Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

31 Maret 2012

FILE 258 : Membangun Generasi Harapan

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Jurus Jitu Mendidik Anak

.Disusun Oleh:
Ust. Abdullah Zaen


JURUS PERTAMA: MENDIDIK ANAK PERLU ILMU
 
Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap insan dalam setiap lini kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak. Bahkan kebutuhan dia terhadap ilmu dalam mendidik anak, melebihi kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan pekerjaannya.

Namun, realita berkata lain. Rupanya tidak sedikit di antara kita mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh empat jam sehari semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.

Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu semata-mata karena dialah yang melahirkan. Bukan karena mereka menyiapkan diri menjadi orangtua. Bukan pula karena mereka memiliki kepatutan sebagai orangtua.

Padahal, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai. Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap.
Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya.
Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas.
Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang!

Ilmu apa saja yang dibutuhkan?

Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan orangtua dalam mendidik anaknya. Mulai dari ilmu agama dengan berbagai variannya, hingga ilmu cara berkomunikasi dengan anak.

Jenis ilmu agama pertama dan utama yang harus dipelajari orangtua adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang lurus dan keimanan yang kuat dalam jiwa anaknya. Nabi shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya untuk Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,

“إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّه.

Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. (HR. Tirmidzi dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”)

Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam untuk para orangtua,

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر.

Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun”. (HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany)

Bagaimana mungkin orangtua akan memerintahkan shalat pada anaknya, jikalau ia tidak mengerti tatacara shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak mempunyai sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada orang lain?

Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai adab terhadap orangtua, tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si anak. Bagaimana cara makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi, bertamu dan lain-lain.

Dalam hal ini Nabi shallallahu’alaihiwasallam mempraktekkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasehati seorang anak kecil,

“يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ.
 
“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah tangan kananmu”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah)

Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu seni berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita menghadapi anak yang hiperaktif atau sebaliknya pendiam. Bagaimana membangun rasa percaya diri dalam diri anak. Bagaimana memotivasi mereka untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat yang ada dalam diri anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan anak lainnya.

Ayo belajar!

Semoga pemaparan singkat di atas bisa menggambarkan pada kita urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga diharapkan bisa mendorong kita untuk terus mengembangkan diri, meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri majlis taklim, membaca buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul menjadi orangtua yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari anaknya!


JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANGTUA
 
Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir dengan Nabi Musa ‘alaihimassalam. Ya, di antara penggalan kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat al-Kahfi. Manakala mereka berdua memasuki suatu kampung dan penduduknya enggan untuk sekedar menjamu mereka berdua. Sebelum meninggalkan kampung tersebut, mereka menemukan rumah yang hampir ambruk. Dengan ringan tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah tersebut, tanpa meminta upah dari penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran melihat tindakannya. 

Nabi Khidir pun beralasan, bahwa rumah tersebut milik dua anak yatim dan di bawahnya terpendam harta peninggalan orangtua mereka yang salih. Allah berkehendak menjaga harta tersebut hingga kedua anak tersebut dewasa dan mengambil manfaat dari harta itu.
Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di antara pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan menjaga keturunan seseorang manakala ia salih, walaupun ia telah meninggal dunia sekalipun.[1]
 
Subhânallâh, begitulah dampak positif kesalihan orang tua! Sekalipun telah meninggal dunia masih tetap dirasakan oleh keturunannya. Bagaimana halnya ketika ia masih hidup?? Tentu lebih besar dan lebih besar lagi dampak positifnya.

Urgensi kesalihan orangtua dalam mendidik anak

Kita semua mempunyai keinginan dan cita-cita yang sama. Ingin agar keturunan kita menjadi anak yang salih dan salihah. Namun, terkadang kita lupa bahwa modal utama untuk mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata adalah: kesalihan dan ketakwaan kita selaku orangtua. Alangkah lucunya, manakala kita berharap anak menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan dosa!

Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insyaAllah itupun juga yang akan ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan: “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang dari mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang suka meniru!

Beberapa contoh aplikasi nyatanya

Manakala kita menginginkan anak kita rajin untuk mendirikan shalat lima waktu, gamitlah tangannya dan berangkatlah ke masjid bersama. Bukan hanya dengan berteriak memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik menonton televisi.

Jika Anda berharap anak rajin membaca al-Qur’an, ramaikanlah rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an yang keluar dari lisan ayah, ibu ataupun kaset dan radio. Jangan malah Anda menghabiskan hari-hari dengan membaca koran, diiringi lantunan langgam gendingan atau suara biduanita yang mendayu-dayu!

Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam bertutur kata, hindarilah berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari, ternyata sebagai orang tua kita sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya. Sebentaaar saja ya sayang…”. Tapi ternyata, kita malah pulang malam!

Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada anak, dan itu akan ditiru olehnya.
Terus apa yang sebaiknya kita lakukan? Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian, “Sayang, bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun binatang, insyaAllah kamu bisa ikut”.

Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita perlu bersabar dan melakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami mengapa orangtuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.

Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!

Sebuah renungan penutup

Tidak ada salahnya kita putar ingatan kepada beberapa puluh tahun ke belakang, saat sarana informasi dan telekomunikasi masih amat terbatas, lalu kita bandingkan dengan zaman ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para orangtua dan anak.

Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin mengajari anaknya mengaji, namun sekarang mereka telah sibuk dengan acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan sabar bercerita tentang kisah para nabi, para sahabat hingga teladan dari para ulama, sekarang mereka lebih nyaman untuk menghabiskan waktu berfacebookan dan akrab dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari anaknya sejak dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang mereka sibuk mengikuti berita transfer pemain bola!

Bagaimana kondisi anak-anak saat ini, dan apa yang akan terjadi di negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika kondisi kita terus seperti ini??

Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi buruk kehancuran negeri ini, persiapkan generasi muda sejak sekarang. Dan untuk merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki diri kita sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan orangtua.

Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien…


JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN 

Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa disuntik keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa. Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah mendidik anak. Apa maksudnya?

Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala.

Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun hukuman. Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan.

Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita lakukan untuk merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang guna mencari nafkah untuknya, menyuapinya, memandikannya hingga mengganti popoknya, niatkanlah semata karena mengharap ridha Allah.

Apa sih kekuatan keikhlasan?

Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya:
  1. Dengan ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringan. Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan berantakan di mana-mana.Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insyaAllah akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan menyebalkan.

  2. Dengan keikhlasan, ucapan kita akan berbobot. Sering kita mencermati dan merasakan bahwa di antara kata-kata kita, ada yang sangat membekas di dada anak-anak yang masih belia hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit ucapan yang bahkan kita teriakkan keras-keras di telinganya, ternyata berlalu begitu saja bagai angin malam yang segera hilang kesejukannya begitu mentari pagi bersinar.Apa yang membedakan? Salah satunya adalah kekuatan yang menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau ucapkan kata-kata itu untuk sekedar meluapkan amarah, maka anak-anak itu akan mendengarnya sesaat dan sesudah itu hilang tanpa bekas. Namun jika Engkau ucapkan dengan sepenuh hati sambil mengharapkan turunnya hidayah untuk anak-anak yang Engkau lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah akan menjadi perkataan yang berbobot.Sebab bobot kata-kata kita kerap bersumber bukan dari manisnya tutur kata, melainkan karena kuatnya penggerak dari dalam dada; iman kita dan keikhlasan kita…

  3. Dengan keikhlasan anak kita akan mudah diatur. Jangan pernah meremehkan perhatian dan pengamatan anak kita. Anak yang masih putih dan bersih dari noda dosa akan begitu mudah merasakan suasana hati kita.Dia bisa membedakan antara tatapan kasih sayang dengan tatapan kemarahan, antara dekapan ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati orangtuanya, sedang tenang dan damaikah, atau sedang gundah gulana?Manakala si anak merasakan ketulusan hati orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan nasehat yang disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap bahwa segala yang disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan dirinya.

  4. Dengan keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala. Keikhlasan bukan hanya memberikan dampak positif di dunia, namun juga akan membuahkan pahala yang amat manis di alam sana. Yang itu berujung kepada berkumpulnya orangtua dengan anak-anaknya di negeri keabadian; surga Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.
    وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
    Artinya: “Orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan mereka dengan anak cucu mereka”. (QS. Ath-Thur: 21)
    Dipertemukan di mana? Di surga Allah jalla wa ‘ala! [2]

Mulailah dari sekarang!

Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan.
Kalau Engkau bangun di tengah malam untuk membuatkan susu buat anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan sambil mengharap agar setiap tetes yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan setiap benih kebaikan dan menyingkirkan setiap bisikan yang buruk.
Kalau Engkau menyuapkan makanan untuknya, suapkanlah dengan penuh keikhlasan sembari memohon kepada Allah agar setiap makanan yang mengalirkan darah di tubuh mereka akan mengokohkan tulang-tulang mereka, membentuk daging mereka dan membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong agama Allah.

Sehingga dengan itu, semoga setiap suapan yang masuk ke mulut mereka akan membangkitkan semangat dan meninggikan martabat. Mereka akan bersemangat untuk senantiasa menuntut ilmu, beribadah dengan tekun kepada Allah dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…


JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN

Sabar merupakan salah satu syarat mutlak bagi mereka yang ingin berhasil mengarungi kehidupan di dunia. Kehidupan yang tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan hidup.

Di antara episode perjalanan hidup yang membutuhkan kesabaran ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab rentang waktunya tidak sebentar dan seringkali anak berperilaku yang tidak sesuai dengan harapan kita.

Contoh aplikasi kesabaran
  1. Sabar dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak. Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya,
    مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه
    Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
    Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insyaAllah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu. Mengukir di atas batu membutuhkan kesabaran dan keuletan, namun jika ukiran tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan lama.

  2. Sabar dalam menghadapi pertanyaan anak. Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru saja mulai tumbuh dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia lihat, memerlukan kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang timbul rasa jengkel dengan pertanyaan anak yang tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, ‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia lontarkan, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah menghargai kepercayaannya dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya, serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa.Jika kita ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau menjawab sekenanya atau bahkan justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat fatal. Anak tidak lagi percaya dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di luar rumah yang dianggapnya bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang yang ditemuinya di luar adalah orang baik-baik! Ingat betapa rusaknya pergaulan di luar saat ini!

  3. Sabar menjadi pendengar yang baik. Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak-anaknya. Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orangtua lebih suka menyela, langsung menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal-usul kejadiannya.Salah satu contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat pemberitahuan apa pun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak berbicara, kita selalu memotongnya, dengan ungkapan, “Sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”, atau “Ah, papa/mama tahu kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!”. Akibatnya, ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.Pada saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan terlebih dahulu dan ingin diperhatikan. Mungkin keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.Yang sebaiknya dilakukan adalah, kita memulai untuk menjadi pendengar yang baik.  Berikan kepada anak waktu yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan segalanya. Bersabarlah untuk tidak berkomentar sampai saatnya tiba. Ketika anak sudah selesai menjelaskan duduk permasalahan, barulah Anda berbicara dan menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan.

  4. Sabar manakala emosi memuncak. Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau hukuman pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, cenderung untuk menyakiti dan menghakimi, tidak untuk menjadikan anak lebih baik.Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu’alaihiwasallam; yakni berwudhu.Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi, tundalah sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti. 

Berakit-rakit ke hulu 

Pepatah Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu”. Sabar dalam mendidik anak memang terasa berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di dunia maupun akhirat. Di dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut kepada orangtuanya insyaAllah. Dan manakala kita telah masuk di alam akhirat mereka akan terus mendoakan kita, sehingga curahan pahala terus mengalir deras. Semoga…


JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA

Beberapa saat lalu saya mampir shalat Jum’at di masjid salah satu perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di sela-sela khutbahnya, khatib bercerita tentang kejadian yang menimpa sepasang suami istri. Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan tidak ada satupun di antara anaknya yang datang menjenguk. Manakala dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil menangis terisak, “Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah saya merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses dst. Benar, ternyata Allah mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air, jauh dari saya. Memang mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun bukan itu yang saya butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka”.

Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih redaksi doa, apalagi jika itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada redaksi yang lebih baik dibandingkan redaksi doa yang diajarkan dalam al-Qur’an dan Hadits. Robbanâ hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrota a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ(Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum muttaqin). QS. Al-Furqan: 74.

Seberapa besar sih kekuatan doa?

Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik, menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala tidak berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan pernah menjadi anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan betapa kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk lebih membangun ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah jalla wa ‘ala. Dengan cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih, memohon bantuan dan pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam hal mendidik anak.

Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan hal itu dalam sabdanya,

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Doa orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi”. (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany)

Sejak kapan kita mendoakan anak kita?

Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri telah disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,

إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ وَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا” فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ

Jika salah seorang dari kalian sebelum bersetubuh dengan istrinya ia membaca Bismillah, allôhumma jannibnasy syaithôn wa jannibisy syaithôna mâ rozaqtanâ” (Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka berdua dikaruniai anak; niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya”. HR. Bukhari (hal. 668 no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas.

Ketika anak telah berada di kandungan pun jangan pernah lekang untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan diri kepada Allah, memohon agar kelak keturunan yang lahir ini menjadi generasi yang baik. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mencontohkan,

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk orang-orang salih”. (QS. Ash-Shâffât: 100)

Nabi Zakariya ‘alaihissalam juga demikian,

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

Ya Rabbi, berilah aku dari sisi-Mu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. (QS. Ali Imran: 38)

Setelah lahir hingga anak dewasa sekalipun, kawal dan iringilah terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu yang mustajab. Antara adzan dengan iqamah, dalam sujud dan di sepertiga malam terakhir misalnya.Bahkan tidak ada salahnya ketika berdoa, Anda perdengarkan doa tersebut di hadapan anak Anda. Selain untuk mengajarkan doa-doa nabawi tersebut, juga agar dia melihat dan memahami betapa besar harapan Anda agar dia menjadi anak salih.

Awas, hati-hati!

Doa orangtua itu mustajab, baik doa tersebut bermuatan baik maupun buruk. Maka berhati-hatilah wahai para orangtua. Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.

Dikisahkan ada seorang yang mengadu kepada Imam Ibn al-Mubarak mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka. Beliau bertanya, “Apakah engkau pernah mendoakan tidak baik untuknya?”. “Ya” sahutnya. “Engkau sendiri yang merusak anakmu” pungkas sang Imam.

Ditulis di Pesantren Tunas Ilmu, Kedungwuluh Purbalingga, 9 Ramadhan 1432 / 9 Agustus 2011

[1] Lihat: Tafsîr ath-Thabary (XV/366), Tafsîr al-Baghawy (V/196), Tafsîr al-Qurthuby (XIII/356), Tafsîr Ibn Katsîr (V/186-187), Tafsîr al-Jalâlain (hal. 302-303) dan Tafsîr as-Sa’dy (hal. 435).
[2] Sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang diriwayatkan Imam al-Baihaqy dalam Kitab al-I’tiqâd (hal. 183).

Sumber: tunasilmu.com

******

Peran Keluarga dalam Pertumbuhan Anak

.Disusun Oleh:
Ust. Abdurrahim Al-Basyir


Keluarga menurut etimologi berarti baju besi yang kuat yang melindungi manusia dan menguatkannya saat dibutuhkan.

Adapun secara terminologis, keluarga berarti sekelompok orang yang pertama berinteraksi dengan bayi dan bersama merekalah bayi hidup pada tahun-tahun pertama pembentukan hidup dan usianya.

Bayi itu tumbuh dan berkembang mengikuti kebiasaan dan tingkah laku orang tuanya dan orang-orang sekitarnya. Bayi tunduk mengikuti bentuk pendidikan dan pertumbuhan pada tahun-tahun pertama.


Fungsi keluarga

Fungsi utama keluarga yaitu menjaga fitrah anak yang lurus dan suci di atas akidah yang shohih, mengajarkan Islam yang berdasar kepada al-Qur’an dan as-Sunnah di atas pemahaman as-shalafush sholih. Meluruskan fitrahnya dan membangkitkan serta mengembangkan bakat serta kemampuan positifnya.

Fungsi selanjutnya adalah menciptakan lingkungan yang penuh dengan kasih sayang, lemah lembut, dan saling mencintai agar anak itu memiliki kepribadian normal yang mampu melaksanakan kewajiban dan memberikan sumbangsihnya.

Keluarga memiliki fungsi yang sangat penting dalam memberikan informasi tentang pendidikan dan kebudayaan masyarakat, bahasa, adat istiadat, dan norma-norma sosial yang tidak bertentangan dengan syari’at agar anak dapat mempersiapkan kehidupan sosialnya dalam masyarakat.

Di antara tugas keluarga yaitu memupuk bakat dan kemampuan anak untuk mencapai perkembangan yang baik, menyediakan lingkungan yang efektif dan kesempatan untuk menumbuhkan kecerdasan emosional, tingkah laku, sosial kemasyarakatan, dan kecerdasan intelegensi. Keluarga juga harus memberikan kenyamanan dan ketenangan, mampu memahami gerakan, isyarat dan kebutuhan anak, memberikan jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan anak di waktu yang tepat. Keluarga juga berperan dalam menumbuhkan kepekaan kesadaran bermasyarakat pada anak yang merupakan salah satu unsur kejiwaan, seperti halnya nurani. Kepekaan kesadaran bermasyarakat itu terus tumbuh di dalam jiwa anak dalam kedisiplinan keluarga.

Keluarga ibarat sekolah pertama yang dimasuki anak sebagai pusat untuk menumbuhkan kebiasaan (tabiat), mencari pengetahuan dan pengalaman. Keluarga adalah perantara untuk membangun kesempurnaan akal anak dan kedua orang tuanyalah yang bertanggung jawab untuk mengarahkan serta membangun (mengembangkan) kecerdasan berpikir anak.

Contohnya, ketika anak berusia lima tahun, ia mulai menunjukkan sifat yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Biasanya terjalin hubungan erat antara laki-laki dan ayahnya, antara anak perempuan dan ibunya. Saat-saat inilah kali pertamanya anak dekat dengan orang lain yang berjenis kelamin sama. Biasanya anak laki-laki menilai bapaknya sebagai teladan yang patut dicontoh. Demikian juga anak perempuan terhadap ibunya. Fase ini merupakan fase yang sangat penting baginya. Kedua orang tua harus sadar dan mampu memberikan contoh dan teladan di hadapan anak-anaknya. Semua sikap, perilaku, dan perbuatan kedua orang tua selalu menjadi perhatian anak-anak. Biasanya anak-anak pada usia seperti ini berusaha keras keras untuk memberikan kepuasan kepada kedua orang tuanya. Karena itu, pergunakanlah kesempatan fase kanak-kanak dan kedekatan emosional.

Para ahli ilmu pendidikan meyakini bahwa keluarga merupakan faktor utama yang mampu memberikan pengaruh di masa kanak-kanak, saat anak selesai sekolah, sampai anak itu lepas pengasuhan mengarungi bahtera kehidupan selamanya.

Anak mengambil prinsip kehidupan, akhlak, norma-norma sosial dari kedua orang tuanya, juga kebaikan-kebaikan dan kerusakan kedua orang tuanya. Kebenaran menurut anak adalah setiap yang dapat diterima oleh kedua orang tuanya dan kesalahan menurut mereka adalah setiap yang ditolak oleh kedua orang tuanya.

Bila setiap pasangan suami istri dapat menjaga keselamatan pembentukan jiwa anak dan memperhatikan setiap individu anggota keluarganya, berarti ia dapat mengantarkan masyarakat menuju perbaikan/reformasi umat seluruhnya.


Gambaran umum keluarga muslim saat ini

Sesungguhnya keluarga muslim saat ini mengalami kesulitan dalam menanggung beban tanggung jawab menyiapkan dan membentuk generasi pada tahun-tahun pertama usia anak. Kesulitan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tingginya persentase buta huruf di kalangan orang tua dan buta pendidikan anak di kalangan intelektual. Juga disebabkan ketidaktahuan pendidik dalam menyiapkan generasi mendatang dan membentuk anak yang kreatif, ditambah lagi melemahnya penerapan norma-norma Islam akibat penjajahan intelektual dari kebudayaan Barat di lingkungan masyarakat muslim.

Globalisasi yang bertujuan mengglobalkan nilai-nilai moral dan peleburan batas-batas kebudayaan bangsa-bangsa sangatlah berbahaya bagi tatanan keluarga. Di antara akibat dari bahaya tersebut adalah melemahnya hubungan keluarga, bertambahnya persentase perceraian, lari dari tanggung jawab, dan pengejaran materi yang berlebihan sebagaimana masyarakat Barat. Ditambah lagi banyak ibu yang bekerja di luar rumah, melemahnya pendidikan, dan lain-lain. Karena itu, di antara tantangan paling penting bagi masyarakat muslim saat itu yaitu mempersiapkan lembaga pendidikan Islam yang bermutu, baik lewat pondok pesantren maupun sekolah non pesantren.

Masyarakat juga harus memperhatikan kemampuan para guru dengan cara menyelenggarakan (juga memberikan sarana dan biaya) pelatihan ilmiah untuk meningkatkan kemampuan mereka. Begitu juga dengan tenaga pengajar play group dan taman kanak-kanak.
Kita harus mempersiapkan dengan serius materi-materi khusus yang akan dipelajari anak seputar masalah keorangtuaan untuk anak laki-laki dan perempuan di setiap jenjang pendidikan. Kita juga harus melakukan perbaikan (reformasi) pendidikan dan pengembangan buku-buku dan bahan ajarnya. Semua ini demi perbaikan kondisi kita, pembangunan masyarakat kita, dan pemeliharaan identitas keislaman kita sebelum kita tenggelam dan hilang di dalam kebudayaan dunia lain.


Sejak kapan pendidikan anak dimulai?

Sebagian orang menjawab pertanyaan di atas dengan mengatakan bahwa pendidikan dimulai sejak anak mulai memahami segala sesuatu di sekitarnya, yaitu setelah berusia dua tahun. Sebagian orang mengatakan bahwa pendidikan dimulai sejak awal-awal bulan pertama dari kehamilan, bahkan sebelum menikah.

Di antara cara mendidik anak sebelum mereka dilahirkan adalah kedua orang tuanya hendaknya mencari rezeki yang halal dan tidak mengonsumsi makanan dan minuman kecuali yang halal dengan cara yang halal pula karena nuthfah (sperma dan ovum) berasal dari intisari makanan.

Perjalanan menuju pembangunan pondasi pendidikan anak dan persiapannya terus berlanjut ketika memilih pasangan hidup. Bila seorang laki-laki memilih istri yang sholihah, insya Alloh istrinya itu akan melahirkan anak yang sholih pula. Demikian juga jika seorang perempuan memilih suami yang sholih, insya Alloh suaminya itu akan menjadi pendidik dan teladan bagi anak-anaknya. Memilih ibu yang sholihah termasuk hak anak terhadap bapaknya.

Setelah memilih pasangan yang baik dan Alloh Subhaanahu wa ta’aala telah menghendaki kehamilan, di sinilah sang ibu mulai merasakan awal peranan dan tanggung jawabnya. Seorang ibu harus terus-menerus memperbaiki dirinya karena setelah melahirkan ia akan menjadi teladan bagi anaknya. Ia harus terus banyak berdzikir, memohon perlindungan kepada Alloh Subhaanahu wa ta’aala, berharap dan memohon agar Alloh Subhaanahu wa ta’aala memelihara janinnya dari sesuatu yang tidak diharapkan.

Kehamilan membuat ibu banyak melakukan perubahan dari kebiasaannya dari sisi kesehatan demi menjaga janin dan kenormalan pertumbuhannya. Si ibu hendaknya juga menjauhkan diri dari hal-hal yang menyebabkan dirinya depresi, memperhatikan gizinya, bahkan melakukan hal-hal positif bagi perkembangan janinnya.

Sesungguhnya, kasih sayang yang kita berikan belumlah cukup. Memberi makan yang lezat dan bergizi, pakaian yang bagus bukanlah pendidikan yang sebenarnya. Ada beberapa anak yang hanya sebatas mengerjakan pekerjaan rumah, mengatur waktu tidur dan makan. Adapun bapaknya berperan ibarat lembaran cek di bank yang hanya memberikan kepuasaan materi. Betapa banyak anak yang hidup hanya dengan pembantu dan sopir, seakan-akan mereka hidup sendiri di hotel dengan gaya hidup mewah, tetapi tanpa orang tua.

Seorang kepala sekolah menulis suatu kisah nyata menyedihkan yang terjadi di beberapa keluarga. Ketika kepala sekolah berada di luar sekolah setelah anak sekolah dasar pulang, ia memperhatikan ada seorang anak kecil menangis karena tidak ada yang menjemputnya dari sekolah. Ia kemudian menelepon keluarga anak malang tersebut, namun tidak ada yang menjawab teleponnya. Kepala sekolah itu menunggu beberapa lama kemudian ia mengajak anak kecil itu pulang ke rumahnya (kepala sekolah), setelah ia meninggalkan nomor telepon bila ada yang mencari anak tersebut.

Ketika pagi, diajaknya anak itu ke sekolah, tetapi tetap saja tidak ada yang mencarinya. Setelah itu, ia kembali menghubungi rumah anak itu dan berbicara dengan ibunya, setelah dibangunkan pembantunya. Ia mengatakan kepada sang ibu bahwa anak perempuannya ada bersamanya sejak kemarin dan tidak ada yang mencarinya. Sungguh mengherankan, jawaban ibu tersebut hanyalah, “Oh… dasar sopir bodoh. Rupanya ia lupa menjemputnya kemarin dari sekolah!”

Para orang tua seperti pada kisah tersebut sangat membutuhkan transfer kasih sayang dan cinta karena mereka tidak memilikinya! Mereka bahkan tidak memiliki hati nurani dan rasa tanggung jawab.  

Wallohu a’lam.

Sumber: maramissetiawan.wordpress.com

******

Memilihkan Kisah yang Mendidik

.Disusun Oleh:
Ust. Abu Sa'ad Muhammad Nurhuda


Kisah, keterkaiatannya dengan pendidikan anak, memiliki peran yang sangat penting, lantaran kisah juga merupakan salah satu metode pengajaran. Dalam Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengajarkan berbagai kisah dari umat-umat terdahulu. Sehingga secara langsung bisa dipahami, bahwa Islam memberikan perhatian yang besar terhadap masalah ini, yaitu dengan menyebutkan kisah-kisah yang mendidik dan bermanfaat sebagai metode dalam menyampaikan pengajaran. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mencontohkan kisah tentang Luqman Al-Hakim yang memberi wasiat kepada anaknya dengan wasiat yang sangat penting dan berharga.[1]

Demikian semestinya yang diterapkan dalam mendidik anak, ialah dengan mendasarkan kepada wahyu, yaitu Al-Kitab dan juga As-Sunnah. Karena dalam dua sumber tersebut terdapat kebaikan, kesempurnaan, dan tepat bagi manusia. Bukankah jika memperhatikan Al-Qur`an dan As-Sunnah, kita mendapatkan keterangan yang jelas kandungan kisah-kisah yang disebutkan di dalamnya?

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

"Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa".[QS. Al-Baqarah[2]: 2].

وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ

"Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu . . ." [An-Nisa[4]: 164].

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman". [Yusuf[12]: 111].

Inilah di antara metode yang digunakan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah dalam masalah pengajaran, yaitu dengan menuturkan kisah-kisah teladan. Kita dapatkan bahwasanya memberi nasihat dengan menuturkan cerita-cerita yang menarik, akan memberikan pengaruh yang besar pada jiwa anak-anak, apalagi jika sang penuturnya juga mempunyai cara yang menarik dalam menyampaikannya, sehingga mampu mempesona dan memberikan pengaruh mendalam bagi yang mendengarnya. Karena ciri khas kisah-kisah teladan, ia mampu memberikan pengaruh bagi yang membacanya maupun yang mendengarkannya. Oleh karenanya, sepatutnya sebagai pendidik, juga memberikan perhatian ketika menerapkan metode ini.

Terlebih lagi, di tengah masyarakat sejak dahulu telah merebak berbagai kisah ataupun hikayat yang tidak diketahui asal-usulnya. Banyaknya cerita fiktif dan sarat dengan kedustaan yang dijadikan sebagai sandaran dalam memberikan pengajaran kepada manusia umumnya, dan khusus kepada anak-anak. Kisah-kisah fiktif ini telah mempengaruhi pola pikir anak-anak kita. Misalnya menjadikan para penjahat sebagai pahlawan, dan orang-orang yang buruk perangainya menjadi sang pemenang, ataupun orang-orang fasik menjadi idola. Ini merupakan kejahatan terhadap anak-anak kita, dan cepat atau lambat akan menumbuhkan dampak buruk bagi anak didik kita.


MEWASPADAI KISAH-KISAH BURUK

Melihat merebaknya kisah-kisah fiktif dan dusta tersebut, maka layaklah jika kita mewaspadai adanya pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh cerita-cerita tersebut. Yang lebih memprihatinkan lagi, ternyata kisah-kisah atau hikayat-hikayat tersebut dipenuhi dengan kemungkaran dan kemusyrikan, sehingga kita harus berhati-hati dan bersikap kritis. Misalnya sebagai berikut.

1. Cerita-Cerita Yang Menimbulkan Rasa Takut Dan Cemas.
Misalnya: cerita-cerita horor, hantu, makhluk yang menakutkan dan lain-lain.

Cerita-cerita seperti ini berpengaruh buruk pada diri anak-anak dan memunculkan sifat pengecut, tidak membentuk anak menjadi seorang yang pemberani. Anak akan terpengaruh dengan cerita yang ia dengar walaupun cerita tersebut telah berakhir. Pikiran anak akan selalu sibuk berkhayal adanya makhluk yang selalu mengikutinya, dan ia terus dihantui dengan rasa takut. Kekalutan ini akan mempengaruhi kepribadiannya, dan ia menjadi pribadi yang labil. Padahal kita semestinya membentuk pribadi anak menjadi pemberani dan berkepribadian kuat, bukan menjadi umat yang lemah dan penakut.

2. Cerita-Cerita Rakyat Yang Berisi Kedustaan, Khurafat, Mitos Dan Khayalan.

Sebagai misal : hikayat Malin Kundang, Sangkuriang, kisah kancil dan buaya, dan sebagainya.

Cerita-cerita klasik sejenis ini sangat banyak kita dapatkan di tengah masyarakat. Semuanya menceritakan hal-hal yang sulit diterima akal sehat dan dipenuhi kedustaan, bahkan mengarah kepada keyakinan syirik.

Ini juga akan membentuk pribadi anak sehingga senang untuk mempercayai hal-hal yang dusta, tidak masuk akal, tidak sesuai dengan kondisi riil, bahkan mustahil akan terjadi. Misalnya kisah Malin Kundang yang dikutuk menjadi batu, Sangkuriang yang hendak mengawini ibunya sendiri atau kancil yang licik, suka menipu. Sungguh tak mustahil, kisah-kisah seperti ini telah memberikan pengaruh buruk pada anak-anak kita.

3. Cerita-Cerita Yang Lebih Menunjukkan Kekuatan Badan Daripada Akal.

Misalnya: kisah Tarzan, Superman, Spiderman dan lainnya.

Semua kisah-kisah seperti ini menceritakan bahwa tidak ada jalan untuk menyelesaikan masalah, kecuali dengan kekuatan dan kekerasan. Maka kisah semacam ini pun akan membentuk jiwa anak-anak menjadi jiwa yang suka bermusuhan, mengutamakan kekuatan badannya dari pada akalnya. Di samping itu, kisah-kisah ini telah menanamkan khayali pada anak. Lantaran apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama tersebut sangat tidak mungkin mewujud dalam kenyataan.

4. Cerita-Cerita Yang Mengunggulkan Kekuatan Jahat Dan Mengagungkannya.
Contohnya: orang zhalim berhasil mengalahkan orang-orang yang baik, penjahat berhasil memperdayai polisi.

Kisah semacam ini dituturkan kepada anak-anak dengan alasan untuk menjelaskan tentang perilaku-perilaku jahat, akan tetapi alasan ini melupakan tabiat anak-anak yang suka meniru apa yang ia lihat atau ia dengar. Yang pada akhirnya, kita banyak mendengar kejadian-kejadian mengerikan yang dilakukan oleh anak-anak, karena mencontoh yang mereka lihat atau yang mereka dengar.

5. Kisah-kisah yang berisi hinaan, celaan atau merendahkan orang lain, juga gangguan kepada orang yang lebih tua dengan berbagai perbuatan usil, bahkan hinaan kepada orang yang mempunyai cacat pada tubuhnya, seperti buta, dengan membuatnya jatuh di lobang atau semisalnya, tanpa memikirkan pengaruh buruk pada anak yang melihatnya.

Contoh paling nyata cerita-cerita seperti ini, yaitu film kartun Tom and Jery. Film ini sangat terkenal di kalangan anak-anak, bahkan orang dewasa. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi pendidikan, film ini sangat merusak. Karena memberikan gambaran perilaku yang buruk pada anak-anak, ketidak sopan-santunan, usil dan nakal. Pada gilirannya, tak mustahil perilaku dalam film ini akan ditiru dan dipraktekkan kepada orang-orang di sekitarnya, dan sebagai sebab munculnya perasaan lebih unggul di bandingkan yang lainnya.

Demikian juga film ini mengisyaratkan adanya perbuatan yang bersifat merendahkan bangsa lainnya, seperti bangsa kulit hitam. Sehingga dapat menimbulkan perasaan dengki, dendam dan juga perselisihan yang berkepanjangan. Demikian gambaran kisah-kisah yang ditampilkan di hadapan anak-anak kita, yang maksud dan tujuannya untuk mendidik, akan tetapi justru sebaliknya, yaitu tidak mendidik, bahkan merusak dan menimbulkan dampak negatif pada perkembangan kejiwaan anak-anak. [2]


HADIRKAN KISAH-KISAH TELADAN

Setelah mengetahui kandungan dan kemungkinan munculnya dampat negatif dari kisah-kisah fiktif tersebut, maka menjadi kewajiban kita untuk mengarahkan anak-anak agar menjauhi kisah-kisah fiktif dan penuh kedustaan tersebut. Kemudian mereka didekatkan dengan kisah-kisah teladan penuh hikmah. Misalnya kisah tentang para nabi Allah. Kisah-kisah teladan inilah yang semestinya mewarnai kehidupan anak-anak kita.

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۖ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ

"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka". [Al-An'am[6]: 90].

Seperti halnya kisah Nabi Yunus Alaihissalam ketika berada di dalam perut ikan paus, Nabi Sulaiman Alaihissalam dengan burung Hud-Hud, juga kisah Nabi Yusuf Alaihissalam dengan saudara-saudaranya. Demikian pula kisah Nabi Musa Alaihissalam dengan Khidir, dan kisah-kisah lainnya.

Begitu juga anak harus didekatkan dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sirah beliau ini, kita dapat memetik banyak pelajaran, sejak beliau masih di dalam kandungan, kemudian bapak beliau meninggal, sehingga beliau lahir dalam keadaan yatim, dan seterusnya. Banyak pula peristiwa-peristiwa besar yang beliau lewati, sehingga membawa perubahan besar bagi umat manusia. Begitu juga dengan kisah-kisah yang beliau tuturkan dalam hadits-hadist yang shahih. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah" [Al-Ahzab [33]: 21].

Demikian juga kita bisa menuturkan kepada anak-anak dengan kisah-kisah para sahabat Nabi, sebagaimana yang dipaparkan oleh seorang penyair:
Jika kalian tidak bisa menjadi seperti mereka, (maka) contohlah mereka!
Karena sesungguhnya, meneladani orang-orang mulia, merupakan keutamaan.
Sebagai contoh, kisah yang disebutkan dalam sirah 'Umar bin 'Abdil-'Azis (Juz 1, hlm 23). Yaitu kisah Amirul-Mukminin 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu dengan seorang wanita. Tatkala Khalifah 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu memegang tampuk pemerintahan, beliau melarang mencampur susu dengan air.

Awal kisah, pada suatu malam Khalifah 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu pergi ke daerah pinggiran kota Madinah. Untuk istirahat sejenak, bersandarlah beliau di tembok salah satu rumah. Terdengarlah oleh beliau suara seorang perempuan yang memerintahkan anak perempuannya untuk mencampur susu dengan air. Tetapi anak perempuan yang diperintahkan tersebut menolak dan berkata: "Bagaimana aku hendak mencampurkannya, sedangkan Khalifah 'Umar melarangnya?"

Mendengar jawaban anak perempuannya, maka sang ibu menimpalinya: "Umar tidak akan mengetahui."

Mendengar ucapan tersebut, maka anaknya menjawab lagi: "Kalaupun 'Umar tidak mengetahui, tetapi Rabb-nya pasti mengetahui. Aku tidak akan pernah mau melakukannya. Dia telah melarangnya."

Kata-kata anak wanita tersebut telah menghunjam ke dalam hati 'Umar. Sehingga pada pagi harinya, anaknya yang bernama 'Ashim, beliau panggil untuk pergi ke rumah wanita tersebut. Diceritakanlah ciri-ciri anak tersebut dan tempat tinggalnya, dan beliau berkata: "Pergilah, wahai anakku dan nikahilah anak tersebut," maka menikahlah 'Ashim dengan wanita tersebut, dan lahirlah seorang anak perempuan, yang darinya kelak akan lahir Khalifah 'Umar bin 'Abdil 'Azis.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah tersebut ialah sebagai berikut.
  • Kesungguhan salaf dalam mendidik anak-anak mereka
  • Selalu menanamkan sifat muraqabah, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla, baik ketika sendiri atau ketika bersama orang lain
  • Tidak merasa segan untuk memberikan nasihat kepada orang tua
  • Memilihkan suami yang shalih atau istri yang shalihah bagi anak-anaknya
Penggalan kisah ini hanya sekedar contoh, bagaimana cara kita mengambil pelajaran berharga dari sebuah kisah, kemudian menanamkannya pada anak-anak kita, dan masih banyak contoh lainnya, baik di dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadits yang bisa digali dan jadikan sebagai kisah-kisah yang layak dituturkan kepada anak-anak kita.


PELAJARAN DAN KEUTAMAAN KISAH-KISAH TELADAN

Kisah-kisah teladan mempunyai keistimewaan yang sangat berbeda dengan kisah-kisah fiktif maupun mitos, yaitu dari sisi kebenarannya, dan sesuai dengan kenyataan yang ada. Di dalamnya juga terkandung tujuan-tujuan mulia.

1. Kisah mampu memberikan peran yang penting dalam menarik perhatian, mengembangkan pikiran dan akal anak. Karena dengan mendengarkannya, dapat mendatangkan kesenangan dan kegembiraan.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terbiasa membawakan kisah di hadapan para sahabat, baik yang muda maupun yang tua. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap kisah yang dituturkan beliau, berupa berbagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau, agar bisa mengambil pelajaran darinya, baik oleh orang-orang sekarang maupun sesudahnya hingga hari Kiamat

2. Kisah-kisah tersebut bisa membangkitkan kepercayaan anak-anak terhadap sejarah tokoh yang menjadi tauladan mereka. Sehingga akan menambah semangat untuk maju, serta membangkitkan semangat ke-islaman mereka agar lebih mendalam dan menggelora.

3. Kisah-kisah para ulama yang mengamalkan ilmunya, demikian juga kisah-kisah orang-orang shalih merupakan sarana terbaik untuk menanamkan berbagai sifat utama pada diri anak-anak, serta mendorongnya untuk siap mengemban berbagai kesulitan untuk meraih tujuan mulia dan luhur.

4. Kisah-kisah teladan juga akan membangkitkan anak-anak untuk mengambil teladan dari orang-orang yang mempunyai tekad kuat dan mau berkorban, sehingga ia akan terus naik menuju derajat yang tinggi dan terhormat.

5. Tujuan utama menuturkan kisah-kisah teladan tersebut, yaitu untuk mendidik dan membersihkan jiwa, bukan hanya sekedar untuk bersenang-senang atau menikmati kisah-kisah itu saja.

Oleh karena itulah, cerita juga memiliki peran sangat penting dalam mencapai tujuan-tujuan mulia tersebut. Sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga banyak memaparkan kisah orang-orang terdahulu kepada para sahabatnya, untuk kemudian diambil pelajaran dan peringatan darinya. Kebiasaan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berkisah, beliau mendahului dengan ungkapan “telah terjadi pada orang-orang sebelum kalian", kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menuturkan kisah tersebut, dan para sahabat mendengarkannya dengan seksama sampai selesai. Dalam hal ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menerapkan metode Ilahi, sebagaimana firman-Nya Azza wa Jalla.

فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

"Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir". [Al-A’raaf[7]: 176].

Para sahabat pun mengambil pelajaran pada setiap kisah yang dituturkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mendapatkan manfaat dari sisi pendidikan dan akhlak, sebagai bekal yang berguna bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka.[3]

Demikianlah semestinya seorang anak dibiasakan hidup dalam nuansa kisah-kisah yang pernah dibawakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sirah Nabi dan juga kisah-kisah dalam Al-Qur`an, agar ia terbiasa hidup dalam nuasa iman dan suri teladan yang utama, sehingga keimanannya semakin hari semakin kokoh.
Wallahu a’lam. 
 
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]
. Kaifa Nurabbi Auladana wa Mâ Huwa Wajib Al-Aba-i Wal-Abna’, hlm. 2.
[2]. Lihat kitab At-Tarbiyyah bil-Qishashi, hlm. 5, dengan beberapa perubahan.
[3]. Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah li-Thifli, hlm. 339.

*****
Baca Juga:  

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin 

24 Maret 2012

FILE 257 : Beberapa Masalah Seputar Thaharah dan Shalat

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Apa yang Harus Anda Lakukan Ketika Kondisi Berikut ?

.Disusun dan diterjemahkan oleh:
Ust. Ammi Nur Baits


Berikut ini tulisan yang mengupas berbagai kasus penting berdasarkan keterangan yang shahih. Tulisan ini disadur dari risalah “maadza taf’alu fil haalaati at-Taliyah” karya Syaikh Muhammad Sholeh al-Munajid. Temukan jawaban untuk kasus-kasus penting, yang mungkin pernah anda alami dalam kehidupan sehari-hari.


THAHARAH
  1. Menghilangkan Penghalang Air Wudhu

  2. Ketika seseorang berwudhu, ternyata di salah satu anggota wudhu, ada bagian yang tertutupi benda tertentu, (misalnya cat untuk kuku) sehingga menghalangi air terkena bagian kulit, apakah berusaha membersihkan benda semacam ini bisa menyebabkan wudhu seseorang terputus?

    Jawab:

    Usaha membersihkan benda penghalang wudhu semacam ini, tidaklah menyebabkan wudhu terputus, menurut pendapat yang lebih kuat. Sehingga tidak perlu mengulangi wudhu dari awal. Meskipun anggota wudhu sebelumnya sudah kering. Sebagai contoh: seseorang berwudhu dengan sempurna. Giliran mencuci kaki, ternyata ada cat di kuku yang belum dibersihkan. Kemudian dia berusaha membersihkannya. Dalam kondisi semacam ini, dia tidak perlu mengulangi wudhu dari awal, tapi cukup mencuci kaki, setelah membersihkan bekas cat, meskipun wajah dan tangan sudah kering.

    Penjelasannya:

    Melakukan kegiatan di tengah-tengah wudhu hukumnya dibagi menjadi dua:

    a. Melakukan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan berwudhunya, seperti mengambil air, menyalakan pompa air, pindah dari satu kran ke kran yang lain, membersihkan benda najis di bagian anggota wudhu, atau membersihkan sesuatu yang menghalangi air dari anggota wudhu. Semua kegiatan ini tidak memutus wudhu, sehingga tidak perlu mengulangi wudhu dari awal, meskipun anggota wudhu sebelumnya telah kering.

    b. Melakukan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan wudhu, seperti membersihkan najis di pakaian, makan, minum, menolong orang, mengobrol, baik langsung maupun lewat telepon, atau yang lainnya. Kegiatan semacam ini, jika dilakukan di tengah-tengah wudhu dan mengakibatkan anggota wudhu sebelumnya kering maka wudhunya harus diulangi dari awal.

    Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 11/146)

  3. Darah Ketika Keguguran

  4. Apabila seorang wanita mengalami keguguran, kemudian keluar darah, apa yang harus dilakukan?

    Jawab:

    Kondisi semacam ini dikembalikan kepada jenis darah yang keluar, apakah darah nifas ataukah darah istihadhah. Para ulama memberikan batasan: “Darah yang keluar setelah wanita melahirkan karena keguguran dan janin sudah berbentuk manusia maka dihukumi darah nifas. Namun jika darah ini keluar, sementara janin yang keguguran baru sebatas segumpal darah atau daging maka tidak dihukumi nifas.” (al-Mughni, 1/392).

    Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin mengatakan:

    Ketika janin yang keguguran belum berbentuk manusia maka dalam keadaan ini, darah yang keluar adalah darah istihadhah. Wanita ini disyariatkan untuk berwudhu setiap hendak melaksanakan shalat, setelah masuk waktu shalat dan boleh langsung melaksanakannya. Adapun jika janin yang keguguran sudah berbentuk makhluk (manusia), atau sudah berada pada tahap pembentukan salah satu anggota badan, seperti tangan, kaki, atau kepala maka darah yang keluar ketika persalinan dihukumi darah nifas.

    Jika ada yang mengatakan: Proses persalinan ini dilakukan di rumah sakit, sementara para tim medis langsung mengambilnya dan mengamankannya, sehingga orang tuanya tidak tahu. Lalu apa yang harus dilakukan?

    Syaikh Utsaimin menjawab: Para pakar telah menyebutkan bahwa batas waktu minimal, dimana bisa kelihatan pembentukan salah satu anggota badan adalah 81 hari usia kehamilan. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 4/292)

    Komentar Syaikh Muhammad Munajid:

    Namun selayaknya, masalah semacam ini dikonsultasikan kepada para dokter. Kemudian disesuaikan dengan prediksi dokter, sehingga dia bisa mendapatkan informasi yang lebih valid tentang janinnya.

  5. Darah Yang Keluar Sebelum Melahirkan

  6.  Apa hukum darah yang keluar sebelum melahirkan?

    Jawab:

    Tentang darah yang keluar beberapa saat sebelum melahirkan dirinci menjadi dua:

    a. Jika keluarnya darah tersebut disertai dengan sakitnya kontraksi karena proses pembukaan maka darah adalah darah nifas.

    b. Jika keluarnya darah tersebut TIDAK disertai dengan kontraksi maka darah itu bukan nifas, tetapi istihadhah.

    Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin menerangkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

    Darah yang dilihat wanita ketika mulai berkontraksi maka statusnya adalah darah nifas. Yang dimaksud kontraksi adalah proses pembukaan yang meruapakan tahapan proses melahirkan. Jika tidak disertai semacam ini maka bukan nifas.
    (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin, 4/328)

     
SHALAT

1. Apa yang harus dilakukan, ketika kita merasa mendapat gangguan dari setan, terlintas pikiran yang mengganggu konsentrasi shalat, sehingga menyebabkan kita tidak bisa khusyu dalam shalat?

Jawab:

Kasus semacam ini pernah dialami oleh salah seorang sahabat, yaitu Utsman bin Abil ‘Ash radliallahu ‘anhu, beliau datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadukan gangguan yang dia alami ketika shalat. Kemudian beliau bersabda:

ذاك شيطان يقال له خنزب فإذا أحسسته فتعوذ بالله منه واتفل على يسارك ثلاثاً

“Itu adalah setan, namanya Khinzib. Jika kamu merasa diganggu, mintalah perlilndungan kepada Allah dari gangguannya dan meludahlah ke kiri tiga kali.”

Kata Utsman: Aku-pun melakukannya, kemudian Allah menghilangkan gangguan itu dariku. (HR. Muslim no. 2203)

Pelajaran hadits:

1. Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita dua cara untuk menghilangkan gangguan setan dalam shalat:

a. Memohon perlindungan kepada Allah, dengan membaca ta’awudz (a-’udzu billahi minas syaithanir rajiim). Bacaan ini dilafadzkan, bukan dibatin. Dan ini hukumnya dibolehkan dan tidak membatalkan shalat

b. Meludah ringan ke kiri, bentuknya dengan meniupkan udara yang mengandung sedikit air ludah. Ini dibolehkan, dengan syarat tidak mengganggu orang yang berada di sebelah kirinya dan tidak mengotori masjid.

Allahu a’lam

2. Ketika sedang melaksanakan shalat witir, tiba-tiba di tengah shalat mendengarkan adzan subuh. Bolehkah kita melanjutkan shalat witir?

Jawab:

Ketika seseorang mendengar adzan subuh, sementara dia sedang shalat witir maka dia sempurnakan shalat witirnya dan semacam ini dibolehkan. (Fatawa Islamiyah Syaikh Ibn Utsaimin, 1:346)

Permasalahan semacam ini, sebenarnya termasuk dalam pembahasan waktu shalat witir. Ulama berselisih pendapat, apakah berakhirnya waktu shalat witir itu sampai terbit fajar ataukah sampai selesainya shalat subuh. Mayoritas ulama berpendapat, waktu berakhirnya shalat witir adalah sampai terbit fajar. Meskipun, banyak ulama lainnya yang membolehkan shalat witir setelah adzan subuh, bagi yang berhalangan, sehingga tidak bisa melaksanakannya sebelum subuh. (Mausu’ah Fiqhiyah Muyassarah)

3. Ketika seseorang belum sempat melaksanakan shalat ashar karena alasan yang dibenarkan, kemudian di datang ke masjid, dan ternyata shalat maghrib telah dimulai, apa yang harus dilakukan?

Jawab:

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah -rahimahullah- mengatakan:

Dia disyariatkan untuk melaksanakan shalat maghrib berjamaah bersama imam, kemudian shalat ashar. Ini berdasarkan kesepakatan ulama. Apakah orang ini harus mengulangi shalat maghribnya, setelah mengerjakan shalat ashar? Dalam hal ini ada dua pendapat:

a. Dia harus mengulangi maghribnya. Ini adalah pendapat Ibn Umar, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.

b. Tidak perlu mengulangi maghribnya. Ini adalah pendapat Ibn Abbas, Imam Syafi’i, dan pendapat kedua Imam Ahmad.

Pendapat kedua lebih kuat. Karena Allah tidak-lah mewajibkan seorang hamba untuk melaksanakan shalat wajib dua kali, jika sikapnya ini disebabkan adanya udzur diperbolehkan. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, 22:106)

4. Ketika seorang musafir hendak mengikuti shalat jamaah, sementara dia tidak tahu apakah imamnya itu musafir ataukah penduduk asli. Kemudian si musafir ini mengikuti shalat jamaah menjadi makmum, apakah dia niatkan untuk qashar ataukah niat sebagaimana shalatnya orang mukim, empat rakaat?

Jawab:

Yang lebih kuat, hendaknya dia melihat ciri imamnya, sehingga bisa memperkirakan apakah dia musafir ataukah mukim. Kemudian dia mengambil sikap sebagaimana dugaan kuat yang dia ketahui. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibn Abbas, bahwa beliau ditanya: Mengapa musafir shalatnya diqashar ketika sendirian dan empat rakaat ketika menjadi makmum orang yang mukim? Beliau menjawab: “Itu adalah sunnah Abul Qasim (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Hadis ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam ta’liq (komentar) beliau untuk musnad Imam Ahmad.

Catatan:

Seorang musafir menjadi makmum masbuk, ketinggalan 2 rakaat, dan dia berniat qashar, karena beranggapan imamnya seorang musafir, padahal imamnya bukan musafir. Setelah salam bersama imam, dia mendapat info bahwa imam bukan musafir, maka dia harus menambahi dua rakaat lagi untuk menyempurnakan shalatnya dan sujud sahwi setelah salam. Demikian keterangan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’, 4:356.

Syaikh Muhammad al-Munajid menambahkan: Pembicaraan yang dilakukan orang ini di sela-sela shalatnya (setelah salam di rakaat kedua), tidaklah menyebabkan shalatnya putus. Namun dia dibolehkan melanjutkan dan menyempurnakan shalatnya, tanpa harus memulai dari awal. Selama pembicaraan itu bertujuan untuk kepentingan shalatnya.

5. Ketika di tengah shalat, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Atau ada seorang ibu yang shalat, sementara bayinya melakukan tindakan yang berbahaya, apa yang harus dilakukan?

Jawab:

Dibolehkan bagi orang yang shalat untuk melakukan gerakan ringan, karena suatu kebutuhan yang mendesak, dengan syarat, tidak mengubah arah kiblatnya. Seperti membukakan pintu yang berada di arah kiblat.

Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Abu Daud, dari A’isyah radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat, sementara pintu rumah terkunci. Kemudian saya datang, dan saya minta agar dibukakan. Beliau-pun berjalan dan membukakan pintu, lalu beliau kembali lagi ke tempat shalatnya. Disebutkan bahwa pintu rumah beliau berada di arah kiblat. (HR. Abu Daud no. 922 dan dishahihkan al-Albani)

Demikian pula seorang ibu yang sedang shalat, dan dia melihat anaknya melakukan hal yang membahayakan, maka dia dibolehkan untuk melakukan gerakan ringan ke kanan, ke kiri, ke depan, atau belakang. Dan ini tidak merusak shalatnya. Termasuk dalam hal ini adalah orang yang shalat, tiba-tiba sarungnya mau lepas, maka dia dibolehkan untuk melakukan gerakan dalam rangka mengencangkan sarungnya.

Bahkan, dalam kondisi tertentu yang sangat mendesak, syariat membolehkan melakukan gerakan yang banyak, meskipun menyebabkan kiblatnya berubah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bunuhlah dua hewan yang hitam (meskipun) ketika sedang shalat, yaitu ular dan kalajengking.” (HR. Abu Daud no. 921 dan dishahihkan al-Albani)

6. Bagaimana cara menjawab salam ketika shalat?

Jawab:

Dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: “Saya melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang shalat. Kemudian saya mengucapkan salam kepada beliau dan beliau menjawabnya dengan isyarat.” (HR. Abu Daud no. 925 dan dishahihkan al-Albani)

Bagaimana cara isyaratnya?

Disebutkan dalam beberapa riwayat, diantaranya dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat menuju masjid Quba untuk melaksanakan shalat. Kemudian datanglah sekelompok masyarakat Anshar dan mengucapkan salam kepada beliau, ketika beliau sedang shalat. Ibn Umar bertanya kepada Bilal, “Bagaimana yang kamu lihat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab orang Anshar yang menngucapkan salam kepada beliau, sementara beliau sedang shalat?” Bilal menjawab: “Beliau berisyarat seperti ini.” Bilal membuka telapak tangannya. Salah seorang perawi yang bernama Ja’far bin ‘Aun membuka telapak tangannya, dimana bagian telapak tangan mengarah ke bawah dan bagaian punggung mengarah ke atas. (HR. Abu Daud no. 927 dan dishahihkan al-Albani)

7. Jika ada orang yang berhadats ketika shalat jamaah, apa yang harus dia lakukan untuk bisa meninggalkan tempat, tanpa menimbulkan rasa malu?

Jawab:

Hendaknya dia pegang hidungnya, kemudian keluar. Dalil tentang hal ini adalah hadis dari A’isyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَحْدَثَ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلْيَأْخُذْ بِأَنْفِهِ ثُمَّ لِيَنْصَرِفْ

“Apabila kalian berhadats ketika shalat jamaah maka hendaknya dia pegang hidungnya kemudian dia meninggalkan tempat.” (HR. Abu Daud no. 1114 dan dishahihkan al-Albani)

Imam at-Thibi mengatakan: Adanya perintah memegang hidung ketika batal shalatnya, agar dikira dia mimisan. Dan ini tidak termasuk berbohong, namun sebatas menutupi keadaan dengan perbuatan. Tindakan semacam ini mendapatkan keringanan agar setan tidak menggodanya untuk tidak melaksanakan jamaah karena malu dengan jamaah lainya. (Lih. Mirqatul Mafatih, 3: 18)

Syaikh Muhammad Munajid memberikan komentar:

Semacam ini termasuk tauriyah yang dibolehkan dan tindakan menutupi diri dengan bentuk yang terpuji, dalam rangka menghilangkan ras malu. Sehingga orang yang melihatnya menyangka kalau dia keluar disebabkan mimisan di hidungnya. Disamping itu, manfaat lain dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah untuk menghilangkan godaan setan, dengan tetap berada di shaf atau melanjutkan jamaah sementara dia berhadats. Ini merupakan tindakan yang tidak Allah ridhai. Betapa tidak, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk pergi.

8. Seseorang telah melaksanakan shalat di suatu masjid, kemudian dia berangkat menuju masjid yang lain untuk acara kegiatan tertentu, seperti kajian atau yang lainnya. Sesampainya di masjid kedua, ternyata shalat belum selesai. Apa yang harus dia lakukan?

Jawab:

Hendaknya dia masuk masjid dan langsung ikut shalat berjamaah, dan dia niatkan sebagai shalat sunnah. Shalat ini boleh dilakukan, meskipun dilakukan di waktu-waktu yang terlarang untuk shalat. Dalilnya adalah hadis dari Yazid bin Aswad radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

Saya ikut haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian saya shalat subuh bersama beliau di masjid khaif. Setelah selesai shalat, beliau berbalik. Tiba-tiba ada dua orang duduk di belakang yang tidak ikut shalat bersama beliau. Beliau bersabda: “Suruh dua orang itu ke sini.” Keduanya-pun disuruh menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara badannya gemetaran (karena takut). Beliau bertanya: “Apa yang menghalangimu sehingga tidak shalat jamaah bersama kami?” Mereka menjawab: Wahai Rasulullah, kami tadi sudah shalat di jalan. Kemudian beliau bersabda: “Jangan kamu lakukan itu, jika kalian telah shalat di jalan, kemudian kalian singgah di masjid yang sedang dilaksanakan jamaah, ikutlah shalat bersama mereka. Sesungguhnya shalat yang kedua ini menjadi shalat sunnah bagi kalian.” (HR. Turmudzi no. 219 dan dishahihkan al-Albani)

Syaikh Muhammad Munajid mengatakan: Dalam hadis di atas disebutkan bahwa kedua orang tersebut datang ke masjid setelah melaksanakan shalat subuh. Dan ini termasuk waktu terlarang.

Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha’, dari Mihjan radliallahu ‘anhu, bahwa beliau berada di majlis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba adzan dikumandangkan. Rasulullah-pun melaksanakan shalat bersama jamaah. Sementara Mihjan tetap berada di tempat duduknya dan tidak ikut shalat berjamaah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang menghalangimu untuk ikut shalat jamaah, bukankah kamu seorang muslim?” Mihjan menjawab: “Betul, wahai Rasulullah, akan tetapi saya sudah shalat di rumahku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kamu datang (di masjid), shalatlah berjamaah bersama masyarakat. Meskipun kamu sudah shalat.” (al-Muwatha’, 1:130 dan dishahihkan al-Albani).

*****
Sumber: muslimah.or.id

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

17 Maret 2012

FILE 256 : 1 Kesulitan Datang, 2 Kemudahan Diraih

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

1 Kesulitan, 2 Kemudahan

.Diambil dari:
Artikel Rubrik Lentera Majalah Nikah Sakinah Vol 10 No 2


Selama hidup di dunia, seorang manusia terus saja mendapati kesusahan dan kesulitan. Semenjak dilahirkan, di masa kecil, remaja dewasa, bahkan sampai kematian pun berbagai kesulitan senantiasa mengiringi. Ini adalah ketetapan Allah bagi manusia, selama mereka belum kembali ke dalam surga yang penuh kenikmatan. Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. al-Balad [90]: 4)

Dan ini adalah suatu kewajaran, karena Allah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan cobaan bagi umat manusia. Tidak dinamakan cobaan jika tidak ada kesulitan sama sekali di sana. Oleh karenanya, bukanlah suatu keinginan realistis ketika seseorang ingin menghindari semua kesulitan. Akan tetapi seorang yang cerdas lagi mengetahui hakikat akan berusaha mencari tahu bagaimana sikap yang harus ditempuh dalam menghadapi berbagai kesulitan.

Hikmah di Balik Kesulitan

Sudah dimaklumi bahwa Allah menciptakan kita di dunia ini dengan tujuan agar kita beribadah hanya kepada Allah. Kita menghamba, tunduk, patuh, menghinakan diri dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala. Inilah tujuan utama, dan inilah tujuan yang paling mulia. Maka, ketika Allah mentakdirkan berbagai ketetapan-Nya bagi manusia, tidak lain karena Allah menginginkan agar manusia kembali kepada-Nya untuk merealisasikan tujuan hidupnya di dunia ini.

Tidaklah Allah menimpakan suatu musibah kepada manusia, kecuali bertujuan agar dia kembali kepada-Nya. Sehingga, sebaik-baik perkataan yang diucapkan oleh orang yang tertimpa musibah adalah perkataan,
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali hanya kepada-Nya.”

Kalimat ini mengandung makna bahwa kita semua adalah makhluk yang dikuasai, dimiliki dan dibawah pengaturan Allah ta’ala. Sedangkan kita semua akan kembali kepada-Nya di akhirat kelak. Sehingga ketika Allah berkehendak menimpakan musibah kepada kita, maka itu adalah hak-Nya, dan kita tidak berhak memprotes. Kita berkewajiban untuk bersabar menghadapi musibah itu, karena sabar terhadapnya adalah diperintahkan oleh-Nya.

Tentang makna kalimat tersebut, Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa mengetahui (meyakini) bahwa dirinya akan kembali kepada Allah, hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dihadapkan di hadapan Allah. Barangsiapa mengetahui dirinya akan dihadapkan di hadapan Allah, hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan ditanya di hadapan Allah. Barangsiapa mengetahui dirinya akan ditanya di hadapan Allah, hendaknya dia mempersiapkan jawaban untuk setiap pertanyaan.”

Sehingga berbagai kesulitan dan musibah yang menimpa hamba, sesungguhnya adalah pengingat bagi hamba akan kerendahan dan kelemahan dirinya di hadapan Allah. Pengingat bahwa dia akan kembali kepada Allah ta’ala. Yang dengan itu diharapkan dia akan kembali menghamba kepada Allah, mempersiapkan diri menyambut akhirat dengan ketakwaan.

Ada Kemudahan Bersama Kesulitan

Dari paparan tersebut, kita mengetahui ternyata Allah menimpakan musibah dan menakdirkan kesulitan bukan untuk menyulitkan hamba-Nya, apalagi menzhaliminya. Maha suci Allah dari hal demikian. Akan tetapi, musibah dan kesulitan itu adalah ujian yang manfaatnya akan kembali kepada hamba, yang kebanyakan adalah sebagai akibat dari ulah hamba itu sendiri.
Dan jika kita benar-benar memperhatikan musibah dan kesulitan yang Allah takdirkan, niscaya kita akan mendapati bahwa bersama setiap kesulitan itu pasti ada kemudahan yang mengiringinya. Ini adalah kenyataan, dan ini adalah janji Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (*) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah [94]: 5-6)

Satu kesulitan, dua kemudahan
Syekh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, ayat ini merupakan kabar gembira bahwa setiap kesusahan dan kesulitan pasti diiringi oleh kemudahan. Sehingga seandainya kesulitan itu masuk ke dalam liang binatang Dhab, niscaya kemudahan juga akan ikut masuk dan mengeluarkannya.

Beliau juga menjelaskan, bahwa sebuah kesulitan akan diiringi oleh dua kemudahan. Maka satu kesulitan tidak akan bisa mengalahkan dua kemudahan. Dan kesulitan yang dimaksud adalah umum, mencakup segala bentuk kesulitan. Seberapa besar pun tingkat kesulitan pasti diakhiri dengan kemudahan. (Lihat Taisirul Karimir Rahman)

Pada ayat tadi, Allah menegaskan dengan perkataan-Nya, “bersama kesulitan” yang hal ini menunjukkan akan dekatnya kemudahan itu setelah datangnya kesulitan. Demikian juga sabda Nabi shollallohu’alaihi wa sallam,
وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Dan sesungguhnya kelapangan ada bersama dengan kesempitan, dan bersama kesulitan pasti ada kemudahan.” (Riwayat Ahmad)

Allah Ta’ala berfirman,
حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ أَلا إنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
Sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.’” (QS. al-Baqarah [2]: 214)

Dan perlu kita pahami bahwa kemudahan ini terkadang berupa kesuksesan yang Allah berikan kepada hamba-Nya dalam menghadapi kesulitan ini, dan terkadang berupa kelapangan dada untuk sabar dan ridha menerima takdir dan kehendak Allah ini. Sehingga janganlah kita sampai berprasangka buruk kepada Allah ta’ala ketika mendapati suatu kesulitan dan musibah.

Bagaimana Meraih Kemudahan?

Janji yang Allah berikan kepada hamba-Nya bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan, bukan berarti kita boleh berpangku tangan menunggu tanpa usaha meraih kemudahan dari Allah Ta’ala. Bahkan Allah Ta’ala telah menjelaskan jalan-jalan untuk menggapai kemudahan dan pertolongan dari Allah Ta’ala. Karena Allah telah menjadikan segala sesuatu dengan sebabnya.

Berikut ini beberapa usaha yang seyogyanya kita lakukan dalam rangka meraih kemudahan dari Allah Ta’ala:

- Bertakwa kepada Allah Ta’ala.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. ath-Thalaq [65]: 2)

- Bertawakal hanya kepada Allah.

Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. ath-Thalaq [65]: 3)

- Bersabar dan menguatkan kesabaran.

Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 200)

- Ikhlas dan bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al-Ankabut [29]: 69)

- Meluruskan dan menguatkan keimanan.

Allah Ta’ala berfirman,
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (QS. ar-Rum [30]: 47)

- Mengenal Allah dalam keadaan lapang.

Rasulullah shollallohu’alaihi wa sallam bersabda,
تَعرَّفْ إلى اللهِ في الرَّخاء يَعْرِفْك في الشِّدَّةِ
Kenalilah Allah dalam keadaan lapang, niscaya Allah akan mengenalmu dalam keadaan sempit.” (Riwayat Ahmad)

Maksudnya, jika seorang hamba dalam keadaan lapangnya tetap bertakwa kepada Allah, menjaga batasan-batasan-Nya, dan memperhatikan hak-hak-Nya, berarti dia telah mengenal Allah dalam keadaan lapang. Dan dengan itulah Allah akan menyelamatkannya dari berbagai kesusahan dan kesulitan.

Wallahu a’lam.

*****
Sumber: majalahsakinah.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin