Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

30 April 2011

FILE 218 : Kaidah "Siapa Tidak Mengkafirkan Orang Kafir, maka Kafir"

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
….

Sedikit faidah yang saya peroleh dari kajian hari Ahad yang diisi oleh Ust. Ali Nur hafidhahullah pada tanggal 20 Jumadil Ula 1432 / 24 April 2011.

--oo00oo--


Siapa Saja yang Tidak Meng-Kafir-kan Orang yang Kafir,
Maka Dia Kafir

 Kaidah di atas sering dijadikan alasan oleh sebagian kalangan kaum muslim untuk melegalkan aksi pembunuhan dan pemboman di tanah air yang marak akhir-akhir ini. Namun sudah benarkah penerapan kaidah tersebut ?

Dari penjelasan Ust. Ali Nur hafidhahullah, kaidah di atas berlaku untuk orang yang jelas-jelas kafir (keluar dari Islam / non-muslim). Sehingga bila kita tidak mengakui kafirnya orang Nasrani, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, dll, maka kita bisa jatuh ke dalam kekafiran. Mengapa bisa demikian ? Yang demikian itu karena Allah sudah jelas-jelas mengkafirkan mereka, namun kita masih ragu akan kekafiran mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَـٰمُ‌ۗ

Sesungguhnya agama (yang diridai/diterima) di sisi Allah hanyalah Islam”(QS. Ali Imran [3]: 19)

وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَـٰمِ دِينً۬ا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِى ٱلۡأَخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِينَ

Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran [3]: 85)

لَّقَدۡ ڪَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَـٰثَةٍ۬‌ۘ وَمَا مِنۡ إِلَـٰهٍ إِلَّآ إِلَـٰهٌ۬ وَٲحِدٌ۬‌ۚ

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa.”(QS. Al Maidah [5]: 73)

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَـٰبِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَـٰلِدِينَ فِيہَآ‌ۚ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمۡ شَرُّ ٱلۡبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.”(QS. Al Bayyinah [98]: 6)

Apalagi jika dilihat dari sudut pandang orang-orang kafir tersebut, kita (umat Islam) pun sebenarnya juga dianggap kafir terhadap agama mereka. Contoh mudah adalah Nasrani yang menganggap orang di luar agamanya sebagai “domba-domba yang tersesat” serta Yahudi yang memandang orang di luar agamanya sebagai orang rendahan (sampai-sampai mencaplok Palestina dengan alasan wilayah itu adalah wilayah yang dijanjikan Tuhan untuk kalangan Yahudi secara khusus).

Itu jika kaidah tersebut di atas diterapkan kepada orang yang jelas-jelas kafir.

Adapun terhadap orang Islam yang melakukan amalan kekafiran (ucapan maupun perbuatan), maka kaidah di atas tidak berlaku. Mengapa bisa demikian ?

Pertama, kita harus bisa memahami dan membedakan antara vonis kafir mutlak dan vonis kafir ta’yin (muayyan).

Vonis kafir secara mutlak dibolehkan dengan dalil-dalil (nash) yang shahih dari Al Qur’an maupun As Sunnah. Misalnya kafirnya orang yang sujud kepada selain Allah (QS. Fush-shilat [41]: 37), kafirnya tukang sihir (QS. Al Baqarah [2]: 102), kafirnya orang yang ber”ibadah” kepada selain Allah, dan yang semisalnya.

Adapun vonis secara ta’yin (muayyan/tertentu/tunjuk hidung), maka ini membutuhkan syarat-syarat tertentu yang sangat ketat. Di antara syarat-syarat tersebut, Syaikh Ibrahim bin Amir ar Ruhaili hafidhahullah menyebutkan sebagai berikut:

  • Orang yang dikafirkan itu baligh dan berakal.
Karena hanya orang yang baligh dan berakal lah yang dikenakan beban syari’at (mukallaf). Sehingga keluar dari ketentuan ini, orang yang melakukan amalan kekafiran dengan mengigau (dalam tidur), dibius atau dihipnotis.

  • Perbuatan kekafiran yang dilakukannya murni dari niatnya sendiri (disengaja), tidak dalam keadaan terpaksa (yang menyebabkan nyawanya terancam)***
Sehingga keluar dari ketentuan ini orang muslim yang terjatuh secara tidak sengaja sehingga bersujud kepada berhala dan orang muslim yang dipaksa

  • Telah ditegakkan hujjah atas orang yang melakukan amalan kekafiran tersebut
Maksud ditegakkan hujjah di sini, menurut Ibnul Qoyyim rahimahullah tidak cukup dengan sebatas penyampaian dalil kepada yang bersangkutan, namun orang yang disampaikan dalil tersebut harus benar-benar mengerti dan memahami maksud dari dalil/hujjah yang disampaikan kepadanya tersebut. Karena sangat mungkin ketika dalil/hujjah tersebut disampaikan kepadanya, dia masih mempunyai syubhat-syubhat (kemusykilan) terhadap dalil tersebut.

Jika dalil belum disampaikan, maka dia dihukumi sebagai orang yang tidak tahu dan diberi udzur karena ketidaktahuannya (kecuali jika alasan ketidaktahuannya karena tidak mau tahu)

Jika dalil sudah disampaikan namun dia tetap belum bisa memahami dalil tersebut dan keduluan ajal menjemput, maka orang tersebut diberi udzur dan di akhirat kelak dia akan diuji.

Hadits yang paling terkenal dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Aswad bin Sari’, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يكون يوم القيامة رجل أصم لا يسمع شيئاً، ورجل أحمق، ورجل هرم ورجل مات في فترة فأما الأصم فيقول: رب لقد جاء الإسلام وما أسمع شيئاً، وأما الأحمق فيقول: رب لقد جاء الإسلام والصبيان يحذفونني بالبعر، وأما الهرم فيقول: رب لقد جاء الإسلام وما أعقل شيئاً، وأما الذي مات في الفترة فيقول: رب ما أتاني لك رسول، فيأخذ مواثيقهم ليطيعنه، فيرسل إليهم أن ادخلوا النار، قال فوالذي نفس محمد بيده لو دخلوها لكانت عليهم برداً وسلاماً  

Di hari kiamat ada seorang yang tuli, tidak mendengar apa-apa, ada orang yang idiot, ada orang yang pikun, ada yang mati pada masa fatrah. Orang yang tuli berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang saat itu aku tuli, tidak mendengar Islam sama sekali’. Orang yang idiot berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang, saat itu anak-anak nakal sedang memasung aku di dalam sumur’. Orang yang pikun berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang aku sedang hilang akal’. Orang yang mati pada masa fatrah berkata: ‘Ya Rabb, tidak ada utusan yang datang untuk mengajakku kepada Islam’. Lalu diuji kecenderungan hati mereka pada ketaatan. Diutus utusan untuk memerintahkan mereka masuk ke neraka. Nabi bersabda: ‘Demi Allah, jika mereka masuk ke dalamnya, mereka akan merasakan dingin dan mereka mendapat keselamatan‘” (HR. Ahmad, Thabrani. Di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 1434)

Terdapat juga hadits semisal yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, namun lafadz akhirnya berbunyi:

فمن دخلها كانت عليه برداً وسلاماً، ومن لم يدخلها سحب إليها

Diantara mereka yang patuh memasuki neraka akan merasakan dingin dan akhirnya selamat. Sedangkan yang enggan memasukinya justru akan diseret ke dalamnya” (HR. Ahmad)

Jika dalil sudah disampaikan dan sudah dijelaskan, namun dia tidak mau memahami, maka ke-tidakpaham-annya itu bukanlah merupakan udzur akan kekafirannya di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada kaum Madyan, yang mana mereka berkata kepada Nabi Syu’aib ‘alaihis salaam ketika didakwahi untuk mentauhidkan Allah:

قَالُواْ يَـٰشُعَيۡبُ مَا نَفۡقَهُ كَثِيرً۬ا مِّمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَٮٰكَ فِينَا ضَعِيفً۬ا‌ۖ

Mereka (Kaum Nabi Syu’aib) berkata: "Hai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami.” (QS. Huud [11]: 91).

Jika dalil sudah disampaikan dan sudah dijelaskan serta dia pun sudah memahaminya, namun ternyata dia tetap menuruti hawa nafsunya (syahwat-nya), maka orang yang seperti inilah yang jatuh vonis kafir kepadanya. Inilah tafsir yang dipahami dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡكَـٰفِرُونَ

Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah [5] : 44)

وَمَن لَّمۡ يَحۡڪُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ

Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al Maidah [5] : 45)

وَمَن لَّمۡ يَحۡڪُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡفَـٰسِقُونَ

Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah [5] : 47)

Kedua, jikalau memang seorang muslim itu melakukan amalan kekafiran (ucapan maupun perbuatan), apakah otomatis dia kafir ?

Silahkan dipahami kembali penjelasan pada poin pertama

Jika memang dia kafir, apakah dia kafir yang boleh dibunuh ?

Karena di sana ada kafir yang tidak boleh dibunuh, seperti kafir dzimmi (yang membayar jizyah), kafir mu’ahad (yang terikat perjanjian damai), dan kafir musta’min (mendapat jaminan keamanan)

Jika memang dia kafir yang boleh dibunuh, apakah musti siapa saja dari kalangan kaum muslimin boleh melakukan eksekusi pembunuhan ?

Karena pembunuhan terhadap kafir harbi (yang boleh dibunuh/diperangi) tidak boleh serampangan, harus berdasarkan perintah dari Ulil Amri

Semoga faidah singkat ini bermanfaat ...

Silahkan baca juga:

--oo00oo--

*** Sebagian ‘ulama ada yang berpendapat bahwa dipaksa berbuat kekafiran yang diperbolehkan berdasarkan QS. An Nahl [16]: 106 hanyalah kekafiran dalam bentuk ucapan. Adapun kekafiran dalam bentuk perbuatan (misalnya bersujud kepada salib), maka kelompok ‘ulama ini berpandangan tetap tidak diperbolehkan walaupun diancam bunuh.

Subhanakallaahumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

23 April 2011

FILE 217 : Pelecehan Terhadap Diin (Agama)

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
….


Hukum Istihza' bid Diin (Memperolok Agama)

Oleh:
Ustadz Abu Ihsan Al Atsary


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam kitabNya:

يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُم بَمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِءُوا إِنَّ اللهَ مُخْرِجُ مَاتَحْذَرُونَ

"Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan RasulNya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti." (At Taubah [9]: 64).

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya, kamu selalu berolok-olok?". (At Taubah [9]: 65).

لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

"Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa." (At Taubah[9]: 66).

Ayat ini menjelaskan sikap orang-orang munafik terhadap Allah, RasulNya dan kaum mukminin. Kebencian yang selama ini mereka pendam, terlahir dalam bentuk ejekan dan olok-olokan terhadap Allah dan RasulNya. Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir mencantumkan sebuah riwayat dari Muhammad bin Ka'ab Al Qurazhi dan lainnya yang menjelaskan kepada kita bentuk pelecehan dan olokan mereka terhadap Allah, RasulNya dan ayat-ayatNya.

Ia berkata: Seorang lelaki munafik mengatakan: "Menurutku, para qari (pembaca Al Qur'an) kita ini hanyalah orang-orang yang paling rakus makannya, paling dusta perkataannya dan paling penakut di medan perang."

Sampailah berita tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu orang munafik itu menemui Beliau, sedangkan Beliau sudah berada di atas ontanya bersiap-siap hendak berangkat. Ia berkata: "Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja." Maka turunlah firman Allah.


أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ

"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok ?

sesungguhnya kedua kakinya tersandung-sandung batu, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menoleh kepadanya, dan ia bergantung di tali pelana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.[1]

Ayat ini menjelaskan hukum memperolok-olok Allah, RasulNya, ayat-ayatNya, agamaNya dan syiar-syiar agama, yaitu hukumnya kafir. Barangsiapa memperolok-olok RasulNya, berarti ia telah memperolok-olok Allah. Barangsiapa memperolok-olok ayat-ayatNya, berarti ia telah memperolok-olok RasulNya. Barangsiapa memperolok-olok salah satu daripadanya, berarti ia memperolok-olok seluruhnya. Perbuatan yang dilakukan oleh kaum munafikin itu adalah memperolok-olok Rasul dan sahabat Beliau, lalu turunlah ayat ini sebagai jawabannya.

Sikap memperolok-olok syi’ar agama bertentangan dengan keimanan. Dua sikap ini, dalam diri seseorang, tidak akan bisa bertemu. Oleh karena itu, Allah menyebutkan bahwa pengagungan terhadap syiar-syiar agama berasal dari ketaqwaan hati. Allah berfirman.

ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

"Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati." (Al Hajj [22]: 32).

MAKNA ISTIHZA'

Istihza', secara bahasa artinya sukhriyah, yaitu melecehkan [2]. Ar Raghib Al Ashfahani berkata,”Al huzu', adalah senda-gurau tersembunyi. Kadang-kala disebut juga senda-gurau atau kelakar." [3]

Al Baidhawi berkata,”Al Istihza', artinya adalah pelecehan dan penghinaan. Dapat dikatakan haza'tu atau istahza'tu. Kedua kata itu sama artinya. Seperti kata ajabtu dan istajabtu.” [4]

Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui makna istihzaa'. Yaitu pelecehan dan penghinaan dalam bentuk olok-olokan dan kelakar.

ISTIHZA', DAHULU DAN SEKARANG

Perbuatan mengolok-olok agama dan syi’ar-syi’ar agama ini, bukan hanya muncul pada masa sekarang; namun akarnya sudah ada sejak dahulu. Banyak sekali bentuk-bentuk istihzaa' yang dilakukan oleh orang-orang dahulu maupun sekarang. Diantaranya:

- Dalam bentuk pelesetan-pelesetan yang menghina agama.

Bisa dikatakan, Yahudilah yang menjadi pelopor dalam membuat pelesetan-pelesetan yang isinya menghina Allah, RasulNya dan Islam. Sikap mereka ini telah disebutkan oleh Allah dalam firmanNya.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih." (Al Baqarah [2]:104).

Raa'ina, artinya sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Dikala para sahabat menggunakan kata-kata ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, orang-orang Yahudipun memakainya pula, akan tetapi mereka pelesetkan. Mereka katakan ru'unah, artinya ketololan yang amat sangat. Ini sebagai ejekan terhadap Rasulullah. Oleh karena itulah, Allah menyuruh para sahabat agar menukar perkataan raa'ina dengan unzhurna, yang juga sama artinya dengan raa'ina.

Yahudi juga memelesetkan ucapan salam menjadi as saamu 'alaikum, yang artinya (semoga kematianlah atas kamu). Mereka tujukan ucapan itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebelumnya, hal sama sebenarnya telah mereka lakukan terhadap Nabi Musa Alaihissallam. Allah menceritakannya dalam KitabNya.

وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوامِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَّغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ . فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلاً غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِّنَ السَّمَآءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

"Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya dengan bersujud, dan katakanlah: "HITH-THATUN (Bebaskanlah kami dari dosa)", niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik. Lalu orang-orang yang mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zhalim itu siksaan dari langit, karena mereka berbuat fasik." (Al Baqarah [2]:58, 59).

Mereka disuruh mengucapkan hiththah, yang artinya bebaskanlah kami dari dosa. Namun mereka pelesetkan menjadi hinthah, yang artinya beri kami gandum.

Memang, urusan peleset-memelesetan ini orang Yahudi merupakan biangnya. Celakanya, sikap seperti inilah yang ditiru oleh sebagian orang jahil. Mereka menjadikan agama sebagai bahan pelesetan. Seperti yang dilakukan oleh para pelawak yang memelesetkan ayat-ayat Allah dan syi’ar-syi’ar agama.

Sebagai contoh, memelesetkan firman Allah yang berbunyi "laa taqrabuu zina" kemudian diartikan “jangan berzina hari Rabu!” Bahkan sebagian oknum itu, ada yang berani memelesetkan arti firman Allah: Inna lillahi wa inna ilahi raji'un, dengan arti “yang tidak berkepentingan dilarang masuk!” dalam bentuk guyonan dan lawakan. Kepada orang seperti ini, kita ucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.**)

Demikian pula, kita sering mendengar dari sebagian orang yang memelesetkan lafadz azan. Sebagai contoh ucapan "hayya 'alal falaah", mereka pelesetkan menjadi "hayalan saja". Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk pelesetan, yang hakikatnya adalah pelecehan dan istihzaa' terhadap syi’ar-syi’ar agama. Hendaklah orang-orang yang melakukannya segera bertaubat dengan taubatan nasuha. Dan bagi para orang tua, hendaklah mencegah dan melarang anak-anaknya, apabila mendengar anak-anak mereka melatahi pelesetan-pelesetan bernada pelecehan tersebut. Hendaklah mereka ketahui, bahwa perbuatan seperti itu merupakan perbuatan Yahudi.

- Dalam bentuk ejekan dan sindiran terhadap syi’ar-syi’ar agama dan orang-orang yang mengamalkannya.

Seringkali kita mendengar sebagian orang tak bermoral mengejek wanita-wanita Muslimah yang mengenakan busana Islami dengan bercadar dan warna hitam-hitam dengan ejekan “ninja! ninja!" Atau seorang Muslim yang taat memelihara jenggotnya dengan ejekan “kambing!” Atau seorang Muslim yang berpakaian menurut Sunnah tanpa isbal (tanpa menjulurkannya melebihi mata kaki) dengan ejekan: “pakaian kebanjiran”. Sering kita dapati di kantor-kantor, para pegawai yang taat menjalankan syi’ar agama ini diejek oleh rekan kerjanya yang jahil alias tolol. Sekarang ini kaum muslimin yang taat menjaga identitas keislamannya, seringkali dicap dan diejek dengan sebutan teroris dan lain sebagainya. Yang sangat memprihatinkan adalah para pelaku pelecehan dan pengejekan itu adalah dari kalangan kaum muslimin sendiri.

- Dalam bentuk sindiran terhadap Islam dan hukum-hukumnya.

Seperti orang yang mengejek hukum hudud dalam Islam, semisal potong tangan dan rajam dengan sebutan hukum barbar. Menyebut Islam sebagai agama kolot dan terkebelakang. Menyebut syariat thalak dan ta'addud zaujaat (poligami) sebagai kezhaliman terhadap kaum wanita. Atau ucapan bahwa Islam tidak cocok diterapkan pada zaman modern. Dan ucapan-ucapan sejenisnya.

- Dalam bentuk perbuatan dan bahasa tubuh atau gambar.

Seperti isyarat, istihzaa' dalam bentuk karikatur dan sejenisnya.


JENIS-JENIS ISTIHZA'

Istihza' ada dua jenis. Pertama: Istihzaa' sharih. Seperti yang disebutkan dalam ayat di atas. Yaitu perkataan orang-orang munafik terhadap sahabat-sahabat Nabi. Kedua: Istihza' ghairu sharih. Jenis ini sangat luas dan banyak sekali cabangnya. Diantaranya adalah ejekan dan sindiran dalam bentuk isyarat tubuh. Misalnya, seperti menjulurkan lidah, mencibirkan bibir, menggerakkan tangan atau anggota tubuh lainnya.

HUKUM ISTIHZA'

Istihzaa' termasuk salah satu dari pembatal-pembatal keislaman. Dalam ta'liq (syarah/komentar) terhadap kitab Aqidah Ath Thahawiyah, Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: "Pembatal-pembatal keislaman sangat banyak. Diantaranya adalah juhud (pengingkaran), syirik dan memperolok-olok agama atau sebagian dari syi’ar agama –meskipun ia tidak mengingkarinya-. Pembatal-pembatal keislaman sangat banyak. Para ulama dan ahli fiqh telah menyebutkannya dalam bab-bab riddah (kemurtadan). Diantaranya juga adalah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal."

Ketika mengomentari surat At Taubah ayat 64-66 di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Ayat ini merupakan nash bahwasanya memperolok-olok Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya hukumnya kafir." [5]

Al Fakhrur Razi dalam tafsirnya mengatakan: "Sesungguhnya, memperolok-olok agama, bagaimanapun bentuknya, hukumnya kafir. Karena olok-olokan itu menunjukkan penghinaan; sementara keimanan dibangun atas pondasi pengagungan terhadap Allah dengan sebenar-benar pengagungan. Dan mustahil keduanya bisa berkumpul." [6]

Ibnul Arabi menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut: "Apa yang dikatakan oleh orang-orang munafik tersebut tidak terlepas dari dua kemungkinan, sungguh-sungguh atau cuma berkelakar saja. Dan apapun kemungkinannya, konsekuensi hukumnya hanya satu, yaitu kufur. Karena berkelakar dengan kata-kata kufur adalah kekufuran. Tidak ada perselisihan diantara umat dalam masalah ini. Karena kesungguhan itu identik dengan ilmu dan kebenaran. Sedangkan senda gurau itu identik dengan kejahilan dan kebatilan." [7]

Ibnul Jauzi berkata: "Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengungkapkan kalimat kekufuran hukumnya adalah sama." [8]

Al Alusi menambahkan perkataan Ibnul Jauzi di atas sebagai berikut: "Tidak ada perselisihan diantara para ulama dalam masalah ini." [9]

Syaikh Abdurrahman As Sa'di menjelaskan dalam tafsirnya: "Sesungguhnya, memperolok-olok Allah dan RasulNya hukumnya kafir, dan dapat mengeluarkan pelakunya dari agama. Karena dasar agama ini dibangun di atas sikap ta'zhim (pengagungan) terhadap Allah dan pengagungan terhadap agama dan rasul-rasulNya. Dan memperolok-olok sesuatu daripadanya, (berarti) menafikan dasar tersebut dan sangat bertentangan dengannya." [10]

Ditambahkan lagi, istihza' pada hakikatnya bertentangan dengan keimanan. Karena hakikat keimanan adalah pembenaran terhadap Allah k dan tunduk serta patuh kepadaNya. Orang yang memperolok-olok Allah, sesungguhnya ia menolak tunduk kepadaNya, karena ketundukan itu merupakan komposisi dari pengagungan dan memuliakan. Sementara itu olok-olokan adalah penghinaan dan pelecehan. Kedua perkara tersebut sangat berlawanan dan saling bertolak belakang. Apabila salah satu ada dalam hati seseorang, maka yang lain akan hilang. Dapatlah diketahui, bahwa istihza', penghinaan dan pelecehan terhadap Allah, RasulNya dan ayat-ayatNya menafikan keimanan.

Ibnu Hazm mengatakan: "Nash yang shahih telah menyatakan, bahwa siapa saja yang memperolok-olok Allah setelah sampai kepadanya hujjah, maka ia telah kafir." [11]

Al Qadhi Iyadh berkata: "Barangsiapa mengucapkan perkataan keji dan kata-kata yang berisi penghinaan terhadap keagungan Allah dan kemuliaanNya, atau melecehkan sebagian dari perkara-perkara yang diagungkan oleh Allah, atau memelesetkan kata-kata untuk makhluk yang sebenarnya hanya layak ditujukan untuk Allah tanpa bermaksud kufur dan melecehkan, atau tanpa sengaja melakukan ilhad (penyimpangan); jika hal itu berulang kali dilakukannya, lantas ia dikenal dengan perbuatan itu sehingga menunjukkan sikapnya yang mempermainkan agama, pelecehannya terhadap kehormatan Allah dan kejahilannya terhadap keagungan dan kebesaranNya, maka tanpa ada keraguan lagi, hukumnya adalah kafir."[12]

An Nawawi menyebutkan dalam kitab Raudhatuth Thalibin: "Seandainya ia mengatakan -dalam keadaan ia minum khamar atau melakukan zina- dengan menyebut nama Allah! Maksudnya adalah melecehkan asma Allah, maka hukumnya kafir." [13]

Ibnu Qudamah mengatakan: "Barangsiapa mencaci Allah, maka hukumnya kafir, sama halnya ia bercanda atau sungguh-sungguh. Demikian pula, siapa saja yang memperolok-olok Allah atau ayat-ayatNya atau rasul-rasulNya atau kitabNya. Allah berfirman:

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ . لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (At Taubah [9]: 65-66).” [14]

Ibnu Nujaim mengatakan: "Hukumnya kafir, apabila ia mensifatkan Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagiNya atau memperolok-olok salah satu dari asma Allah Subhanahu wa Ta'ala." [15]

Dari penjelasan para ulama di atas dapat disimpulkan, bahwa istihzaa' bid din termasuk dosa besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memasukkan perkara ini sebagai salah satu pembatal keislaman.

SIKAP ISLAM TERHADAP PELAKU ISTIHZA'

Allah berfirman dalam kitab-Nya:

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam." (An Nisa' [4]:140).

Berkaitan dengan ayat ini, Syaikh Abdurrahman As Sa'di mengatakan dalam tafsirnya [16]: "Yakni Allah telah menjelaskan kepada kamu –dari apa yang telah Allah turunkan kepadamu- hukum syar'i berkaitan dengan menghadiri majelis-majelis kufur dan maksiat. Allah mengatakan "bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan" yaitu dilecehkan, maka sesungguhnya kewajiban atas setiap mukallaf (orang yang sudah baligh dan berakal sehat) apabila mendengar ayat-ayat Allah adalah mengimaninya, mengagungkan dan memuliakannya. Itulah maksud diturunkannya ayat-ayat Allah. Dialah Allah yang karenanya telah menciptakan makhluk. Lawan dari iman adalah mengkufurinya, dan lawan dari pengagungan adalah melecehkan dan merendahkannya. Termasuk di dalamnya adalah perdebatan orang-orang kafir dan munafik untuk membatalkan ayat-ayat Allah dan mendukung kekafiran mereka.

Demikian pula ahli bid'ah dengan berbagai jenisnya. Argumentasi mereka untuk mendukung kebatilan mereka, termasuk bentuk pelecehan terhadap ayat-ayat Allah; karena ayat-ayat tersebut tidak menunjukkan kecuali hak, dan tidak memiliki konsekuensi lain selain kebenaran. Dan juga termasuk di dalamnya, (yaitu) larangan menghadiri majelis-majelis maksiat dan kefasikan, (dikarenakan) dalam majelis tersebut perintah dan larangan Allah dilecehkan, hukum-hukumNya dilanggar. Dan batasan larangan ini adalah "sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain", yaitu mereka tidak lagi mengingkari ayat-ayat Allah dan tidak melecehkannya.

Firman Allah "Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka". Yakni jika kamu duduk bersama mereka dalam kondisi seperti itu, maka kalian serupa dengan mereka, karena kalian ridha dengan kekufuran dan pelecehan mereka. Orang yang ridha dengan perbuatan maksiat, sama seperti orang yang melakukan maksiat itu sendiri. Walhasil, barangsiapa menghadiri majelis maksiat, yang disitu Allah didurhakai dalam majelis tersebut, maka wajib atas setiap orang yang tahu untuk mengingkarinya apabila ia mampu, atau ia meninggalkan majelis itu bila ia tidak mampu."

Anehnya sebagian orang justru tertawa terbahak-bahak di depan televisi mendengar celotehan dan guyonan para pelawak yang mempermainkan simbol-simbol agama dan syi’ar-syi’arNya, wal iyadzu billah!

PENUTUP

Tulisan ini merupakan peringatan dan nasihat kepada segenap kaum muslimin dari perbuatan dosa besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Berapa banyak kita dapati bentuk-bentuk penghinaan terhadap syi’ar-syi’ar agama, pelesetan-pelesetan yang berisi sindiran terhadap agama, karikatur-karikatur lelucon yang berisi ejekan dan lain sebagainya. Khususnya banyak kita dapati anak-anak kaum muslimin melatahi bentuk-bentuk istihza' ini. Anehnya, para orang tua diam saja melihatnya tanpa memperingatkan atau memberi hukuman terhadap anak-anak mereka. Sehingga istihzaa' ini menjadi hal yang biasa di kalangan kaum muslimin, padahal termasuk dosa besar. Na'udzubillah min dzalika.

Bagi siapa saja yang diserahkan mengurusi urusan kaum muslimin, hendaklah cepat tanggap mengambil tindakan terhadap setiap bentuk pelecehan terhadap agama, apapun bentuknya. Karena hal itu termasuk kejahatan yang harus dibasmi, dan pelakunya berhak dihukum dengan hukuman yang berat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Silakan lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz II, hlm. 454, Cet Darul Alam Al Kutub Riyadh, cetakan kedua, tahun 1997-1418 H.
[2]. Silakan lihat Lisanul Arab (I/183) dan Al Mishbaahul Munir, hlm. 787.
[3]. Silakan lihat kitab Al Mufradaat, hlm. 790.
[4]. Silakan lihat Tafsir Al Baidhaawi (I/26).
[5]. Silakan lihat Ash Sharimul Maslul, hlm. 31 dan juga Majmu’ Fatawa (XV/48).
[6]. At Tafsir Al Kabir (XVI/124).
[7]. Ahkamul Qur’an (II/964), dan lihat juga Tafsir Al Qurthubi (VIII/197).
[8]. Zaadul Masiir (III/465).
[9]. Ruuhul Ma’aani (X/131).
[10]. Tafsir As Sa’di (III/259).
[11]. Al Fishal (III/299).
[12]. Asy Syifaa' (II/1092).
[13]. Raudhatuth Thalibin (X/67) dan Mughnil Muhtaaj, karangan Asy Syarbini (IV/135).
[14]. Al Mughni (X/113), dan silakan lihat juga Kasyful Qanaa’ (VI/168) dan Al Inshaf (X/326).
[15]. Al Bahrur Raaiq (V/129), dan lihat juga Syarah Fiqh Al Akbar, tulisan Mulaa Ali Al Qaari, hlm. 227.
[16]. Taisir Karimir Rahman, hlm. 228

Sumber: almanhaj.or.id

**) Tambahan dari saya (Sa'ad) : Senada dengan itu adalah ungkapan (dalam bentuk tulisan pada jejaring sosial di media maya khususnya) remaja sekarang -terutama yang biasanya dijuluki dengan istilah lebay atau alay- semisal Yaowloh (bentuk pelesetan dari Ya Allah) dan Astapirulah halajim, astagafirullah halajim, astopiloh hal ajim, Astapirulloh halajim (bentuk plesetan dari istighfar Astaghfirullahal adzim).  Saya khawatir hal tersebut masuk dalam kategori istihza' (mengolok-olok atau menjadikan lafadz yang ada hubungannya dengan agama [ayat-ayat Allah] sebagai bahan senda gurau), sehingga saudara-saudariku muslim dapat terjerumus ke dalam celaan Allah terhadap kaum munafik di dalam QS. At Taubah [9]: 65

Alangkah bagusnya bila penulisan kata-kata di atas diganti dengan kata yang umum, semisal ya ampun dan astaga saja.

Termasuk juga bahasa SMS dengan 4JJ untuk Allah, dan Ass untuk menyingkat lafadz salam yang mulia (Assalaamu'alaykum). Ada seorang teman yang mengatakan kepada saya, bahwa penulisan 4JJ berasal dari kalangan nasrani yang berarti For Jesus dan J ... (saya lupa). Sedangkan Ass adalah kata dalam bahasa Inggris untuk menyatakan pantat, sehingga pantaskan kita mengganti kata penghormatan bagi saudara muslim kita dengan kata hinaan (yang mungkin tidak kita sadari ??) 

Jika beralasan bahwa dalam SMS jumlah karakternya terbatas sedangkan yang ingin disampaikan banyak, tidak masalah untuk tidak menuliskan kata salam namun langsung ke hal-hal yang ingin disampaikan. Sedangkan untuk penulisan karakter Allah, toh cuma selisih 2 karakter dengan 4JJ.

Semoga sedikit tambahan ini bermanfaat bagi saudara-saudariku muslim ...

 إِنۡ أُرِيدُ إِلَّا ٱلۡإِصۡلَـٰحَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُ‌ۚ وَمَا تَوۡفِيقِىٓ إِلَّا بِٱللَّهِ‌ۚ

"Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah"

Baca Juga: 
Subhanakallaahumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

16 April 2011

FILE 216 : Haramkah Tidur Setelah Sholat Shubuh ?

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
….

Hukum Tidur Setelah Shubuh



حكم النوم بعد الفجر وبعد العصر

Hukum Tidur Setelah Subuh dan Setelah Ashar

السؤال : هل هناك حكم يتعلق بالنوم بعد الفجر؟

Pertanyaan, “Apa hukum tidur lagi setelah shalat hubuh?

الجواب :
الحمد لله
بالنسبة للنوم بعد صلاة الإنسان للفجر ، فلم يرد نص يمنع منه ، فهو باق على الأصل وهو الإباحة .

Jawaban, “Untuk tidur lagi setelah seorang itu mengerjakan shalat shubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya sehingga hukum tidur setelah shalat subuh adalah sebagaimana hukum asal semua perkara non ibadah yaitu mubah.

ولكن كان من هدي النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه أنهم إذا صلوا الفجر جلسوا في مصلاهم حتى تطلع الشمس ،

Akan tetapi yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat adalah setelah mereka melaksanakan shalat subuh mereka duduk di masjid hingga matahari terbit.

كما ثبت في ” صحيح مسلم 1/463 رقم 670 ” من حديث سماك بن حرب قال : ( قلت لجابر بن سمرة أكنت تجالس رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟

(Sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim 1/463 nomor 670, dari hadits) Sammak bin Harb, aku bertanya kepada Jabir bin Samurah, “Apakah anda sering menemani duduk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”

قال : نعم ، كثيراً ، كان لا يقوم من مصلاه الذي يصلي فيه الصبح – أو الغداة – حتى تطلع الشمس ، فإذا طلعت الشمس قام ؛ وكانوا يتحدثون ، فيأخذون في أمر الجاهلية ، فيضحكون ويتبسم .

Jawaban Jabir bin Samurah, “Ya, sering. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meninggalkan tempat beliau menunaikan shalat shubuh hingga matahari terbit. Jika matahari telah terbit maka beliau pun bangkit meninggalkan tempat tersebut. Terkadang para sahabat berbincang-bincang tentang masa jahiliah yang telah mereka lalui lalu mereka tertawa-tawa sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan hal tersebut”.

وأيضا فقد سأل النبي صلى الله عليه وسلم ربه أن يبارك لأمته في بكورها

Di samping itu Nabi berdoa kepada Allah agar Allah melimpahkan keberkahan untuk umatnya di waktu pagi.

كما في حديث صخر الغامدي قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :  اللهم بارك لأمتي في بكورها

Dari Shakhr al Ghamidi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu pagi”.

قال : وكان إذا بعث سرية أو جيشاً بعثهم في أول النهار ، وكان صخراً رجلاً تاجراً ، وكان يبعث تجارته أول النهار ، فأثرى وأصاب مالاً .

Shakhr al Ghamidi berkata, “Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengirim pasukan perang adalah mengirim mereka di waktu pagi”.

Shakhr al Ghamidi adalah seorang pedagang. Kebiasaan beliau jika mengirim ekspedisi dagang adalah memberangkatkannya di waktu pagi. Akhirnya beliau pun menjadi kaya dan mendapatkan harta yang banyak.

خرجه أبو داود والترمذي وابن ماجه بإسناد فيه جهالة ، وجاء ما يشهد له من حديث علي وابن عمر وابن عباس وابن مسعود وغيرهم – رضي الله عنهم جميعاً -

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah namun ada salah satu perawi yang tidak diketahui. Akan tetapi hadits ini memiliki penguat dari Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dll.

ومن هنا كره بعض السلف النوم بعد الفجر ،

Bertitik tolak dari hal di atas, sebagian ulama salaf membenci tidur setelah shalat subuh.

فقد أخرج ابن أبي شيبة في مصنفه ( 5/222 رقم 25442 ) بإسناد صحيح عن عروة بن الزبير أنه قال : كان الزبير ينهى بنيه عن التصبح  وهو النّوم  في الصّباح

Dari ‘Urwah bin Zubair, beliau mengatakan, “Dulu Zubair melarang anak-anaknya untuk tidur di waktu pagi

قال عروة : إني لأسمع أن الرجل يتصبح فأزهد فيه.

Urwah mengatakan, “Sungguh jika aku mendengar bahwa seorang itu tidur di waktu pagi maka aku pun merasa tidak suka dengan dirinya”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25442 dengan sanad yang sahih].

والخلاصة أن الأولى بالإنسان أن يقضي هذا الوقت فيما يعود عليه بالنفع في الدنيا والآخرة ، وإن نام فيه ليتقوى على عمله فلا بأس ، لا سيما إذا كان لا يتيسر له النوم في غير هذا الوقت من النهار

Kesimpulannya, yang paling afdhol adalah menggunakan waktu pagi untuk aktivitas yang bermanfaat di dunia ataupun di akhirat. Namun jika ada seorang yang memilih untuk tidur di setelah shalat subuh agar bisa bekerja dengan penuh vitalitas maka hukumnya adalah tidak mengapa, terutama jika tidak memungkinkan bagi orang tersebut untuk tidur siang dan hanya mungkin tidur di waktu pagi.

وخرج ابن أبي شيبة في مصنفه ( 5/223 رقم 25454 ) من حديث أبي يزيد المديني قال : غدا عمر على صهيب فوجده متصبّحاً ، فقعد حتى استيقظ ، فقال صهيب : أمير المؤمنين قاعد على مقعدته ، وصهيب نائم متصبّح !! فقال له عمر : ما كنت أحب أن تدع نومة ترفق بك .

Dari Abu Yazid al Madini, “Pada suatu pagi Umar pergi ke rumah Shuhaib namun Shuhaib sedang tidur pagi. Umar pun duduk menunggu sehingga Shuhaib bangun”. Ketika bangun Shuhaib berkomentar, “Amirul mukminin duduk menunggu sedangkan Shuhaib tidur pagi”. Umar mengatakan, “Aku tidak suka jika kau tinggalkan tidur yang bermanfaat bagimu”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no 25454].

وأما النوم بعد العصر فهو جائز ومباح أيضاً ، ولم يصحّ عن النبي صلى الله عليه وسلم نهي عن النوم في هذا الوقت .

Sedangkan tidur setelah shalat Ashar hukumnya adalah juga mubah. Tidak terdapat hadits shahih dari Nabi yang berisi larangan tidur setelah Ashar.


وأما ما ينسب إلى النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ” من نام بعد العصر فاختلس عقله فلا يلومن إلا نفسه ” فهو حديث باطل لا يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم انظر : ” السلسة الضعيفة ، رقم : 39 “ والله أعلم .

Sedangkan hadits dengan redaksi, “Barang siapa yang tidur setelah shalat Ashar lalu akalnya rusak maka janganlah dia menyalahkan kecuali dirinya sendiri” adalah hadits dengan kualitas bathil, tidak shahih dari Nabi. Silahkan simak penjelasan tentang kelemahan hadits tersebut di Silsilah Shahihah no. 39

Sumber: http://www.islam-qa.com/ar/ref/2063, diterjemahkan oleh Ust. Aris Munandar

Baca Juga:
Subhanakallaahumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

09 April 2011

FILE 215 : Mengenal Ummahatul Mu'minin

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
….

Kehidupan Rasulullah Bersama Istri - Istri Beliau

Disusun oleh:
Ust. Firanda Andirja Abidin

".......

 1) Khadijah binti Khuwailid

Istri pertama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam  adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad. Dan umur beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tatkala menikahi Khadijah adalah dua puluh lima tahun[1], sedangkan Khadijah berumur dua puluh delapan tahun[2]. Khadijah adalah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang paling dekat nasabnya dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam [3]. Semua anak-anak Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan anak Khadijah kecuali Ibrohim.

Khadijah adalah seorang wanita yang kaya dan cantik serta memilki kedudukan yang tinggi di masyarakat sehingga banyak orang Quraisy yang ingin menikahinya. Akan tetapi hatinya terpikat pada sosok seorang pemuda yang tidak memiliki harta namun memiliki budi pekerti yang luhur dan tinggi, dialah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Khodijah-lah yang telah berkorban harta dan jiwanya untuk membela kenabian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, menenangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tatkala Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam gelisah, meyakinkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berada di atas kebenaran.

Beliaulah yang telah berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan yang indah yang terabadikan di buku-buku hadits tatkala Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,

لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِي
Aku mengkhawatirkan diriku[4],

maka Khadijah berkata,

كَلاَّ أَبْشِرْ فَوَاللهِ لاَ يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا فَوَاللهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمِ وَتَصْدُقُ الْحَدِيْثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّح

“Sekali-kali tidak, bergembiralah !!!. Demi Allah, sesungguhnya Allah selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah, sungguh engkau telah menyambung tali silaturahmi, jujur dalam berkata, membantu orang yang tidak bisa mandiri, engkau menolong orang miskin, memuliakan (menjamu) tamu, dan menolong orang-orang yang terkena musibah”[5]

Demikianlah sikap Khadijah yang mulia untuk menenangkan dan meyakinkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai Khadijah. Beliau terang-terangan menyatakan cintanya dan mengakui keutamaan dan kemuliaan Khadijah, sampai-sampai Aisyah berkata,

مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ  صلى الله عليه وسلم  مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ وَمَا رَأَيْتَهَا وَلَكِنْ كَانَ النبي صلى الله عليه وسلم يُكْثِرُ ذِكْرَهَا وَرُبَّمَا ذَبَحَ الشَّاةَ ثُمَّ يَقْطَعُهَا أَعْضَاءَ ثُمَّ يَبْعَثُهَا فِي صَدَائِقِ خَدِيْجَةَ فَرُبَّمَا قُلْتُ لَهُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ فَيَقُوْلُ إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ

Aku tidak pernah cemburu pada seorangpun dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti kecemburuanku pada Khadijah. Aku tidak pernah melihatnya akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyebut namanya. Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih seekor kambing kemudian beliau memotong-motongnya lalu mengirimkannya kepada sahabat-sahabat Khadijah. Terkadang aku berkata kepadanya, “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita yang lain kecuali Khadijah”, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia itu wanita yang demikian dan demikian[6] dan aku dahulu memiliki putra darinya….” (HR Al-Bukhari III/1389 no. 3907)

Aisyah cemburu kepada Khadijah padahal Khadijah telah meninggal dunia…!!!

Khadijah wafat tiga tahun sebelum hijrah[7]. Dan tatkala Khadijah wafat maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat sedih sekali, hingga tahun wafatnya Khadijah disebut dengan “Tahun kesedihan” –dan telah meninggal pada waktu itu juga paman beliau Abu Tholib-”

Selanjutnya marilah kita cermati perkataan Ibnul Qoyyim –rohimahulloh- (Lihat Zaadul Ma’ad I/105-113) yang menceritakan silsilah sejarah pernikahan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata,

2) Kemudian beberapa hari setelah itu beliau menikahi Saudah binti Zam’ah Al-Qurosyiah, dialah yang telah menghadiahkan hari gilirannya (giliran menginap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di rumah istri-istrinya) bagi Aisyah.

3) Kemudian beliau menikah dengan Ummu Abdillah ‘Aisyah As-Siddiqoh binti As-Shiddiq yang telah dinyatakan kesuciannya oleh Allah dari atas langit yang tujuh. Kekasih Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, putri Abu Bakar As-Shiddiq. Malaikat telah menampakkan 'Aisyah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahinya dalam mimpi beliau, dimana Aisyah tertutup wajahnya dengan selembar kain dari kain sutra lalu malaikat itu berkata, “Inilah istrimu (bukalah kain penutup wajahnya)” ( HR Al-Bukhari III/1415 no 3682 dan Muslim IV/1889 no 2438).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  menikahinya pada bulan Syawwal dan umurnya adalah enam tahun. Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam baru menggaulinya pada Syawwal pada tahun pertama Hijrah ketika umurnya sembilan tahun. Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menikahi seorang perawan pun selain Aisyah. Dan tidaklah turun wahyu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam  tatkala Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang bersama istrinya dalam satu selimut selain selimut Aisyah.

Beliau adalah wanita yang paling dicintai Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Turun wahyu dari langit menjelaskan terbebasnya beliau dari tuduhan zina, dan umat sepakat akan kafirnya orang yang menuduhnya berzina. Dia adalah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang paling paham agama dan yang paling pandai, bahkan terpandai di antara para wanita umat ini secara mutlak. Para pembesar sahabat kembali kepada pendapatnya dan meminta fatwa kepadanya. Dikatakan bahwa beliau keguguran, namun khabar ini tidak benar.

4) Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Hafshoh binti Umar bin Al-Khotthob. Abu Dawud menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menceraikannya kemudian ruju’ (kembali) lagi kepadanya.

5) Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Khuzaimah bin Al-Harits Al-Qoisiyah dari bani Hilal bin ‘Amir. Dan beliau wafat di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah tinggal bersamanya selama dua bulan.

6) Kemudian beliau menikah dengan Ummu Salamah Hind binti Abi Umayyah Al-Qurosyiah Al-Makhzumiah, nama Abu Umayyah adalah Hudzaifah bin Al-Mughiroh. Ia adalah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang paling terakhir wafatnya[8]. Dan dikatakan bahwa yang paling terakhir wafat adalah Shofiah.

7) Kemudian beliau menikahi Zainab binti Jahsy dari bani Asad bin Khuzaimah dan dia adalah anak Umayyah, bibi Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan dialah yang tentangnya turun firman Allah,

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا

"... Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia ..." (QS. Al- Ahzab [33]:37)

Dan dengan kisah inilah maka ia berbangga di hadapan para istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam  yang lain. Ia berkata, “Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian, adapun aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang ke tujuh”. Oleh karena itu di antara keistimewaannya adalah Allah-lah yang telah menikahkannya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia wafat di awal kekhalifahan Umar bin Al-Khotthob[9].

Dahulunya ia adalah istri Zaid bin Haritsah dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  mengangkat Zaid sebagai anak angkatnya. Tatkala Zaid menceraikannya, maka Allah pun menikahkannya dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar umat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bisa mencontohi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahi istri-istri anak-anak angkat mereka.

8) Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Juwairiyah binti Al-Harits bin Abi Dhiror Al-Mushtholiqiah dan ia merupakan tawanan bani Mushtholiq (Kabilah Yahudi) lalu ia pun datang menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membantu penebusannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian menebusnya dan menikahinya.

9) Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Habibah dan namanya adalah Romlah binti Abi Sufyan Sokhr bin Harb Al-Qurosyiah Al-Umawiah. Dan dikatakan namanya adalah Hind.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahinya dan Ummu Habibah sedang berada di negeri Habasyah karena berhijrah dari Mekkah ke negeri Habasyah. Najasyi memberikan mahar atas nama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Habibah sebanyak empat ratus dinar. Lalu ia dibawa dari Habasyah kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (di Madinah). Ummu Habibah meninggal di masa pemerintahan saudaranya Mu’awiyah.

10) Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Shofiyyah binti Huyaiy bin Akhthub pemimpin bani Nadhir dari keturunan Harun bin Imron 'alaihis salaam saudara Musa 'alaihis salaam. Ia adalah putri (keturunan) nabi (Harun 'alaihis salaam) dan istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Ia termasuk wanita tercantik di dunia. Dahulunya ia adalah tawanan (budak) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerdekakannya dan menjadikan pembebasannya sebagai maharnya.[10]

11) Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah binti Al-Harits Al-Hilaiah dan ia adalah wanita terakhir yang dinikahi oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahinya di Mekkah pada waktu Umroh Al-Qodho’ setelah beliau tahallul –menurut pendapat yang benar-. Beliau wafat pada masa pemerintahan Mu’awiyah.

12) Dan dikatakan bahwa termasuk istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Roihanah binti Zaid An-Nasroniah dan dikatakan juga Al-Quroizhiah. Ia ditawan pada waktu perang bani Quroizhoh, maka tatkala itu ia adalah tawanan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  memerdekakannya dan menikahinya. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menceraikannya sekali kemudian ruju’ (kembali) kepadanya.

Dan sekelompok (ulama) yang lain menyatakan bahwa Roihanah adalah budak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang digauli oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan terus menjadi budaknya hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat. Maka dia terhitung termasuk budak-budak Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bukan termasuk istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Dan pendapat yang pertama adalah pilihan Al-Waqidi dan disetujui oleh Syarofuddin Ad-Dimyathi dan dia mengatakan bahwa pendapat inilah yang lebih kuat menurut para ahli ilmu. Namun perkataannya itu perlu dicek kembali karena yang dikenal bahwasanya Roihanah termasuk budak-budak Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam [11].

.............."

______________________
Foot Note:

[1] Berkata Ibnu Hajar, “Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama” (Fathul Bari VII/134)
[2] Ini merupakan riwayat Ibnu Ishaq. Adapun riwayat Al-Waqidi menunjukkan bahwa Khadijah tatkala itu berumur 40 tahun. Berkata Doktor Akrom Dhiya’ Al-‘Umari, “Khodijah telah melahirkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dua orang putra dan empat orang putri, yang hal ini menguatkan riwayat Ibnu Ishaq (bahwasanya umur Khadijah tatkala menikah dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah 28 tahun) karena pada umumnya wanita telah mencapai masa menopause sebelum mencapai lima puluh tahun." (Lihat As-Shiroh An-Nabawiyah As-Shahihah I/113). Selain itu menurut para ahli hadits, Ibnu Ishaq lebih tsiqoh dalam periwayatan daripada Al-Waqidi.
[3] Karena Khadijah adalah binti Khuwailid bin Asad bin Abi Uzza bin Qushoi, dan nasabnya bertemu dengan nasab Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Qushoi. Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menikah dari keturunan Qushoi selain Khodijah, kecuali Ummu Habibah (Fathul Bari VII/134)
[4] Yaitu tatkala Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh Malaikat Jibril, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun ketakutan dan beliau takut kalau beliau tersihir atau kemasukan jin
[5] HR. Al-Bukhari I/4 no. 3 dan Muslim I/139 no. 160.

Para pembaca yang budiman…lihatlah sifat-sifat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan oleh Khadijah, semuanya kembali pada memberi manfaat kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka serta menghilangkan kesulitan mereka.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda

وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberi manfaat kepada manusia." (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 426)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ سُرُوْرٌ يدُخْلِهُ ُعَلَى مُسْلِمٍ أَوْ يَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً أَوْ يَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا أَوْ يَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا وَلَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ( يعني مسجد المدينة ) شَهْرًا وَمَنْ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ _ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ _ مَلَأَ اللهُ قَلْبَهُ رَجَاءَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخِيْهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى تَتَهَيَّأَ لَهُ أَثْبَتَ اللهُ قَدَمَهُ يَوْمَ تَزُوْلُ الأَقْدَامُ وَإِنَّ سُوْءَ الْخُلُقِ يُفْسِدُ الْعَمَلَ كَمَا يُفْسِدُ الْخَلُّ الْعَسَلَ

"Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. Dan sebaik-baik amalan di sisi Allah adalah memasukan rasa gembira pada hati seorang muslim, atau mengangkat kesulitan yang dihadapinya, atau membayarkan hutangnya, atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku untuk menunaikan kebutuhannya lebih aku sukai daripada aku i’tikaf selama sebulan penuh di mesjid ini (mesjid Nabawi). Barangsiapa yang menahan rasa marahnya maka Allah akan menutup auratnya (keburukan-keburukannya) pada hari kiamat. Barangsiapa siapa yang menahan amarahnya –yang jika dia kehendaki maka bisa dia luapkan kemarahannya tersebut- maka Allah akan memenuhi hatinya dengan (selalu) mengharapkan hari kiamat. Barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya dalam suatu keperluan hingga ia siap untuk menunaikan kebutuhannya maka Allah akan mengkokohkan kakinya di hari dimana kaki-kaki akan tergelincir. Sesungguhnya akhlak yang buruk merusak amal sebagaimana cuka merusak madu."  (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 906)

Oleh karena itu barang siapa yang hendak menjadi pemegang panji pembela kebenaran, dalam mendakwahkan risalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka ia harus berusaha merealisasikan sifat-sifat ini pada dirinya, baik dalam perkataan maupun dalam praktek kehidupan sehari-hari sebagai bentuk teladan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Atau dengan ibarat lain yang lebih jelas, bahwasanya barangsiapa yang memutuskan tali silaturahmi atau tidak memberi faedah kepada masyarakat, padahal ia memiliki kedudukan atau posisi penting, atau sikapnya keras terhadap fakir miskin dan orang-orang yang lemah, hatinya tidak tergugah dengan rintihan mereka, matanya tidak meneteskan air mata karena kasihan kepadanya; maka hendaknya janganlah ia berangan-angan menjadi pemegang panji utama pembela kebenaran, hendaknya ia menyerahkan panji tersebut kepada orang lain karena sesungguhnya ia belum layak menjadi penerus Muhammad dalam memimpin umatnya, Allahul Musta’aan…!!!!
[6] Yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kebaikan-kebaikan Khadijah
[7] Zaadul Ma’ad I/105
[8] Yaitu pada tahun 62 H pada masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah (Zaadul Ma’aad I/114)
[9] Dan Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang pertama (wafat) menyusul Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau wafat pada tahun 20 H (Zaadul Ma’aad I/114)
[10] Langgengnya pernikahan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan Shofiyyah menunjukan mulianya akhlak Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana tidak..??, ayah Shofiyyah, pamannya, dan suaminya tewas di medan pertempuran melawan kaum muslimin yang dipimpin oleh shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kalau bukan akhlak Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna tentunya Shofiyyah sebagaimana manusia biasa sewajarnya akan marah dan dendam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta lebih condong untuk membela ayah, paman, dan suaminya. Sungguh benar firman Allah,

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ 

Sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas budi pekerti yang luhur” (QS. Al Qolam [68]:4)
[11] Budak-budak wanita Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada empat, di antaranya Maariyah (dialah yang melahirkan Ibrahim, putra Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam), Roihaanah, seorang budak wanita cantik yang ditemukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diantara para tawanan, dan seorang budak wanita yang dihadiahkan oleh Zainab binti Jahsy kepada beliau shallahu ‘alaihi wa sallam (Zaadul Ma’aad I/114)

Sumber: firanda.com

Subhanakallaahumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

02 April 2011

FILE 214 : Bolehkah Wanita Sholat Dhuhur Sebelum Sholat Jum'at Selesai ?

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
….

Apakah Wanita Tidak Boleh Shalat Dzuhur Sebelum Shalat Jum'at?


Segala puji bagi Allah shalawat serta salam semoga tercurah kepada baginda Rasulullah keluarganya para shahabatnya dan semua pengikut mereka dengan baik hingga hari kiamat. 

Amma ba’du:

Para pembaca yang dirahmati Allah Ta’alaa:

Banyak diantara wanita yang pada hari Jum’at ketika mengerjakan shalat dzuhur mereka mengakhirkan hingga selesai shalat Jum’at dengan keyakinan bahwa shalat dzuhur sebelum shalat Jum’at selesai dilarang dan tidak sah, maka apa sebenarnya hukum permasalahan ini menurut syariat?

Disini kami menyampaikan beberapa fatwa yang kami nukil dari sejumlah situs yang dapat dipercaya. Mudah-mudahan bermanfaat.

Pertanyaan:

Apakah wanita shalat di rumah setelah mendengar azan pada hari Jumat ataukah menunggu sampai selesai khutbah (perlu diketahui bahwa khutbah tidak terdengar tetapi bisa terdengar khutbah lain di televisi) ?

Jawaban:

Apabila wanita shalat di rumahnya shalat dzuhur pada hari Jum’at maka dia tidak shalat hanya karena telah mendengar azan shalat Jum’at semata, karena sebagian khatib ada yang memulai khutbah sebelum masuk waktu dzuhur (waktu shalat dzuhur boleh dimajukan sebelum masuk waktu dzuhur).

Tapi apabila wanita di rumahnya mengetahui waktu dzuhur, dan telah memastikan masuknya waktu dzuhur melalui jam, kalender atau bayangan bagi yang mengetahuinya maka dia boleh shalat dzuhur pada hari Jum’at tersebut sebanyak empat rakaat, meskipun kaum pria belum selesai shalat Jum’at, kecuali apabila wanita dalam keadaan safar maka dia boleh shalat dua rakaat dengan niat qashar.

Apabila wanita ikut shalat Jum’at (dan itu dibolehkan) di masjid berjamaah maka gugur kewajiban shalat dzuhurnya, karena wanita sejajar dengan laki-laki dalam hal ini.

(Mufti: Syeikh Abdul Rahman As-Suhaim, anggota Maktab Ad-Dakwah wal Irsyad).

Demikian juga disebutkan dalam fatwa ulama lain.

Pertanyaan:

Shalat dzuhur pada hari Jum’at bagi wanita apakah setelah azan pertama atau kedua? Jazakumullah khairan.

Jawaban:

Segala puji bagi Allah shalawat serta salam semoga tercurah kepada baginda Rasulullah keluarganya para shahabatnya dan semua pengikut mereka dengan baik hingga hari kiamat  

Amma ba’du:

Wanita dan selain mereka yang tidak berkewajiban shalat Jum’at mengerjakan shalat dzuhur setelah memastikan masuknya waktu dzuhur walaupun sebelum shalat Jum’at, Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni mengatakan:
"...Adapun mereka yang tidak berkewajiban shalat Jum’at seperti musafir, hamba sahaya, wanita, orang sakit dan semua yang ada uzur mereka boleh shalat dzuhur sebelum imam shalat Jum’at menurut pendapat mayoritas ulama."
Kami mengingatkan disini apabila azan pertama yang dimaksudkan penanya dikumandangkan  setelah masuk waktu dzuhur yaitu tergelincirnya matahari dari tengah langit maka shalat di saat itu tidak mengapa, adapun jika azan dikumandangkan sebelum masuk waktu dzuhur – ini yang terjadi pada banyak negeri- maka ini tidak membolehkan shalat dzuhur sesudahnya bagi mereka yang kami sebutkan diatas karena berarti belum masuk waktunya.  

Wallahu A’lam.

(Markaz Fatwa Islamweb no:24516 dengan judul: kapan wanita shalat dzuhur hari Jum’at?).

Sumber: voa-islam.com

Subhanakallaahumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin