Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

07 September 2010

FILE 186 : Ukhuwwah Islamiyyah

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Ukhuwwah Islamiyyah

Penulis:

Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas

.

عَنْ أَبِيْ حَمْزَةَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ :

.((لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ [مِنَ الْخَيْرِ]))

رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

.

Dari Abu Hamzah, Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya segala apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh:

1. Al-Bukhâri (no. 13).

2. Muslim (no. 45).

3. Ahmad (III/176, 206, 251, 272, 289).

4. Abu ‘Awanah (I/33).

5. At-Tirmidzi (no. 2515).

6. Ibnu Majah (no. 66).

7. An-Nasa`i (VIII/115).

8. Darimi (II/307).

9. Abu Ya’la (no. 2880, 3171, 3069, 3245).

10. Ibnu Hibban (no. 234, 235).

Hadits di atas dikeluarkan oleh al-Bukhâri dan Muslim dalam kitab Shahîh keduanya, dari hadits Qatadah, dari Anas; sedangkan lafazh milik Muslim berbunyi:

حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ ، أَوْ قَالَ : لِجَارِهِ.

"Hingga ia mencintai untuk saudaranya; atau beliau bersabda: Untuk tetangganya "

Dan Ahmad, Ibnu Hibban, dan Abu Ya’la mengeluarkan pula hadits yang semakna dengan lafazh:

لاَ يَبْلُغُ عَبْدٌ حَقِيْقَةَ اْلإِيْمَانِ حَتَّى يُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ.

"Seorang hamba tidak dapat mencapai hakikat iman, hingga ia mencintai kebaikan untuk manusia seperti yang ia cintai untuk dirinya."

SYARAH HADITS

Syaikh al-Albâni rahimahulllah berkata, “Ketahuilah bahwa tambahan ini مِنَ الْخَيْرِ (berupa kebaikan), adalah tambahan yang sangat penting yang dapat menentukan makna yang dimaksud dalam hadits ini, karena kata “kebaikan” adalah satu kata yang mencakup berbagai amal ketaatan dan perbuatan mubah, baik dalam masalah dunia maupun akhirat -selain yang dilarang karena kata “kebaikan” tidak mencakupnya- sebagaimana sudah jelas. Salah satu kesempurnaan akhlak seorang muslim, ialah ia mencintai kebaikan untuk saudaranya sesama muslim, seperti yang ia cintai untuk dirinya sendiri. Demikian pula ia membenci kejelekan untuk saudaranya, seperti kebenciannya untuk dirinya sendiri. Meskipun hal ini tidak disebutkan dalam hadits, namun ini termasuk dalam kandungannya karena mencintai sesuatu mengharuskan membenci sesuatu yang menjadi lawannya.”[1]

Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan [2]: “Riwayat Imam Ahmad rahimahullah di atas menjelaskan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim, dan bahwa yang dimaksud dengan tidak beriman ialah tidak mencapai hakikat dan puncak iman karena iman seringkali dianggap tidak ada karena ketiadaan rukun-rukun dan kewajiban-kewajibannya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

.
لاَ يِزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمَنٌ.

"Pezina tidak berzina ketika ia berzina sedang ia dalam keadaan mukmin; pencuri tidak mencuri ketika ia mencuri sedang ia dalam keadaan mukmin; dan orang tidak minum minuman keras ketika ia meminumnya sedang ia dalam keadaan beriman" [3]

Juga seperti sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لاَ يُؤْمِنُ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ.

"Tidak beriman orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguan-gangguannya" [4]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,“Para ulama mengatakan bahwa maknanya ialah tidak beriman dengan iman yang sempurna, karena pokok iman itu ada pada orang yang tidak memiliki sifat ini”.[5]

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Yang dimaksud ialah dinafikannya kesempurnaan iman. Penafian nama sesuatu dengan makna menafikan kesempurnaannya telah masyhur dalam dialek bangsa Arab, seperti perkataan mereka, ‘Si fulan itu bukan manusia’.” [6] Maksudnya, dinafikan salah satu sifatnya.

Al-Hafizh ‘Amr bin Shalah rahimahullah mengatakan, “Maknanya, tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai untuk saudara semuslim seperti ia mencintai untuk dirinya sendiri”.[7]

Para ulama berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar; apakah dia dinamakan mukmin yang kurang imannya atau tidak dikatakan mukmin? Sesungguhnya yang benar dikatakan: dia muslim dan bukan mukmin menurut salah satu dari dua pendapat, dan kedua pendapat tersebut diriwayatkan dari Imam Ahmad, atau ia mukmin dengan imannya dan fasik dengan dosa besarnya.

Adapun orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil, iman tidak hilang dari dirinya secara total, namun ia orang mukmin yang kurang beriman dan imannya berkurang sesuai dengan kadar dosa kecil yang ia kerjakan.

Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar dinamakan seorang mukmin yang kurang imannya diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu, dan merupakan pendapat Ibnul-Mubarak, Ishaq, Ibnu ‘Ubaid, dan selain mereka.

Maksud hadits di atas ialah di antara sifat iman yang wajib, adalah seseorang mencintai untuk saudaranya yang mukmin apa yang ia cintai untuk dirinya dan membenci untuknya apa yang ia benci untuk dirinya sendiri. Jika sifat tersebut hilang darinya, maka imannya berkurang.[8]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانُ.

"Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan (tidak memberi) karena Allah, maka sungguh, telah sempurna imannya".[9]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ، وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِيْ يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ.

"Barang siapa ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaklah ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan hendaklah ia menunaikan dan berbuat (kebaikan) kepada orang lain apa yang ia senang bila orang lain (berbuat baik) kepadanya".[10]

Dalam Shahîh Muslim juga disebutkan dari hadits Abu Dzarr Radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku:

يَا أَبَا ذَرٍّ! إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيْفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِيْ، لاَ تَتَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ، وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيْمٍ.

"Wahai, Abu Dzarr! Sungguh, aku melihat engkau sebagai orang yang lemah dan aku mencintai untuk dirimu apa yang aku cintai untuk diriku. Janganlah engkau memimpin dua orang, dan jangan pula memegang harta anak yatim”.[11]

Dari an-Nu’man bin Basyir dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.

"Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam".[12]

Ini menunjukkan, bahwa orang mukmin terganggu dengan apa saja yang mengganggu saudaranya yang mukmin dan sedih oleh apa saja yang membuat saudaranya sedih.

Dan hadits Anas Radhiyallahu 'anhu yang sedang kita bicarakan ini menunjukkan, bahwa orang mukmin dibuat gembira oleh sesuatu yang membuat gembira saudaranya yang mukmin dan menginginkan kebaikan untuk saudaranya yang mukmin seperti yang ia inginkan untuk dirinya sendiri. Ini semua terjadi karena seorang mukmin hatinya harus bersih dari dengki, penipuan, dan hasad. Hasad membuat pelakunya tidak mau diungguli siapa pun dalam kebaikan atau diimbangi di dalamnya, karena orang yang hasad senang lebih unggul atas seluruh kelebihannya dan ia sendiri yang memilikinya tanpa siapa pun dari manusia.

Sedangkan iman menghendaki kebalikannya yaitu agar ia diikuti seluruh kaum mukminin dalam kebaikan yang diberikan Allah kepadanya tanpa mengurangi sedikit pun kebaikannya.[13]

Dalam Al-Qur`ân Allah Ta’ala memuji orang-orang yang tidak ingin sombong dan tidak membuat kerusakan di bumi. Allah Ta’ala berfirman:

"Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak membuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa".[al-Qashshash/28:83]

Mengenai ayat ini, ‘Ikrimah dan selainnya dari para ahli tafsir mengatakan: “Maksud dari kata al-‘uluwwu fil ardhi, ialah sombong, mencari kehormatan, dan kedudukan pada pemiliknya. Sedangkan maksud al-fasâd, ialah mengerjakan berbagai kemaksiatan”.[14]

Ada dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak ingin disaingi orang lain dalam ketampanan itu tidak berdosa.

Imam Ahmad dan al-Hakim dalam Shahîh-nya dari hadits Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ketika itu Malik bin Mirarah ar-Rahawi berada di tempat beliau. Aku dapati Malik bin Murarah ar-Rahawi berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku telah diberi ketampanan seperti yang telah engkau lihat; oleh karena itu, aku tidak ingin salah seorang manusia mengungguliku dengan tali sandal dan selebihnya, apakah itu termasuk kezhaliman?’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak. Itu tidak termasuk kezhaliman, namun kezhaliman ialah orang yang sombong.’ Atau beliau bersabda, ‘Namun kezhaliman ialah orang yang menolak kebenaran dan menghina manusia”.[15]

Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan hadits semakna dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [16]. Di haditsnya disebutkan kata al-kibru (sombong) sebagai ganti dari kata al-baghyu (kezhaliman). Pada hadits di atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan ketidaksukaan Malik bin Murarah untuk disaingi siapa pun dalam ketampanan sebagai bentuk kezhaliman atau kesombongan. Beliau juga menafsirkan kesombongan dan kezhaliman dengan arti merendahkan kebenaran, yang tidak lain adalah sombong terhadapnya dan menolak menerima kebenaran karena sombong jika kebenaran tersebut bertentangan dengan hawa nafsunya.

Dari sinilah salah seorang ulama Salaf mengatakan:

“Tawadhu`, ialah engkau menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya kendati yang membawanya adalah anak kecil. Barang siapa menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya: anak kecil, atau orang dewasa, orang yang dicintainya, atau orang yang dibencinya, maka ia orang yang tawadhu`. Dan barang siapa menolak menerima kebenaran karena sombong terhadapnya, maka ia orang yang sombong”

Sedangkan menghina manusia dan merendahkan mereka bisa terjadi dengan cara seseorang melihat pribadinya sebagai orang yang sempurna dan melihat orang lain sebagai orang yang tidak sempurna.

Kesimpulannya, seorang mukmin harus mencintai untuk kaum mukminin apa yang ia cintai untuk dirinya dan tidak menyukai untuk mereka apa yang tidak ia sukai untuk dirinya. Jika ia melihat kekurangan dalam hal agama pada saudaranya, ia berusaha untuk memperbaikinya.

Salah seorang yang shâlih dari ulama Salaf berkata: “Orang-orang yang mencintai Allah melihat dengan cahaya Allah, merasa kasihan dengan orang yang bermaksiat kepada Allah, membenci perbuatan-perbuatan mereka, merasa kasihan kepada mereka dengan cara menasihati mereka untuk melepaskan mereka dari perbuatannya, dan menyayangkan badan mereka sendiri jika sampai terkena neraka”.[17]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقْرَؤُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ.

"Tidak boleh hasad kecuali kepada dua orang: orang yang diberi harta oleh Allah kemudian ia menginfakkannya di pertengahan malam dan pertengahan siang dan orang yang diberikan Al-Qur`ân oleh Allah kemudian ia membacanya di pertengahan malam dan pertengahan siang" [18]

Dan beliau bersabda mengenai orang yang melihat orang lain menginfakkan hartanya dalam ketaatan kepada Allah, kemudian ia berkata:

لَوْ أَنَّ لِيْ مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ . فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ .

"Seandainya aku memiliki harta, aku pasti mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan. Ia dengan niatnya itu, maka pahala keduanya sama".[19]

Adapun dalam hal kelebihan dunia, maka tidak boleh mengharapkan kelebihan seperti itu karena Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:

Maka keluarlah dia (Qarun) kepada kaumnya dengan kemegahannya. Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata: "Mudah-mudahan kita memiliki harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar". Tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata: "Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar”. [al-Qashshash/28:79-80].

Tentang firman Allah Ta’ala.

"(Dan janganlah kalian iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain….) -Qs. an-Nisâ`/4 ayat 32- yang dimaksud ayat di atas adalah hasad, yaitu seseorang menginginkan keluarga atau harta seperti yang diberikan kepada saudaranya, dan berharap semua itu berpindah tangan kepadanya. Ayat di atas juga ditafsirkan dengan keinginan yang dilarang syari’at dan melawan takdir, misalnya seorang wanita ingin menjadi laki-laki, atau kaum wanita menginginkan kelebihan-kelebihan agama seperti yang diberikan kepada kaum laki-laki misalnya jihad, atau kaum wanita menginginkan kelebihan-kelebihan duniawi seperti yang dimiliki kaum laki-laki seperti warisan, akal, kesaksian, dan lain sebagainya. Ada juga yang menyatakan bahwa ayat di atas merangkum itu semua.

Kendati demikian, seorang mukmin harus bersedih karena tidak memiliki kelebihan-kelebihan agama. Oleh karena itu, dalam agama, seorang muslim diperintahkan melihat kepada orang yang berada di atasnya dan berlomba-lomba di dalamnya dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya, seperti difirmankan Allah Ta’ala:

"…Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba". [al-Muthaffifîn/83:26]

Seorang muslim tidak boleh benci diikuti orang lain dalam masalah agama. Justru, ia menyukai seluruh manusia terlibat dalam persaingan dalam kelebihan-kelebihan agama dan menganjurkannya. Dan ingat, semua ini harus dilakukan semata-mata karena Allah Ta’ala.

Beliau mengisyaratkan bahwa pemberian nasihat kepada manusia ialah hendaklah seorang mukmin suka kalau manusia berada di atas kedudukannya. Ini kedudukan dan derajat tertinggi dalam nasihat, namun tidak diwajibkan. Namun yang diperintahkan dalam syari’at ialah hendaklah seorang mukmin suka kalau manusia seperti dirinya dalam berbuat kebajikan. Kendati demikian, jika ada orang yang mengungguli dirinya dalam kelebihan agama, ia berusaha keras mengejarnya, sedih atas kelalaian dirinya, dan gundah atas ketertinggalannya dari menyusul orang-orang yang lebih dahulu dalam kebaikan.

Seorang mukmin harus terus melihat dirinya lalai dari kedudukan tinggi karena sikap seperti itu membuahkan dua hal yang berharga:

(1) berusaha keras dalam mencari keutamaan-keutamaan dan meningkatkannya, dan

(2) ia melihat dirinya sebagai orang yang kurang sempurna. [20]

Jika seseorang mengetahui bahwa Allah memberikan kelebihan khusus kepada dirinya dan kelebihan itu tidak diberikan Allah kepada orang lain kemudian ia menceritakannya kepada orang lain untuk kemaslahatan agama, ia menceritakannya dalam konteks menceritakan nikmat, dan melihat dirinya lalai dalam bersyukur, maka hal ini diperbolehkan.

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata, “Aku membaca salah satu ayat Al-Qur`ân kemudian aku ingin seluruh manusia mengetahuinya seperti yang aku ketahui.”[21]

FAWA`ID HADITS

1. Diperbolehkan menafikan sesuatu karena tidak adanya kesempurnaan padanya, seperti sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ.

"Tidak ada shalat ketika makanan telah disajikan".[22] Maksudnya, shalatnya tidak sempurna, karena hati orang yang shalat tersebut akan menjadi sibuk oleh makanan yang telah tersaji itu, dan contoh-contoh seperti ini sangat banyak.

2. Seseorang wajib mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri. Sebab, dinafikannya iman dari orang yang tidak mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri menunjukkan wajibnya perbuatan tersebut, karena keimanan tidak boleh dinafikan kecuali karena hilangnya sesuatu yang wajib padanya atau adanya sesuatu yang menafikan keimanan tersebut.

3. Termasuk keimanan pula membenci untuk saudaranya apa yang dibenci untuk dirinya sendiri.

4. Di dalam hadits ini terdapat celaan terhadap sikap egois, membenci orang lain, hasad dan balas dendam, karena orang yang di dalam hatinya terdapat semua sifat ini berarti tidak mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri, bahkan ia berharap nikmat yang Allah berikan pada saudaranya yang beriman itu hilang darinya. Nas-alullâhas-salâmah wal-‘âfiyah.

5. Setiap mukmin dan mukminah wajib menjauhi sifat hasad (dengki, iri) dan sifat buruk lainnya karena dapat mengurangi imannya.

6. Hadits ini menunjukkan bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang; bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan sebab melakukan maksiat.

7. Mengamalkan kandungan hadits ini menjadikan menyebarnya rasa cinta diantara pribadi-pribadi dalam satu masyarakat Islami dan akan saling tolong-menolong dan bahu-membahu sehingga bagaikan satu tubuh.

8. Mencintai kebaikan untuk seorang muslim merupakan salah satu cabang keimanan.

9. Berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan kesempurnaan iman.

10. Anjuran untuk mempersatukan hati manusia dan memperkuat hubungan antara kaum mukminin.

11. Islam bertujuan menciptakan masyarakat yang harmonis dan penuh kasih sayang.

12. Umat Islam hendaknya menjadi laksana satu bangunan dan satu tubuh. Ini diambil dari bentuk keimanan yang sempurna yaitu mencintai untuk saudaranya apa yang dicintai untuk dirinya sendiri.

Wallâhu a’lam.

Maraji’:

1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.

2. Al-Mu’jamul Kabîr.

3. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.

4. Jâmi’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bâjis.

5. Kutubus-Sab’ah.

6. Musnad Abi ‘Awanah.

7. Musnad Abu Ya’la.

8. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.

9. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.

10. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.

11. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.

12. Syarhus-Sunnah lil-Baghawi.

13. Tafsîr Ibni Jarir ath-Thabari.

14. Dan kitab-kitab lainnya. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_______

Footnote

[1]. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/1/155-156).

[2]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/302).

[3]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2475), Muslim (no. Muslim no. 57), Ahmad (II/376), dan Ibnu Hibban (no. 186-At-Ta’lîqâtul-Hisân), dari Sahabat Abu Hurairah.

[4]. Shahîh. HR. Al-Bukhâri (no. 6016), Muslim (no. 46), dan Ahmad (II/288) dari Sahabat Abu Hurairah.

[5]. Syarah Shahîh Muslim (II/16).

[6]. Fat-hul Bâri (I/57).

[7]. Syarah Shahîh Muslim (II/17).

[8]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikâm (I/303).

[9]. Hasan. HR Abu Dawud (no. 4681) dan al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 3469) dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu 'anhu . Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash- Shahîhah (no. 380), dan hadits ini memiliki beberapa syawahid.

[10]. Shahîh. HR Muslim (no. 1844), Ahmad (II/161), Abu Dawud (no. 4248), an-Nasâ`i (VII/153), dan Ibnu Majah (no. 3956) dari Sahahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash rodliyallohu 'anhumaa .

[11]. Shahîh. HR Muslim (no. 1826), Abu Dawud (no. 2868), an-Nasâ`i (VI/255), dan Ibnu Hibban (no. 5538-at-Ta’lîqâtul-Hisân).

[12]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6011), Muslim (no. 2586) dan Ahmad (IV/270), dari Sahabat an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu , lafazh ini milik Muslim.

[13]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/306).

[14]. Lihat Tafsîr ath-Thabari (X/114-115).

[15]. Shahîh. HR Ahmad (I/385) dan al-Hakim (IV/182).

[16]. Sunan Abi Dawud (no. 4092) dengan sanad yang shahîh.

[17]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/308).

[18]. Shahîh. HR Ahmad (I/385, 432), al-Bukhâri (no. 73), Muslim (no. 816), Ibnu Majah (no. 4208), dan Ibnu Hibban (no. 90-at-Ta’lîqâtul-Hisân) dari Sahabat Ibnu Mas’ud.

[19]. Shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/230-231), at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (XIV/289), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul- Kabir (XXII/ 345-346, no. 868-870), dari Sahabat Abu Kabsyah al-Anmari Radhiyallahu 'anhu.

[20]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/308-309).

[21]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/310).

[22]. Shahîh. HR Muslim (no. 560).

*****

Sumber : almanhaj.or.id

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

04 September 2010

FILE 185 : Kecantikan Sejati

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Kecantikan Sejati

Penulis: Ummu Yusuf Wikayatu Diny

Muroja'ah : Ust. Aris Munandar

.

Adalah kebahagiaan seorang laki-laki ketika Allah menganugerahkannya seorang istri yang apabila ia memandangnya, ia merasa semakin sayang. Kepenatan selama di luar rumah terkikis ketika memandang wajah istri yang tercinta. Kesenangan di luar tak menjadikan suami merasa jengah di rumah. Sebab surga ada di rumahnya; Baiti Jannati (rumahku surgaku).

Kebahagiaan ini lahir dari istri yang apabila suami memandangnya, membuat suami bertambah kuat jalinan perasaannya. Wajah istri adalah keteduhan, telaga yang memberi kesejukan ketika suami mengalami kegerahan. Lalu apakah yang ada pada diri seorang istri, sehingga ketika suami memandangnya semakin besar rasa sayangnya? Konon, seorang laki-laki akan mudah terkesan oleh kecantikan wajah. Sempurnalah kebahagiaan seorang laki-laki jika ia memiliki istri yang berwajah memikat.

Tapi asumsi ini segera dibantah oleh dua hal. Pertama, bantahan berupa fakta-fakta. Dan kedua, bantahan dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Konon, Christina Onassis, mempunyai wajah yang sangat cantik. Ia juga memiliki kekayaan yang sangat besar. Mendiang ayahnya meninggalkan harta warisan yang berlimpah, antara lain kapal pesiar pribadi, dan pulau milik pribadi juga. Telah beberapa kali menikah, tetapi Christina harus menghadapi kenyataan pahit. Seluruh pernikahannya berakhir dengan kekecewaan. Terakhir ia menutup kisah hidupnya dengan satu keputusan: bunuh diri.

Kecantikan wajah Christina tidak membuat suaminya semakin sayang ketika memandangnya. Jalinan perasaan antara ia dan suami-suaminya tidak pernah kuat.

Kasus ini memberikan ibroh kepada kita bahwa bukan kecantikan wajah secara fisik yang dapat membuat suami semakin sayang ketika memandangnya. Ada yang bersifat psikis, atau lebih tepatnya bersifat qalbiyyah!

Bantahan kedua, sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang taat beragama niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari, Muslim)

Hadist di atas sebagai penguat bahwa kesejukan ketika memandang sehingga perasaan suami semakin sayang, letaknya bukan pada keelokan rupa secara zhahir. Ada yang bersifat bathiniyyah.

Dengan demikian wahai saudariku muslimah, tidak mesti kita harus mempercantik diri dengan alat kosmetik atau dengan menggunakan gaun-gaun aduhai yang akhirnya akan membawa kita pada sikap berlebihan pada hal yang halal bahkan menyebabkan kita menjadi lalai dan meninggalkan segala yang bermanfaat dalam perkara-perkara akhirat, wal ‘iyadzubillah. Namun tidak berarti kita meninggalkan perawatan diri dengan menjaga fitrah manusia, dengan menjaga kebersihan, kesegaran dan keharuman tubuh yang akhirnya melalaikan diri dalam menjaga hak suami. Ada yang lebih berarti dari semua itu, ada yang lebih penting untuk kita lakukan demi mendapatkan cinta suami.

Sesungguhnya cinta yang dicari dari diri seorang wanita adalah sesuatu pengaruh yang terbit dari dalam jiwa dengan segala kemuliaannya dan mempunyai harga diri, dapat menjaga diri, suci, bersih, dan membuat kehidupan lebih tinggi di atas egonya.

Untuk itulah saudariku muslimah… Tuangkanlah di dalam dada dan hatimu dengan cinta dan kasih sayang serta tanamkanlah kemuliaan wanita muslimah seperti jiwamu yang penuh dengan kebaikan, perhatian serta kelembutan. Bukankah kita telah melihat contoh-contoh yang gemilang dari pribadi-pribadi yang kuat dari para shahabiyyah radiyallahu ‘anhunna…?

Janganlah engkau penuhi dirimu dengan ahlak yang selalu sedih dan gelisah, banyak pengaduan dan keluh kesah dan selalu mengancam, karena hal tersebut akan menggelapkan hatimu. Tersenyumlah untuk kehidupan. Seperti kuatnya para shahabiyyah dalam menghadapi kehidupan yang keras dan betapa kuatnya wanita-wanita yang lembut itu mempertahankan agamanya…

Perhiasan jiwa, itulah yang lebih utama. Yaitu sifat-sifat dan budi pekerti yang diajarkan Islam, yang diawali dengan sifat keimanan. Sebagaimana firman Allah, (yang artinya) “Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.” (QS. Al-Hujuraat: 7)

Apabila keimanan telah benar-benar terpatri dalam hati, maka akan tumbuhlah sifat-sifat indah yang menghiasi diri manusia, mulai dari Ketakwaan, Ilmu, Rasa Malu, Jujur, Terhormat, Berani, Sabar, Lemah Lembut, Baik Budi Pekerti, Menjaga Silaturrahim, dan sifat-sifat terpuji lainnya yang tidak mungkin disebut satu-persatu. Semuanya adalah nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada hamba-hambanya agar dapat bahagia hidup di dunia dan akhirat.

Wanita benar-benar sangat diuntungkan, karena ia memiliki kesempatan yang lebih besar dalam hal perhiasan jiwa dengan arti yang sesungguhnya, yaitu ketika wanita memiliki sifat-sifat terpuji yang mengangkat derajatnya ke puncak kemuliaan, dan jauh dari segala sesuatu yang dapat menghancurkanya dan menghilangkan rasa malunya….!

Saudariku… jika engkau telah menikah, maka nasihat ini untuk mengingatkanmu agar engkau selalu menampilkan kecantikan dirimu dengan kecantikan sejati yang berasal dari dalam jiwamu, bukan dengan kecantikan sebab yang akan lenyap dengan lenyapnya sebab.

Saudariku… jika saat ini Allah belum mengaruniai engkau jodoh seorang suami yang sholeh, maka persiapkanlah dirimu untuk menjadi istri yang sholihah dengan memperbaiki diri dari kekurangan yang dimiliki lalu tutuplah ia dengan memunculkan potensi yang engkau miliki untuk mendekatkan dirimu kepada Yang Maha Rahman, mempercantik diri dengan ketakwaan kepada Allah yang dengannya akan tumbuh keimanan dalam hatimu sehingga engkau dapat menghiasi dirimu dengan akhlak yang mulia.

Saudariku… ini adalah sebuah nasihat yang apabila engkau mengambilnya maka tidak ada yang akan diuntungkan melainkan dirimu sendiri.

Disalin dari: Buletin al-Izzah edisi no16/thn III/Muharram 1425 H

(Bulletin ini diterbitkan oleh Forkimus (Forum Kajian Islam Muslimah Salafiyah) Mataram, Lombok, NTB)

*****

Sumber : muslimah.or.id

.

Baca Juga :

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 184 : Mengapa Al-Hayaa' = Malu .. ?

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Rahasia di Balik Kata Al-Hayaa' (Malu) dalam Bahasa Arab

.

Pembaca mulia, kata “malu” dalam bahasa Arab adalah اَلْحَيَاءُ /al-hayaa’/. Kata ini, merupakan derivat dari kata اَلْحَيَاةُ /al-hayaah/, yang artinya adalah “kehidupan”. Selain اَلْحَيَاءُ, contoh derivat lain kata اَلْحَيَاةُ adalah حَيَا /hayaa/, yang artinya hujan”. Apa kaitan antara hujan dan kehidupan? Kaitannya adalah bahwa hujan merupakan sumber kehidupan bagi bumi, tanaman, dan hewan ternak.

Dalam bahasa Arab, al-hayaah “kehidupan” mencakup kehidupan dunia dan akhirat.

Lalu, kembali ke pokok bahasan utama, apa kaitan al-hayaa’ “malu” dengan al-hayaah “kehidupan”?

Jawabannya adalah karena orang yang tidak memiliki rasa malu, ia seperti mayat di dunia ini, dan ia benar-benar akan celaka di akhirat.

Orang yang tidak memiliki rasa malu, tidak merasa risih ketika bermaksiat.

Ketika ia mempertontonkan lekuk-lekuk tubuhnya dan memamerkan auratnya, ia tidak merasa bahwa itu adalah perbuatan yang menjijikkan….

Ketika ia berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya di tengah keramaian, ia tidak peduli dengan tatapan heran manusia…

Ketika ia melanggar setiap larangan Allah, ia anggap sebagai rutinitas, seolah-olah dia tidak merasa bahwa dirinya hina…

Benar, ia seperti mayat. Ya! apapun yang terjadi di sekitar mayat, tiada kan dapat mendatangkan manfaat baginya…

Maka, benarlah perkataan Ibnul Qayyim

وَمِنْ عُقُوْبَاتِهَا ذِهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَةُ الْحَياَة ِللْقَلْبِ وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ وَذِهَابُ كُلِّ خَيْرٍ بِأَجْمَعِهِ

Di antara dampak maksiat adalah menghilangkan MALU yang merupakan SUMBER KEHIDUPAN hati dan inti dari segala kebaikan. Hilangnya rasa malu, berarti hilangnya seluruh kebaikan.

(اَلْجَوَابُ الْكَافِي لِمَنْ سَأَلَ عَنِ الدَّوَاءِ الشَّافِي, hal. 45)

Ini sebagaimana sabda Nabi

/Al-hayaa’ khairun kulluhu/

“Rasa malu seluruhnya adalah kebaikan” (Shahih Muslim: 87)

Oleh karena itu, seseorang yang bermaksiat dan terus menerus melakukannya, dikatakan sebagai orang yang tidak tahu malu. Nabi bersabda

Sesungguhnya termasuk yang pertama diketahui manusia dari ucapan kenabian adalah jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu!” (Shahih Bukhari: 5769)

Dalam menjelaskan maksud hadits di atas, Ibnul Qayyim berkata,

وَاْلَمَقْصُوْدُ أَنَّ الذُّنُوْبَ تُضْعِفُ الْحَيَاءَ مِنَ الْعَبْدِ حَتَّى رُبَّمَا اِنْسَلَخَ مِنْهُ بِالْكَلِّيَّةِ حَتَّى رُبَّمَا إِنَّهُ لاَ يَتَأَثَّرُ بِعِلْمِ النَّاسِ بِسُوْءِ حَالِهِ وَلاَ بِاطِّلاَعِهِمْ عَلَيْهِ بَلْ كَثِيْرٌ مِنْهُمْ يُخْبِرُ عَنْ حَالِهِ وَقَبْحِ مَا يَفْعَلُهُ وَالْحَامِلُ عَلَى ذَلِكَ اِنْسِلاَخُهُ مِنَ الْحَيَاءِ وَإِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى هَذِهِ الحَالَةِ لَمْ يَبْقَ فِي صَلاَحِهِ مَطْمَعٌ

Maksudnya, dosa-dosa akan melemahkan rasa malu seorang hamba, bahkan bisa menghilangkannya secara keseluruhan. Akibatnya, pelakunya tidak lagi terpengaruh atau merasa risih saat banyak orang mengetahui kondisi dan perilakunya yang buruk. Lebih parah lagi, banyak di antara mereka yang menceritakan keburukannya. Semua ini disebabkan hilangnya rasa malu. Jika seseorang sudah sampai pada kondisi tersebut, tidak dapat diharapkan lagi kebaikannya.

(اَلْجَوَابُ الْكَافِي لِمَنْ سَأَلَ عَنِ الدَّوَاءِ الشَّافِي, hal. 45)

Akhirnya, saya akhiri risalah ini dengan mengutip lagi perkataan Ibnul Qayyim

وَمَنِ اسْتَحْيَ مِنَ اللهِ عِنْدَ مَعْصِيَّتِهِ اِسْتَحَى اللهُ مِنْ عُقُوْبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنَ اللهِ تَعَالَى مِنْ مَعْصِيَّتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللهُ مِنْ عُقُوْبَتِهِ

Barangsiapa malu terhadap Allah saat mendurhakaiNya, niscaya Allah akan malu menghukumnya pada hari pertemuan dengan-Nya. Demikian pula, barangsiapa tidak malu mendurhakaiNya, niscaya Dia tidak malu untuk menghukumnya.

Referensi:

Sumber: http://studyarabic.blog.ugm.ac.id/ dengan pengharakatan dari tim Badar Online

***

Sumber : badaronline.com

.

Baca Juga :

.

Link Download :

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 183 : Penafsiran Tanduk Setan dalam Fitnah Nejed

Bismillahirrohmanirrohim
Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
Wa ba'du
……
Tanduk Setan !!
Penulis:
Abul Jauzaa'
.
Telah berkata Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah :
.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَفِي يَمَنِنَا قَالَ قَالُوا وَفِي نَجْدِنَا قَالَ قَالَ هُنَاكَ الزَّلَازِلُ وَالْفِتَنُ وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Husain bin Al-Hasan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Nabi pernah bersabda : “Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada Syaam kami dan Yamaan kami”. Para shahabat : “Dan juga Najd kami ?”. Beliau bersabda : “Di sana muncul bencana dan fitnah. Dan di sanalah akan muncul tanduk setan”.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1037. Diriwayatkan juga pada no. 7094 dan Muslim no. 2095.

Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 2095 (45), dari jalan Al-Laits, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar :
أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهو مستقبل المشرق يقول "ألا إن الفتنة ههنا. ألا إن الفتنة ههنا، من حيث يطلع قرن الشيطان".
Bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam - dimana beliau waktu itu menghadap ke timur -, beliau bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya fitnah di sini, dari arah munculnya tanduk setan”.
Dalam lafadh lain (46), dari jalan ‘Ubaidullah bin ‘Umar : Telah menceritakan kepadaku Naafi’, dari Ibnu ‘Umar :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قام عند باب حفصة، فقال بيده نحو المشرق "الفتنة ههنا من حيث يطلع قرن الشيطان" قالها مرتين أو ثلاثا.
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri di samping pintu Hafshah[1], beliau bersabda dengan berisyarat dengan tangannya ke arah timur : “Fitnah itu dari sini, dari arah munculnya tanduk setan”. Beliau mengatakannya dua atau tiga kali.
Riwayat di atas menjelaskan tentang kemunculan fitnah di Najd, sebelah timur Madiinah, yaitu tempat keluarnya tanduk setan. Namun, apa yang dimaksud dengan Najd di sini ?
Telah berkata Al-Imaam Ath-Thabaraaniy :
حدثنا الحسن بن علي المعمري ثنا إسماعيل بن مسعود ثنا عبيد الله بن عبد الله بن عون عن أبيه عن نافع عن ابن عمر : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : اللهم بارك لنا في شامنا، اللهم بارك في يمننا، فقالها مراراً، فلما كان في الثالثة أو الرابعة، قالوا: يا رسول الله! وفي عراقنا؟ قال: إنّ بها الزلازل والفتن، وبها يطلع قرن الشيطان
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Ma’mariy[2] : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Mas’uud[3] : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Aun[4], dari ayahnya, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada Syaam kami dan Yamaan kami”. Beliau mengatakannya beberapa kali. Saat beliau mengatakan yang ketiga kali atau keempat, para shahabat berkata : “Wahai Rasulullah, dari juga ‘Iraaq kami ?”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya di sana terdapat bencana dan fitnah. Dan di sana lah muncul tanduk setan” [Al-Mu’jamul-Kabiir, 12/384 no. 13422].
Sanad hadits ini jayyid.
Naafi’ dalam riwayat ini mempunyai mutaba’ah dari Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar.
حدثنا محمد بن عبد العزيز الرملي : حدثنا ضمرة بن ربيعة عن ابن شوذب عن توبة العنبري عن سالم عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اللهم بارك لنا في مدينتنا، وفي صاعنا، وفي مدِّنا وفي يمننا وفي شامنا. فقال الرجل : يا رسول الله وفي عراقنا ؟. فقال : رسول الله صلى الله عليه وسلم : بها الزلازل والفتن، ومنها يطلع قرن الشيطان.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Ramliy[5] : Telah menceritakan kepada kami Dlamrah bin Rabii’ah[6], dari Ibnu Syaudzab[7], dari Taubah Al-‘Anbariy[8], dari Saalim[9], dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada Madinah kami, pada (takaran) shaa’ kami, pada (takaran) mudd kami, pada Yaman kami, dan pada Syaam kami”. Seorang laki-laki berkata : “Wahai Rasulullah, dan juga pada ‘Iraaq kami ?”. Beliau menjawab : “Di sana terdapat bencana dan fitnah. Dan di sana pula akan muncul tanduk setan” [Diriwayatkan oleh Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah 2/746-747].
Sanad hadits ini hasan.
Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz mempunyai mutaba’ah dari Sa’iid bin Asad[10] sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Fasawiy (2/747), Al-Hasan bin Raafi’ Ar-Ramliy[11] sebagaimana diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (6/133), dan ‘Iisaa bin Muhammad An-Nuhaas[12] sebagaimana diriwayatkan Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh (1/130); dengan sanad shahih.
Ibnu ‘Asaakir (1/130-131) dan Abu Nu’aim (6/133) meriwayatkan dari jalan Al-‘Abbaas bin Al-Waliid bin Mazyad Al-’Udzriy : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Syaudzab : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Qaasim, Mathr, dan Katsiir bin Sahl, dari Taubah Al-‘Anbariy, dari Saalim, dari Ibnu ‘Umar secara marfu’.
Diriwayatakan juga oleh Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 1/130-131 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/133 dari jalan Taubah Al-Anbariy.
Taubah mempunyai mutaba’ah dari Ziyaad bin Bayaan Ar-Raqiy.
حدثنا علي بن سعيد، قال : نا حماد بن إسماعيل بن علية، قال : نا أبي، قال : نا زياد بن بيان، قال : نا سالم بن عبد الله بن عمر [عن أبيه] قال : صلى النبي صلى الله عليه وسلم صلاة الفجر، ثم انتفل، فأقبل على القوم، فقال : اللهم بارك لنا في مدينتنا، وبارك لنا في مدِّنا وصاعنا، اللهم بارك لنا في شامنا، ويمننا. فقال جل : والعراقُ يا رسول الله، فسكت، ثم قال : اللهم بارك لنا في مدينتنا، وبارك لنا في مدِّنا وصاعنا، اللهم بارك لنا في حرمنا، وبارك لنا في شامنا، ويمننا. فقال رجل : والعراق يا رسول الله، قال : من ثَمَّ يطلع قرن الشيطان، وتهيج الفتن.
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Sa’iid[13], ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin Ismaa’iil bin ‘Ulayyah[14], ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku[15], ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ziyaad bin Bayaan[16], ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari ayahnya, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat shubuh, kemudian berdoa, lalu menghadap kepada para orang-orang. Beliau bersabda : “Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada Madinah kami, berikanlah barakah kepada kami pada (takaran) mudd dan shaa’ kami. Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada Syaam kami dan Yaman kami”. Seorang laki-laki berkata : “Dan ‘Iraaq, wahai Rasulullah ?”. Beliau diam, lalu bersabda : “Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada Madinah kami, berikanlah barakah kepada kami pada (takaran) mudd dan shaa’ kami. Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada tanah Haram kami, dan berikanlah barakah kepada kami pada Syaam kami dan Yaman kami”. Seorang laki-laki berkata : “Dan ‘Iraaq, wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda : “(Tidak), dari sana akan muncul tanduk setan dan berkobar dan fitnah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath, 4/245-246 no. 4098].
Sanadnya shahih.
Selain itu, Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar pun pernah mengecam penduduk ‘Iraaq karena fitnah yang mereka timbulkan dengan menyebut hadits kemunculan tanduk setan.
حدثنا عبدالله بن عمر بن أبان وواصل بن عبدالأعلى وأحمد بن عمر الوكيعي (واللفظ لابن أبان). قالوا: حدثنا ابن فضيل عن أبيه. قال: سمعت سالم بن عبدالله بن عمر يقول: يا أهل العراق! ما أسألكم عن الصغيرة وأركبكم للكبيرة! سمعت أبي، عبدالله بن عمر يقول : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول "إن الفتنة تجئ من ههنا" وأومأ بيده نحو المشرق "من حيث يطلع قرنا الشيطان" وأنتم يضرب بعضكم رقاب بعض. وإنما قتل موسى الذي قتل، من آل فرعون، خطأ فقال الله عز وجل له: {وقتلت نفسا فنجيناك من الغم وفتناك فتونا} [20/طه/40].
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan, Waashil bin ‘Abdil-A’laa, dan Ahmad bin ‘Umar Al-Wakii’iy (dan lafadhnya adalah lafadh Ibnu Abaan); mereka semua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari ayahnya, ia berkata : Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata : “Wahai penduduk ‘Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar. Aku pernah mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa salam bersabda : ‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini - ia menunjukkan tangannya ke arah timur - dari arah munculya dua tanduk setan’. Kalian saling menebas leher satu sama lain. Muusaa hanya membunuh orang yang ia bunuh yang berasal dari keluarga Fir'aun itu karena tidak sengaja. Lalu Allah 'azza wa jalla berfirman padanya : 'Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan." (Thaahaa: 40)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2905 (50)].
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa Najd yang dikatakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai tempat munculnya tanduk setan, berbagai bencana, dan fitnah adalah ‘Iraaq.
Telah berkata Al-Imaam Al-Khaththaabiy rahimahullah :
نجد: ناحية المشرق، ومن كان بالمدينة كان نجده بادية العراق ونواحيها، وهي مشرق أهلها، وأصل النجد: ما ارتفع من الأرض، والغور: ما انخفض منها، وتهامة كلها من الغور، ومنها مكة، والفتنة تبدو من المشرق، ومن ناحيتها يخرج يأجوج ومأجوج والدجال، في أكثر ما يروى من الأخبار
“Najd adalah arah timur. Dan bagi Madinah, najd-nya sahara/gurun ‘Iraaq dan sekelilingnya. Itulah arah timur bagi penduduk Madinah. Asal makna dari najd adalah : setiap tanah yang tinggi; sedangkan ghaur adalah setiap tanah yang rendah. Seluruh wilayah Tihaamah adalah ghaur, termasuk juga Makkah. Fitnah muncul dari arah timur; dan dari arah itu pula akan keluar Ya’juuj, Ma’juuj, dan Dajjaal sebagaimana terdapat dalam kebanyakan riwayat” [I’laamus-Sunan, 2/1274].
Telah berkata Al-Haafidh Al-Kirmaaniy rahimahullaah :
ومن كان بالمدينة الطيبة -صلى الله على ساكنها- كان نجده بادية العراق ونواحيها، وهي مشرق أهلها
“Dan bagi Al-Madinah Ath-Thayyibah – semoga Allah melimpahkan barakah kepada penduduknya - , maka najd-nya adalah sahara/gurun ‘Iraaq dan sekelilingnya. Ia adalah arah timur bagi penduduk Madinah” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy, 24/168].
Bila kita lihat sejarah, kemunculan firqah Khawarij/Haruriyyah, Mu’tazilah, Jahmiyyah, Raafidlah, dan yang lainnya dari daerah ‘Iraaq.
Telah berkata Al-‘Allamah Mahmuud Syukriy Al-Aaluusiy Al-‘Iraaqiy rahimahullah berkata :
ولا بدع فبلاد العراق معدن كل محنة وبلية، ولم يزل أهل الإسلام منها في رزية بعد رزيّة، فأهل حروراء وما جرى منهم على الإسلام لا يخفى، وفتنة الجهمية الذين أخرجهم كثير من السلف من الإسلام، إنما خرجت ونبغت بالعراق، والمعتزلة وما قالوه للحسن البصري، وتواتر النقل به واشتهر من أصولهم الخمسة، التي خالفوا بها أهل السنة، ومبتدعة الصوفية الذين يرون الفناء في توحيد الربوبية غايةً يسقط بها الأمر والنهي، إنما نبغوا وظهروا بالبصرة، ثم الرافضة والشيعة وما حصل فيهم من الغلو في أهل البيت، والقول الشنيع في الإمام علي، وسائر الأئمة ومسبة أكابر أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم، كل هذا معروف مستفيض
“Bukan perkara yang mengherankan bahwa negeri ‘Iraaq sumber setiap fitnah dan bencana. Kaum muslimin di sana senantiasa ditimpa musibah demi musibah. Orang-orang Haruuraa’ (Khawaarij) dan apa yang mereka lakukan terhadap Islam tidaklah samar lagi (akan kerusakannya). Begitu juga dengan fitnah Jahmiyyah yang telah dikafirkan mayoritas ulama salaf, hanya keluar dan lahir dari bumi ‘Iraaq. Mu’tazillah dan apa yang mereka katakan kepada Al-Hasan Al-Bashriy serta lima pokok keyakinan mereka yang masyhur yang menyelisihi Ahlus-Sunnah, dan ahlul-bid’ah dari kalangan Shufiyyah yang berpendapat akan adanya fanaa’ dalam tauhid ar-rububiyyah yang bermaksud menggugurkan beban perintah dan larangan; juga muncul di Bashrah (‘Iraaq). Lalu Raafidlah dan Syii’ah serta apa yang terdapat pada mereka dari sikap ghulluw (berlebih-lebihan) terhadap ahlul-bait, perkataan buruk mereka terhadap Al-Imaam ‘Aliy dan seluruh imam-imam, serta caci-maki mereka terhadap para pembesar shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka semuanya ini ma’ruuf lagi tersiar” [Ghayaatul-Amaaniy, 2/180].
Oleh karena itu, keshahihan (kebenaran) dan kesharihan (kejelasan) penunjukan makna Najd terhadap negeri ‘Iraaq sebagai tempat kemunculan tanduk setan dan berbagai macam fitnah lebih terang dari cahaya matahari di siang hari. Akan tetapi, masih banyak kaum yang menafikkan berbagai dalil dan keterangan hanya karena alasan rivalitas madzhab. Nas-alullaaha as-salaamah wal-‘aafiyyah.
Wallaahu ta’ala a’lam.
[abu al-jauzaa’ – setelah shalat shubuh sebelum berangkat ke kantor, 14 Ramadlaan 1431 H].

[1] Lafadh ‘di samping pintu Hafshah’ menurut Asy-Syaikh Al-Albaaniy adalah syaadz [Silsilah Ash-Shahiihah, 5/653]. Dalam riwayat Ahmad (2/18) dengan lafadh :
قام رسول الله صلى الله عليه وسلم عند باب عائشة
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri di samping pintu ‘Aaisyah”.
Dalam lafadh Al-Bukhaariy (no. 3104) :
قام النبي صلى الله عليه وسلم خطيباً، فأشار نحو مسكن عائشة، فقال: هنا الفتنة -ثلاثاً- من حيث يطلع قرن الشيطان
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah, lalu berisyarat ke arah tempat tinggal ‘Aaisyah dan bersabda : “Di sini lah fitnah – beliau katakan tiga kali – dari arah munculnya tanduk setan”.
[2] Al-Hasan bin ‘Aliy bin Syabiib Abu ‘Aliy – dikatakan juga : Abul-Qaasim – Al-Ma’mariy Al-Baghdaadiy (w. 295 H); seorang haafidh masyhuur yang mempunyai beberapa riwayat ghariib. Ia kadang menyambungkan riwayat mursal dan memarfu’kan riwayat mauquf. Akan tetapi pada dasarnya, riwayatnya adalah shahih hingga jelas terbukti keterangan yang memalingkannya [lihat : Irsyaadul-Qaadliy, hal. 264-267 no. 373].
[3] Ismaa’iil bin Mas’uud Al-Jahdariy Abu Mas’uud Al-Bashriy (w. 248 H); seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 144 no. 487].
[4] ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Aun bin Arthabaan Al-Bashriy. Al-Bukhaariy berkata : “Ma’ruuful-hadiits” [At-Taariikh Al-Kabiir, 5/388 no. 1247]. Abu Haatim berkata : “Shaalihul-hadiits” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 5/322 no. 1531].
[5] Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Muhammad Al-‘Umariy Abu ‘Abdillah Ar-Ramliy; seorang yang shaduuq sering ragu (shaduuq yahimu). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 872 no. 6133].
[6] Dlamrah bin Rabii’ah Al-Filisthiiniy Abu ‘Abdillah Ar-Ramliy; seorang yang tsiqah. Telah ditsiqahkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’iin, An-Nasaa’iy, Ibnu Sa’d, Ibnu Hibbaan, dan ‘Ijliy. Abu Haatim berkata : “Shaalih”. Adan bin Abi Iyaas berkata : “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih berakal pada apa yang keluar dari kepalanya (pikiranya) daripada Dlamrah”. As-Saajiy berkata : “Shaduuq, namun sering ragu. Ia mempunyai riwayat-riwayat munkar”. (w. 202 H) [lihat biografi selengkapnya dalam Tahdziibut-Tahdziib, 4/460-461 no. 804].
[7] ‘Abdullah bin Syaudzab Al-Khuraasaaniy Abu ‘Abdirrahmaan Al-Balkhiy; seorang yang tsiqah, telah ditsiqahkan oleh jumhur ulama. Ibnu Hazm menyendiri dengan mengatakan : “Majhuul” (86-144 H) [idem, 5/255-256 no. 447].
[8] Taubah Al-‘Anbariy Al-Bashriy Abul-Muwarri’; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 183 no. 816].
[9] Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab; seorang yang tsabat, ‘aabid, lagi mempunyai keutamaan (w. 106 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 360 no. 2189].
[10] Sa’iid bin Asad bin Muusaa Al-Mishriy; seorang yang tsiqah. Telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibbaan (8/271), dan meriwayatkan darinya Abu Zur’ah dan Ya’quub bin Sufyaan Al-Fasawiy. Periwayatan Abu Zur’ah darinya dianggap sebagai satu pentsiqahan, sebab tidaklah ia meriwayatkan kecuali dari perawi tsiqah – sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar saat menjelaskan Daawud Daawud bin Hammaad Al-Balkhiy [Al-Lisaan, 3/396 no. 3019].
[11] Kemungkinan ada tashhif dalam Al-Hilyah, karena yang termasuk murid Dlamrah adalah Al-Hasan bin Waaqi’ bin Al-Qaasim Abu ‘Aliy Ar-Ramliy; seorang yang tsiqah (w. 220 H) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 243 no. 1299].
[12] ‘Iisaa bin Muhammad bin Ishaaq Abu ‘Umair An-Nuhaas Ar-Ramliy; seorang yang tsiqah (w. 276 H) [idem, hal. 770 no. 5356].
[13] ‘Aliy bin Sa’iid bin Basyiir bin Mihraan Abul-Hasan Ar-Raaziy; seorang yang tsiqah, kadang ragu, dan diperbincangkan para ulama atas sirahnya (w. 299 H) [Irsyaadul-Qaadliy, hal. 430-431 no. 679].
[14] Hammaad bin Ismaa’iil bin ‘Ulayyah Al-Asadiy Al-Bashriy Al-Baghdadiy; seorang yang tsiqah (w. 244 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 267 no. 1496].
[15] Ismaa’il bin Ibraahiim bin Miqsam Al-Asadiy Al-Bashriy, yang terkenal dengan nama Ibnu ‘Ulayyah; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 193 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 136 no. 420].
[16] Ziyaad bin Bayaan Ar-Raqiy; seorang yang shaduuq lagi ‘aabid [idem, hal. 343 no. 2068]. .
.

***

.
Artikel Terkait :
.
Subhanakallohumma wa bihamdihi,
Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika
Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin