Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

26 Februari 2011

FILE 209 : Bacaan Jahr ketika Shalat Sendirian


Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
…… 


SHALAT JAHR DAN ADZAN BAGI YANG SHALAT SENDIRIAN

Oleh:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin



Pertanyaan:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Pada shalat-shalat jahr, yaitu ; Maghrib, Isya dan Shubuh, bagi yang shalat sendirian di rumahnya atau di tempat lain, apakah yang lebih utama baginya membaca surat Al-Fatihah dan surat lainnya pada dua raka’at pertama dengan suara nyaring (jahr) atau tidak nyaring?

Dan apakah bagi yang shalat sendirian atau bersama satu atau dua orang, harus adzan dan iqamat saat tiba waktu shalat, baik dalam perjalanan atau pun tidak, yaitu ketika ketinggalan shalat jama’ah atau jika masjidnya jauh ?

Tolong beri tahu kami, Jazakumullah khairan.

Jawaban:
Orang yang shalat sendirian tidak perlu men-jahr-kan (mengeraskan) bacaan, karena maksudnya adalah agar terdengar oleh dirinya sendiri dan melafazhkan bacaan, baik ketika shalat di malam hari maupun di siang hari. Bacaan jahr disyariatkan bagi imam agar para makmum bisa mendengarnya dan mengambil manfaat dari mendengarkan bacaan Al-Qur’an, karena banyak di antara para makmum itu orang-orang yang bodoh dan ummy (tidak mengerti baca tulis), sehingga dengan seringnya mendengar bacaan Al-Qur’an, mereka akan memahami firman Allah dan bisa menghafal sebagian yang mudah.

Dikhususkannya bacaan jahr pada malam hari, karena saat tersebut adalah saat yang sedang tenang, tidak ada pekerjaan dan hati sedang tenteram.

Adapun adzan, tidak disyariatkan kecuali di masjid-masjid umum yang ada imam dan makmumnya. Disyariatkan pula bagi yang shalat di luar negerinya, seperti ; musafir dan pengembala yang tidak mendengar adzan. Adapun yang shalat di negerinya, seperti ; orang yang udzur sehingga shalat di rumahnya, atau yang tertinggal shalat jama’ah, maka tidak perlu adzan.


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]

Sumber: almanhaj.or.id


Subhanakallaahumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

19 Februari 2011

FILE 208 : Dua Syarat Diterimanya Ibadah

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
……  

Dua Syarat Diterimanya Ibadah

Penulis: Aditya Budiman


Ibadah merupakan sebuah kata yang amat sering terdengar di kalangan kaum muslimin, bahkan mungkin bisa kita pastikan tidaklah seorang muslim kecuali pernah mendengarnya. Lebih jauh lagi, ibadah merupakan tujuan diciptakannya seluruh jin dan seluruh manusia, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya),  

“Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu“.(QS : Adz Dzariyat [51] :56).

Namun telah tahukah kita bahwa ibadah memiliki syarat agar ibadah tersebut diterima di sisi Allah sebagai amal sholeh dan bukan amal yang salah? Dua syarat dalam ibadah itu adalah:

[1] berniat ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan
[2] ittiba’ (mencontoh) Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam.

Untuk itulah mari sejenak kita luangkan beberapa gelintir waktu kita untuk mempelajarinya lewat tulisan singkat ini.


Dalil Dua Syarat Diterimanya Ibadah

Dua syarat ibadah ini bukanlah suatu yang dibuat-buat oleh para ‘ulama semata-mata berdasar akal mereka, melainkan dua syarat ini telah Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan dalam firmanNya di ayat terakhir surat Al Kahfi dalam satu kesempatan sekaligus (yang artinya),

"Sesungguhnya Sesembahan kalian adalah sesembahan yang esa, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah ia beramal ibadah dengan amalan yang sholeh dan tidak menyekutukan Robbnya dalam amal ibadahnya dengan suatu apapun“.(QS : Al Kahfi [18]: 110).

Ibnu Katsir Asy Syafi’i rohimahullah seorang pakar tafsir yang tidak diragukan lagi keilmuannya mengatakan, ““Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.”

Kemudian beliau mengatakan, “Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1].

Dalil lainnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), 

“Dzat Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amal ibadahnya”.(QS : Al Mulk [67]: 2).

Fudhail bin ‘Iyaad rohimahullah, seorang Tabi’in yang agung, mengatakan ketika menafsirkan firman Allah, (yang artinya) “yang lebih baik amal ibadahnya” maksudnya adalah yang paling ikhlas dan yang paling benar (paling mencocoki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Kemudian beliau rohimahullah mengatakan, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. Amalan barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan showab. Amalan dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena Allah. Amalan dikatakan showab apabila mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam[2].

Adapun dalil dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam untuk syarat pertama adalah hadits yang diriwayatkan melalui jalan Amirul Mu’minin yang pertama Umar bin Khoththob rodhiyallahu ‘anhu (yang artinya),  

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijroh karena  Allah dan RasulNya, maka hijrahnya adalah pada Allah dan RasulNya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju (yaitu dunia dan wanita, pent.)”.[3]

Dalil untuk syarat yang kedua adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari jalur Ummul Mu’minin Aisyah rodhiyallahu ‘anha (yang artinya), 

"Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”[4].

Dalam redaksi yang lain (yang artinya), “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”[5].

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits ‘innamal a’malu bin niyat’ [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.”[6]


Pengertian Ibadah

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah rohimahullah mengatakan, “Ibadah adalah sebuah kata yang mencakup banyak makna (isim jami’) untuk seluruh perkara yang Allah cintai dan ridhoi baik berupa perkataan, pebuatan secara lahir dan bathin[7]. Tentu saja ibadah-ibadah tersebut harus disertai adanya rasa perendahan diri seorang hamba kepada Robbnya dan pengagungan yang sebesar-besarnya kepada RobbNya ‘Azza wa Jalla [8].

Para ulama menjadikan perkara ibadah menjadi dua macam. Macam pertama adalah ibadah yang murni ibadah (ibadah mahdhoh). Ibadah yang satu ini harus melalui wahyu, tanpa wahyu seseorang tidak mungkin mengamalkannya. Contohnya adalah shalat, puasa, dan dzikir. Ibadah  jenis pertama ini tidak boleh seseorang membuat kreasi baru di dalamnya, sebagaimana nanti akan dijelaskan.

Sedangkan macam kedua adalah ibadah ghoiru mahdhoh (bukan murni ibadah). Macam kedua ini, asalnya adalah perkara mubah atau perkara dunia. Namun karena diniatkan untuk ibadah, maka bernilai pahala. Seperti berdagang, jika diniatkan ikhlas karena Allah untuk menghidupi keluarga, bukan semata-mata untuk cari penghidupan, maka nantinya bernilai pahala.[9]


Bagaimanakah Niat yang Ikhlas?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan “Niat adalah maksud yang diinginkan dari amal[10]. Ditempat yang lain beliau rohimahullah mengatakan, “Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati bukan di lisan dan hal ini telah disepakati para ‘ulama kaum muslimin. Seandainya ada seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur berpahala atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan yang ada di lisannya[11].

An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah menukil dalam kitabnya At Tibyan perkataan ustadz Abu Qosim Al Qusairiy rohimahullah, beliau mengatakan, “Ikhlas adalah engkau mentauhidkan/menunggalkan niatmu dalam keta’atan kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala yaitu engkau berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan amal ketaatanmu tanpa mengharapkan dari mahluk suatu apapun dari hal tersebut berupa pujian dari manusia dan lain sebagainya[12].

Dzun Nun rohimahullah mengatakan, “Tanda ikhlas ada tiga, tidak ada bedanya bagi seseorang antara ia dipuji atau dicela seseorang atas amalnya, tidak menghiraukan pandangan manusia atas amalnya dan mengharap pahala dari amal yang ia kerjakan di akhirat[13].


Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dalam Beramal adalah Bukti Cinta pada Beliau

Sudah barang tentu seorang muslim cinta pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam. Nah bukti kalau kita cinta kepada Allah adalah ittiba’/mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi was sallam terutama dalam beramal, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), 

“Katakanlah (Wahai Muhammad) 'jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku (Muhammad) maka Allah akan mencintai kalian'”. (QS. Al ‘Imron [3] : 31).

Maka di antara konsekwensi dari mencintai Allah dan mengimani kerosulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam adalah mengikuti syari’at beliau yang tercakup di dalamnya ibadah. Bahkan mengikuti apa yang beliau perintahkan/syari’atkan merupakan salah satu hak beliau yang teragung yang harus kita tunaikan [14].


Lawan dari Ittiba’ adalah Ibtida’/Berbuat Bid’ah

Kebalikan dari bentuk cinta pada Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah berbuat bid’ah dalam agama. Hal ini terkadang tidak diketahui oleh seorang muslim yang mengaku cinta Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, padahal telah jelas bagi kita sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang melarangnya sebagaimana yang diriwayatkan dari jalur Aisyah di atas.

Lihatlah peristiwa yang terjadi beberapa saat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam sebagaimana yang dialami sahabat Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan dipimpin oleh seseorang.

Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan, “Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad?Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?” 
Mereka menjawab,”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan”. 

Ibnu Mas'ud berkata,Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya[15].

Sedangkan Hassan bin ‘Athiyah rohimahullah seorang tabi’in mengatakan, “Tidaklah suatu kaum mengadakan suatu kebid’ahan kecuali akan hilang sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam pent.) yang semisal dengan bid’ah tersebut”.[16]

Maka lihatlah wahai saudaraku betapa mengerikannya, betapa buruknya bid’ah dan dampaknya di mata generasi utama dalam ummat ini.


Makna Bid’ah

Mungkin ada sebagian dari kita yang rancu atau belum tahu apakah yang dimaksud dengan bid’ah dalam pembahasan ini. Maka kami akan bawakan beberapa defenisi bid’ah menurut para ulama’. Diantaranya adalah apa yang dikatakan oleh Asy Syathibi rohimahullah, beliau mengatakan,

Bid’ah adalah tata cara yang dalam agama yang dibuat-buat, yang menyerupai syari’at dan dimaksudkan dengannya berlebih-lebihan (keluar batas yang ditentukanpent) dalam agama[17].


Bid’ah yang Terlarang adalah Bid’ah dalam Masalah Agama

Banyak yang menyangka bahwa jika kita katakan bid’ah adalah perbuatan yang haram maka hal ini berarti menggunakan pesawat, sepeda motor, belajar di universitas haram/terlarang. Maka hal ini adalah suatu hal yang tidak benar adanya sebagaimana dalam salah satu redaksi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam (yang artinya),  

“Barangsiapa yang mengadakan suatu hal yang baru dalam masalah agama kami maka perkara tersebut tertolak/tidak diterima”[18].

Asy Syatibi juga mengatakan, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika  perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka dia bisa termasuk dalam bid’ah.”[19]

Para pembaca dapat memperhatikan bahwa tatkala para sahabat ingin melakukan penyerbukan silang pada kurma –yang merupakan perkara duniawi-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),

Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.[20]
 

Penutup

Dari pembahasan atas menunjukkan bahwa ibadah baik itu shalat, puasa, dan dzikir semuanya haruslah memenuhi dua syarat diterimanya ibadah yaitu ikhlas dan mencocoki petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tidaklah tepat perkataan sebagian orang ketika dikritik mengenai ibadah atau amalan yang ia lakukan, lantas ia mengatakan, “Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing”. Ingatlah, tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah yang benar adalah “Niat baik semata belum cukup.”

Hanya Allah yang memberi taufik.

Footnote


[1] Lihat Shohih Tafsir Ibnu Katsir oleh Syaikh Musthofa Al Adawiy hafidzahullah hal. 57/III, terbitan Dar Ibnu Rojab, Mesir.
[2] Lihat Ma’alimut Tanziil (Tafsir Al Baghowi) oleh Abu Muhammad Husain bin Mas’ud Al Baghowiy rohimahullah tahqiq Syaikh Muhammad Abdullah An Namr, terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.
[3] HR. Bukhari no. 6689 dan Muslim no. 1907.
[4] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718.
[5] HR. Muslim no. 1718.
[6] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77. [ed]
[7] Lihat Al ‘Ubudiyah oleh Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah rohimahullah hal. 44 dengan takhrij hadits oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dan tahqiq oleh Syaikh Zuhair Asy Syawis, terbitan Al Maktab Al Islamiy, Beirut, Lebanon.
[8] Lihat Syarh Al Aqidatul Wasithiyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin hal. 17, terbitan Dar Ibnil Jauziy, Riyadh, KSA.
[9] Lihat pembahasan dalam kitab Tahdzib Tashil Al Aqidah Al Islamiyah, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz Al Jibrin, hal. 39-40, Maktabah Al Mulk Fahd, cetakan pertama, 1425 H. [ed]
[10] Lihat Jaami’ul Masaail oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah hal. 7.
[11] lihat Al Fatawatul Qubro oleh Ibnu Taimiyah, dengan tahqiq Husnain Muhammad Makhluf hal. 87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon.
[12] Lihat At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah hal. 50 dengan tahqiq Syaikh Abi Abdillah Ahmad bin Ibrohim Abil ‘Ainain, terbitan Maktabah Ibnu Abbas, Mesir. Dengan sedikit perubahan redaksi.
[13] Lihat At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah hal. 51.
[14] Lihat Lihat Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin hal. 98, penyunting Syaikh Fahd bin Nashir bin Ibrohim As Sulaiman, terbitan Daruts Tsuraya, Riyadh, KSA, dan Huquq Da’at ilaihal Fithroh wa Qorrotha Asy Syar’iyah oleh oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin hal. 15 terbitan Darul Istiqhomah, Mesir, dengan perubahan dan peringkasan redaksi.
[15] HR. Ad Darimi no. 204. Husain Salim Asad mengatakan sanad hadits ini jayyid, riwayat ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 2005.
[16] Perkataan beliau ini kami dapatkan dari muhadhoroh Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah yang berjudul “Ad Du’a wa Atsaruhu” dalam sesi tanya jawab.
[17] Lihat Al I’thishom oleh Asy Syathibi rohimahullah
[18] Lihat Jami’ul Ulum wal Hikaam oleh Ibnu Rojab Al Hambali rohimahullah hal. hal. 174 dengan tahqiq oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ibrohim Al Bajas terbitan Mu’asasah Risalah, Beirut, Lebanon.
[19] Al I’tishom, 1/348 [ed]. [Tambahan Sa'ad: Tentunya yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah memposisikan/meniatkan adat sebagai ibadah yang memang tidak ada tuntunannya (berbeda jika meniatkan bekerja untuk menafkahi keluarga sebagai ibadah, misalnya). Lihat pengertian ibadah ghairu mahdhah di atas]
[20] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan

Sumber: muslim.or.id

Baca Juga:

Subhanakallaahumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

12 Februari 2011

FILE 207 : Sebab Turunnya Rezeki

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
……  

Sebab-Sebab Turunnya Rizki


Akhir-akhir ini banyak orang yang mengeluhkan masalah penghasilan atau rizki, entah karena merasa kurang banyak atau karena kurang berkah. Begitu pula berbagai problem kehidupan, mengatur pengeluaran dan kebutuhan serta bermacam-macam tuntutannya. Sehingga masalah penghasilan ini menjadi sesuatu yang menyibukkan, bahkan membuat bingung dan stress sebagian orang. Maka tak jarang di antara mereka ada yang mengambil jalan pintas dengan menempuh segala cara yang penting keinginan tercapai. Akibatnya bermunculanlah koruptor, pencuri, pencopet, perampok, pelaku suap dan sogok, penipuan bahkan pembunuhan, pemutusan silaturrahim dan meninggal kan ibadah kepada Allah untuk mendapatkan uang atau alasan kebutuhan hidup.

Mereka lupa bahwa Allah telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya sebab-sebab yang dapat mendatangkan rizki dengan penjelasan yang amat gamblang. Dia menjanjikan keluasan rizki kepada siapa saja yang menempuhnya serta menggunakan cara-cara itu, Allah juga memberikan jaminan bahwa mereka pasti akan sukses serta mendapatkan rizki dengan tanpa disangka-sangka.

Diantara sebab-sebab yang melapangkan rizki adalah sebagai berikut:

- Takwa Kepada Allah

Takwa merupakan salah satu sebab yang dapat mendatangkan rizki dan menjadikannya terus bertambah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya),

"Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya." (QS. Ath Thalaq [65]: 2-3)

Setiap orang yang bertakwa, menetapi segala yang diridhai Allah dalam segala kondisi maka Allah akan memberikan keteguhan di dunia dan di akhirat. Dan salah satu dari sekian banyak pahala yang dia peroleh adalah Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dalam setiap permasalahan dan problematika hidup, dan Allah akan memberikan kepadanya rizki secara tidak terduga.

Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Allah di atas, "Yaitu barang siapa yang bertakwa kepada Allah dalam segala yang diperintahkan dan menjauhi apa saja yang Dia larang maka Allah akan memberikan jalan keluar dalam setiap urusannya, dan Dia akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari jalan yang tidak pernah terlintas sama sekali sebelumnya."

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman (yang artinya),

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al A'raaf [7]:96)

- Istighfar dan Taubat

Termasuk sebab yang mendatang kan rizki adalah istighfar dan taubat, sebagaimana firman Allah yang mengisahkan tentang Nabi Nuh 'Alaihissalam, (yang artinya),

"Maka aku katakan kepada mereka:"Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun" niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai." (QS. Nuuh [71]:10-12)

Al-Qurthubi mengatakan, "Di dalam ayat ini, dan juga dalam surat Hud (ayat 52,red) terdapat petunjuk bahwa istighfar merupakan penyebab turunnya rizki dan hujan."

Ada seseorang yang mengadukan kekeringan kepada al-Hasan al-Bashri, maka beliau berkata, "Beristighfarlah kepada Allah", lalu ada orang lain yang mengadukan kefakirannya, dan beliau menjawab, "Beristighfarlah kepada Allah". Ada lagi yang mengatakan, "Mohonlah kepada Allah agar memberikan kepadaku anak!" Maka beliau menjawab, "Beristighfarlah kepada Allah". Kemudian ada yang mengeluhkan kebunnya yang kering kerontang, beliau pun juga menjawab, "Beristighfarlah kepada Allah."

Maka orang-orang pun bertanya, "Banyak orang berdatangan mengadukan berbagai persoalan, namun anda memerintahkan mereka semua agar beristighfar."

Beliau lalu menjawab, "Aku mengatakan itu bukan dari diriku, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman di dalam surat Nuh (seperti tersebut diatas, red)."

Istighfar yang dimaksudkan adalah istighfar dengan hati dan lisan lalu berhenti dari segala dosa, karena orang yang beristighfar dengan lisannya saja sementara dosa-dosa masih terus dia kerjakan dan hati masih senantiasa menyukainya maka ini merupakan istighfar yang dusta. Istighfar yang demikian tidak memberikan faidah dan manfaat sebagaimana yang diharapkan.

- Tawakkal Kepada Allah 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, (yang artinya),

"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (QS. Ath Thalaq [65]:3)

Nabi Shallallaahu 'alayhi wa sallam telah bersabda, (yang artinya),

"Seandainya kalian mau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya maka pasti Allah akan memberikan rizki kepadamu sebagaimana burung yang diberi rizki, pagi-pagi dia pergi (dari sarangnya) dalam keadaan lapar dan kembali (ke sarangnya) dalam keadaan kenyang." (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albani)

Tawakkal kepada Allah merupakan bentuk memperlihatkan kelemahan diri dan sikap bersandar kepada-Nya saja, lalu mengetahui dengan yakin bahwa hanya Allah yang memberikan pengaruh di dalam kehidupan. Segala yang ada di alam berupa makhluk, rizki, pemberian, madharat dan manfaat, kefakiran dan kekayaan, sakit dan sehat, kematian dan kehidupan dan selainnya adalah dari Allah semata.

Maka hakikat tawakkal adalah sebagaimana yang di sampaikan oleh al-Imam Ibnu Rajab, yaitu menyandarkan hati dengan sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla di dalam mencari kebaikan (mashlahat) dan menghindari madharat (bahaya) dalam seluruh urusan dunia dan akhirat, menyerahkan seluruh urusan hanya kepada Allah serta merealisasikan keyakinan bahwa tidak ada yang dapat memberi dan menahan, tidak ada yang mendatangkan madharat dan manfaat selain Dia.

- Silaturrahim

Ada banyak hadits yang menjelaskan bahwa silaturrahim merupakan salah satu sebab terbukanya pintu rizki, di antaranya adalah sebagai berikut:
  • Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu alaihi wa sallam bersabda, (yang artinya), "Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah menyambung silaturrahim." (HR. Bukhari)
  • Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu , Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, (yang artinya), "Ketahuilah orang yang ada hubungan nasab denganmu yang engkau harus menyambung hubungan kekerabatan dengannya. Karena sesungguhnya silaturrahim menumbuhkan kecintaan dalam keluarga, memperbanyak harta dan memperpanjang umur." (HR. Ahmad, dishahihkan al-Albani)
Yang dimaksudkan dengan kerabat (arham) adalah siapa saja yang ada hubungan nasab antara kita dengan mereka, baik itu ada hubungan waris atau tidak, mahram atau bukan mahram.

- Infaq fi Sabilillah

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, (yang artinya),

"Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya." (QS. Saba' [34]:39)

Ibnu Katsir berkata, "Yaitu apapun yang kau infakkan di dalam hal yang diperintahkan kepadamu atau yang diperbolehkan, maka Dia (Allah) akan memberikan ganti kepadamu di dunia dan memberikan pahala dan balasan di akhirat kelak."

Juga firman Allah yang lain, (yang artinya), 

"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al Baqarah [2]:267-268)

Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah Shallallaahu 'alayhi wa sallam bersabda, (yang artinya),

"Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,'Wahai Anak Adam, berinfaklah maka Aku akan berinfak kepadamu.'" (HR Muslim)

- Menyambung Haji dengan Umrah

Berdasarkan pada hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dari Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu dia berkata, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, (yang artinya),

"Ikutilah haji dengan umrah karena sesungguhnya keduanya akan menghilangkan kefakiran dan dosa sebagaimana pandai besi menghilangkan karat dari besi, emas atau perak, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga." (HR. at-Tirmidzi dan an- Nasai, dishahihkan al-Albani)

Maksudnya adalah, jika kita berhaji maka ikutilah haji tersebut dengan umrah, dan jika kita melakukan umrah maka ikuti atau sambunglah umrah tersebut dengan melakukan ibadah haji.

- Berbuat Baik kepada Orang Lemah

Nabi Shallallaahu 'alayhi wa sallam telah menjelaskan bahwa Allah akan memberikan rizki dan pertolongan kepada hamba-Nya dengan sebab ihsan (berbuat baik) kepada orang-orang lemah, beliau bersabda, (yang artinya),

"Tidaklah kalian semua diberi pertolongan dan diberikan rizki melainkan karena orang-orang lemah diantara kalian." (HR. al-Bukhari)

Dhu'afa' (orang-orang lemah) klasifikasinya bermacam-macam, ada fuqara', yatim, miskin, orang sakit, orang asing, wanita yang terlantar, hamba sahaya dan lain sebagainya.

- Serius di dalam Beribadah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, bahwasanya Nabi Muhammad Shalallaahu 'alaihi wasalam bersabda,  (yang artinya),

"Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,'Wahai Anak Adam Bersungguh-sungguhlah engkau beribadah kepada Ku, maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kecukupan dan Aku menanggung kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukan itu maka Aku akan memenuhi dadamu dengan kesibukan dan Aku tidak menanggung kefakiranmu'."

Tekun beribadah bukan berarti siang malam duduk di dalam masjid serta tidak bekerja, namun yang dimaksudkan adalah menghadirkan hati dan raga dalam beribadah, tunduk dan khusyu' hanya kepada Allah, merasa sedang menghadap Pencipta dan Penguasanya, yakin sepenuhnya bahwa dirinya sedang bermunajat, mengadu kepada Dzat Yang menguasai Langit dan Bumi.

Dan masih banyak lagi pintu-pintu rizki yang lain, seperti hijrah, jihad, bersyukur, menikah, bersandar kepada Allah, meninggalkan kemaksiatan, istiqamah serta melakukan ketaatan, yang tidak dapat di sampaikan secara lebih rinci dalam lembar yang terbatas ini.

Mudah-mudahan Allah memberi kan taufik dan bimbingan kepada kita semua. Amin.

Al-Sofwah (Sumber: Kutaib "Al Asbab al Jalibah lir Rizqi", al-Qism al-Ilmi, Darul Wathan)

Sumber: pengusahamuslim.com


Subhanakallaahumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

05 Februari 2011

FILE 206 : Keikhlasan dan Hadits Bithaqah (Kartu)

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
……


PENTINGNYA KEIKHLASAN DALAM SELURUH AMAL IBADAH


ومَا أُمِرُوْا إِلاَّلِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…" [QS. Al-Bayyinah: 5]

Segala Puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala Rabb semesta alam Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad Shalalllahu 'alaihi wa sallam Pembawa risalah yang haq ini sebagai rahmat bagi semesta alam kepada keluarganya para shahabatnya dan orang-orang yang setia mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.

Berikut ini adalah pembahasan secara singkat hal-hal yang berkaitan dengan pentingnya “keikhlasan” dalam seluruh `amal `ibadah. Sesungguhnya perkara paling mendasar dan terpenting dalam dien ini adalah mengikhlaskan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan, hal itu sebagai syarat utama diterimanya amal ibadah. Ikhlas adalah termasuk amalan hati yang perlu mendapatkan perhatian “istimewa” (secara mendalam) dan dilakukan dengan cara “istimrar” (terus menerus) di setiap kita hendak melakukan `amal `ibadah, agar amalan kita menjadi bernilai di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

PENTINGNYA AMALAN HATI

Telah kita ketahui bahwa pengertian iman menurut Ahlus Sunah adalah : Keyakinan dengan hati, ikrar dengan lisan, dan amalan dengan seluruh anggota badan, bertambah dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berkurang dengan perbuatan maksiat.

Perlu diketahui bahwa ikhlas adalah perkara terpenting dalam amalan hati, yang hal tersebut sangat erat hubungannya dengan pengertian iman tersebut di atas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Amalan-amalan hati adalah termasuk pokok-pokok dari keimanan dan tonggak-tonggak agama Islam ini, seperti: mencintai Allah dan Rasul-Nya, bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengikhlaskan seluruh macam `ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, bersyukur kepada-Nya atas nikmat-nikmat-Nya dan berlaku sabar di atas hukum-hukum-Nya, khauf (perasaan takut kepada-Nya akan siksa atau adzab-Nya), raja` (berharap) kepada-Nya…  Semua amalan ini wajib atas seluruh makhluk berdasarkan kesepakatan para imam agama." [Majmu’ Al-Fatawa 10/5 dan 20/70]

Ibnul Qayim juga menjelaskan keagungan amalan-amalan hati : "Amalan–amalan hati ialah pokok adapun amalan–amalan anggota badan adalah pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat sekedudukan dengan ruh, adapun amalan sekedudukan dengan jasad, sehingga apabila ruh telah terpisah dengan jasad maka binasalah. Oleh sebab itu mengetahui hukum – hukum hati lebih penting dari pada mengetahui hukum-hukum jasad." [Badai`ul Fawaaid 3/224].

Hal inilah di antaranya yang mendorong kami untuk mengulas hal ini agar seluruh aktifitas kita sehari-hari tidak menemui kesia-siaan, yakni hampa, jauh dari berkah Allah atau Ramat-Nya, seolah-olah tiada nilainya aktifitas yang kita laksanakan setiap hari.

Niat berasal dari bahasa Arab, yang berarti tujuan. Sedangkan menurut istilah syara' memiliki dua arti:
  1. Ikhlash dalam beramal, yaitu semata-mata karena Allah, dan inilah yang sering dibicarakan oleh para Ulama ahli tauhid, suluk (perilaku) dan akhlak.
  2. Membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain, atau ibadah dengan kebiasaan. Istilah ini sering dipakai oleh ulama-ulama Fiqh.

Niat dipakai untuk membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan yang dilakukan oleh manusia), misalnya: Mandi, apabila dimaksudkan (niatkan) karena Allah semata untuk menghilangkan hadats besar (mandi junub misalnya) maka hal yang semacam itu akan menjadi ibadah, lain halnya apabila mandi semata-mata dimaksudkan untuk membersihkan badan atau mendapatkan kesegaran, maka hal itu menjadi adat (kebiasaan) saja.

Kemudian bahwa niat itu tempatnya di hati dan apabila di lafadzkan menjadi bid`ah.

KEDUDUKAN IKHLAS


Sesungguhnya ikhlas adalah hakekat dien dan kunci dakwah para rasul, yakni menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata dan menjauhi thagut :

ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…" [QS. Al-Bayyinah: 5]

Yang dimaksud dengan " (حُنَفَاءَ ) agama yang lurus” pada ayat di atas adalah terjauhkan dari perkara-perkara syirik dan menuju kepada tauhid. Di sinilah pentingnya ikhlash dalam selurus amal ibadah, agar amalan tersebut tidak sia-sia, dan tidak mendapat adzab dari Allah, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Kemudian bahwa pengaruh ikhlas terhadap amalan itu sangatlah besar, amal yang kecil dan sedikit jika dilakukan dengan ikhlas dapat memperoleh pahala yang besar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam perkara ini mengatakan: “Suatu jenis amalan yang dikerjakan oleh manusia dengan menyempurnakan keikhlasannya dan ketundukkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, terkadang Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengampuni dosa-dosa besar dengan sebab amalan itu, sebagaimana hadits al-bithaqah (seorang yang memiliki satu kartu Laa ilaaha illa Allah, lalu diampuni dosa-dosanya sebanyak 99 lembaran catatan amal keburukan-red)…ini karena dia mengucapkan Laa ilaaha illa Allah dengan ikhlas dan jujur/benar, karena kalau tidak, maka para pelaku dosa besar yang masuk ke dalam neraka semuanya juga mengucapkan tauhid, tetapi perkataan mereka tidaklah lebih berat terhadap dosa-dosa mereka sebagaimana pemilik kartu (Laa ilaaha illa Allah) itu.”

Hadits pemilik kartu Laa ilaaha illa Allah itu, adalah sebagai berikut:

Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu 'anhu , dia berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 


 إِنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلاَّ كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ

فَيَقُولُ لاَ يَا رَبِّ

فَيَقُولُ أَفَلَكَ عُذْرٌ

فَيَقُولُ لاَ يَا رَبِّ

فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ

فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهَ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَيَقُولُ احْضُرْ وَزْنَكَ

فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ

فَقَالَ إِنَّكَ لاَ تُظْلَمُ 

قَالَ فَتُوضَعُ السِّجِلاَّتُ فِي كَفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كَفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ فَلاَ يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ الهِق شَيْءٌ

Sesungguhnya Allah akan mengadili salah seorang laki-laki dari ummatku di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat. Lalu ditunjukan kepada laki-laki tersebut 99 catatan (amal keburukan), setiap satu catatan panjangnya sejauh mata memandang. Kemudian dikatakan kepada laki-laki tersebut: ”Apakah kau ingkari dari semua ini (kedzaliman yang telah kau perbuat)? Apakah para malaikat-Ku pencatat dan penjaga amalan menzhalimimu?"

Laki-laki tersebut menjawab: “Tidak Ya Tuhanku!”.


Lalu Allah berkata kepada laki-laki tersebut: “Apakah engkau punya alasan (berbuat kezhaliman itu)?"


Laki-laki tersebut menjawab: “Tidak Ya Tuhanku!”.


Kemudian Allah berkata kepada laki-laki tersebut: “Ya benar, tetapi sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi Kami, dan sesungguhnya tidak ada kedzaliman atasmu pada hari ini."


Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan sebuah kartu kecil yang di dalamnya terdapat : Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warasuluhu (Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya).


Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata kepada orang tersebut: “Datangkan timbanganmu”,


maka orang tersebut berkata: “Ya Tuhan untuk apa kartu kecil ini dibandingkan dengan catatan (amal keburukan) ini ?”,


maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata kepada orang tersebut: “Sesungguhnya pada hari ini tiada kedzaliman”.


Maka diletakkanlah catatan itu pada salah satu daun timbangan, dan kartu kecil itu diletakkan pada satu daun timbangan yang lain. Maka jadi ringanlah catatan-catatan `amal keburukan itu dan beratlah kartu kecil tersebut, maka tiadalah sesuatupun yang menjadi berat dibandingkan dengan nama Allah Subhanahu wa Ta'ala
." [HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa'i].

PENGERTIAN IKHLAS DAN BATASANNYA

Ada beberapa pengertian tentang ikhlas yang disebutkan oleh ulama, antara lain :
  1. Diantaranya ada yang mengatakan : Ikhlas ialah “Menjadikan Allah Subhanahu wa Ta'ala satu-satunya tujuan di dalam menjalankan ketaatan”.
  2. Ada juga yang mengatakan : “Ikhlas ialah membersihkan perbuatan dari mencari pandangan manusia”.
  3. Al-Harawi berkata: “Ikhlas ialah membersihkan amalan dari setiap noda”.
  4. Dan sebagian yang lain ada yang mengatakan: “Orang yang mukhlis ialah orang yang tidak perduli, seandainya hilang seluruh penghormatan kepadanya di dalam hati manusia, untuk kebaikan hatinya bersama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan dia tidak suka manusia mengetahui amalannya walaupun seberat debu."
Tidak diragukan lagi bahwa keikhlasan membutuhkan kesungguhan yang tinggi hingga seorang hamba meraihnya dengan sempurna.

PENGERTIAN RIYA', SUM'AH, UJUB

Telah kita ketahui bahwa keikhlasan dapat dihilangkan oleh beberapa perkara, seperti: mencintai dunia, kemasyhuran, kemuliaan, riya', sum'ah dan ujub.
  1. Riya' ialah melakukan `ibadah dengan tujuan dilihat oleh manusia, sehingga orang yang riya’ itu mencari pengagungan, pujian, harapan atau rasa takut terhadap orang yang dia berbuat riya’ karenanya.
  2. Sum'ah adalah amalan yang dilakukan dalam rangka agar didengar orang lain, misalnya memperdengarkan bacaan Al-Qur'an atau yang lainnya.
  3. 'Ujub adalah teman riya', yaitu perasaan bangga terhadap diri sendiri atas kemampuan yang dimiliki secara berlebihan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan antara keduanya (antara riy'a dan ujub ):
a. Riya adalah salah satu bentuk dari syirik kepada makhluk.
b. Adapun ujub adalah bentuk dari pada syirik kepada diri sendiri. [Al-Fatawa:10/277]

DI ANTARA BENTUK-BENTUK RIYA, UJUB DAN SUM'AH

1. Riya' dalam ibadah sholat, misalnya: Memperbaiki posisi atau gerakan shalat karena mengetahui bahwa dia sedang diperhatikan oleh orang yang dianggap lebih ‘alim atau lainya.

2. Riya' atau sum'ah dalam kepribadian misalnya : Karena di karuniai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala suara yang merdu misalnya, maka timbulah penyakit riya` atau ujub ini pada ni`mat tersebut; Mengeraskan/membaguskan bacaan dalam membaca Al-Qur`an atau ketika mengumandangkan adzan dengan harapan ingin mendapatkan pujian atau agar diakui bahwa dia memiliki suara yang bagus atau merdu.

Pada hakekatnya membaguskan suara dalam membaca Al-Qur'an, dengan tidak dibuat-buat atau berlebih-lebihan merupakan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana sabadanya:


زَيِّنُوْا اْلقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ.

"Baguskanlah (bacaan) Al-Qur`an dengan suara kalian" [HR. Abu Dawud dan Ahmad]

3. Ujub atau Riya' dalam berdakwah misalnya : Berceramah, menasehati orang, atau mentahdzir (memberi peringatan terhadap seseorang) dengan niat agar dikenal sebagai seorang penasehat, ahli pidato dengan harapan agar semua orang memujinya atau menyanjungnya. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari semua perkara ini. Hendaklah kita ikhlash dalam berda`wah agar orang yang mendengarnya pun menerima dengan ikhlash (yakni : mendapatkan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala)

4. Riya' atau Ujub dalam menuntut ilmu : Yaitu berbangga dengan ilmu yang dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepadanya atau menuntut ilmu hanya dalam rangka ingin menjadi seorang yang ahli dalam berdebat, bukan mengharapkan wajah Allah atau mencari berkah dari Allah atas ilmu yang dimilikinya. Sehingga ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta'ala karuniakan tidak mampu membawa dia ke dalam kebahagiaan di dunia ataupun diakhirat. Padahal rasulullah telah memperingatkan dengan keras bagi para penuntut ilmu dengan ancaman tidak akan mendapatkan bau surga, apabila mempelajari suatu ilmu dalam rangka untuk mencari dunia semata;

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabada:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا

"Barang siapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala; tetapi dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali untuk mendapatkan harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat kelak." [HR. Abu Dawud]

5. Riya' atau 'Ujub ketika bershadaqah, misalnya : Memperlihatkan harta yang telah dishadaqahkan, atau mengungkit-ungkit kembali pemberian yang telah lalu dengan harapan agar disebut sebagai seorang dermawan.

PENAWAR RIYA'

Adapun di antara cara-cara mengobati riya adalah sebagi berikut:

1. Mengetahui seluk beluk riya itu sendiri dan takut terhadapnya. Sebagaimana hal tersebut adalah perkara yang paling ditakutkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

" إِنَّ أَخْوَفُ مَا أَخَا فُ عَلَيكْمُ الشِّرْكُ اْلأَ صْغَر. قَا لوُا وَمَا الشِّرْكُ اْلأَ صْغَرُ يَا رَسُوْلُ الله ؟ قال : " الرِّيَاءُ ".يقول الله تعالى يوم القيامة, إذا جازى الناس بأعمالهم : اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون جزاء؟"

"Sesungguhnya yang paling kutakutkan dari segala perkara yang aku takutkan atas kalian ialah syirik kecil. Para shahabat bertanya: “Apakah syirik kecil itu wahai rasulullah? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Riya', Pada hari kiamat , ketika membalas amalan-amalan manusia, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan berfirman: “Pergilah kepada orang yang kamu dahulu sewaktu di dunia berbuat riya’ kepadanya, dan lihatlah apakah kamu dapakan balasan (pahala) darinya?" [HR. Ahmad, At-Thabrani dan Al-Baihaqi]

2. Memberikan sanjungan atau pujian hanya ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala sumber dari segala kebaikan; maka hanya Allahlah yang berhaq mendapatkan pujian:

الحمد لله رب العالمين

"Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam." [QS. Al-Fatihah:2]

3. Mengingat mati dan sekaratnya, hari akhir dan kedahsyatan adzabnya, kubur dan kerasnya siksa yang diberikan karena dosa-dosa yang diperbuat selama di dunia. Keadaan di kubur yang sunyi, gelap gulita dan sempit, tidak ada ibu dan bapak atau orang-orang yang dicinta di dekatnya.

4. Melihat akibat riya', baik di dunia maupun diakhirat.

Maka perlu diketahui oleh setiap orang bahwa seandainya seluruh manusia berkumpul dalam rangka memberikan manfaat kepada siapapun, maka tiadalah mereka mampu memberikannya kecuali sesuatu itu telah ditentukan oleh Allah Subhanhau wa Ta'ala baginya; Oleh sebab itu sebagian orang-orang salaf mengatakan: “Bersungguh-sungguhlah dalam mencegah timbulnya riya` darimu, anggaplah orang lain bagimu seperti binatang dan anak-anak, janganlah kau bedakan adanya mereka atau tidak adanya, mereka tahu atau tidak tahu, cukuplah Allah Subhanahu wa Ta'ala saja yang mengetahuinya.

Kemudian singkirkan perasaan ingin dipuji ketika (syetan menggoda), dengan do'a-do'a yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti:

أعوذ الله من الشيطان الرجيم

Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk.

Adapun akibat riya' di akhirat antara lain ; sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya):

"Barang siapa (yang beramal) ingin didengar maka Allah akan memperdengarkannya dan barang siapa (beramal) ingin dilihat maka Allah pun akan memperlihatkannya." [HR. Bukhari & Muslim]

Artinya : Bila seseorang beramal hanya ingin didengar atau dilihat orang lain maka itulah yang akan dia dapatkan, Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Sempurna tidak butuh sekutu-sekutu tersebut.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

"Aku adalah Yang paling tidak butuh sekutu, barangsiapa yang mengamalkan suatu perbuatan, yang di dalamnya dia menyekutukanKu dengan selain Aku, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya". [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu]

5. Memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar senantiasa berlaku ikhlas dalam segala amal ibadah dan berlindung dari-Nya dari riya`. Seorang mu`min atau mu`minah hendaklah tunduk, berserah diri kepada-Nya, berusaha semaksimal mungkin menghindarkan diri dari riya, sum'ah dan ujub; dan memperbanyak dzikir (mengingat Allah kapan saja di manapun berada) dan berdo`a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana do'a-do'a yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam antara lain :

الشرك فيكم أخفى من دبيب النمل. وسأدلك على شيءٍ إذا فعلته أذهب عنك صغار الشرك وكبيره . تقول: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْ ذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَناَ أَعْلَمُ وَاسْتَغْفِرُكَ لمِاَ لاَ أَعْلَمُ    .صحيح الجامع الصغير :3/332

"Kesyirikan yang ada pada kalian lebih tersembunyi daripada merayapnya seekor semut, dan aku akan memberitahukan sesuatu kepadamu apabila hal itu kau kerjakan, maka akan menghilangkan kesyirikan kecil dan besar darimu. Yaitu engkau mengatakan (berdo'a):Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari mensekutukan-Mu sedangkan saya mengetahuinya dan aku berlindung kepada-Mu dari apa-apa yang aku tidak aku tahu."

Wallahu A’lam.

(Disadur oleh Abdul Wahid dari kitab Al-Ikhlash Wasy Syirkul Ashghar, karya Syeikh Abdul Aziz Ali Abdul Lathif dan tambahan dari sumber lain)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

Sumber: almanhaj.or.id

Baca Juga:
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin