Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

20 Agustus 2011

FILE 234 : Hukum Seputar Kredit Kontemporer

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Hukum Perkreditan:
Masalah dan Solusinya

.Disusun Oleh:
Ust. DR. Muhammad Arifin bin Baderi



HUKUM PERKREDITAN

Macam-Macam Praktek Perkreditan

Di antara salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan di masyarakat ialah dengan jual-beli dengan cara kredit.

Dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang, kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan banyak perubahan.

Tidak pelak lagi, untuk dapat mengetahui hukum berbagai hal yang dilakukan oleh masyarakat sekarang, kita harus mengadakan study lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kesamaan antara yang ada dengan yang pernah diterapkan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun berbeda.

Adalah kesalahan besar bagi seorang mujtahid ketika hendak berijtihad, hanya berpedoman kepada kesamaan nama, tanpa memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna dan kandungannya.

Diantara jenis transaksi yang telah mengalami perkembangan makna dan penerapannya adalah transaksi perkreditan.

Dahulu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi di zaman sekarang, perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung, dengan melibatkan pihak ketiga.

Dengan demikian pembeli sebagai pihak pertama tidak hanya bertransaksi dengan pemilik barang, akan tetapi ia bertransaksi dengan dua pihak yang berbeda:

Pihak kedua: Pemilik barang.

Pihak ketiga: Perusahaan pembiayaan atau perkreditan atau perbankan. Perkreditan semacan ini biasa kita temukan pada perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor.

Pada kesempatan ini, saya mengajak para pembaca untuk bersama-sama mengkaji hukum kedua jenis perkreditan ini.


Hukum Perkreditan Langsung

Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:

Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)

Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.

Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.

اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.

Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash pun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. (Hadits Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani)

Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amr Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).

Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).

Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:

من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه

“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره

“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya [1] , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Inaah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.


Hukum Perkreditan Segitiga

Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:

Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showroom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.[2] Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.

Setelah akad jual-beli ini selesai ditandatangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showroom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.

Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.

Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showroom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?

Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showroom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak showroom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.

Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.

Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetapi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.

Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:

Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showroom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:

عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم

Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)

Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Showroom, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showroom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.

عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه

“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit radliyallaahu 'anhu berikut:

عن ابن عمر قال: ابتعت زيتا في السوق، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل فأعطاني به ربحا حسنا، فأردت أن أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي بذراعي، فالتفت فإذا زيد بن ثابت فقال: لا تبعه حيث ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول الله السلم نهى أن تباع
حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى رحالهم. رواه أبو داود والحاكم

“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka aku pun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)[3]

Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.

Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallahu 'anhu ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:

قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.

Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”[4]

Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”[5]

Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.


Solusi

Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang. Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.

Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi.

Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ 

"Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)

Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya Allah akan memudahkan jalan keluar yang penuh dengan keberkahan.

ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب

“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)

Dahulu dinyatakan oleh para ulama’:

من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه

“Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”

Wallaahu Ta’ala a’alam bisshowab.

Footnote:
[1] Sebagaimana beliau jelaskan dalam kitabnya I’lamul Muwaqqiin dan Hasyi’ah ‘ala Syarah Sunan Abi Dawud.
[2] Sebagian showroom tidak mensyaratkan pembayaran uang muka.
[3] Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab At Tahqiq. Baca Nasbur Rayah 4/43 , dan At Tahqiq 2/181.
[4] Riwayat Bukhary dan Muslim.
[5] Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 4/348-349.

******
Sumber: pengusahamuslim.com

Artikel Terkait:

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

13 Agustus 2011

FILE 233 : Mencontoh Akhlaq Nabi Ibrahim

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..

Mencontoh Akhlaq Mulia Nabi Ibrahim

.Disusun Oleh:
Muhammad Abduh Tuasikal



Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang meneladani mereka dengan baik hingga akhir zaman.
 
Ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam Kholilullah (kekasih Allah)-. Di antara kisah beliau adalah ketika beliau didatangi para malaikat yang akan diutus untuk membinasakan kaum Luth. Para malaikat tersebut terlebih dahulu mendatangi Ibrahim dan istrinya, Sarah untuk memberi kabar gembira akan kelahiran anak mereka yang ‘alim yaitu Nabi Allah Ishaq ‘alaihis salam. Kisah tersebut disebutkan dalam ayat berikut ini.

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ (24) إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ (25) فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ (26) فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ (27) فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ (28) فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ (29) قَالُوا كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ (30)

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaama”. Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.  Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.” (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).” (QS. Adz Dzariyat: 24-30)


Menjawab Salam dengan Yang Lebih Baik

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala benar-benar memuji kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihis salam. Para malaikat sebagai tamu tadi, ketika masuk ke rumah beliau, mereka memberikan penghormatan dengan ucapan, “Salaaman”. Aslinya, kalimat ini berasal dari kalimat, “Sallamnaa ‘alaika salaaman (kami mendoakan keselamatan padamu)”. Namun lihatlah bagaimana jawaban Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam terhadap salam mereka. Ibrahim menjawab, “Salaamun”. Maksud salam beliau ini adalah “salaamun daaim ‘alaikum (keselamatan yang langgeng untuk kalian)”.

Para ulama mengatakan bahwa balasan salam Ibrahim itu lebih baik dan lebih sempurna daripada salam para malaikat tadi. Karena Ibrahim menggunakan jumlah ismiyyah (kalimat yang diawali dengan kata benda) sedangkan para malaikat tadi menggunakan jumlah fi’liyah (kalimat yang diawali dengan kata kerja). Menurut ulama balaghoh, jumlah ismiyyah mengandung makna langgeng dan terus menerus, sedangkan jumlah fi’liyah hanya mengandung makna terbaharui. Artinya di sini, balasan salam Ibrahim lebih baik karena beliau mendoakan keselamatan yang terus menerus.

Inilah contoh akhlaq yang mulia dari Nabi Allah Ibrahim ‘alaihis salam. Kita bisa mengambil pelajaran dari sini bahwa hendaklah kita selalu menjawab ucapan salam dari saudara kita dengan balasan yang lebih baik. Sebagaimana Allah Ta’ala pun telah memerintahkan kita seperti itu dalam ayat,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An Nisa’: 86)

Bentuk membalas salam di sini boleh dengan yang semisal atau yang lebih baik, dan tidak boleh lebih rendah dari ucapan salamnya tadi. Contohnya di sini adalah jika saudara kita memberi salam: “Assalaamu ‘alaikum”, maka minimal kita jawab: “Wa’laikumus salam”. Atau lebih lengkap lagi dan ini lebih baik, kita jawab dengan: “Wa’alaikumus salam wa rahmatullah”, atau kita tambahkan lagi: “Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barokatuh”.

Bentuk lainnya adalah jika kita diberi salam dengan suara yang jelas, maka hendaklah kita jawab dengan suara yang jelas, dan tidak boleh dibalas hanya dengan lirih. Begitu juga jika saudara kita memberi salam dengan tersenyum dan menghadapkan wajahnya pada kita, maka hendaklah kita balas salam tersebut sambil tersenyum (bukan cemberut) dan menghadapkan wajah padanya. Inilah di antara bentuk membalas salam dengan yang lebih baik.


Memuliakan Tamu

Dalam cerita Ibrahim ini juga terdapat pelajaran yang cukup berharga yaitu akhlaq memuliakan tamu. Lihatlah bagaimana pelayanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam untuk tamunya. Ada tiga hal yang istimewa dari penyajian beliau:
  1. Beliau melayani tamunya sendiri tanpa mengutus pembantu atau yang lainnya.
  2. Beliau menyajikan makanan kambing yang utuh dan bukan beliau beri pahanya atau sebagian saja.
  3. Beliau pun memilih daging dari kambing yang gemuk. Ini menunjukkan bahwa beliau melayani tamunya dengan harta yang sangat berharga.
Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bagaimana sebaiknya kita melayani tamu-tamu kita yaitu dengan pelayanan dan penyajian makanan yang istimewa. Memuliakan dan menjamu tamu inilah ajaran Nabi Ibrahim, sekaligus pula ajaran Nabi kita Muhammad ‘alaihimush sholaatu wa salaam.

‘Abdullah bin ‘Amr dan ‘Abdullah bin Al Harits bin Jaz’i mengatakan, “Barangsiapa yang tidak memuliakan tamunya, maka ia bukan pengikut Muhammad dan bukan pula pengikut Ibrahim” (Lihat Jaami’ul wal Hikam, hal. 170).

Begitu pula dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47, dari Abu Hurairah)

Seseorang dianjurkan menjamu tamunya dengan penuh perhatian selama sehari semalam dan sesuai kemampuan selama tiga hari, sedangkan bila lebih dari itu dinilai sebagai sedekah. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ » . قَالَ وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ ، فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهْوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ »

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia perhatian dalam memuliakan tamunya.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud perhatian di sini, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu perhatikanlah ia sehari semalam dan menjamu tamu itu selama tiga hari. Siapa yang ingin melayaninya lebih dari tiga hari, maka itu adalah sedekah baginya.” (HR. Bukhari no. 6019 dan Muslim no. 48, dari Syuraih Al ‘Adawi).

Para ulama menjelaskan bahwa makna hadits ini adalah seharusnya tuan rumah betul-betul perhatian melayani tamunya di hari pertama (dalam sehari semalam) dengan berbuat baik dan berlaku lembut padanya. Adapun hari kedua dan ketika, hendaklah tuan rumah memberikan makan pada tamunya sesuai yang mudah baginya dan tidak perlu ia lebihkan dari kebiasaannya. Adapun setelah hari ketiga, maka melayani tamu di sini adalah sedekah dan termasuk berbuat baik. Artinya, jika ia mau, ia lakukan dan jika tidak, tidak mengapa (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 21/31).

Imam Asy Syafi’i rahimahullah dan ulama lainnya mengatakan, “Menjamu tamu merupakan bagian dari akhlaq yang mulia yang biasa dilakukan oleh orang yang nomaden dan orang yang mukim” (Lihat Syarh Al Bukhari libni Baththol, 17/381). Sudah sepatutnya kita dapat mencontoh akhlaq yang mulia ini.


Berbicara dengan Lemah Lembut

Dalam ayat yang kami bawakan di awal tadi, kita dapat menyaksikan bagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam juga mencontohkan akhlaq berbicara lembut kepada para tamunya. Lihatlah ketika menjawab salam tamunya, beliau menjawab, “Salaamun qoumun munkarun” (selamat atas kalian kaum yang tidak dikenal). Kalimat ini dinilai lebih halus dari kalimat ‘ankartum‘ (aku mengingkari kalian).

Begitu pula ketika Ibrahim mengajak mereka untuk menyantap makanan. Bagaimana beliau menawarkan pada mereka? Beliau katakan, “Ala ta’kuluun” (mari silakan makan). Bahasa yang digunakan Ibrahim ini dinilai lebih halus dari kalimat, “Kuluu” (makanlah kalian). Ibaratnya Ibrahim menggunakan bahasa yang lebih halus ketika berbicara dengan tamunya. Kalau kita mau sebut, beliau menggunakan bahasa “kromo” (bahasa yang halus dan lebih sopan di kalangan orang jawa).

Inilah contoh dari beliau bagaimana sebaiknya seseorang bertutur kata. Inilah pula yang diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar.” Kemudian seorang Arab Badui bertanya, “Kamar-kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau pun bersabda,

لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

Kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa saja yang tutur katanya baik, gemar memberikan makan (pada orang yang butuh), rajin berpuasa dan rajin shalat malam karena Allah ketika manusia sedang terlelap tidur.” (HR. Tirmidzi no. 1984 dan Ahmad 1/155, hasan)

Demikianlah akhlaq mulia dari Nabi Ibrahim yang seharusnya dapat kita jadikan teladan. Dalam sebuah ayat, Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ

Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian.” (QS. Al Mumtahanah: 6)

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.


Referensi:
  • Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, 1392.
  • Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Darul Muayyid, cetakan pertama, 1424 H
  • Qishoshul Anbiya’, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, 1422 H
  • Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah.
  • Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan ketiga, 1424 H.
  • Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1423 H.
  • Zaadul Muhajir, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Hadits.
******
Sumber: muslim.or.id

Artikel Terkait:

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

06 Agustus 2011

FILE 232 : Kondisi Kaum Muslimin Tidak Sama

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…..


Sudah lama saya merasa kurang nyaman dengan suatu stigma, bahwasanya salafiyyin itu harus memakai gamis, tidak memakai celana pantalon, rajin sholat tahajjud (qiyamullail), rajin datang kajian, tidak menonton televisi, dan yang semisalnya. Seolah-olah bila seseorang sudah mantap dengan manhaj ini, dia harus bersikap 'bak' malaikat dan orang-orang sholih. Memang stigma tersebut tidak secara langsung saya dengar, namun kesan yang saya tangkap dari percakapan atau sikap dengan sesama ikhwan yang juga salafiyyin cukup menggambarkan stigma tersebut.

Saya tidak hendak menafikan bahwasanya seorang muslim itu mustinya berusaha dengan sekuat tenaga untuk memperbaiki dirinya dan memperbanyak beramal sholih. Namun hendaknya diingat, bahwasanya sudah merupakan sunnatullah jika kondisi manusia itu tidak sama.

Di satu sisi ada orang yang berilmu ('ulama'), di sisi lain ada seorang penuntut ilmu (thulabul 'ilmi), ada seorang yang rajin menghadiri majelis ilmu, namun bukan seorang penuntut ilmu (mustami'), ada juga orang awam. Namun kita tahu bahwasanya mereka semuanya memiliki aqidah yang sama, aqidah shahihah yakni hanya mentauhidkan Allah dalam beribadah dan mengikuti sunnah Rasul melalui pemahaman yang benar.

Tidaklah bisa dipaksakan bahwasanya orang awam harus rajin sholat malam, harus memakai gamis, harus hafal sekian surat Al Qur'an, harus menjauhi semua maksiat dan yang semisalnya. Sekali lagi, saya tidak hendak menafikan anjuran untuk meraih dan mengusahakan hal-hal tersebut, tetapi sekali lagi, apa yang disebutkan tersebut di atas bukanlah hal-hal standar yang semua orang harus menempuhnya secara total, sehingga bila melakukan salah satunya seolah-olah dia tidak layak lagi menjadi salafiyyin.

Alhamdulillah, ada ikhwah yang lebih menguasai tentang masalah agama daripada saya yang juga menulis topik serupa. Kiranya tulisan saudara saya tersebut lebih bisa mengena dan menjawab kekurangnyamanan saya selama ini.

Semoga bermanfaat ...

---oo00oo---

Tidak Sama

Oleh : Abul Jauzaa' 


Allah ta’ala berfirman :

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” [QS. Faathir : 32].
Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
ثم قسمهم إلى ثلاثة أنواع ، فقال: { فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ } وهو: المفرط في فعل بعض الواجبات، المرتكب لبعض المحرمات. { وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ } وهو: المؤدي للواجبات، التارك للمحرمات، وقد يترك بعض المستحبات، ويفعل بعض المكروهات. { وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ } وهو: الفاعل للواجبات والمستحبات، التارك للمحرمات والمكروهات وبعض المباحات.
“Kemudian Allah (dalam ayat di atas) membagi mereka (manusia) dalam tiga golongan. Allah ta’ala berfirman : ‘lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri’, yaitu orang yang lalai dalam menjalankan sebagian kewajiban dan mengerjakan sebagian yang diharamkan. (Firman Allah ta’ala : ) dan di antara mereka ada yang pertengahan’, yaitu orang-orang yang menunaikan apa-apa yang diwajibkan dan meninggalkan apa-apa yang diharamkan, dengan meninggalkan sebagian amal yang disunnahkan dan mengerjakan sebagian amal yang dimakruhkan. (Firman Allah ta’ala : ) ‘dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah’, yaitu orang yang mengerjakan apa-apa yang diwajibkan dan disunnahkan, serta meninggalkan apa-apa yang diharamkan dan dimakruhkan, serta sebagian yang dimubahkan” [Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim, 11/322, tahqiq : Mushthafaa As-Sayyid Muhammad, dkk; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1421 H].
Lihat pula penjelasan senada dari Asy-Syaikh As-Sa’diy dalam At-Tanbiihaat Al-Lathiifah ‘alaa Maa Ihtawat ‘alaihi Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah, hal. 86 (ta’liq : Asy-Syaikh Ibnu Baaz, takhrij : Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy; Daaru Ibnil-Qayyiim, Cet. 2/1422 H).
Allah ta’ala membagi beberapa keadaan manusia berdasarkan tingkat amal perbuatan ketaatannya kepada-Nya. Ada di antara yang beramal sedikit, ada yang beramal banyak. Ada yang banyak bermaksiat, ada pula yang sedikit bermaksiat.
Jika kita tengok keadaan salaf kita dari kalangan shahabat, tabii’in, dan atbaa’ut-taabi’iin, dapat kita lihat bahwa mereka pun bertingkat-tingkat dalam masalah amal.
Saya contohkan dari kalangan shahabat. Ada di antara mereka yang bersegera beramal apa saja yang dia dengar dan ketahui dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dia lah Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu yang mendahului shahabat-shahabat yang lain.
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ يَعْنِي الْفَزَارِيَّ، عَنْ يَزِيدَ وَهُوَ ابْنُ كَيْسَانَ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ الْأَشْجَعِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ صَائِمًا؟، قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَا، قَالَ: فَمَنْ تَبِعَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ جَنَازَةً؟، قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَا، قَالَ: فَمَنْ أَطْعَمَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ مِسْكِينًا؟، قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَا، قَالَ: فَمَنْ عَادَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ مَرِيضًا؟، قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ "
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Marwaan, yaitu Al-Fazzaariy, dari Yaziid – ia adalah Ibnu Kaisaan - , dari Abu Haazim Al-Asyjaa’iy, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Siapakah di antara kalian yang memasuki waktu pagi dalam keadaan berpuasa di hari ini?. Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu menjawab : “Aku”. Beliau kembali bertanya : Siapakah di antara kalian yang telah mengiringi jenazah pada hari ini?. Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu menjawab : “Aku”. Beliau kembali bertanya : Siapakah di antara kalian yang telah memberi makan kepada orang miskin pada hari ini?. Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu menjawab : “Aku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya : Siapakah di antara kalian yang telah membesuk orang sakit pada hari ini?. Abu Bakr menjawab : “Aku”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  bersabda : Tidaklah seluruh perkara tersebut terkumpul pada diri seseorang melainkan dia akan masuk surga [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1028].
Ada di antara shahabat yang sangat rajin dan bersemangat menjalankan satu ibadah, lebih dari yang lainnya. 
حدثني أبو الطاهر. قال: سمعت عبدالله بن وهب يحدث عن يونس، عن ابن شهاب. ح وحدثني حرملة بن يحيى أخبرنا ابن وهب. أخبرني يونس عن ابن شهاب. أخبرني سعيد بن المسيب وأبو سلمة بن عبدالرحمن ؛ أن عبدالله بن عمرو بن العاص قال: أخبر رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه يقول: لأقومن الليل ولأصومن النهار، ما عشت. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "آنت الذي تقول ذلك ؟ " فقلت له: قد قلته، يا رسول الله ! فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "فإنك لا تستطيع ذلك. فصم وأفطر. ونم وقم. وصم من الشهر ثلاثة أيام. فإن الحسنة بعشر أمثالها. وذلك مثل صيام الدهر" قال قلت: فإني أطيق أفضل من ذلك. قال: "صم يوما وأفطر يومين" قال قلت: فإني أطيق أفضل من ذلك، يا رسول الله ! قال: "صم يوما وأفطر يوما. وذلك صيام داود (عليه السلام) وهو أعدل الصيام" قال قلت: فإني أطيق أفضل من ذلك. قال رسول الله عليه وسلم: "لا أفضل من ذلك".

Telah menceritakan kepadaku Abu Thaahir, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin Wahb menceritakan dari Yuunus, dari Ibnu Syihaab (ح). Dan telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Yahyaa, dari Ibnu Syihaab : Telah mengkhabarkan kepadaku Sa’iid bin Al-Musayyib dan Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam diberitahukan bahwasannya ia (‘Abdullah) berkata : ‘Sungguh aku akan shalat di seluruh malam dan puasa di seluruh siang di sepanjang hayatku’. Maka beliau bersabda : “Apakah engkau yang mengatakan hal itu ?”. Aku menjawab : “Ya, aku telah mengatakannya wahai Rasulullah”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup mengerjakannya. Berpuasalah dan berbukalah. Tidurlah dan shalat malam-lah. Berpuasalah tiga hari dalam sebulan, karena satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Hal itu sebanding dengan puasa sepanjang masa. Aku berkata : “Sesungguhnya aku mampu melakukan lebih dari itu”. Beliau bersabda : “Kalau begitu, berpuasalah sehari, lalu berbuka dua hari”. Aku berkata : “Sesungguhnya aku mampu melakukan lebih dari itu wahai Rasulullah”. Beliau bersabda : “Kalau begitu, berpuasalah satu hari dan berbukalah satu hari. Itu adalah puasa Nabi Daawud ‘alaihis-salaam. Itu adalah puasa yang paling adil”. Aku berkata : “Sesungguhnya aku mampu melakukan lebih dari itu”. Beliau bersabda : “Tidak ada puasa yang lebih baik dari itu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1159].
Namun, ada shahabat memilih amalan yang lebih ringan daripada yang dirutinkan ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhum.
وحدثني هارون بن عبدالله ومحمد بن رافع. قالا: حدثنا ابن أبي فديك عن الضحاك بن عثمان، عن إبراهيم بن عبدالله بن حنين، عن أبي مرة مولى أم هانئ، عن أبي الدرداء؛ قال: أوصاني حبيبي صلى الله عليه وسلم بثلاث. لن أدعهن ما عشت: بصيام ثلاثة أيام من كل شهر. وصلاة الضحى. وبأن لا أنام حتى أوتر.

Dan telah menceritakan kepada kami Haaruun bin ‘Abdillah dan Muhammad bin Raafi’, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Fudaik, dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsmaan, dari Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Hunain, dari Abu Murrah maula Ummi Haani’, dari Abud-Dardaa’, ia berkata : “Kekasihku shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewasiatkan kepadaku tiga hal yang tidak aku tinggalkan selama hayatku : Berpuasa tiga hari pada setiap bulan, shalat Dluhaa, dan agar aku tidak tidur sebelum melakukan witir” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 722; Baitul-Afkaar Ad-Dauliyyah, Cet. Thn. 1419 H].
Bahkan ada di antara shahabat malah tidak mengerjakan shalat malam.
أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ إِذْ قَالَ يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قَالَ فَاطَّلَعَ رَجُلٌ مِنَ الأنْصَارِ تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ مَاءِ وُضُوئِهِ مُعَلِّقٌ نَعْلَيْهِ بِيَدِهِ الشِّمَالِ فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَاطَّلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ مَرْتَبَتِهِ الأُولَى فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَاطَّلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ مَرْتَبَتِهِ الأُولَى فَلَمَّا قَامَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اتَّبَعَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ لَهُ إِنِّي لاحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ إِنِّي لاَ أَدْخُلُ عَلَيْهِ ثَلاثَ لَيَالٍ فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَحِلَّ يَمِينِي فَعَلْتَ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَنَسٌ فَكَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ مَعَهُ ثَلاثَ لَيَالٍ فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ بِشَيْءٍ غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَقَلَّبَ عَلَى فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللَّهَ وَكَبَّرَهُ حَتَّى يَقُومَ لِصَلاةِ الْفَجْرِ فَيُسْبِغَ الْوُضُوءَ قَالَ عَبْدُ اللهِ غَيْرَ أَنَّى لاَ أَسْمَعُهُ يَقُولُ إِلا خَيْرًا فَلَمَّا مَضَتِ الثَّلاثُ اللَّيَالِي وَكِدْتُ أَنْ أَحْتَقِرَ عَمَلَهُ قُلْتُ يَا عَبْدَ اللهِ إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بَيْنِي وَبَيْنَ وَالِدِي غَضَبٌ وَلا هَجْرٌ وَلَكِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ لَكَ ثَلاثَ مَرَّاتٍ فِي ثَلاثَةِ مَجَالِسَ يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَاطَّلَعْتَ أَنْتَ فِي تِلْكَ الثَّلاثِ مَرَّاتٍ فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ فَأَنْظُرَ مَا عَمَلُكَ فَأَقْتَدِيَ بِكَ فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَبِيرَ عَمَلٍ فَمَا الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَا هُوَ إِلا مَا رَأَيْتَ فَانْصَرَفْتُ عَنْهُ فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي وَقَالَ مَا هُوَ إِلا مَا رَأَيْتَ غَيْرَ أَنِّي لاَ أَجِدُ فِي نَفْسِي غِلاً لأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَلا أَحْسِدُهُ عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ وَهِيَ الَّتِي لاَ نُطِيقُ

Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari Anas bin Maalik, ia berkata : Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau bersabda : “Sebentar lagi akan datang seorang laki-laki penghuni surga”. Kemudian seorang laki-laki dari Anshar lewat di hadapan mereka sementara bekas air wudlu masih membasahi jenggotnya, sedangkan tangan kirinya menenteng sandal. Esok harinya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi : “Akan lewat di hadapan kalian seorang laki-laki penghuni surga”. Kemudian muncul lelaki kemarin dengan kondisi persis seperti hari sebelumnya. Besok harinya lagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Akan lewat di hadapan kalian seorang lelaki penghuni surga”. Tidak berapa lama kemudian orang itu masuk sebagaimana kondisi sebelumnya; bekas air wudhu masih memenuhi jenggotnya, sedangkan tangan kirinya menenteng sandal. Setelah itu Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari tempat duduknya. Sementara Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash mengikuti lelaki tersebut, lalu ia berkata kepada lelaki tersebut : “Aku sedang punya masalah dengan orang tuaku, aku berjanji tidak akan pulang ke rumah selama tiga hari. Jika engkau mengijinkan, maka aku akan menginap di rumahmu untuk memenuhi sumpahku itu”. Dia menjawab : “Silakan”. Anas berkata bahwa ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash setelah menginap tiga hari tiga malam di rumah lelaki tersebut tidak pernah mendapatinya sedang shalat malam. Hanya saja tiap kali terjaga dari tidurnya ia membaca dzikir dan takbir hingga menjelang subuh. Kemudian mengambil air wudhu. Abdullah juga mengatakan : “Aku tidak mendengar ia berbicara, kecuali yang baik”. Setelah menginap tiga malam, saat hampir saja ‘Abdullah menganggap remeh amalnya, ia berkata : “Wahai hamba Allah, sesungguhnya aku tidak sedang bermasalah dengan orang tuaku, hanya saja aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tiga hari berturut-turut di dalam satu majelis beliau bersabda : ‘Akan lewat di hadapan kalian seorang lelaki penghuni surga’.’ Selesai beliau bersabda, ternyata yang muncul tiga kali berturut-turut adalah engkau. Maka, aku ingin menginap di rumahmu ini untuk mengetahui amalan apa yang engkau lakukan, sehingga aku dapat mengikuti amalanmu. Sejujurnya aku tidak melihatmu mengerjakan amalan yang berpahala besar. Sebenarnya amalan apakah yang engkau kerjakan sehingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian ?”. Kemudian laki-laki Anshar itu menjawab : “Aku tidak mengerjakan amalan apa-apa, kecuali apa yang telah engkau lihat”. Mendengar jawaban itu, akupun pulang. Namun ketika aku sudah berpaling, ia memanggilku, lalu berkata : “Aku tidak mengerjakan amalan apa-apa, kecuali apa yang telah engkau lihat. Hanya saja aku tidak pernah mempunyai rasa iri kepada sesama muslim atau hasad terhadap kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya”. ‘Abdullah bin ‘Amru berkata kepadanya : “Inilah amalan yang menyebabkan kamu mencapai derajat itu, sebuah amalan yang kami tidak mampu melakukannya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Al-Mubaarak dalam Az-Zuhd, hal. 220-221 no. 694, tahqiq & ta’liq : Habiibur-Rahmaan Al-A’dhamiy; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 2/1425 H – shahih].
Dan bahkan...., ada shahabat yang tidak menambah amalan sunnah kecuali apa yang diwajibkan saja.
حدثنا إسماعيل قال: حدثني مالك بن أنس، عن عمه أبي سهيل بن مالك، عن أبيه، أنه سمع طلحة بن عبيد الله يقول: جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من أهل نجد، ثائر الرأس، يسمع دوي صوته ولا يفقه ما يقول، حتى دنا، فإذا هو يسأل عن الإسلام، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (خمس صلوات في اليوم والليلة) فقال: هل علي غيرها؟ قال: (لا إلا أن تطوع). قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (وصيام رمضان). قال هل علي غيره؟ قال: (لا إلا أن تطوع). قال: وذكر له رسول الله صلى الله عليه وسلم الزكاة، قال: هل علي غيرها؟ قال: (لا إلا أن تطوع). قال: فأدبر الرجل وهو يقول: والله لا أزيد على هذا ولا أنقص، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (أفلح إن صدق).

Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Maalik bin Anas, dari pamannya yang bernama Abu Suhail bin Maalik, dari ayahnya, bahwasannya ia mendengar Thalhah bin ‘Ubaidillah berkata : Datang seorang laki-laki penduduk Najd kepada Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa dipahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : Shalat lima waktu dalam sehari semalam. Ia bertanya lagi : “Adakah aku punya kewajiban shalat lainnya ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian menyebutkan puasa di bulan Ramadlan. Ia bertanya lagi : “Adakah aku mempunyai kewajiban puasa selainnya ?”. Beliau menjawab : Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja. Perawi (Thalhah) mengatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian menyebutkan tentang zakat kepadanya. Maka ia pun kembali bertanya : “Adakah aku punya kewajiban lainnya ?”. Beliau menjawab : Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja. Perawi mengatakan : Selanjutnya orang ini pergi seraya berkata : “Demi Allah, saya tidak akan menambahkan dan tidak akan mengurangi ini”. Mendengar hal itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pun berkata : Niscaya ia akan beruntung jika ia benar-benar melakukannya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 46, tarqim : Muhammad Fuaad ‘Abdil-Baqiy; Al-Mathba’ah As-Salafiyyah, Cet. 1/1400 H].
Dan bahkan,...... ada sebagian shahabat yang melakukan kekeliruan yang kemudian ditegakkan hadd kepadanya.
وحدثنا محمد بن العلاء الهمذاني. حدثنا يحيى بن يعلى (وهو ابن الحارث المحاربي) عن غيلان (وهو ابن جامع المحاربي)، عن علقمة بن مرثد، عن سليمان بن بريدة، عن أبيه. قال: ........قال: ثم جاءته امرأة من غامد من الأزد. فقالت: يا رسول الله! طهرني. فقال (ويحك! ارجعي فاستغفري الله وتوبي إليه). فقالت: أراك تريد أن ترددني كما رددت ماعز بن مالك. قال: (وما ذاك؟) قالت: إنها حبلى من الزنى. فقال (آنت؟) قالت: نعم. فقال لها (حتى تضعي ما في بطنك). قال: فكفلها رجل من الأنصار حتى وضعت. قال: فأتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: قد وضعت الغامدية. فقال (إذا لا نرجمها وندع لها ولدها صغيرا ليس له من يرضعه). فقام رجل من الأنصار فقال: إلى رضاعه. يا نبي الله! قال: فرجمها.

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-‘Alaa’ Al-Hamdzaaniy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ya’laa (ia adalah Ibnul-Haarits Al-Muhaaribiy), dari Ghailaan (ia adalah Ibnu Jaami’ Al-Muhaaribiy), dari ‘Alqamah bin Martsad, dari Sulaimaan bin Burairad, dari ayahnya, ia berkata : “.....Kemudian datanglah seorang wanita dari daerah Ghaamid dari kalangan suku Al-Azd, ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, sucikanlah aku !’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Celakalah kamu ! Pulanglah dan beristighfarlah kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya. Lalu wanita itu berkata : ‘Aku melihat engkau ingin menolakku sebagaimana engkau telah menolak Ma’iz bin Maalik’. Beliau bersabda : Apa maksudnya ?. Ia berkata : ‘Sesungguhnya ia telah hamil karena zina’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Apakah (wanita itu) engkau ?. Ia menjawab : ‘Ya, benar’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : Kembalilah, hingga engkau melahirkan kandunganmu. Buraidah (perawi) berkata : ‘Lalu wanita itu ditanggung seorang laki-laki Anshar sampai melahirkan’. Kemudian laki-laki itu datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : ‘Sesungguhnya wanita Ghamidiyyah itu telah melahirkan’. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Kalau begitu, kami belum akan merajamnya, karena ia meninggalkan anaknya yang masih kecil dan tidak ada orang yang menyusuinya. Lalu seorang laki-laki dari kalangan Anshar berdiri dan berkata : ‘Wahai Nabi Allah, serahkan kepadaku penyusuannya !’. Buraidah berkata : ‘Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam merajamnya’ [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1695].
Perhatikanlah ya ikhwah, bagaimana keadaan para shahabat yang dikatakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebaik-baik generasi[1] dan bintang penjaga umat[2].
Betapa baik dan tinggi kedudukan mereka, mereka tetaplah manusia, sama seperti kita. Mereka bertingkat-tingkat dalam hal iman dan amal. Ada yang lebih ataupun kurang. 
Ada satu sisi yang ingin saya sampaikan melalui artikel ini :
Jika keadaan para shahabat saja seperti itu, bagaimana pula keadaan kita ?. Se-salafy-salafy-nya seseorang, tentu ada lebih dan kurangnya. Ada di antara mereka yang unggul di satu hal, namun kurang dalam hal yang lain. (Mungkin), ada sebagian di antara salafiyyuun yang ibadahnya ‘luar biasa’, namun kurang bisa berinteraksi dengan orang lain. Ada sebagian di antaranya yang rajin ikut ta’lim kesana dan kemari, namun susah diajak ta’awun dalam dakwah. Ada sebagian di antaranya yang diberikan kecerdasan dalam teoritis ilmu-ilmu agama, namun agak kurang dalam kekuatan implementasinya. Dan seterusnya dan seterusnya.
Satu fenomena – yang menurut saya – salah berlangsung dalam realitas. Seringkali kita menjadikan apa yang ada pada diri kita menjadi satu standar yang harus berlaku pada orang lain. Jika kita rajin shalat malam, maka orang lain pun ‘wajib’ shalat malam. Jika kita rajin ta’lim, maka orang lain pun ‘wajib’ rajin ta’lim. Jika kita aktif dalam dakwah, maka orang lain pun ‘wajib’ seperti itu pula. Apa-apa yang tidak berkesesuaian dengan diri kita dari orang lain, kita anggap sebagai satu cela. Tidak jarang hal itu berlanjut menjadi kekakuan, kekurangharmonisan, dan ajang bermasam muka. Kita anggap berketus kata sebagai media utama pengamalan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
الدين النصيحة
“Agama itu nasihat”.
agar,.... orang yang bersangkutan ‘menyadari kesalahannya’ yang selanjutnya melakukan apa yang kita lakukan.
Ikhwah,.... (saya pribadi berpendapat) itu bukanlah sikap bijaksana. Koreksi jika saya salah. Islam tidaklah bertujuan menjadikan manusia sama, akan tetapi Islam bertujuan untuk mengajak manusia beribadah kepada Allah semata dengan mengamalkan syari’at yang ada di dalamnya, yang itu bisa terwujud dengan media nasihat. Allah ta’ala telah berfirman :
ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ

“Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang” [QS. Al-Balad : 17].
Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
وقوله: { وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ } أي: كان من المؤمنين العاملين صالحا، المتواصين بالصبر على أذى الناس، وعلى الرحمة بهم. كما جاء في الحديث: "الراحمون يرحمهم الرحمن، ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء" وفي الحديث الآخر: "لا يَرْحَم اللهُ من لا يَرْحَم الناس"

“Dan firman-Nya : ‘dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang’, yaitu : ia termasuk orang-orang mukmin yang selalu mengerjakan amal shalih dan senantiasa memberikan wasiat/nasihat untuk bersabar dari gangguan orang lain serta berkasih sayang dengan mereka. Hal itu sebagaimana terdapat dalam hadits : ‘Orang-orang yang mengasihi akan selalu dikasihi oleh Yang Maha Pengasih (Allah). Kasihilah orang-orang yanga ada di bumi, niscaya engkau akan dikasihi orang Dzat yang ada di langit”. Dan juga dalam hadits yang lain : ‘Allah tidak mengasihi orang-orang yang tidak mengasihi manusia’” [Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim, 14/362].
Nasihat dan dakwah adalah untuk mengajak yang jauh untuk mendekat, mengajak yang lemah beramal menjadi rajin beramal. Bukan sebaliknya, mengajak yang lemah menjadi semakin lemah dan malas, serta mengajak yang jauh menjadi semakin jauh.
Al-Imaam Ibnu Baaz rahimahullah ketika ditanya :
أفيدكم أنني إمام مسجد في إحدى ضواحي الرياض ، والمشكلة أنني ضعيف التجويد في القراءة وكثير الخطأ ، وأنا أحفظ من القرآن ثلاثة أجزاء مع بعض الآيات في بعض السور ، وأنا خائف على ذمتي ، فأرجو إفادتي هل أستمر في الإمامة أم أستقيل ؟

“Perlu Anda ketahui bahwasannya saya adalah seorang imam masjid di salah satu sudut kota Riyaadl. Ada satu permasalahan bahwasannya saya itu lemah dalam hal tajwiid bacaan dan banyak keliru. Dan saya hapal 3 juz dari Al-Qur’an dan beberapa ayat di sebagian surat. Saya khawatir atas tanggung jawab saya. Mohon sarannya, apakah saya terus melanjutkan menjadi imam ataukah harus menundurkan diri ?”.
Maka beliau menjawab :
عليك أن تجتهد في حفظ ما تيسر من القرآن وتجويده وأبشر بالخير والإعانة من الله عز وجل إذا صلحت نيتك وبذلت الوسع في ذلك ؛ لقول الله سبحانه وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا وقول النبي صلى الله عليه وسلم : الماهر بالقرآن مع السفرة الكرام البررة والذي يقرأ القرآن ويتتعتع فيه وهو عليه شاق له أجران ولا ننصحك بالاستقالة بل نوصيك بالاجتهاد الدائم والصبر والمصابرة حتى تنجح في تجويد كتاب الله وفي حفظه كله أو ما تيسر منه وفقك الله ويسر أمرك

“Anda harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghapalkan Al-Qur’an dan tajwid-nya. Dan saya berikan khabar gembira dengan adanya kebaikan dan pertolongan dari Allah ‘azza wa jalla apabila niat Anda baik dan Anda mencurahkan kemampuan untk itu. Karena Allah telah berfirman : ‘Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (QS. Ath-Thalaq). Dan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Orang yang mahir membaca Al-Qur’an bersama para malaikat yang mulia lagi baik. Adapun orang yang membaca Al-Qur’an sambil terbata-bata dan mengalami kesulitan, baginya dua pahala. Kami tidak menasihati Anda agar mengundurkan diri. Bahkan kami mewasiatkan agar bersungguh-sungguh, sabar, tabah, hingga Anda berhasil menguasai tajwid Kitabullah dan menghapal keseluruhannya atau apa-apa yang mudah darinya. Semog Allah memberikan taufiq dan memudahkan urusan Anda” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/96-97].
Perhatikan uslub jawaban beliau tersebut. Nasihat Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah adalah nasihat yang memberikan semangat dan penuh kasih-sayang. Tidak ada kata-kata menyudutkan dalam fatwa beliau atas kekurangan orang yang bertanya. Padahal beliau rahimahullah tahu bahwa orang yang paling berhak menjadi imam adalah orang yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya. Dan bukanlah hal susah untuk mencarikan pengganti imam di negeri semisal Saudi, seandainya beliau menyarankan orang yang bertanya untuk mundur dari imam.
Kewajiban kita – jika kita tahu sesuatu (dan telah mengamalkannya) – hanyalah menyampaikan. Karena kita tahu :
لأن يهدى بك رجل واحد خير لك من حمر النعم

Seandainya Allah memberikan hidayah seseorang melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik bagimu daripada onta merah (harta dunia yang sangat berharga)”.
Jika diterima alhamdulillah. Jika belum, maka sabar, berdoa, dan terus berusaha untuk mendapatkan onta merah. Jangan sampai hilang dan terlepas. 
Allah ta’ala telah menciptakan bermilyar manusia dengan berbagai keadaannya. Di antaranya kita, ibu kita, ayah kita, teman kita, tetanga kita, relasi kita, dan yang lainnya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Jika kita melihat orang lain penuh kekurangan, maka tidaklah beda jauh dengan diri kita. Banyak kelebihan yang mungkin dimiliki orang lain yang tidak ada pada diri kita.
Semoga sekelumit catatan kecil ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.


Footnote:
[1]      Merujuk pada riwayat :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَبِيدَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ وَكَانُوا يَضْرِبُونَنَا عَلَى الشَّهَادَةِ وَالْعَهْدِ وَنَحْنُ صِغَارٌ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Manshuur, dari Ibraahiim, dari ‘Ubaidah, dari ‘Abdullah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka. Kemudian akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya". Ibrahim berkata : "Dahulu, mereka (para shahabat) memukul kami saat masih kecil bila melanggar perjanjian dan persaksian (untuk sebuah pengajaran)" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3651].
[2]      Merujuk pada riwayat :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ كُلُّهُمْ عَنْ حُسَيْنٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ عَنْ مُجَمَّعِ بْنِ يَحْيَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ صَلَّيْنَا الْمَغْرِبَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُلْنَا لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَهُ الْعِشَاءَ قَالَ فَجَلَسْنَا فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ مَا زِلْتُمْ هَاهُنَا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّيْنَا مَعَكَ الْمَغْرِبَ ثُمَّ قُلْنَا نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَكَ الْعِشَاءَ قَالَ أَحْسَنْتُمْ أَوْ أَصَبْتُمْ قَالَ فَرَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ وَكَانَ كَثِيرًا مِمَّا يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, Ishaaq bin Ibraahiim, ‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan, semuanya dari Husain. Telah berkata Abu Bakr : Telah menceritakan kepada kami Husain bin ‘Aliy Al-Ju’fiy, dari Mujammi’ bin Yahyaa, dari Sa’iid bin Abi Burdah, dari Abu Burdah, dari ayahnya, ia berkata : “Kami pernah melaksanakan shalat Maghrib berjama'ah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian kami berkata :  'Sebaiknya kami duduk bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sambil menunggu waktu shalat ‘Isya'. Ayah Abu Burdah berkata : 'Kami duduk-duduk di masjid, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kami seraya bertanya : 'Kalian masih di sini?'. Kami menjawab : ‘Benar ya Rasulullaah! Kami telah melaksanakan shalat Maghrib berjamaah bersama engkau. Oleh karena itu kami memilih untuk duduk-duduk di masjid sambil menunggu shalat ‘Isya’ berjamaah dengan engkau’. Rasulullah pun berkata : ‘Kalian benar-benar telah melakukan kebaikan.’ Lalu Rasulullah mengangkat kepalanya ke atas dan berkata : 'Bintang-bintang ini merupakan amanah/penjaga bagi langit. Apabila bintang-bintang tersebut hilang, maka langit akan tertimpa apa yang telah dijanjikan. Aku adalah amanah/penjaga para sahabatku. Kalau aku sudah tidak ada, maka mereka, para sahabatku, akan tertimpa apa yang telah dijanjikan. Para sahabatku adalah amanah/penjaga umatku. Apabila para sahabatku telah tiada, maka umatku pasti akan tertimpa apa yang telah dijanjikan kepada mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2531].

******
Sumber: abul-jauzaa.blogspot.com

Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin