran-ajaran gereja kuno sebelum Islam datang. Pendapat ini juga dipertegas oleh sejumlah ahli sastra. Adapun kaum Muslimin, tidak pernah mengenalnya, baik ketika awal dakwah Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, maupun setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat.

Seni peran ini, mulai dikenal di kalangan kaum Muslimin pada sekitar pertengahan 1800 Masehi. Yaitu semenjak orang-orang Timur mulai giat mempelajari ilmu-ilmu Barat dan kebudayaanya. Saat itulah, mulai dikenal pengetahuan yang berkaitan dengan seni peran. Prinsip-prinsip dasar seni peran, pada awalnya muncul melalui pertunjukan sandiwara di Yunani dalam acara-acara keagamaan yang diselenggarakan di wilayah-wilayah negara Yunani. Begitu pula dengan gereja, mereka memanfaatkan seni peran (tamstil), untuk mengaktualisasikan wujud para pembesar atau tokoh-tokoh mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mencontohkan dengan satu gambaran berkaitan dengan perayaan hari raya Sya’anin di kalangan penganut Nasrani. Syaikhul Islam berkata: “Itu hari Ahad pertama dalam puasa mereka. Mereka keluar pada hari itu dengan membawa daun zaitun atau lainnya. Dengan asumsi, mereka sedang meniru yang terjadi pada Isa Alaihissallam saat memasuki Baitul Maqdis…".

Jadi, tamtsil (seni peran) merupakan salah satu sya'irah (simbol) paganisme Yunani dan gereja Nashara. Mereka melakukannya dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada dewa-dewa, mengagungkan Isa bin Maryam Alaihissallam dan mengenang tokoh atau pembesar-pembesar mereka. Tema yang diangkat, misalnya tentang dewa Dionysos (Bakhkhos), dewa padi, tumbuh-tumbuhan dan korma. Penyelenggaraan yang mengandung nilai pemujaan ini, sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa syukur terhadap dewa, bila hasil panennya berlimpah. Dan jika gagal panen, mereka melakukannya sebagai ekspresi pengharapan dan ketundukan. Lantas, bagaimana dengan kaum Muslimin?

Harus dipahami, termasuk prinsip yang penting dalam Islam, yaitu menyelisihi kebiasaan dan tradisi orang kafir, terlebih lagi bila tradisi dan kebiasaan tersebut berkaitan erat dengan ibadah dan simbol agama mereka. Dalam Islam, menyelisihi orang kafir dalam tradisi dan kebiasaan mereka merupakan tuntutan syari’at. Bagaimana jika kebiasaan tersebut berkaitan dengan simbol agama dan ibadah mereka? Jawabnya, tentunya harus semakin dijauhi.


RANGKAIAN KEDUSTAAN PADA SINETRON SECARA UMUM [2]

Pembuatan film atau sinetron, tidak lepas dari dua kondisi. Pertama: Sinetron yang bersifat fiktif atau khayalan belaka. Kedua: Berkisah tentang peristiwa nyata yang telah terjadi dengan melibatkan sejumlah orang.

Aktualisasi dua jenis cerita ini hukumnya haram dan tidak diperbolehkan oleh syari'at, karena mengandung kedustaan. Di antara kedustaan yang diperlihatkan sinetron adalah :
  • Menamakan pemainnya dengan nama yang lain.
  • Memainkan sosok lain yang bukan jati dirinya. Misalnya sebagai hakim, penjual, pemabuk, atau lainnya.
  • Ungkapan-ungkapan yang diketahui kebohongan dan khayalannya.
  • Memperlihatkan diri sebagai penderita cacat, orang dungu atau lainnya, padahal tidak demikian.
  • Memerankan sebagai tokoh yang sangat shalih, misalnya sebagai seorang kyai atau ustadz. Bisa juga memerankan tokoh jahat, yang selalu berbuat kerusakan atau kezhaliman, dan sebagainya.
Untuk peran pertama, bila memang tokohnya benar-benar orang-orang shalih, akan menunjukkan tazkiyah (mensucikan diri). Sedangkan peran yang kedua (sebagai orang jahat), apabila memang orangnya begitu, berarti telah membuka kedoknya sendiri sebagai pelaku maksiat di hadapan orang banyak.

Jenis-jenis kedustaan sebagaimana tersebut di atas sulit dilepaskan dari sinetron-sinetron, baik yang bernuansa religi, ataupun lainnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ: (منها) وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ

"Empat sifat, apabila terdapat pada diri seseorang, maka ia menjadi seorang munafik. Barangsiapa terdapat satu sifat dari sifat-sifat itu, maka pada dirinya terdapat satu sifat dari sifat-sifat munafik: (di antaranya), jika berkata ia berdusta". [HR Bukhari dan Muslim].

Mungkin ada yang menyanggah dengan berkata : "Para penonton mengetahui kalau artis A bukanlah tokoh yang dimainkannya, sehingga tidak ada masalah".

Jawabannya adalah, hadits-hadits yang mengharamkan dusta itu bersifat umum, tidak boleh dibatasi kecuali dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari'at. Jenis yang dimaksudkan tidak didapati adanya dalil shahih yang membatasinya. Maka tidak boleh berbicara asal-asalan. Seandainya dusta yang tidak membahayakan orang diperbolehkan, sudah pasti akan terjadi kerusakan besar.

Telah diriwayatkan dari beberapa sahabat tentang haramnya berdusta secara mutlak. Di dalam al Adabul Mufrad karya al Bukhari dan Tahdzibul Atsar, diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Berdusta tidak baik dilakukan pada saat sungguh-sungguh atau main-main, dan juga dalam bentuk memberi janji kepada anak kemudian tidak menepatinya".

Dalam lafazh lain disebutkan: "Dan demi Dzat yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selainNya, berdusta tidak boleh dilakukan untuk main-main atau sengaja".

Di dalam al Qur`an surat at Taubah [9] ayat 119, Allah berfirman : "Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar".

Dalam Sunan Abu Dawud disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا

"Saya menjadi penanggung sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta, meskipun ia main-main".[3]

'Allamah ar Ruyani berkata di dalam al Bahr: "Barangsiapa sengaja berdusta, maka persaksiannya tertolak, kendatipun tidak merugikan orang lain. Sebab, dalam kondisi apapun, dusta hukumnya haram".

Ibnu Jarir menyatakan dalam Tahdzibul Atsar : "Menurutku, yang benar dalam masalah tersebut, ialah pendapat bahwa dusta yang diperkenankan Nabi adalah saat peperangan, untuk memperbaiki hubungan antara orang (yang sedang tidak harmonis) dan terhadap isteri [4]. Adapun kebohongan yang sudah jelas, hukumnya tidak boleh bagi siapapun. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas'ud :'Tidak boleh berdusta dengan sengaja ataupun main-main'. Hal ini merujuk pada riwayat-riwayat yang saya sampaikan dari Rasulullah sebagaimana penjelasan terdahulu yang mengharamkan dusta".


ADANYA PERAN SEBAGAI ORANG KAFIR, MELAFAZHKAN UNGKAPAN BERMUATAN KEKUFURAN, MENCACI-MAKI AGAMA DAN ORANG-ORANG SHALIH [5]

Hal ini berlangsung ketika ada aktor atau artis yang memerankan peran antagonis sebagai pencemooh agama. Dia pun berakting di depan kamera, sebagai seorang pemeran, sambil melontarkan ungkapan busuk tentang agama atau orang-orang shalih. Atau berperan sebagai orang fasik yang sedang mengumbar nafsunya tanpa kendali, sehingga harus bersama dengan wanita lain di satu kamar, berpakaian ala wanita, berperan sebagai lelaki hidung belang, pemabuk …dan peran-peran lainnya. Atau berperan sebagai orang kafir dan melontarkan ungkapan-ungkapan yang jelas-jelas kufur. Dia pun benar-benar berusaha menjiwai aktingnya. Sebagaimana yang dilakukan para pekerja film yang memerankan orang jahiliyah, atau setan. Akhirnya, keluarlah celaan terhadap Allah, RasulNya dan penghinaan terhadap Islam. Ini semua terjadi di hadapan banyak orang, baik sutradara, pemain lain dan kru film, juga penonton nantinya. Mereka berdalih semua ini karena tuntutan profesionalisme. Maka, tidak diragukan lagi, perbuatan ini termasuk kekufuran yang terang-terangan, sehingga bisa mengeluarkan seseorang dari Islam. Allah berfirman dalam QS at Taubah[9] ayat 64-66 menyebutkan:

"Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti.

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?"

"Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa
".

Imam ath Thabari dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan sanad yang berderajat laa ba`sa bih, dari 'Abdullah bin Umar, ia berkata:

"Ada seorang lelaki yang berkata saat dalam perang Tabuk: "Kami tidak melihat orang yang seperti para pembaca al Qur`an ini. Mereka orang yang paling doyan makan, paling dusta lidahnya dan paling pengecut di medan perang".

Ada satu orang yang menyanggah (perkataan tersebut): "Engkau dusta. Engkau hanyalah orang munafik. Saya akan memberitahukan ini kepada Rasulullah".

Kejadian ini kemudian sampai kepada Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam dan al Qur`an turun. 'Abdullah bin 'Umar berkata: "Saya melihat ia (orang yang berbicara tadi) memegangi tali onta Rasulullah sehingga batu-batu melukainya sembari berkata,'Wahai Rasulullah, saya hanya bercanda dan bermain-main saja'," (tetapi) Rasulullah hanya menjawab (dengan membaca ayat) : "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kalian mencemooh. Janganlah kalian meminta maaf. Kalian sudah kafir setelah beriman".

Imam Abu Bakr al Jashshash rahimahullah menyimpulkan:

Dalam hadits ini terdapat petunjuk, bahwa orang yang bermain-main atau sungguhan, sama saja hukumnya saat mengungkapkan kata-kata kufur tanpa ada paksaan. Sebab, orang-orang munafik tersebut melontarkan ucapan-ucapan itu hanya untuk main-main belaka. Maka, Allah memberitahukan kekufuran mereka, dikarenakan tindakan main-main itu dengannya (ayat itu).

Allah memberitahukan, perkataan itu merupakan kekufuran bagaimanapun cara pengungkapannya, baik secara sungguhan ataupun main-main. Sehingga menunjukkan kesamaan hukum antara yang benar-benar ingin melakukanya, dengan orang yang sekedar untuk main-main saja dalam menyampaikan kata-kata kekufuran.

Begitu pula Imam Ibnul 'Arabi rahimahullah menyatakan, kondisi mereka tidak lepas dari dua alternatif, mengucapkannya secara sungguhan atau hanya main-main saja. Bagaimanapun kondisi mereka, tetap saja merupakan kekufuran. Sesungguhnya main-main dengan kekufuran merupakan tindakan kekufuran. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan umat. [Lihat Ahkamul Qur`an, 3/142].

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah menyatakan di dalam kitab at Tauhid, Bab tentang orang yang bermain-main dengan sesuatu yang berkaitan dengan Allah, al Qur`an atau Rasulullah dan firman Allah :

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ

Syaikh Sulaiman bin Abdillah rahimahullah menjelaskan perkataan beliau dalam syarahnya, maksudnya merupakan kekufuran. Sebab, telah mencemooh Rububiyah Allah dan risalah Rasulullah. Tindakan ini bertentangan dengan tauhid.

Para ulama telah bersepakat mengenai kufurnya orang yang melakukan perbuatan tersebut. Barangsiapa yang mengejek Allah atau KitabNya atau Rasul dan agamanya, (berarti) ia telah kafir, kendati pun ia hanya bermain-main saja, tidak berniat untuk melakukan cemoohan. Sehingga, sudah jelas bagi kita melalui keterangan-keterangan para ulama dan kutipan mereka, bahwa orang yang mengucapkan perkataan-perkataan kufur meskipun hanya bermain-main, maka ia kafir.


MERUBAH CIPTAAN ALLAH [6]

Perbuatan merubah ciptaan Allah dalam sinetron atau semacamnya, dapat dilihat ketika para aktornya memerankan sebagai orang pincang, buta, tua renta. Atau dengan menyambung rambutnya dengan rambut lain, meletakkan rambut di dagunya untuk jenggot yang belum tumbuh, menyemir rambut hitamnya, dan seterusnya. Ini semua termasuk dalam kategori merubah ciptaan Allah Ta’ala. Allah melarang perbuatan seperti ini. Dalam al Qur`an surat an Nisaa` ayat 119 Allah menunjukkan perkataan setan:

"…dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya". Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata."

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha menyatakan, yang dimaksud merubah ciptaan Allah dan bertindak buruk denganya adalah bersifat umum, mencakup merubah secara fisik dan mencakup seluruh perbuatan yang membuat bentuk menjadi jelek (tasywih), dan meniru-niru secara maknawi. (Lihat al Manar, 5/428).


MENASABKAN DIRI KEPADA SELAIN AYAHNYA
[7]

Aspek menasabkan diri kepada selain ayahnya dalam sinetron sangat jelas. Seorang pemeran, akan memanggil pemeran lainnya dengan kata "ayah, atau anakku dan lain-lain".

Mengometari perilaku ini, Syaikh 'Abdus Salam bin Barjas rahimahullah mengatakan: "Ini termasuk dalam keumuman larangan. Di dalamnya, terdapat penisbatan bahwa si Fulan putra si Fulan secara hakiki, yang akan memerintah dan melarang serta memaksanya, layaknya ayah kandungnya sendiri. Inilah yang dilarang. Ini merupakan larangan agama".

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam al Qur`an surat al Ahzab[33] ayat 5 :

"Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."


RIDHA DENGAN KEMUNGKARAN

Mengacu kepada penjelasan para ulama tersebut, maka dapat diketahui bahwa tayangan-tanyangan film atau sinetron yang dianggap agamis tersebut, ternyata menyimpan pelanggaran-pelanggaran syari'at, dan mengandung konsekwensi yang tidak ringan. Misalnya, mendiamkan kemungkaran-kemungkaran yang terjadi dalam proses penayangan, menunjukkan keridhaan seseorang terhadap kemungkaran tersebut. Perbuatan ini, juga merupakan kemungkaran.

Dalam sebuah hadits, dari Abu Sa'id al Khudri, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, hendaknya merubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah menggunakan lisannya. Bila tidak mampu, maka menggunakan hatinya. Dan itu merupakan keimanan yang paling lemah”.

Dalam kitab-kitab as Sunan, dari Abi Bakr ash Shiddiq, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللَّهُ بِعِقَابٍ

"Sesungguhnya bila manusia menyaksikan seseorang berbuat zhalim, (tetapi) tidak menghalanginya, dikhawatirkan Allah akan meratakan siksa dariNya kepada mereka semua." [8]


TUJUAN KEBAIKAN MASIH MENGAMBANG, SEMENTARA KERUSAKAN JELAS, MAKA TIDAK BOLEH DIKEMBANGKAN

Terdapat adanya pendapat, bahwa tayangan film atau sinetron tersebut bermanfaat. Yakni bertujuan menampilkan akhlak luhur, sebagai pesan sosial bagi masyarakat terhadap bahaya maksiat, untuk menyadarkan umat meraih hidayah, dan maksud-maksud kebaikan lainnya.

Namun, pendapat ini masih belum teruji, jika dibandingkan dengan mafsadat yang jelas nampak. Selain itu, kebanyakan masyarakat pemirsa, menonton acara-acara tersebut hanya sekedar hiburan, bukan untuk mencari ilmu, mengambil pelajaran dan hidayah. Hingga, susah jika dikatakan acara tersebut telah merealisasikan tujuannya yang muluk-muluk di atas.

Jadi, maslahat itu hanya sebatas prediksi. Sedangkan mafsadah-nya sangat kentara. Seperti pelecehan terhadap kebaikan dan orang-orang shalih, penayangan perbuatan maksiat, adanya ikhtilat (percampuran antara lelaki dan perempuan secara bebas), pengungkapan kata-kata kufur tanpa ada paksaan (kecuali paksaan skenario).

Ha-iah Kibaril Ulama Arab Saudi memberikan penetapan, saat mengomentari pembuatan film yang mengambil kisah Sahabat Bilal Radhiyallahu 'anhu :

“Asumsi adanya maslahat, seperti untuk memperlihatkan akhlak-akhlak yang mulia, etika-etika yang baik, disertai usaha penayangan film layaknya peristiwa aslinya, penelitian kronologis sejarah tanpa ada unsur kekeliruan padanya, yang ditujukan untuk mendapatkan ibrah (pelajaran) dan nasihat, ini hanya sekedar bayangan dan perkiraan belaka. Bagi yang mencermati sebentar saja terhadap kehidupan keseharian dan orientasi sebagian aktor atau artis yang memainkan film religi tersebut -yang bervisi menanamkan nilai-nilai luhur yang dicoba untuk diselipkan di dalamnya- maka ia akan mengetahui, bila kehidupan religi yang sedang mereka (para aktor) perankan, (sesungguhnya) tidak diinginkan oleh mereka.

Di dalam syari'at, terdapat sebuah kaidah yang sudah mapan, bahwa segala sesuatu yang bahayanya sangat dominant, hukumnya adalah haram. Oleh karena itu, untuk menjaga kebaikan dan menutup akses menuju kerusakan dan untuk memelihara kemuliaan orang-orang yang shalih, baik dari kalangan nabi, sahabat atau orang shalih lainnya, tayangan tersebut mesti dilarang".[9]

Ketika menyampaikan kata pengantar dalam Iqafun Nabil, Syaikh Shalih al Fauzan menyatakan, kendatipun diwacanakan mengandung adanya sebagian maslahat, namun sebenarnya ia penuh dengan kerusakan-kerusakan yang lebih dominan, dibandingkan kemaslahatan itu. Dan seperti yang telah diketahui, sesuatu yang bahayanya lebih dominan, hukumnya haram. Selain itu, menghindarkan diri dari bahaya, lebih diutamakan daripada berusaha meraih maslahat. Meskipun pada dasarnya saya sama sekali tidak melihat adanya maslahat. Tetapi, ungkapan ini hanya sekedar untuk tanazzul (usaha menyamakan presepsi) di hadapan pihak yang menyanggah. [10]

Dari pemaparan singkat di atas, mengingat adanya pelanggaran terhadap agama, meski tidak disebutkan secara keseluruhan, maka nampaklah jika tayangan film atau sinetron yang menyandang muatan religi tersebut, tidak selayaknya dan tidak pantas ditayangkan. Jika dikupas tayangan tersebut secara detail, tentu akan semakin meyakinkan ketidakbaikan tayangan-tayangan tersebut. Meskipun tayangan tersebut memiliki tujuan kebaikan, namun kerusakan akibat tayangan tersebut ternyata lebih dominan. Oleh karena itu, pendapat para ulama pantas untuk diperhatikan, bahwa tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Para ulama Islam menyebutnya al ghayah la tubarrirul wasilah.

Wallahul Musta’an. Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. (Mas)

(Diadaptasi dari Iqafun-Nabil 'ala Hukmit-Tamtsil, karya Syaikh Dr. Abdus Salam bin Barjas Alu Abdil Karim, Pengantar Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan, Darul 'Ashimah, Cet. I, Th. 1411 H).

Daftar Rujukan :
  • Fiqhul Nawazil-Dirasat-Ta`shiliyah Tathbiqiyah. Dr. Muhammad bin Husain al Jizani, Dar Ibnil Jauzi, Cet. I, Th. 1426 H – 2005 M.
  • Hirasatul-Fadhilah, Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid Dar ‘Alamil Fawaid, Cet. I, Th. 1415 H.
  • Iqafun-Nabil 'Ala Hukmit-Tamtsil, karya Dr. Abdus Salam bin Barjas Alu Abdil Karim, Pengantar Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan, Darul 'Ashimah, Cet. I, Th. 1411 H.
  • Al Hujajul-Qawiyyah ‘ala Anna wa Sailad-Da'wati Tauqifiyah, Dr. Abdus Salam bin Barjas Alu Abdil Karim, Darus Salaf, Riyadh, Cet. II, Th. 1415H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Iqafun Nabil, hlm. 15-22.
[2]. Ibid., hlm. 30-46.
[3]. Dihasankan oleh al Albani dalam Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no. 2648.
[4]. Tiga kondisi itu juga diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dari Ibnu Syihab rahimahullah (4/2011). Lihat al Adzkar lin-Nawawi, hlm. 324. Dikutip dari Afatul Lisan fi Dhauil-Kitabi was-Sunnah, Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al Qahthani, hlm. 77.
[5]. Iqafun Nabil, 54-55.
[6]. Hirasatul Fadhilah, hlm. 50-53.
[7]. Ibid., hlm. 48-50.
[8]. Dishahihkan oleh al Albani dalam Shahihut-Targhib wat-Tarhib, no. 2317.
[9]. Dikutip dari Fiqhun Nawazil (4/316).
[10]. Iqafun Nabil, hlm. 6.

*****
Sumber: almanhaj.or.id

Artikel Terkait:

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

08 September 2012

FILE 277 : Hukum Gelang Magnet

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Pengobatan dengan Magnet Ditinjau secara Medis dan Syari'at

.
Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullah

Dokter, saat ini banyak orang yang memakai gelang magnet untuk kesehatan (ada syarat gelang tidak boleh kena air –takut hilang daya magnetnya- keterangan penjual). Hal ini apakah dikenal di dalam dunia kesehatan dan bagaimana hukumnya dalam pandangan syariat islam? Jazakumullahu khairan katsiran

Wassalaamu’alaikum

Dari: Rizal


Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh

Terima kasih Saudara Rizal atas pertanyaan yang diajukan.

Penggunaan magnet untuk kesehatan telah cukup lama diketahui, dan masih terus diteliti sampai saat ini. Prinsipnya, medan magnet baik statik maupun non statik, berinteraksi dengan arus ion dan kemagnetan tubuh manusia yang timbul akibat interaksi berbagai macam ion dan molekul dalam tubuh tersebut.

Cabang terapi alternatif menggunakan medan magnet dengan berbagai bentuk telah dikenal di dunia medis dan digunakan di banyak penjuru dunia, terutama untuk meringankan nyeri. Misalnya pada tahun 2003 diadakan penelitian efek medan magnet dalam sol sepatu untuk mengurangi gejala neuropati diabetikum, gangguan saraf akibat diabetes, dengan hasil pengurangan gejala yang cukup signifikan.

Pengobatan dengan magnet, seperti yang Saudara kemukakan, dewasa ini dapat kita temukan dalam bentuk sejenis plester yang ditempelkan pada tubuh, perhiasan seperti gelang atau kalung, sol sepatu, maupun selimut atau matras. Meski demikian, para praktisi di bidang terapi ini masih terus mengadakan penelitian terutama mengenai dosis yang tepat untuk penanganan keluhan tertentu.

Jawaban dr. Hafidz N (Pengasuh Rubrik Kesehatan Konsultasi Syariah)


Gelang Magnet
Tinjauan Secara Syariat

Kasus yang terjadi untuk pengobatan dengan gelang magnet termasuk bentuk mengambil sebab untuk mendapatkan manfaat tertentu, yaitu penyembuhan. Dengan hikmahnya, Allah menciptakan sesuatu memiliki hubungan sebab-akibat dengan yang lain. Misalnya, makanan bisa menjadi sebab bagi manusia untuk mendapatkan nutrisi bagi kehidupannya, minum obat tertentu untuk mengobati sakit tertentu, dst.

Kita bisa mengetahui adanya hubungan sebab-akibat dengan dua hal;

Pertama, berdasarkan dalil. Dalam istilah aqidah sering disebut sebab syar’i.

Contoh: Orang bisa mengusir jin yang masuk ke tubuh manusia dengan ruqyah (dibacakan AlQur'an atau doa). Meskipun secara ilmu medis ini tidak terbukti dan tidak memiliki keterkaitan, namun mengingat ada dalil yang menjelaskan hal ini, maka kita yakini bahwa ruqyah termasuk salah satu sebab untuk mengobati orang sakit atau orang yang kerasukan jin.

Kedua, berdasarkan penelitian ilmiah

Contoh: Paracetamol untuk mengobati sakit kepala. Meskipun tidak kita jumpai dalil, baik dari AlQur'an maupun hadis yang menjelaskan hal ini.

Syarat mutlak untuk menetapkan hubungan sebab-akibat adalah berdasarkan penelitian ilmiah dan bukan sebatas klaim atas nama ilmiah. Beberapa kasus pengobatan alternatif yang menggunakan sihir di sekitar kita, mereka mengelabuhi pasiennya dengan meng-ilmiahkan yang tidak ilmiah. Yang menyedihkan, banyak orang mempercayainya padahal sejatinya itu sihir atau menggunakan jin.

Untuk kasus pengobatan dengan magnet, kita telah mendapatkan penjelasan bahwa itu telah terbukti berdasarkan penelitian ilmiah dalam ilmu kedokteran. Karena itu, insya Allah tidak masalah menggunakan gelang magnet dengan tujuan pengobatan atau yang lainnya.

Yang penting untuk diingat dalam menggunakan sebab adalah meyakini bahwa yang menentukan segala sesuatunya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga hati bersandar kepada Allah Ta’ala dan bukan pada sebab, dan meyakini bahwasanya sebab itu sendiri bagaimanapun bagus dan hebatnya tidak memiliki pengaruh apapun terhadap kesembuhan tanpa izin Allah Ta’ala.

Allahu Ta’ala a’lam. Semoga bermanfaat.

Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh


*****
Sumber: konsultasisyariah.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

01 September 2012

FILE 276 : Tujuh Rintangan Syetan

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

7 (Tujuh) Rintangan Syetan

.Disalin dari:
Rubrik Lentera, Majalah Nikah Sakinah Vol. 11 No. 2


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ (*) إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
 
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir [35]: 5-6)

Pada ayat di atas, Allah menegaskan kepada segenap manusia bahwa janji Allah akan adanya hari kebangkitan dan pembalasan terhadap amal manusia di dunia adalah benar adanya, tidak ada keraguan sedikit pun padanya. Sebuah penegasan yang mengingatkan kita semua bahwa kehidupan kita di dunia ini hanyalah sementara, hanya sebagai jalan menuju kehidupan akhirat, kehidupan yang hakiki dan abadi. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi setiap manusia untuk mempersiapkan diri mereka menyambut hari akhirat dengan bersegera memanfaatkan waktu-waktu yang ada sebagai ladang menanam amal-amal shalih untuk bekal di akhirat kelak.

Dan tatkala upaya meraih kebahagiaan akhirat itu tidak bisa tercapai kecuali dengan melewati dua buah rintangan besar; keindahan kehidupan dunia dan tipu daya setan, maka Allah pun memberikan peringatan kepada manusia agar tidak tertipu dan teperdaya dengan kehidupan dunia ataupun dengan tipu daya setan. Bahkan Allah memerintahkan manusia untuk menjadikan setan sebagai musuh utamanya, karena setan benar-benar telah nyata memusuhi manusia.


Kenali Tipu Daya Musuh

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.” (QS. an-Nur [24]: 21)

Dalam ayat ini, Allah melarang kita mengikuti langkah-langkah setan. Dari sinilah kita perlu memahami apa saja langkah-langkah setan atau tipu daya setan dalam menjerumuskan umat manusia dalam kesesatan, agar kita tidak teperdaya oleh setan, melakukan sesuatu yang disenangi setan tanpa kita sadari. Maka ketahuilah bahwa langkah-langkah setan adalah segala jalan yang dia tempuh untuk menyesatkan seseorang dari jalan yang benar, atau menjauhkan seseorang dari Allah ta’ala.

Ibnul Qayyim rahimahullah telah menjelaskan dalam kitab Madarijus Salikin, tentang jalan-jalan yang ditempuh oleh setan untuk menghalangi dan merintangi manusia dari penghambaannya kepada Allah ta’ala. Jalan atau rintangan itu sebagiannya lebih berat dibanding dengan yang lainnya. Jika setan gagal dengan rintangan terbesarnya, dia akan beralih kepada rintangan yang lebih kecil di bawahnya.

Rintangan pertama, yaitu rintangan terbesar yang menghalangi seseorang dari penghambaannya kepada Allah. Rintangan ini adalah kekafiran terhadap Allah ta’ala, agama-Nya, hari akhir, sifat-sifat kesempurnaan-Nya, dan kafir terhadap segala sesuatu yang diberitakan oleh para Rasul-Nya dari Allah ta’ala. Jika setan berhasil pada rintangan ini, maka padamlah api permusuhannya terhadap manusia, dan dia akan beristirahat darinya. Namun jika dia gagal pada rintangan ini, dia akan beralih pada rintangan kedua.

Rintangan kedua, rintangan kebid’ahan, yaitu perkara-perkara baru dalam agama yang tidak pernah dituntunkan oleh agama ini. Kebid’ahan ini bisa berupa keyakinan yang menyelisihi kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, dan bisa juga berupa amalan-amalan ibadah baru atau dengan tata cara baru yang tidak pernah dituntunkan oleh syariat. Rintangan ini bisa dihadapi dengan memegangi hakikat mutaba’ah (peneladanan) yang benar kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Rintangan ketiga. Jika seorang manusia melewati rintangan kedua, maka setan akan berusaha menjerumuskannya pada perbuatan dosa-dosa besar. Jika setan berhasil pada rintangan ini, maka dia akan menghias-hiasi dan memperindah dosa besar ini. Setan akan menipu daya manusia dan mengatakan; yang penting dalam keimanan adalah pembenaran saja, sedang amalan tidak akan bisa memengaruhi keimanan. Padahal Allah mengancam para pelaku dosa besar dengan berbagai siksaan, baik di dunia maupun di akhirat. Lalu jika Allah memberi taufik-Nya kepada seorang manusia sehingga dia terbebas dari dosa besar atau bertaubat darinya, maka setan akan tetap berusaha menghalanginya dengan rintangan berikutnya.

Rintangan keempat, berupa berbagai perbuatan dosa kecil. Di sini, setan juga tetap melancarkan tipu dayanya, mengatakan bahwa engkau tidak akan mendapatkan bahaya dari dosa kecil ini selama engkau menjauhi dosa besar, dosa kecil ini akan mudah terhapus dengan amal-amal kebajikan. Dan berbagai tipu daya yang dilancarkan agar dia meremehkan dosa kecil ini sehingga terus-menerus melakukannya. Padahal, dosa kecil yang dilakukan secara terus-menerus akan menjadi lebih buruk dari pada dosa besar yang dilakukan oleh seseorang yang kemudian menyesal dan bertaubat darinya. Ketika setan gagal pada rintangan ini karena manusia yang diganggunya selalu berusaha menjaga diri dan berhati-hati, bertaubat dan istighfar, dan senantiasa mengiringi perbuatan buruk dengan kebaikan, maka setan terus berusaha dan beralih kepada rintangan berikutnya.

Rintangan kelima. Pada rintangan ini, setan akan menggunakan perkara-perkara mubah yang pada asalnya tidak mengapa jika dilakukan. Akan tetapi setan berusaha menyibukkan manusia dengan memperbanyak perkara mubah sehingga dia lalai dari ketaatan kepada Allah, lalai dari bersungguh-sungguh dalam memperbanyak bekal menuju akhirat. Setan terus menyibukkan manusia dengan perkara mubah ini sehingga dia meninggalkan perkara yang sunah, kemudian meningkat meninggalkan perkara yang wajib, karena kesibukannya dengan perkara yang mubah pada asalnya. Seandainya seorang manusia mengetahui besarnya nilai akhirat yang tidak bisa dibandingkan dengan dunia, niscaya dia tidak akan melewatkan berbagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, bahkan dia akan bersikap bakhil atas waktunya dan berusaha memanfaatkannya agar tidak berlalu tanpa keuntungan. Jika demikian keadaan seorang manusia, maka setan gagal pada rintangan ini dan beralih pada rintangan berikutnya.

Rintangan keenam. Pada rintangan ini, setelah setan tidak berhasil membuat seorang manusia rugi dengan tidak mendapatkan pahala sama sekali, maka setan berusaha membuatnya rugi dari pahala yang sempurna. Setan akan menyibukkannya dengan amalan-amalan yang lebih rendah keutamaannya, sehingga dia meninggalkan amalan yang lebih besar keutamaan dan pahalanya, akibatnya dia tidak mendapatkan pahala yang besar dan derajat yang tinggi. Dan tidak akan selamat dari rintangan ini kecuali orang-orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang amalan dan tingkatan-tingkatannya di sisi Allah, mengetahui perbedaan tingkatan dari keutamaan setiap amalan. Dan tidak akan bisa mencapainya kecuali para ulama yang diberi taufik sehingga bisa menempatkan setiap amalan pada tempatnya yang sesuai.

Rintangan ketujuh. Jika setan tidak berhasil dengan keenam rintangan di atas, maka hanya tinggal satu cara untuk merintangi manusia. Rintangan terakhir ini berupa gangguan-gangguan yang diberikan oleh setan dan bala tentaranya baik dari kalangan jin dan manusia, baik berupa gangguan fisik, lisan maupun hati. Tidak akan ada seorang pun yang bisa lepas dari gangguan ini. Karena gangguan ini akan semakin besar dilancarkan oleh setan dan bala tentaranya ketika manusia semakin mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah. Seandainya ada yang bisa bebas dari rintangan ini, maka mereka itu adalah para nabi dan utusan Allah. Akan tetapi dengan adanya rintangan ini, seorang mukmin atau wali-wali Allah akan bisa beribadah kepada Allah dengan memerangi dan menghinakan musuh-musuh Allah. Karena tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah dibandingkan dengan penghinaan dan perendahan musuh-musuh Allah oleh wali-wali Allah.

Wallahu a’lam.

*****
Sumber: majalahsakinah.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin