Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

30 Juni 2012

FILE 268 : Dana Talangan Haji, Bolehkah ?

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Berhaji dari Talangan Bank

.Disusun oleh:
Ust. DR. Muhammad Arifin Badri M.A.

PENDAHULUAN

Alhamdulillah , shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Kiblat yang bermuara di Baitullah atau Ka’bah adalah arah-arah Anda setiap kali mendirikan shalat. Tentu arah ini memiliki arti tersendiri dalam hidup Anda. Dan sudah barang tentu hati Anda selalu merindukan untuk memiliki kesempatan beribadah kepada Allah langsung di hadapan Ka’bah. Wajar bila pertama kali Anda berkesempatan untuk beribadah kepada Allah langsung di hadapan Ka’bah, Anda tak kuasa menahan luapan rasa bahagia. Hati Anda berbunga-bunga, dan pikiran Anda terharu dan air matapun mengalir bercucuran. Betapa tidak, arah yang selama ini Anda agungkan ternyata bermuara pada bangunan sederhana, yaitu Ka’bah. Bangunan yang tersusun dari bebatuan hitam, yang sudah barang tentu tidak kuasa memberi Anda apapun.

Kesederhanaan Ka’bah menjadikan Anda menyadari bahwa selama ini ternyata Anda tidaklah menyembah bangunan Ka’bah. Selama ini sejatinya Anda sedang mengagungkan Tuhan Ka’bah, Pencipta dan Penguasa dunia beserta isinya.

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِالَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَآمَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ

Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” [Al-Quraisy : 34]

Walau demikian, mata Anda tak akan pernah puas memandang Ka’bah, dan kerinduan akan selalu melekat dalam hati Anda untuk terus berkunjung dan beribadah di dekatnya.

Saudaraku! Fenomena yang Anda rasakan bersama Ka’bah ini sejatinya adalah efek langsung dari kobaran iman Anda kepada Allah Ta’ala. Anda menyadari bahwa Allah-lah yang memerintahkan Anda untuk meghadapkan wajah ke arahnya, karenanya Anda selalu rindu kepadanya.

Begitu kuat kerinduan Anda kepada Ka’bah hingga menjadikan Anda berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengobati kerinduan Anda walau hanya sesaat atau minimal sekali seumur hidup Anda. Sedikit demi sedikit Anda menyisihkan dari hasil kucuran keringat Anda, agar dikemudian hari Anda berkesempatan menikmati kesejukan beribadah di sisi Baitullah Ka’bah. Bahkan mungkin Anda rela menjual berbagai aset Anda, atau bahkan berhutang agar dapat mewujudkan impian Anda ini.


BERHAJI DARI HASIL BERHUTANG

Kerinduan Anda kepada Ka’bah’ menjadikan banyak orang memutar otak dan mencari berbagai terobosan guna mewujudkannya. Dan diantara terobosan yang sekarang banyak ditawarkan ialah dengan mengikuti program arisan atau menggunakan dana talangan haji. Bagi banyak kalangan, program ini terasa bak hembusan angin surga yang mengobati kerinduan hatinya. Akibatnya, banyak dari mereka terbuai dan langsung menerimanya tanpa berpikir lebih dalam tentang hukum dan resikonya.

Andai mereka sedikit meluangkan waktu dan pikiranya guna menimbang-nimbang program ini, nisacaya mereka mewaspadainya, program-program semacam ini, walau pada awalnya terasa empuk, namun pada akhirnya terasa berat dan menyusahkan. Terlebih-lebih bila program dana talangan haji ditinjau dari hukum syar’inya.

Dana talangan haji yang sekarang sedang marak diterapkan di berbagai lembaga keuangan, adalah salah satu bentuk rekayasa melanggar hukum Allah Ta’ala. Praktek yang sekarang sedang menjamur di masyarakat ini sekilas berupa akad qardh (piutang) dan ijarah (sewa menyewa jasa). Dan tidak diragukan bahwa kedua akad ini bila dilakukan secara terpisah adalah halal.

Walau demikian, ketika kedua akad ini dilakukan secara bersamaan dan saling terkait, muncullah masalah besar. Yang demikian itu karena beberapa alasan :

1. Larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ

Tidak halal menggabungkan antara piutang dengan akad jual-beli” [HR Abu Dawud hadits no. 3506 dan At-Tirmidzy hadits no. 1234]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :”Pada hadits ini Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang penggabungan antara piutang dengan jual beli. Dengan demikian bila Anda menggabungkan antara akad piutang dengan akad sewa-menyewa berarti Anda telah menggabungkan antara akad piutang dengan akad jual-beli atau akad yang serupa dengannya. Dengan demikian, setiap akad sosial semisal hibah pinjam-meminjam, hibah buah-buahan yang masih di atas pohonnya, diskon pada akan penggarapan ladang atau sawah, dan lainnya semakna dengan akad hutang piutang, yaitu tidak boleh digabungkan dengan akad jual-beli dan sewa-menyewa” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/62]

2. Riba Terselubung

Secara lahir kreditur tidak memungut tambahan atau riba atau bunga dari piutangnya, namun secara tidak langsung ia telah mendapatkannya, yaitu dari uang sewa yang ia pungut. Anda pasti menyadari bahwa sewa menyewa (jual jasa pengurusan administrasi haji) yang dilakukan oleh lembaga keuangan terkait langsung dengan akad hutang piutang. Biasanya, yang telah memiliki dana sendiri untuk biaya hajinya, tidak akan menggunakan layanan “dana talangan haji” ini. Dengan demikian, adanya talangan dana haji ini, menjadikan lembaga keuangan terkait dapat memasarkan jasanya dan pasti mendapatkan keuntungan dari jual-beli jasa tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan hal ini dengan berkata : “Kesimpulan dari hadits ini menegaskan bahwa : Tidak dibenarkan menggabungkan antara akad komersial dengan akad sosial. Yang demikian itu karena keduanya menjalin akad sosial disebabkan adanya akad komersial antara mereka. Dengan demikian akad sosial itu tidak sepenuhnya sosial. Namun akad sosial secara tidak langsung menjadi bagian dari nilai transaksi dalam akad komersial.

Dengan demikian orang yang menghutangkan uang sebesar seribu dirham kepada orang lain, dan pada waktu yang sama kreditur tidak rela memberi piutang kecuali bila debitur membeli barangnya dengan harga mahal. Sebagaimana pembeli tidaklah rela membeli dengan harga mahal melainkan karena ia mendapatkan piutang dari penjual” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/63]

3. Memberatkan Masyarakat

Sistem setoran haji yang diterapkan oleh Departemen Agama dengan online, sehingga dapat dilakukan kapan saja, telah mendatangkan masalah besar. Masyarakat berlomba-lomba untuk melakukan pembayaran secepat mungkin, guna mendapatkan kepastian jadwal keberangkatan. Akibatnya, banyak dari mereka yang sejatinya belum mampu menempuh segala macam cara, karena khawatir kelak harus menanti lama. Banyak dari mereka yang memaksakan diri dengan cara menggunakan sistem dana talangan haji atau arisan.

Adanya praktek memaksakan diri ini tidak diragukan membebani masyarakat. Terlebih-lebih menjadikan agama Islam yang pada awalnya terasa mudah, sekarang menjadi terasa sulit nan berat. Untuk dapat berhaji harus menanti sekian lama, dan selama penantian banyak dari mereka yang harus tersiksa dengan cicilan piutang. Bahkan sepulang menunaikan ibadah hajipun, sering kali masih menanggung beban cicilan biaya perjalan hajinya.

Sudah barang tentu melaksanakan ibadah dengan cara memaksakan diri semacam ini tentu tidak selaras dengan syariat Islam.

يَاأَيُّهَاالنَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَالأَعْمَالِ مَاتُطِيْقُوْنَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَيَمُلُّ حَتَّى تَمُلُّواوَإِنَّ أَحَبَّ اْلأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَادُوْوِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ

Wahai umat manusia, hendaknya kalian mengerjakan amalan yang kuasa kalian kerjakan, karena sejatinya Allah tidak pernah merasa bosan (diibadahi) walaupun kalian sudah merasakannya. Dan sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah ialah amalan yang dilakukan secara terus menerus, walaupun hanya sedikit” [HR Bukhari hadits no. 1100 dan Muslim hadits no. 785]

Dalam riwayat lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan ini ketika mendengar cerita bahwa Khaula’ binti Tuwait senantiasa shalat malam dan tidak pernah tidur.

Dan dalam urusan haji Allah Ta’ala berfirman.

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” [Ali-Imran : 97]


PENUTUP
Semoga paparan singkat ini menjadi pelajaran bagi Anda untuk semakin bertambah yakin bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak rela bila umatnya sengsara atau ditimpa kesusahan. Dengan demikian Anda dapat bersikap proposional dan terhindar dari hal-hal yang kurang selaras dengan syariat Islam, walau sekilas terasa empuk.

Wallahu a‘lam bish shawab.

[Ustadz DR Muhammad Arifin Badri, MA, Alumnus Doktoral Universitas Islam Madinah, lulus dengan predikat summa cum laude, Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia. Disalin dari Majalah Pengusaha Muslim Edisi 21 Volume 2/Oktober 2011]

*****
Sumber: almanhaj.or.id

Baca Juga:
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

23 Juni 2012

FILE 267 : Bolehkan Memasuki Tempat Ibadah Non-Muslim ?

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Hukum Masuk Gereja

.Dijawab oleh:
Ust. Ammi Nur Baits


Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Apa hukum masuk gereja atau tempat peribadatan non muslim lainnya?
Terima kasih.
Dari: Arriqa

Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Bismillah was shalatu was salamu ’ala rasulillah
Sebagian ulama melarang secara mutlak memasuki gereja. Mereka berdalil dengan firman Allah, yang artinya,
لاَتَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At Taubah: 108)
Sekembalinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perang Tabuk, orang-orang munafik semakin pupus harapan untuk bisa mengalahkan kaum muslimin. Akhirnya mereka mendirikan sebuah masjid dalam rangka memecah belah barisan kaum muslimin. Masjid ini dikenal dengan masjid dhirar. Ayat ini turun sebagai larangan Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum untuk melaksanakan shalat di masjid tersebut dan diperintahkan agar masjid tersebut dihancurkan. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang untuk masuk dan shalat di masjid dhirar, yang dibangun untuk tujuan makar dalam rangka merusak barisan kaum muslimin, padahal itu berupa masjid maka lebih terlarang lagi jika itu adalah gereja. Sementara Gereja itu murni dibangun semata-mata untuk maksiat kepada Allah.
Ulama yang berpendapat ini memberikan pengecualian untuk bisa masuk gereja jika terpenuhi beberapa syarat:
- Adanya maslahat bagi agama Islam, misalnya dalam rangka berdakwah atau berdebat dengan orang Nasrani agar mereka masuk Islam.
- Tidak menimbulkan perbuatan haram, misalnya basa-basi dalam kemaksiatan mereka.
- Berani menampakkan jati diri keislamannya di hadapan orang kafir.
- Tidak menyebabkan orang awam tertipu karena mengira bahwa dirinya setuju dengan agama orang Nasrani.
(Fatwa Lajnah Daimah, 2:339 dan Fatwa Syaikh Dr. Nashir bin Sulaiman di Majalah Ad Da’wah edisi 1930, Dzulhijjah 1424 H).
Namun berdasarkan keterangan banyak ulama di berbagai madzhab, akan lebih tepat jika diberikan rincian sebagai berikut:
Pertama, pada saat orang Nasrani sedang melakukan peribadatan
Para ulama secara mutlak melarang perbuatan ini dengan beberapa alasan:
- Karena ini berarti kita ikut bergabung dalam kebatilan yang mereka lakukan.
- Tindakan ini menyerupai ciri khas orang kafir, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum (dalam ciri khas mereka, pen.) maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud 4031 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani). Syaikhul Islam mengatakan, “Hadis ini, kondisi minimalnya menunjukkan haramnya meniru ciri khas orang kafir. Meskipun dlahir hadis menunjukkan kafirnya orang yang meniru perbuatan yang menjadi ciri khas mereka.” (Iqtidla’ As Shirath Al Mustaqim, 1:270).
- Murka Allah turun pada saat peribadatan mereka dan di tempat ibadat mereka. Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Hati-hatilah kalian dari bahasa orang kafir dan janganlah kalian masuk bersama orang muyrik pada saat peribadatan mereka di gereja mereka, karena pada saat itu dan di tempat itulah murka Allah sedang turun.” (HR. Abdur Razaq dalam Al Mushannaf no. 1608, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubro, 9:234 dan dinilai kuat oleh Al Bukhari dalam At Tarikh).
Kedua, di luar waktu peribadatan mereka namun di dalam gereja tersebut terdapat gambar atau palang salib yang dipajang.
Hukum keadaan ini sebagaimana memasuki rumah yang ada gambarnya. Ada dua pendapat ulama dalam menyikapi masalah ini. Umairah dalam Hasyiyah-nya mengatakan, “Bab, kita tidak boleh masuk gereja kecuali dengan izin mereka. Jika di dalamnya terdapat gambar maka diharamkan secara mutlak.”
Ibnuu Qudamah mengatakan, “Adapun masuk rumah yang di dalamnya terdapat gambar bukanlah satu hal yang haram… ini adalah pendapat Imam Malik, beliau melarangnya karena makruh dan beliau tidak menganggap hal itu satu hal yang haram. Mayoritas Syafi’iyah mengatakan: Jika gambarnya di dinding atau di tempat yang tidak diinjak, maka tidak boleh memasukinya…
kita memiliki satu riwayat, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk Ka’bah beliau melihat ada gambar Ibrahim dan Ismail yang sedang mengundi nasib dengan anak panah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkomentar, “Semoga Allah membinasakan mereka (orang musyrikin), sungguh mereka telah mengetahui bahwa keduanya (Ibrahim dan Ismail) sama sekali tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah.” (HR. Abu Daud). Dan di antara persyaratan Umar (untuk kafir dzimmi), mereka (diperintahkan) agar memperluas gereja dan tempat peribadatan mereka, supaya kaum muslimin bisa masuk untuk menginap di dalamnya…
Ibnuu ‘Aidz dalam Futuh As Syam meriwayatkan bahwasanya orang Nasrani membuatkan makanan untuk Umar ketika beliau sampai di Syam, kemudian mereka mengundang Umar. Beliau bertanya, “Di mana?” Mereka menjawab, “Di gereja.” Maka Umar tidak mau menghadirinya dan Beliau berkata kepada Ali, “Berangkatlah bersama para sahabat agar mereka bisa makan siang.” Maka berangkatlah Ali bersama para sahabat dan masuk ke dalam gereja serta makan siang. Kemudian Ali melihat ke gambar, sambil mengatakan, “Tidak ada masalah bagi Amirul Mukminin (Umar) andaikan dia masuk dan makan.” Sikap para sahabat ini menunjukkan kesepakatan mereka tentang bolehnya masuk gereja meskipun di dalamnya terdapat gambar, disamping masuk gereja dan tempat peribadatan mereka tidaklah haram.” (Al Mughni Ibnu Qudamah, 4:16).
Ibnuu Muflih mengatakan, “Boleh masuk dan shalat di tempat peribadatan dan gereja atau yang semacamnya. Dan makruh jika di dalamnya ada gambarnya. Ada yang mengatakan haram mutlak. Penulis Al Mustau’ib mengatakan, Sah melaksanakan shalat fardhu di gereja atau tempat peribadatan orang kafir meskipun makruh…
Dalam Syarh Ibnu ‘Aqil disebutkan, “Tidak mengapa shalat di gereja yang suci (dari najis), ini adalah riwayat dari Ibnu Umar dan Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhum…”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan Imam Malik membenci masuk gereja karena alasan ada gambar… (Al Adab As Syar’iyah, 4:122).
Ringkasnya, bahwasanya hukum masuk gereja yang ada gambar atau palang salib yang tergantung dalam posisi diagungkan adalah makruh. Kecuali jika orang muslim tersebut mampu untuk mengubahnya. Wallaahu a’lam.
Ketiga, di luar waktu peribadatan mereka dan di dalamnya tidak terdapat gambar maupun palang salib
Al Hanifiyah berpendapat makruhnya seorang muslim masuk ke gereja. Alasannya, karena gereja adalah tempat berkumpulnya setan bukan karena dia tidak boleh masuk. Sebagian ulama Madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan masuk gereja. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaithiyah 2:14143).
Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, karena sebagaimana ditegaskan oleh sebagian Ulama bahwasanya dianjurkan bagi penguasa muslim untuk mengadakan perjanjian dengan orang kafir dzimmi agar mereka menyediakan tempat untuk tamu muslim di gereja. Dan inilah yang dilakukan khalifah Umar terhadap penduduk Syam. Di antara isi perjanjian damai ahli kitab dengan kaum muslimin: “Kami tidak melarang kaum muslimin untuk singgah di gereja kami baik di malam hari maupun siang hari. Kami akan memperlebar pintu-pintu gereja kami untuk para pelancong dan orang yang kehabisan bekal di perjalanan.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaithiyah 2).
Keempat, dalam rangka untuk dakwah dan berdebat untuk menyadarkan kesesatan mereka.
Untuk keadaan yang terakhir ini para ulama menegaskan bolehnya. Bahkan mereka yang melarang secara mutlak, membolehkan masuk gereja dalam rangka mendakwahkan Islam kepada mereka.
Allahu a’lam

Read more about AQIDAH by www.konsultasisyariah.com
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum

Apa hukum masuk gereja atau tempat peribadatan non muslim lainnya?
Terima kasih.

Dari: Arriqa


Jawaban:
Wa’alaikumussalam

Bismillah was shalatu was salamu ’ala rasulillah


Sebagian ulama melarang secara mutlak memasuki gereja. Mereka berdalil dengan firman Allah, yang artinya,

لاَتَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At Taubah [9]: 108)

Sekembalinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perang Tabuk, orang-orang munafik semakin pupus harapan untuk bisa mengalahkan kaum muslimin. Akhirnya mereka mendirikan sebuah masjid dalam rangka memecah belah barisan kaum muslimin. Masjid ini dikenal dengan masjid dhirar. Ayat ini turun sebagai larangan Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum untuk melaksanakan shalat di masjid tersebut dan diperintahkan agar masjid tersebut dihancurkan. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang untuk masuk dan shalat di masjid dhirar, yang dibangun untuk tujuan makar dalam rangka merusak barisan kaum muslimin, padahal itu berupa masjid maka lebih terlarang lagi jika itu adalah gereja. Sementara Gereja itu murni dibangun semata-mata untuk maksiat kepada Allah.

Ulama yang berpendapat ini memberikan pengecualian untuk bisa masuk gereja jika terpenuhi beberapa syarat:
  • Adanya maslahat bagi agama Islam, misalnya dalam rangka berdakwah atau berdebat dengan orang Nasrani agar mereka masuk Islam.
  • Tidak menimbulkan perbuatan haram, misalnya basa-basi dalam kemaksiatan mereka.
  • Berani menampakkan jati diri keislamannya di hadapan orang kafir.
  • Tidak menyebabkan orang awam tertipu karena mengira bahwa dirinya setuju dengan agama orang Nasrani.
(Fatwa Lajnah Daimah, 2:339 dan Fatwa Syaikh Dr. Nashir bin Sulaiman di Majalah Ad Da’wah edisi 1930, Dzulhijjah 1424 H).

Namun berdasarkan keterangan banyak ulama di berbagai madzhab, akan lebih tepat jika diberikan rincian sebagai berikut:

 
Pertama, pada saat orang Nasrani sedang melakukan peribadatan

Para ulama secara mutlak melarang perbuatan ini dengan beberapa alasan:
  1. Karena ini berarti kita ikut bergabung dalam kebatilan yang mereka lakukan.
  2. Tindakan ini menyerupai ciri khas orang kafir, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum (dalam ciri khas mereka, pen.) maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud 4031 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani). Syaikhul Islam mengatakan, “Hadis ini, kondisi minimalnya menunjukkan haramnya meniru ciri khas orang kafir. Meskipun dlahir hadis menunjukkan kafirnya orang yang meniru perbuatan yang menjadi ciri khas mereka.” (Iqtidla’ As Shirath Al Mustaqim, 1:270).
  3. Murka Allah turun pada saat peribadatan mereka dan di tempat ibadat mereka. Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Hati-hatilah kalian dari bahasa orang kafir dan janganlah kalian masuk bersama orang muyrik pada saat peribadatan mereka di gereja mereka, karena pada saat itu dan di tempat itulah murka Allah sedang turun.” (HR. Abdur Razaq dalam Al Mushannaf no. 1608, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubro, 9:234 dan dinilai kuat oleh Al Bukhari dalam At Tarikh).

Kedua, di luar waktu peribadatan mereka namun di dalam gereja tersebut terdapat gambar atau palang salib yang dipajang.

Hukum keadaan ini sebagaimana memasuki rumah yang ada gambarnya. Ada dua pendapat ulama dalam menyikapi masalah ini. Umairah dalam Hasyiyah-nya mengatakan, “Bab, kita tidak boleh masuk gereja kecuali dengan izin mereka. Jika di dalamnya terdapat gambar maka diharamkan secara mutlak.”

Ibnu Qudamah mengatakan, “Adapun masuk rumah yang di dalamnya terdapat gambar bukanlah satu hal yang haram… ini adalah pendapat Imam Malik, beliau melarangnya karena makruh dan beliau tidak menganggap hal itu satu hal yang haram. Mayoritas Syafi’iyah mengatakan: Jika gambarnya di dinding atau di tempat yang tidak diinjak, maka tidak boleh memasukinya…

Kita memiliki satu riwayat, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk Ka’bah beliau melihat ada gambar Ibrahim dan Ismail yang sedang mengundi nasib dengan anak panah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkomentar, “Semoga Allah membinasakan mereka (orang musyrikin), sungguh mereka telah mengetahui bahwa keduanya (Ibrahim dan Ismail) sama sekali tidak pernah mengundi nasib dengan anak panah.” (HR. Abu Daud). Dan di antara persyaratan Umar (untuk kafir dzimmi), mereka (diperintahkan) agar memperluas gereja dan tempat peribadatan mereka, supaya kaum muslimin bisa masuk untuk menginap di dalamnya…

Ibnu ‘Aidz dalam Futuh As Syam meriwayatkan bahwasanya orang Nasrani membuatkan makanan untuk Umar ketika beliau sampai di Syam, kemudian mereka mengundang Umar. Beliau bertanya, “Di mana?” Mereka menjawab, “Di gereja.” Maka Umar tidak mau menghadirinya dan beliau berkata kepada Ali, “Berangkatlah bersama para sahabat agar mereka bisa makan siang.” Maka berangkatlah Ali bersama para sahabat dan masuk ke dalam gereja serta makan siang. Kemudian Ali melihat ke gambar, sambil mengatakan, “Tidak ada masalah bagi Amirul Mukminin (Umar) andaikan dia masuk dan makan.” Sikap para sahabat ini menunjukkan kesepakatan mereka tentang bolehnya masuk gereja meskipun di dalamnya terdapat gambar, disamping masuk gereja dan tempat peribadatan mereka tidaklah haram.” (Al Mughni Ibnu Qudamah, 4:16).

Ibnuu Muflih mengatakan, “Boleh masuk dan shalat di tempat peribadatan dan gereja atau yang semacamnya. Dan makruh jika di dalamnya ada gambarnya. Ada yang mengatakan haram mutlak. Penulis Al Mustau’ib mengatakan, Sah melaksanakan shalat fardhu di gereja atau tempat peribadatan orang kafir meskipun makruh…

Dalam Syarh Ibnu ‘Aqil disebutkan, “Tidak mengapa shalat di gereja yang suci (dari najis), ini adalah riwayat dari Ibnu Umar dan Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhum…”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan Imam Malik membenci masuk gereja karena alasan ada gambar… (Al Adab As Syar’iyah, 4:122).

Ringkasnya, bahwasanya hukum masuk gereja yang ada gambar atau palang salib yang tergantung dalam posisi diagungkan adalah makruh. Kecuali jika orang muslim tersebut mampu untuk mengubahnya. Wallaahu a’lam.


Ketiga, di luar waktu peribadatan mereka dan di dalamnya tidak terdapat gambar maupun palang salib

Al Hanifiyah berpendapat makruhnya seorang muslim masuk ke gereja. Alasannya, karena gereja adalah tempat berkumpulnya setan bukan karena dia tidak boleh masuk. Sebagian ulama Madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan masuk gereja. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaithiyah 2:14143).

Pendapat kedua (boleh) inilah yang lebih tepat, karena sebagaimana ditegaskan oleh sebagian Ulama bahwasanya dianjurkan bagi penguasa muslim untuk mengadakan perjanjian dengan orang kafir dzimmi agar mereka menyediakan tempat untuk tamu muslim di gereja. Dan inilah yang dilakukan khalifah Umar terhadap penduduk Syam. Di antara isi perjanjian damai ahli kitab dengan kaum muslimin: “Kami tidak melarang kaum muslimin untuk singgah di gereja kami baik di malam hari maupun siang hari. Kami akan memperlebar pintu-pintu gereja kami untuk para pelancong dan orang yang kehabisan bekal di perjalanan.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaithiyah 2).


Keempat, dalam rangka untuk dakwah dan berdebat untuk menyadarkan kesesatan mereka.
Untuk keadaan yang terakhir ini para ulama menegaskan bolehnya. Bahkan mereka yang melarang secara mutlak, membolehkan masuk gereja dalam rangka mendakwahkan Islam kepada mereka.

Allahu a’lam

*****
Sumber: konsultasisyariah.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

09 Juni 2012

FILE 266 : Orang yang Persaksiannya Setara 2 Orang

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Orang yang Persaksiannya Setara dengan 2 Orang

.
Pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli seekor kuda dari seorang arab badui. Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam meminta darinya agar ia mengikuti beliau untuk menerima pembayaran kudanya. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan sedikit cepat, sedangkan arab badui itu berjalan lambat, sehingga sebagian shahabat mencegatnya dan menawar kuda miliknya. Mereka tidak menyadari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membeli kudanya. 

Tiba-tiba arab badui itu berteriak memanggil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:"Jadikah engkau membeli kudaku ini? Bila tidak, maka aku akan menjualnya kepada orang lain."

Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seruan arab badui itu, beliau berhenti dan bersabda, “Bukankah aku telah membeli kuda itu darimu?”

Orang badui itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah aku belum menjualnya kepadamu.”

Nabi kembali meyakinkan dan berkata, “Benar, aku telah membelinya darimu.”

Arab badui itu tetap saja tidak mengaku dan malah berkata, “Datangkanlah saksi.”

Maka spontan shahabat Khuzaimah bin Tsabit radliyallaahu 'anhu bangkit dan berkata,“Aku bersaksi bahwa engkau telah menjual kudamu kepadanya (Nabi)."

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan kepada shahabat Khuzaimah kenapa berani bersaksi padahal beliau tidak melihatnya. Shahabat Khuzaimah hanya berkata, ”Tidak mungkin engkau berdusta”, sehingga dia mau bersaksi.

Sejak saat itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan keadaan istimewa kepada shahabat Khuzaimah ini, yaitu persaksiannya dianggap setara dengan 2 orang. Maka, jika ada perkara yang membutuhkan saksi sebanyak dua orang, cukuplah hanya dengan memanggil Khuzaimah. (HR Abu Dawud).


Fikih Hadits:

Dr Arifin Bin Badri[i] dalam ceramahnya mengenai fikih Muamalah perdagangan dan notaris tanggal 16 Januari 2011 mengatakan, bahwa dalam hadits ini terdapat kandungan:
  1. Bahwa dianjurkan untuk mempunyai saksi dalam transaksi perdagangan agar terhindar dari kedzhaliman pihak lain. Dalam contoh ini, meskipun yang bertransaksi adalah seorang Nabi, tetap saja ada orang yang mencoba curang padanya.
  2. Keutamaan shahabat Khuzaimah bin Tsabit yang meskipun tidak melihat Nabi namun beliau mempercayainya. Hanya tingkat keimanan yang tinggilah yang menyebabkan shahabat ini mau bersaksi atas Nabi meski tidak melihat Nabi melakukannya. Ini adalah salah satu bentuk perwujudan membenarkan apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sebagai umatnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajib bagi kita membenarkan apa-apa yang datang dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memang telah terbukti shahih, meski logika atau kebanyakan orang mengingkarinya.

Sumber:  Seminar Perniagaan dan Notaris dalam Perspektif Islam, oleh Dr Arifin bin Badri MA, Lc.




[i] Beliau adalah Doktor Fikih dan Syari’ah alumnus Universitas Islam Madinah dengan judisium summa cum laude. Sekarang menjabat sebagai dosen tetap STDI Imam Syafii Jember dan Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia.

*****
Sumber: Milis Pengusaha Muslim

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin 

02 Juni 2012

FILE 265 : Menjaga Hati

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Keagungan Amalan Hati

.Diambil dari:
Rubrik Lentera Majalah Sakinah Vol. 11 No. 1


“Sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik maka akan baik seluruh tubuh, namun jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Segumpal daging itu adalah qalbu (jantung).”

Demikian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mempermisalkan hati (batin) seorang manusia dengan jantung yang bisa memengaruhi baik buruknya seluruh anggota tubuh yang lain. Karena memang hati juga bisa memengaruhi baik buruknya amalan seseorang. Jika hati seseorang baik dan sehat, maka akan membuahkan amalan yang shalih. Sebaliknya, ketika hati itu sakit, atau bahkan mati, maka akan membuahkan amalan-amalan buruk.

Antara Mukmin dan Munafiq

Oleh karena itu, seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak hanya memperhatikan amalan-amalan lahiriah semata tanpa amalan-amalan batin. Bahkan mereka mengetahui dengan yakin bahwa amal shalih itu memiliki timbangan batin sebagaimana juga memiliki timbangan lahiriah.

Para ulama telah menjelaskan bahwa hakikat amal shalih adalah amal yang murni ditujukan kepada Allah (ikhlas) dan amal yang benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Maka keikhlasan dalam amalan itulah sebagai timbangan batin, sebagaimana kesesuaian dengan tuntunan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- merupakan timbangan lahiriah bagi amal shalih.

Adapun orang-orang munafik, maka mereka adalah orang-orang yang secara lahiriah melakukan amalan-amalan kaum muslimin, namun secara batin mereka kosong dari keimanan terhadap Allah -subhanahu wa ta’ala-.

Hati Adalah Raja

Pengaruh hati terhadap baik buruk amalan manusia, tidak lain karena hati adalah bagaikan raja bagi seluruh anggota tubuh. Seorang yang sadar dan berakal tidak akan melakukan suatu amalan kecuali karena ada dorongan dari dalam hatinya. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

إِنَّمَا اْلأَعْماَلُ بِالنِّيَّاتِ

Sesungguhnya amalan-amalan itu dengan niatnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Di antara penjelasan para ulama tentang makna hadits ini bahwa seluruh amalan itu terjadi dengan niat. Maka tidak ada satu amal pun yang dilakukan dengan kesadaran manusia tanpa disertai dengan niat. Ada juga yang menjelaskan maksudnya bahwa baik buruk amalan seorang manusia itu tergantung pada niatnya.

Apapun penjelasan yang disampaikan para ulama tentang hal ini yang jelas niat yang bertempat dalam hati manusia sangat memengaruhi amalan seseorang baik dari sisi keberadaan amalan itu atau dari sisi baik buruknya amalan tersebut. Dan ini jelas menunjukkan akan keagungan hati manusia dan pentingnya kita memperhatikan hati kita dan amalan-amalan hati kita.

Hati Asas Keimanan

Hal lain yang menunjukkan akan keagungan hati dan amalan-amalannya, adalah keberadaan hati itu sebagai asas dari keimanan. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa keimanan meliputi keyakinan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota badan, maka hati merupakan landasan bagi tegaknya keimanan. Tidak akan mungkin tegak keimanan seseorang tanpa adanya keyakinan hati dan amalan hati.

Maka hati bukan semata raja bagi anggota tubuh manusia, bahkan lebih dari itu, hati adalah sumber dari amalan-amalan lahiriah dan pondasi bagi baik buruknya amalan tersebut. Jika kehendak hati berlandaskan keimanan, maka perbuatan lahiriah pun merupakan keimanan. Jika kehendak hati berlandaskan kekufuran, kemunafikan atau kemaksiatan, maka amalan lahiriah pun akan menjadi semisalnya.

Banyak dalil yang telah menunjukkan hal ini, salah satunya firman Allah -subhanahu wa ta’ala-,

أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ

Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (al-Mujadilah [58]: 22)

Mereka yang dimaksud adalah orang-orang yang merealisasikan syariat wala' dan bara', dan ternyata apa yang mereka lakukan itu dikarenakan telah ada keimanan dalam hati mereka. Maka jelas bahwa keimanan yang ada dalam hati adalah landasan bagi keimanan yang terpancar secara lahiriah.

Macam-macam Amalan Hati

Sangat banyak amalan hati yang harus kita perhatikan, seperti ikhlas, jujur, cinta, pengagungan, rasa takut, rasa harap, tawakkal, ketundukan, penerimaan, sabar, ridha, berserah diri, taubat, muraqabah dan lain-lain sebagainya.

Semua amalan-amalan hati itu akan menjadi amalan yang baik jika ditujukan hanya kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- semata. Karena dengan dtujukannya kepada Allah dan karena Allah, jadilah amalan itu sebagai ibadah kepada-Nya. Namun jika ditujukan kepada selain-Nya maka akan menjadi bentuk kesyirikan kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-, yang akan bisa membinasakan pelakunya. Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah [2]: 165)

Ayat ini menunjukkan bahwa mereka dengan kecintaan yang mereka tujukan kepada selain Allah telah menjadikan mereka terjerumus ke dalam perbuatan syirik kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka mentauhidkan Allah dalam kecintaan mereka. Dan demikian pula dalam amalan hati lain seperti rasa takut dan rasa harap.

Jika kecintaan, rasa takut, rasa harap seseorang hanya ditujukan kepada Allah, sebagaimana amalan-amalan hati lainnya ditujukan hanya kepada Allah dan karena Allah, maka amalan hati itu akan mendorongnya mewujudkan peribadahan lahiriah kepada Allah dengan sebaik-baik bentuknya.

Masuk Surga dengan Amalan Hati

Jika kita menilik perjalanan hidup orang-orang shalih yang ada pada generasi terdahulu, niscaya akan mudah kita dapatkan banyak contoh nyata yang menunjukkan akan besarnya pengaruh kebaikan hati dan amalan hati manusia terhadap keshalihannya. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda,

إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ

Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada orang yang seandainya bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dan beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda,

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ

Maukah aku beri tahu kalian tentang ahli surga. Dia adalah setiap orang yang lemah dan tawadhu’, seandainya dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Dia akan meluluskan sumpahnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Para ulama telah menjelaskan hadits ini dengan berbagai macam penjelasan. Ada di antara mereka yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang yang lemah adalah orang yang memiliki sikap tawadhu’, yang bersikap rendah hati. Ibnu Khuzaimah pernah ditanya tentang maksud orang yang lemah dalam hadits di atas, maka beliau menjawab, dia adalah orang yang berlepas diri dari kekuatan dan daya upaya, sebanyak dua puluh sampai lima puluh kali setiap harinya. Sedangkan al-Kirmani menjelaskan maksudnya adalah orang yang tawadhu’ dan merendahkan diri. Al-Qadhi berkata, kelemahan yang ada dalam hadits ini bisa juga bermakna kelembutan dan kehalusan hati, dan ketundukannya terhadap keimanan.

Bagaimanapun juga, hadits ini menunjukkan bahwa para penduduk surga ketika mereka hidup di dunia memiliki amalan hati yang luar biasa sehingga hati-hati mereka menjadi lembut dan Allah pun menjadi sangat dekat dengan mereka, jika mereka bersumpah atas nama Allah, maka Allah akan meluluskan sumpahnya.

Wallahu a’lam. (***)

******

Maksiat Membuat Hati Berkarat

.Diambil dari:
Majalah Nikah Sakinah, Vol. 9 No. 9



Begitu banyak maksiat dilakukan oleh manusia. Para wanita pamer aurat tanpa mau berusaha untuk mengenakan jilbab dan menutupnya dengan sempurna. Kewajiban shalat wajib seringkali ditinggalkan tanpa pernah ada rasa takut. Padahal, dosa meninggalkannya lebih besar dari dosa zina.

Seakan, pelaku maksiat itu hatinya tak pernah kunjung sadar. Siang malam, tidak bosan-bosannya maksiat terus diterjang. Pantas saja, sebab pengaruh maksiat pada hati sungguh amat luar biasa. Bahkan bisa membuat berkarat, sehingga memadamkan cahaya hati.

Allah berfirman,

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (Al- Muthaffifin [83]: 14)

Makna ayat ini diterangkan dalam hadits berikut: dari Abu Hurairah, dari Rasulullah –shollallohu ‘alaihi wa sallam–, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertobat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.” (Riwayat at-Tirmidzi no. 3334, Ibnu Majah no. 4244, Ibnu Hibban (7/27) dan Ahmad (2/297). Dihasankan oleh Syekh al-Albani –rohimahulloh–)

Penulis “al-Jalalain” –rohimahulloh– menafsirkan, “Hati mereka tertutupi oleh ‘ar-raan’ seperti karat karena maksiat yang mereka perbuat.” (Tafsir Al Jalalain, al-Mahalli dan as-Suyuthi, Mawqi’ at-Tafasir, 12/360)

Ibnu Qayyim al-Jauziyah –rohimahulloh– mengatakan, “Jika dosa semakin bertambah, maka itu akan menutupi hati pemiliknya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan mengenai surat al-Muthaffifin ayat 14, “Yang dimaksud adalah dosa yang menumpuk di atas dosa.”

Begitulah di antara dampak maksiat bagi hati. Setiap maksiat membuat hati pelakunya tertutup noda hitam. Jika hati itu tertutup, maka akan sulit menerima kebenaran. Ibnul Qayyim –rohimahulloh– berkata, “Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.”

Sudah saatnya kita memperbanyak tobat dan istighfar, supaya gelapnya hati akan hilang dan membuat hati semakin bercahaya, sehingga kebenaran dan petunjuk akan mudah diterima.(***)

*****
Sumber: majalahsakinah.com

Baca Juga:

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin