Mau'idhoh

Dari 'Abdulloh bin 'Abbas rodliyallohu 'anhumaa, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa 'alaa aalihi wa sallam bersabda,

"Jagalah Alloh, Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh, engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.

Jika engkau meminta, memintalah kepada Alloh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh.

Ketahuilah, jika seluruh umat bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan bagimu. Dan jika seluruh umat bersatu untuk memberikan mudhorot kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Alloh taqdirkan atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah kerin
g."

(HR. Tirmidzi, dia berkata "Hadits hasan shohih")

20 April 2008

FILE 48 : Misteri "Al-Hawariyyun"

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

…… .

MISTERI ’AL-HAWARIYYUN

.

Al-Hawariyyun berarti sahabat yang setia. Gelar ini disandang oleh sahabat para Nabi yang mereka memiliki kesetiaan yang tinggi kepada Nabi yang diikutinya. Istilah ini populer digunakan untuk menyebut sahabat-sahabat Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam dari kalangan Bani Israil, yang mengikuti da’wah beliau dan melanjutkan penyebaran ajaran tauhid setelah Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam diangkat oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Adapun dari kalangan sahabat Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam, maka telah shohih di dalam Shohih Bukhari bahwa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam bersabda,”Setiap Nabi mempunyai hawariy (pengikut setia), dan hawariyku adalah Az-Zubair (bin Al-Awwam).

Tulisan saya kali ini akan membahas lebih fokus kepada Al-Hawariyyun dari kalangan sahabat Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam. Sebagian kalangan berpendapat bahwa Al-Hawariyyun berjumlah 12 (dua belas) orang, sebagaimana jumlah suku Bani Israil. Dengan demikian setiap Hawariy merupakan wakil setiap suku dari Bani Israil.

Sampai saat ini umat Islam meyakini bahwa Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam masih hidup dan telah diangkat oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala ke langit ketika kaum Bani Israil merencanakan makar untuk membunuh Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam. Mengenai hal ini Al-Qur’an telah menceritakan seputar kejadian tersebut, antara lain:

Artinya : ”Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)." Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Ali-Imran [3] : 52-54)

Artinya : “Dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah[1]", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya[2]. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4] : 157-158).

Mengenai firmannya:

... tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.

selama ini yang menjadi keyakinan mayoritas kaum muslimin bahwa ’yang diserupakan’ dengan Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam adalah salah satu Al-Hawariyyin yang berkhianat. Bahkan ada beberapa kalangan yang menyatakan bahwa nama Al-Hawariyyun yang berkhianat itu adalah Yudas. Penyerupaan Hawariy tersebut dengan Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam dan disalibnya dia menggantikan posisi Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam adalah merupakan hukuman yang diberikan Alloh Subhanahu wa Ta’ala kepadanya karena pengkhianatannya.

Demikianlah yang selama ini beredar dan diyakini umat Islam tentang penyaliban orang yang diserupakan dengan Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam. Padahal kalau kita mau meneliti, kisah tersebut berasal dari kalangan ahlul kitab dan dari kitab mereka yang telah penuh dengan berbagai perubahan dan tambahan cerita bohong. Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman

Artinya : ”Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2] : 78-79)

Kita mengetahui, bahwa apabila ada suatu cerita dari kalangan ahlul kitab yang Al-Qur’an maupun As-Sunnah tidak menjelaskannya, maka kita tidak boleh membenarkan atau mendustakannya. Namun apabila cerita tersebut berlawanan dengan ketetapan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka kita harus mendustakannya.

Al-Qur’an sendiri telah memastikan bahwa Al-Hawariyyun adalah betul-betul sahabat yang setia. Pujian Alloh Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka antara lain dengan memerintahkan kepada orang yang beriman agar mengikuti Al-Hawariyyun, sebagaimana dalam potongan ayat yang artinya sebagai berikut:

Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia (Al-Hawariyyun) : "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?" Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah penolong-penolong agama Allah", lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.” (QS. Ash-Shaaf [61] : 14)

Juga di dalam firman-Nya:

Artinya : ”Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)."(QS. Ali-Imran [3]: 52-53)

Maka apakah mungkin dari segolongan orang yang Alloh telah memuji mereka dan memerintahkan kita untuk mencontohnya ada yang berkhianat kepada Alloh dan Rosul-Nya ? Al-Qur’an dan As-Sunnah sama sekali tidak pernah menyebutkan bahwa di antara kalangan Al-Hawariyyun ada yang berkhianat. Selain itu, apakah masuk di akal bila orang yang telah digelari sebagai sahabat-sahabat SETIA melakukan pengkhianatan terhadap Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam ??

Lalu bagaimanakah penjelasan mengenai Hawariy yang diserupakan dengan Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam dan menggantikan posisi beliau untuk disalib ?

Berikut ini penjelasan Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kajian rutin hari Sabtu yang saya ceritakan ulang secara ringkas dengan bahasa saya sendiri :

Mengenai QS. An-Nisa’:157 tentang kisah penyaliban Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam, terdapat riwayat di dalam An-Nasaai dan Ibnu Abi Hatim yang menceritakan tafsir dari Ibnu ’Abbas rodliyallohu ’anhumaa secara mauquf (riwayat yang berakhir pada sahabat) {Ust. Abdul Hakim menilai sanadnya jayyid } bahwa tatkala Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam dan Al-Hawariyyun berada di dalam suatu rumah dan dikepung oleh tentara Romawi yang ingin menangkap dan menyalib Nabi ’Isa, Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam bersabda,”Siapa yang mau diserupakan wajahnya denganku, dan aku menjamin baginya surga ?

Maka salah seorang Hawariy yang paling muda (wallohu a’lam, Ust. Abdul Hakim tidak menyebutkan namanya) berkata,”SAYA!!”.

Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam mengulang kalimatnya sampai tiga kali, dan Hawariy termuda tersebut tetap mengajukan diri. Maka Hawariy termuda tersebut diserupakan wajahnya dengan wajah Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam, sementara Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam diangkat oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala ke langit dengan disaksikan oleh Al-Hawariyyun.

Ketika tentara Romawi mendobrak pintu rumah dan mencari ’Isa (tentara Romawi dan kaum Bani Isra’il tidak mengetahui wajah ’Isa secara pasti karena beliau selalu berda’wah dengan berpindah-pindah/berkeliling) Hawariy termuda tadi mengaku sebagai Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam, maka dia pun ditangkap dan disalib.

Berdasarkan penjelasan Ust. Abdul Hakim tersebut, kita mengetahui bahwa Hawariy tersebut disalib karena memang ia mengajukan diri secara sukarela dan ikhlas mengharapkan pahala dari Alloh untuk diserupakan dengan Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam dan disalib, dan BUKAN KARENA BERKHIANAT. (Lihat juga Qoshoshul Anbiyaa' karya Ibnu Katsir Bab Kisah Nabi 'Isa alaihish-sholaatu was sallam).

Kisah ini mengingatkan saya kepada kisah ’Ali bin Abi Thalib rodliyallohu ’anhu, yang menggantikan posisi Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam di tempat tidur beliau ketika beliau bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq rodliyallohu ’anhu berhijrah ke Madinah.

Demikian kurang lebih yang bisa saya sampaikan tentang kisah penyaliban orang yang diserupakan dengan Nabi ’Isa ’alaihish-sholaatu was salam, sebagai upaya untuk men-tashfiyyah umat Islam dari cerita-cerita yang terkadang berlawanan dengan nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tulisan saya ini banyak mengambil manfaat dari penjelasan Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat Hafidhahulloh pada kajian rutin hari Sabtu di Krukut, Gajah Mada, Jakarta Pusat pada tanggal 15 Rabiul Awwal 1429 H (22 Maret 2008).

Bila dalam penyampaian saya ada kekeliruan, maka kesalahan itu semata-mata dari diri saya sendiri dan dari syaithon. Apabila terdapat kebenaran, maka itu datangnya dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Footnote:

[1]. Mereka menyebut Isa putera Maryam itu Rasul Allah ialah sebagai ejekan, karena mereka sendiri tidak mempercayai kerasulan Isa itu.

[2].Ayat ini adalah sebagai bantahan terhadap anggapan orang-orang Yahudi, bahwa mereka telah membunuh Nabi Isa ’alaihish-sholaatu was salam

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

18 April 2008

FILE 47 : ‘AGAMA’ Ahmadiyyah (LAGI)

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

.

‘AGAMA’ Ahmadiyyah (LAGI)

.

Pada tanggal 16 April 2008, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) memutuskan bahwa kelompok Ahmadiyyah menyimpang dari Islam, harus dilarang dengan SKB tiga menteri dan Ahmadiyyah harus menghentikan seluruh aktivitasnya. Keputusan tersebut diambil setelah Ahmadiyyah diberikan jangka waktu 3 (tiga) bulan -terhitung 15 Januari 2008- untuk membuktikan 12 poin pernyataan tentang aqidahnya.

Yang menarik, tanggapan masyarakat (khususnya muslim) terhadap keputusan Bakor Pakem di atas amat beragam, antara pro dan kontra. Padahal sikap Islam terhadap jenis kepercayaan seperti Ahmadiyyah ini amatlah jelas. Ambillah missal kejadian serupa pada Lia Aminudin (Lia Eden) dan Ahmad Mushaddeq. Ketika itu umat Islam Indonesia (baik yang bener-bener, maupun yang cuma “KTP”) sepakat dan satu suara (kecuali para pengikut ajarannya dan pendukung JIL) dalam menyikapi bahwa kedua kelompok tersebut sesat dan harus dilarang/dibubarkan. Adanya pro kontra dalam menyikapi keputusan Bakor Pakem terhadap Ahmadiyyah di atas patut dipertanyakan.

Saya ingin mengajak antum (anda) –saudaraku sesama muslim-, untuk bersama-sama berpikir. Jika kita cermati tiga kelompok di atas (Ahmadiyyah, Ahmad Mushaddeq dan Lia Eden), dapat kita simpulkan bahwa akar kesesatan mereka adalah sama, yakni MENGAKUI ADANYA NABI SETELAH NABI MUHAMMAD Shollallohu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam. TIDAK SAMAR LAGI AKAN HAL INI kecuali orang-orang yang dibutakan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Perbedaan Ahmadiyyah dengan dua kelompok lainnya (Lia Eden dan Ahmad Mushaddeq) yang selama ini telah banyak menipu dan rancu di masyarakat (terutama muslim) adalah mereka masih mengakui Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam sebagai Khotamun Nabiyyin. Sementara Mirza Ghulam Ahmad hanyalah mursyid (imam), pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Sifat pembawa berita gembira dan pemberi peringatan tidaklah dilekatkan kecuali kepada para Nabi, sebagaimana disebutkan di banyak tempat dalam Al-Qur’an. Lihat QS. Al-Baqarah: 119, Al-Maa-idah: 19, Al-A’raaf: 188, Huud: 2, Al-Isra’: 105, Al-Furqan: 56, Saba’: 28, dan Faathir: 34.

Pernyataan kelompok Ahmadiyyah bahwa Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam adalah Khotamun Nabiyyin perlu diklarifikasi. Apa maksud perkataan mereka tentang Khotamun Nabiyyin itu ?

Pada kajian rutin Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat di Krukut, Gajah Mada, Jakarta Pusat, pada bulan Maret 2008 yang lalu, beliau menceritakan dialog empat mata antara beliau dengan seorang anggota Ahmadiyyah. Orang tersebut menyatakan dalam dialog bahwa dia meyakini bahwasanya Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam adalah Khotamun Nabiyyin sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Ahzab: 40. Namun kalimat Khotamun Nabiyyin tersebut dia tafsirkan dengan Cincin/Perhiasan Para Nabi, karena salah satu makna khotamun dalam Bahasa ’Arab adalah cincin atau perhiasan (Lihatlah kesesatan yang timbul akibat memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa mengikuti metode pemahaman para shohabat rodliyallohu ’anhum jamii’an dan orang yang mengikuti mereka dengan baik. BAGAIMANA SEHARUSNYA ?). Dengan demikian, menurut dia Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam memang Khotamun Nabiyyin, bukan PENUTUP PARA NABI tapi PERHIASAN PARA NABI.

Oleh karena itu kita dapat memahami bahwa sesungguhnya Ahmadiyyah masih mengakui adanya Nabi setelah Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam, walaupun mereka menyangkalnya. Karena istilah Nabi itu telah mereka samarkan dan mereka pelintir dengan istilah mursyid (imam), pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.

Wahai kaum muslimin, bukankah hal ini jelas-jelas menunjukkan kesesatan pengikut Ahmadiyyah YANG SUDAH TEGAK HUJJAH ATASNYA, sebagaimana sesatnya para pengikut Musailamah Al-Kadz-dzab dan Al-Aswad al-'Ansyi yang telah diperangi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq Rodliyallohu ’anhu ?

Seandainya Ahmadiyyah dengan tegas menyatakan kelompoknya sebagai suatu AGAMA/ALIRAN KEPERCAYAAN yang TERPISAH DARI ISLAM, masalahnya akan berhenti di sini. Toh negara kita, Indonesia, juga telah menjamin dan melindungi kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan terhadap semua warga negaranya.

Janganlah antum (anda) menyatakan bahwa Ahmadiyyah masih merupakan suatu aliran dalam Islam sebab sama-sama meyakini kenabian Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam dan Al-Qur’an sebagai kitab suci. Kita umat Islam pun masih meyakini Nabi Musa dan Nabi ’Isa ’alaihimash sholaatu wassalam sebagai nabi serta Taurat dan Injil yang diturunkan Alloh kepada keduanya sebagai kitab suci. Namun apakah hal tersebut berarti Islam merupakan salah satu aliran dalam agama Yahudi atau Nashrani ?

Satu hal lagi yang perlu kita cermati, bahwa Ahmadiyyah di Indonesia telah terbagi menjadi dua macam aliran, AHMADIYYAH QODIYAN dan AHMADIYYAH LAHORE. Berbagai penjelasan di atas lebih cenderung tertuju kepada Ahmadiyyah Qodiyan.

Untuk Ahmadiyyah Lahore, berdasarkan penjelasan di situsnya, aliran Ahmadiyyah yang ini masih mengakui Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam sebagai Nabi TERAKHIR, dan TIDAK ADA Nabi lagi sesudahnya. Sedangkan Mirza Ghulam Ahmad hanyalah seorang Mujaddid (?). Melihat penjelasan dari situsnya tersebut, SEPINTAS aliran Ahmadiyah Lahore memang belum menyimpang dari prinsip pokok Islam. Namun cukuplah kesesatan aliran yang satu ini dari pena’wilannya kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pendapat mereka sendiri (Antum bisa buktikan langsung di situs mereka), tanpa mengikuti pemahaman yang shohih. Hal ini akan tampak bila kita mencermati artikel yang membahas keyakinan mereka terhadap Mirza Ghulam Ahmad, maka kita akan menjumpai bentuk penyimpangan aqidah lain yang SAMA FATALnya.

Penyimpangan tersebut antara lain terdapat pada aqidah mereka bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Al-Mahdi yang dijanjikan Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam dalam haditsnya. Bagaimana mungkin keyakinan seperti itu bisa timbul setelah kita mengetahui latar belakang Mirza Ghulam Ahmad ? Kita juga mengetahui bahwa yang dimaksud Al-Masih dalam hadits yang dimaksud jelas-jelas adalah Nabi ’Isa ’alaihish sholaatu wassalam. Apakah Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi ’Isa ?

Di samping itu, aliran Ahmadiyah Lahore juga berkeyakinan bahwa Nabi 'Isa 'alaihish sholaatu was sallam telah meninggal dunia 2000 tahun yang lalu (?) dan dimakamkan di Srinagar, Kashmir (?).

Aqidah ini jelas-jelas menyelisihi aqidah Islam yang berasal dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shohih. Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah mengabarkan di berbagai tepat dalam Al-Qur'an, juga dalam berbagai hadits Nabi Shollallohu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam yang shohih, bahwasanya Nabi 'Isa 'alaihish sholaatu was sallam telah diangkat ke langit oleh Alloh Subhanahu wa Ta'ala (saat orang-orang Yahudi merencanakan makar membunuhnya), masih hidup hingga sekarang serta di akhir zaman kelak akan turun untuk membunuh Al-Masih Ad-Dajjal.

Masalah ini serupa dengan realita yang terjadi pada umat Kristen Protestan dan Katholik di Indonesia. Keduanya dipandang sebagai dua agama yang berbeda sejak negara Indonesia berdiri. Padahal jika kita mau mencermati, ternyata POKOK AQIDAH MEREKA SAMA, yaitu meyakini bahwa ’Isa Al-Masih ’alaihish sholaatu wassalam sebagai Tuhan (atau Anak Tuhan dalam istilah mereka). Lalu apa yang membedakan keduanya, padahal POKOK AQIDAHNYA SAMA ?

Saya menanyakan masalah ini kepada kenalan saya yang menganut agama Kristen Protestan. Dia menerangkan bahwa salah satu perbedaan antara agama Kristen Protestan dengan agama Katholik adalah aqidah mereka terhadap Maryam, ibunda ’Isa Al-Masih ’alaihish sholaatu wa salam. Di dalam aqidah agama Katholik, Maryam dikultuskan sedemikian agung; sementara agama Kristen Protestan berkeyakinan bahwa Maryam hanyalah wanita biasa (sebagaimana Maria Magdalena) dan tidak mendapatkan pengkultusan tertentu.

Hal di atas akan sama halnya bila diterapkan kepada Ahmadiyyah, baik yang Lahore maupun Qodiyan.

Alangkah baiknya bila aliran Ahmadiyah Lahore ini ikut DILARANG oleh Pemerintah, untuk mencegah aliran yang satunya (Ahmadiyyah Qodiyan) berkembang biak di Indonesia dengan mengatasnamakan AHMADIYYAH LAHORE (Bertaqiyyah/berbohong ala Syi’ah).

Saya berharap sedikit tulisan singkat ini dapat memberikan sedikit pemahaman mengenai hakikat Ahmadiyyah yang sebenarnya. Antum juga bisa mengklik di sini untuk tahu lebih banyak tentang Ahmadiyyah, dari web-sitenya langsung (Ahmadiyyah Qodiyan atau Ahmadiyyah Lahore), atau dari pengakuan salah satu mantan pengikut jama’ah Ahmadiyyah.

Sesungguhnya hanya Alloh Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang berkuasa memberikan hidayah taufiq, dan Dia memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Alloh adalah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

17 April 2008

FILE 46 : Yang Bukan Bid'ah

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……

Yang Bukan Bid’ah

Disusun: Ummu Ziyad

Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar

.

Banyak perkataan terlontar, dari orang yang belum paham (atau mungkin salah paham) tentang bid’ah. Inti perkataannya menunjukkan bahwa bid’ah itu sesuatu yang boleh dikerjakan. Untuk itulah pada artikel ini penulis akan membahas berbagai kerancuan yang sering terdengar di kalangan masyarakat. Dan untuk memperjelas artikel sebelumnya, maka pada artikel ini insya Allah akan disertai beberapa contoh. Semoga Allah memudahkan.

Untuk memudahkan pemahaman, berikut ini beberapa poin penting yang ada pada artikel sebelumnya dan masih akan dibahas kembali pada artikel ini.

  1. Makna bid’ah secara bahasa diartikan mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
  2. Makna bid’ah secara istilah adalah suatu cara baru dalam beragama yang menyerupai syari’at dimana tujuan dibuatnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.
  3. Tiga unsur yang selalu ada pada bid’ah adalah; (a) mengada-adakan, (b) perkara baru tersebut disandarkan pada agama, (c) perkara baru tersebut bukan bagian dari agama.
  4. Setiap bid’ah adalah sesat.

Kerancuan Pertama: Antara Adat dan Ibadah

Dalam pembahasan tentang bid’ah, terdapat kerancuan (syubhat) yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang kurang jeli semacam kata-kata, “Kalau begitu, Nabi naik onta, kamu naik onta juga saja.” atau kata-kata “Ini bid’ah, itu bid’ah, kalau begitu makan nasi juga bid’ah, soalnya gak ada perintahnya dari nabi”, dan komentar-komentar senada lainnya.

Jawaban

Saudariku… perlulah engkau membedakan, antara sebuah ibadah dan sebuah adat. Sebuah amalan ibadah, hukum asalnya adalah haram, sampai ada dalil syar’i yang memerintahkan seseorang untuk mengerjakan. Sedangkan sebaliknya, hukum asal dalam perkara adat adalah boleh, sampai ada dalil yang menyatakan keharamannya.

Contoh dalam masalah ibadah adalah ibadah puasa. Hukum asalnya adalah haram. Namun, karena telah ada dalil yang mewajibkan kita wajib puasa Ramadhan, atau dianjurkan puasa sunnah senin kamis maka ibadah puasa ini menjadi disyari’atkan. Namun, coba lihat puasa mutih (puasa hanya makan nasi tanpa lauk) yang sering dilakukan orang untuk tujuan tertentu. Karena tidak ada dalil syar’i yang memerintahkannya, maka seseorang tidak boleh untuk melakukan puasa ini. Jika ia tetap melaksanakan, berarti ia membuat syari’at baru atau dengan kata lain membuat perkara baru dalam agama (bid’ah).

Contoh masalah adat adalah makan. Hukum asalnya makan adalah halal. Kita diperbolehkan (dihalalkan) memakan berbagai jenis makanan, misalnya nasi, sayuran, hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah. Di sisi lain, ternyata syari’at menjelaskan bahwa kita diharamkan untuk memakan bangkai, darah atau binatang yang menggunakan kukunya untuk memangsa. Jadi, meskipun misalnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan nasi, bukan berarti orang yang makan nasi mengadakan bid’ah. Karena hukum asal dari makan itu sendiri boleh.

Catatan Penting!

Akan tetapi di sisi lain, ada orang yang mengkhususkan perkara adat ini menjadi ibadah tersendiri. Ini adalah terlarang. Maka, harus dilihat kembali penerapan dari kaedah bahwa hukum asal sebuah ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mensyari’atkannya.

Contoh dalam masalah ini adalah masalah pakaian. Pakaian termasuk perkara adat, dimana orang diberi kebebasan dalam berpakaian (tentu saja dengan batasan yang telah dijelaskan dalam Islam). Namun, ada orang-orang yang mengkhususkan cara berpakaian dengan alasan bahwa cara berpakaian tersebut diatur dalam Islam, sehingga meyakininya sebagai ibadah. Contohnya adalah harus menggunakan pakaian terusan bagi wanita atau harus menggunakan pakaian wol (biasa dilakukan orang-orang sufi). Karena perkara adat ini dijadikan perkara ibadah tanpa didukung oleh dalil-dalil syar’i, maka cara berpakaian dengan keyakinan semacam ini menjadi terlarang.

Berbeda dengan orang yang menjadikan perkara adat atau perkara mubah lainnya menjadi bernilai ibadah dan menjadikannya sebagai perantara bagi sebuah ibadah yang disyari’atkan atau melakukan perkara adat tersebut sesuai dengan tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ini diperbolehkan. Contoh dalam masalah ini adalah makan. Makan adalah perkara adat. Hukum asalnya adalah diperbolehkan. Namun perkara adat ini dapat menjadi ibadah ketika seseorang makan dengan cara-cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam (baca artikel Adab Makan di muslimah.or.id) atau makan ini dapat menjadi ibadah ketika seseorang niatkan untuk melakukan ibadah lain yang memang telah disyari’atkan. Misalnya, seseorang makan agar kuat melakukan sholat dzuhur, atau seorang bapak sarapan pagi dengan niat kuat bekerja dalam rangka memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Contoh lainnya adalah tidur. Tidur memang dapat menjadi ibadah ketika seseorang tidur sesuai tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat artikel Adab Tidur di muslimah.or.id) atau ketika diniatkan tidur itu untuk melakukan ibadah lain yang memang telah ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya tidur di awal malam agar kuat sholat tahajjud di sepertiga malam yang terakhir.

Semoga Allah mempermudah kita untuk memahami dua hal yang berbeda ini! Sungguh indah perkataan Abul Ahwash ketika ia berkata kepada dirinya sendiri,

“Wahai Sallam, tidurlah kamu menurut sunnah. Itu lebih baik

daripada kamu bangun malam untuk melakukan bid’ah.”

(Al Ibanah no. 251, Lihat Membedah Akar Bid’ah).

Kerancuan Kedua: Antara Bid’ah dan Mashalih Mursalah

Kerancuan lain yang sering muncul adalah berkaitan dengan hal-hal yang biasa dipergunakan dalam agama, semacam mikrofon, mushaf al-Qur’an, sekolah Islam dan lain sebagainya. Seakan-akan perkara-perkara tersebut sesuai dengan ciri-ciri bid’ah, terutama karena perkara tersebut disandarkan pada agama. Sehingga ada orang yang berkata, “Berarti pake mik sewaktu adzan ga boleh dong. Kan zaman nabi ga pake mik..”

Jawaban

Pada poin ini, perlu bahasan yang lebih rinci lagi berkaitan dengan mashalih mursalah. Syathibi dalam kitabnya al I’tishom telah menjelaskan perbedaan antara mashalih mursalah dengan bid’ah yang akan dapat dimengerti oleh orang yang mau memahami. Berikut ini perbedaan tersebut dengan penyesuaian dari penulis.

Pertama,

Ketentuan mashalih mursalah sesuai dengan maksud-maksud syari’at, sehingga dalam penetapannya tetap memperhatikan dalil-dalil syari’at.

Misalnya: pengumpulan mushaf Al Qur’an. Karena pengumpulan ini sifatnya sesuai dengan maksud syari’at dan sesuai dengan dalil-dalil syari’at maka pengumpulan mushaf Al-Qur’an bukanlah bid’ah walaupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mengumpulkannya. Karena pengumpulan mushaf Al-Qur’an bertujuan untuk menjaga sumber syari’at. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al Hijr [15]: 9)

Namun coba perhatikan, terdapat perkara yang dibuat-buat, dimana seseorang mulai menyebutkan ‘khasiat-khasiat’ baru dari baris-baris yang ada dalam lembaran Al Qur’an. Sehingga orang mencetak dalam satu lembar harus ada 18 baris atau 16 baris dengan keyakinan-keyakinan yang tidak ada dalilnya dalam syari’at. Maka yang seperti ini tidak termasuk dalam mashalih mursalah.

(Contoh yang lainnya antara lain ILMU NAHWU dan ILMU SHOROF untuk mempelajari bahasa Arab [tambahan dari saya (Sa'ad) sendiri] )

Kedua,

Mashalih mursalah lingkupnya adalah pada perkara-perkara yang dapat dipahami oleh akal.

Contohnya adalah penggunaan mikrofon di masjid-masjid. Kita ketahui mikrofon berguna untuk memperjelas suara sehingga dapat didengar sampai jarak yang jauh. Hal ini termasuk perkara adat dimana kita boleh mempergunakannya. Hal ini semisal kacamata yang dapat memperjelas huruf-huruf yang kurang jelas bagi orang-orang tertentu. Sebagaimana perkataan Syaikh As Sa’di rahimahullah kepada orang berkacamata yang mengatakan bahwa pengeras suara adalah bid’ah, beliau berkata, “Wahai saudaraku, bukankah kamu tahu bahwa kaca mata dapat membuat sesuatu yang jauh menjadi dekat dan memperjelas pandangan. Demikian juga halnya pengeras suara, dia memperjelas suara, sehingga seorang yang jauh dapat mendengar, para wanita di rumah juga bisa mendengar dzikrullah dan majlis-majlis ilmu. Jadi mikrofon merupakan keikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, maka hendaknya kita menggunakannya untuk menyebarkan kebenaran.” (Mawaqif Ijtima’iyyah min Hayatis Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Muhammad As Sa’di dan Musa’id As Sa’di. Lihat Majalah Al Furqon edisi 5 tahun 7)

Berbeda halnya dengan bid’ah. Amalan-amalan bid’ah tidak dapat dipahami oleh akal. Hal ini dikarenakan bid’ah merupakan amalan ibadah yang berdiri sendiri. Padahal tidaklah amalan ibadah dapat dipahami oleh akal. Semisal, mengapa sholat fardhu ada lima, dan mengapa jumlah raka’aatnya berbeda-beda. Atau mengapa ada dzikir yang berjumlah 33. Maka semua ibadah ini tidak dapat dipahami maksudnya oleh akal.

Ketiga,

Mashalih mursalah diadakan untuk menjaga perkara yang sifatnya vital (dharuri), serta menghilangkan permasalahan berat yang biasanya muncul dalam perkara agama.

Perkara dharuri yang dimaksud misalnya adalah agama. Sebagaimana contoh pertama, maka penyusunan mushaf Al Qur’an kita dapat pahami berkaitan untuk menjaga agama agar kemurnian Al Qur’an tetap terjaga.

Coba bedakan dengan bid’ah. Sebagaimana penulis sebutkan pada artikel sebelumnya, bahwa bid’ah dibuat untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah sehingga bid’ah justru menambah beban bagi seorang muslim. Contohnya adalah mengadakan peringatan isra mi’raj, maulid atau yang semacamnya sehingga menambah beban seseorang untuk mengeluarkan dana dan tenaga untuk mengadakan acara tersebut. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan untuk merayakan hal-hal tersebut.

Kerancuan Ketiga: Antara Bid’ah dan Niat Baik

Setelah melihat contoh-contoh mashalih mursalah di atas, mungkin saja terbersit kembali di benak seseorang: “Tapi kan aku niatnya baik…”

Jawaban:

Saudariku…perlulah kita ketahui berbagai macam dalih dan kedurhakaan Yahudi dikarenakan dalih niat baik, namun mereka menghalalkan segala cara untuk niat baiknya itu. Sungguh banyak hadits yang menjelaskan bahwa sekedar niat baik itu tidaklah cukup. Niat baik (ikhlas) itu harus dibarengi dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu contohnya adalah dalam hadits berikut.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang tiga orang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala mereka diberitahu tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seakan-akan mereka merasa bahwa ibadah tersebut sedikit, maka mereka berkata, “Dimana kita jika dibanding dengan Nabi shalalllahu ‘alahi wa sallam? Ia telah dimaafkan dosa-dosanya oleh Allah baik yang telah lalu maupun yang akan datang.”

Seorang di antara mereka berkata, “Adapun aku, maka aku akan sholat malam selama-lamanya.”

Yang lainnya berkata, “Saya akan puasa dahr(setiap hari) dan aku tidak akan pernah buka.”

Dan berkata yang lainnya, “Aku akan menjauhi para wanita, dan aku tidak akan menikah selama-lamanya.”

Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Apakah kalian yang telah berkata demikian dan demikian? Ketahuilah demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah daripada kalian, namun aku berpuasa dan berbuka, aku sholat dan tidur, dan aku menikahi para wanita. Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari no 5063 & Muslim 1401)

Lihatlah kesungguhan dan niat baik ketiga orang tersebut dalam beribadah. Namun, niat mereka langsung dibantah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan jika mereka tetap melakukan niatan tersebut, maka sama saja mereka membenci sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena niat baik mereka tidak diikuti dengan cara yang benar yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka yang benar dalam sebuah ibadah adalah tidak sekedar memperhatikan niat semata, namun juga cara melakukannya. Sebagaimana dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyad ketika menafsirkan firman Allah,

Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al Mulk: 2)

Beliau rahimahullah berkata, “Maksudnya, ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai dengan sunnah Rasulullah.” (Hilyatul Auliya’ : VIII/95. Lihat Membedah Akar Bid’ah)

Kerancuan Keempat: Antara Bid’ah dan Maksiat

Banyak orang menganggap seseorang melakukan bid’ah lebih baik daripada seseorang melakukan maksiat. Mereka menganggap bahwa orang yang melakukan bid’ah itu sudah dekat dengan agama, jadi tidak perlu dipermasalahkan dengan amalan-amalannya. “Daripada mencuri atau minum minuman keras”, kata mereka.

Jawaban:

Sungguh pemikiran seperti ini harus dikoreksi dengan beberapa alasan:

Pertama, karena telah banyak hadits yang menjelaskan bahayanya bid’ah, padahal orang yang melakukan bid’ah tersebut menganggap mereka melakukan ibadah dengan penuh kesungguhan yang sangat. Akan tetapi amat disayangkan, amalan mereka tidak diterima bahkan mendapat adzab dari Allah Subhanhu wa Ta’ala. Sebagaimana Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam jelaskan tentang kelompok khawarij yang salah satu ciri mereka adalah sangat banyak beribadah,

“Salah seorang dari kalian merasa shalatnya lebih rendah nilainya daripada shalat mereka (kelompok khawarij), puasanya lebih rendah nilainya daripada puasa mereka, tilawahnya lebih rendah nilainya daripada tilawah mereka. Mereka membaca Al Qur’an tetapi tidak melewati kerongkongan mereka (tidak memahaminya). Mereka telah melesat keluar dari Islam sebagaimana anak panah melesat dari busurnya…” (HR. Bukhari)

Kedua, kita ketahui orang yang melakukan maksiat menyadari bahwa kegiatan yang dilakukannya terlarang dalam agama dan berdosa, sehingga ketika diingatkan mereka mengakui kesalahannya tersebut walau belum mampu meninggalkan maksiat yang dilakukannya. Berbeda dengan pelaku bid’ah, mereka menganggap bahwa amalan yang mereka lakukan adalah ibadah, apalagi mereka menjalankannya dengan penuh kesungguhan. Sehingga jika diperingatkan, mereka akan sulit meninggalkannya karena menganggap itu adalah sebuah kebenaran. Atau ketika menyadari bahwa itu adalah perkara yang baru dalam agama maka mereka mengatakan bahwa amalan (bid’ah) yang mereka lakukan adalah bid’ah hasanah, padahal tidaklah maksud dari kata-kata tersebut melainkan mengatakan semua bid’ah adalah hasanah.

Contoh dalam masalah ini adalah ketika orang melakukan kemaksiatan mencuri, ia menyadari ada larangannya dalam Islam. Maka, ia menyadari sedang melakukan dosa. Namun, jika seseorang diperingatkan untuk tidak melakukan yasinan, maka serta merta kerenyit muka tak senang muncul dan mengatakan, “Masa baca Qur’an dilarang.”Padahal maksud dari orang yang memberikan nasihat, bukan melarang seseorang membaca Al-Qur’an. Namun yang terlarang adalah mengkhususkan membaca surat Yasin pada hari-hari tertentu dengan keyakinan itu adalah ibadah. Benarlah ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri,

“Bid’ah lebih disukai iblis daripada maksiat.

Sebab maksiat orang mudah untuk meninggakannya,

sedang bid’ah orang sulit untuk meninggalkannya.”

(dinukil dari Musnad Ibnul Ja’d oleh syaikh Ali Hasan)

Kerancuan Kelima: Bid’ah Tarawih?

Satu lagi kerancuan yang sering kali muncul ketika membahas tentang bid’ah adalah ibadah sholat tarawih. Banyak orang mengira, tarawih tidak pernah dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkeyakinan demikian, apalagi dengan adanya perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu ketika melihat orang-orang beribadah sholat tarawih berjama’ah, ia berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”

Jawaban:

Sesungguhnya wahai saudariku… Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan ibadah sholat malam di bulan Ramadhan, baik sendirian maupun berjama’ah. Sebagaimana dalam hadits berikut,

عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى في المسجد ذات ليلة، فصلى بصلاته ناس، ثم صلى من القابلة فكثر الناس، ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله الله صلى الله عليه و سلم ، فلما أصبح قال: (قد رأيت الذي صنعتم، فلم يمنعني من الخروج إليكم إلا أني خشيت أن تفرض عليكم) قال وذلك في رمضان.

“Dari sahabat ‘Aisyah -radhiallahu ‘anha- bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam menjalankan sholat di m asjid, maka ada beberapa orang yang mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam selanjutnya beliau shalat lagi, dan orang-orang yang mengikuti shalat beliau-pun bertambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar menemui mereka, pada pagi harinya beliau bersabda: “Sungguh aku telah mengetahui apa yang kalian lakukan (yaitu berkumpul menanti shalat berjamaah ) dan tidaklah ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian, melainkan karena aku khawatir bila (shalat tarawih) diwajibkan atas kalian.” Dan itu terjadi pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebenarnya dalil ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa tarawih bukanlah bid’ah. Namun, untuk menjawab kerancuan yang timbul dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu, maka jawabannya bisa dari dua sisi:

  1. Maksud Umar adalah bid’ah dengan makna secara bahasa, yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Hal ini disebabkan sejak wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sholat tarawih berjama’ah tersebut belum pernah dilakukan kembali ketika masa kekhalifahan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.
  2. Jika pun maksud perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu tersebut bid’ah secara istilah, maka perkataan tersebut tidaklah dapat diterima karena bertentangan dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كل بدعة ضلالة

“Seluruh bid’ah sesat…” (HR. Muslim 2/592)

Sungguh tidak akan habis kerancuan yang dilontarkan ketika seseorang lebih mengikuti hawa nafsunya daripada kebenaran yang telah dijelaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dengan kaedah-kaedah yang disebutkan pada artikel ini dapat membentengi kita dari kerancuan lain yang menyambar-nyambar hati.

Allah Ta’ala berfirman,

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.

(Al Maidah: 3)

Ingatlah pula, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda bersabda,

Tidak tersisa sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepadamu.” (HR. Thabrani, sanadnya shahih).

Maka cukupkanlah dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena yang demikian juga sudah sangat menyibukkan jika kita telah mengetahui dan mengamalkannya. Ataupun jika baru sedikit sunnah Nabi yang kita ketahui, maka istiqomahlah menjalankannya, karena yang demikian adalah amal yang paling dicintai Allah (HR. Bukhari dan Muslim). Ya Allah, berikanlah ketakwaan pada diri kami, bersihkanlah jiwa kami dari hawa nafsu karena Engkau-lah sebaik-baik pembersih jiwa.

Maraji’:

  1. Kajian kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad oleh Al Ustadz Aris Munandar
  2. Membedah Akar Bid’ah. Syaikh Ali Hasan Al Halabi Al Atsari. Pustaka Al Kautsar cet ke-4 2005
  3. Ringkasan Al I’tisham Imam Asy Syathibi, Syaikh Abdul Qadir As Saqqaf. Media Hidayah cet ke-1 2003
Sumber: muslimah.or.id .
Link Terkait :

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 45 : Ayat - Ayat Cinta

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

…… .

AYAT-AYAT CINTA??

Oleh

Al-Ustadz Abu Umar Basyir Al-Maidani*)

.

Film ayat-ayat Cinta meledak! Ini isu terbaru, awal-awal tahun 2008. Begitu saya paparkan, dalam salah satu bab buku terbaru saya, FENOMENA AYAT-AYAT SETAN. Buku ini bukan membahas soal Ayat-Ayat Cinta, dalam versi novel atau filmnya. Tapi membahas betapa banyak ayat (tanda-tanda keberadaan) setan di sekitar kita, yang tidak kita sadari. Film Ayat-ayat Cinta, masuk bahasan dalam buku itu. Namun dalam tulisan ini, saya ingin berbicara secara khusus tentang film fenomenal, calon peraih piala citra tersebut. Maka, izinkan saya mengerucutkan pembahasan sejenak, ke topik penting ini.

Sebelum dan sesudahnya, marilah merunduk patuh pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluan mereka …”

.Mari, amati baik-baik ayat ini, mungkin untuk kesekian ratus atau kesekian ribu kali dalam hidup kita. Karena di hadapan masyarakat Indonesia sekarang sedang ditanyangkan sebuah film dengan godaan yang begitu dahsyat, untuk ditonton. Bersiap-siaplah, karena keimana kita akan diuji. Karena, sebagai insan beriman, banyak di antara kita yang mungkin merasa penasaran, “seberapa islami-kah film ini? Berbedakah dengan film-film pada umumnya?”

Rasa penasaran itu akan aman, bila diselipkan dalam benak kita saja, lalu kita lanjutkan dengan duduk ber-tafakkur, sambil membaca ayat di atas. Akan berabe, bila akhirnya memaksa kaki kita bergerak lambat-lambat, menuju bioskop!

Atau, kita pilih cara yang lebih aman. Beli VCD atau DVD-nya, lalu nikmati diam-diam. Wah, ternyata betul-betul berbeda! Dahsyat!

Berbeda, karena dalam film ini segala yang sering menjadi simbol-simbol ketaatan orang beriman diekspos nyata. Ada jilbab, ada cadar, ada pengajian, ada tartil bacaan Al-Qur’an, ada banyak nama Allah disebut-sebut. Berbeda, karena segala simbol ketaatan itu di film ini bisa disandingkan dengan nilai-nilai yang melenceng dari aturan syariat. Para ustadz menyebutnya, kefasikan. Si shalih dan si fasik –meminjam bahasa mas Prie GS dalam SMS-nya kepada saya-, bertemu dalam satu tempat. Wah, seru!

Dahsyat? Ya, dahsyat. Karena film ini bisa menggiring para wanita muslimah berjilbab lebar, bahkan sebagian bercadar, yang biasanya malu-malu berkumpul bersama kaum pria yang bukan mahram, untuk secara senyap-senyap, datang ke bioskop. Setidaknya, itulah yang terlihat pada penayangan perdana film ini, di Istora Senayan Jakarta. Amboi…apa yang sebenarnya terjadi?

Sebenarnya, itu bukan apa-apa. Allah sedang menguji kita, sebagaimana Allah memang selalu menguji keimanan para hamba-Nya. Dahulu, ketika wanita berjilbab syar’i masih langka, ujian itu juga datang bertubi-tubi. Saat ujian yang muncul berupa hujatan, kecaman, hingga didepak dari sekolahan, kebanyakan wanita berjilbab lulus ujian. Kekerasan selamanya akan sulit menggertak kaum beriman untuk beringsut dari ketegaran di atas syariat. Tapi saat jilbab ditoleransi, kaum selebritis ikut-ikutan berjilbab, ada pula wanita berjilbab yang menjadi juara nyanyi, bermain sinetron, dan muncul dalam lokasi-lokasi yang kuyup dengan maksiat, banyak yang akhirnya gagal dalam lulus ujian.

Simbol-simbol ketaatan religius itu kini sedang mendapat ujian baru. Celakanya, ujian itu berupa tayangan hiburan yang memanjakan banyak orang. Saat sekian banyak orang mengapresiasi film setengah kolosal ini, memuji dan menyanjungnya, sebagian bersyukur dan malah bersujud syukur, sebagai juru dakwah, sebagai santri, saya malah melihat banyak hal yang perlu diwaspadai pada film ini. Bisa jadi, ini aji menentang arus. Bisa jadi, sikap ini akan menuai dompratan banyak orang. Tapi izinkanlah seorang santri berbicara, demi kepentingan orang-orang seagamanya. Wahai kaum beriman, waspadalah!

Ayat-ayat Cinta, menurut Kang Abik –penulis novel megabest seller, Ayat-ayat Cinta-, artinya tanda-tanda kehadiran cinta. Tapi saya mengkhawatirkan tema lain yang menyeruak diam-diam di belakangnya, ayat-ayat setan. Karena tanda-tanda kehadiran setan itu begitu jelas dan nyata. Saya berani bersumpah, Kang Abik pasti juga merasakan hal itu. Ia sarjana lulusan Al-Azhar, tentu tahu betul aturan syariat. Ketika novelnya difilmkan, pasti Kang Abik merasa bergelayut di antara dua tali panjang: satu tali berisi pundi-pundi rupiah yang digantung rendah. Satu tali lagi berisi aturan-aturan syariat yang harus beliau gengam erat. Untuk bisa memperoleh pundi-pundi rupiah, dengan sebisa mungkin mencengkeram aturan syariat, Kang Abik harus menghadapi tiga pihak sekaligus: produser, sutradara, dan masyarakat muslim Indonesia. Tapi Kang Abik mengaku gagal. Ia tidak puas dengan film tersebut. Sementara banyak umat Islam yang berusaha menegakkan syariat Islam dan berada di barisan generasi kebangkitan Islam, sudah semenjak lama, dari saat novelnya itu menggeliat di pasar, dan dari saat Kang Abik menyepakati difilmkannya novel tersebut, mereka sudah beranggapan, berkeyakinan dan berpandangan, bahwa Kang Abik sudah terperosok. Bangkitlah Kang. Sejuta umat sedang megap-megap mencari selamat [1]. Tapi ‘penyelamat’ itu kini sedang mampir di tangan Anda. Film “Ayat-ayat Cinta” tak mungkin dibubarkan. Tapi fenomenanya yang membius banyak orang itu, tentu bisa Anda minimalisir ke level yang jauh lebih aman.

“Letak bius yang berbahaya pada film ini justru pada label religius di belakangnya. Bila sebuah film tak diembel-embeli sebagai film religius atau islami, ia akan ditonton sebagaimana film-film lain. Soal film itu begitu bagus, menyentuh dan sangat membangun, itu soal lain. Tapi bila sudah diberi imbuhan kata religius atau islami, maka ia akan dinikmati sebagai produk agama.” begitu di antaranya saya ungkapan, dalam buku saya.

Di sini, saya ingin menegaskan hal itu kembali. Memang, tak ada kata resmi “religius” di lekatkan di judul film ini. Tapi tema itu begitu kental menyeruak dalam pandangan masyarakat umum. Bahkan banyak yang berkata, “Ini film paling religius hingga saat ini.”

Film Di Balik Lindungan Ka’bah yang diangkat dari novel Hamka dulu, masih belum apa-apa dibandingkan reputasi Ayat-ayat Cinta. Untuk soal komersialitas karya, Ayat-ayat Cinta lebih “Hamka” dibandingkan karya Hamka sendiri.

Namun –sekali lagi- justru ini yang semakin mengubah bius itu menjadi candu.

Sekarang, minimal, masyarakat Islam militan harus bersiap-siap untuk menganggap legal sesuatu yang mereka anggap tabu selama ini. Berhati-hatilah terhadap peringatan Allah,

يعلم خآ ئنة الأعين و ماتخفي الصدور

“Allah mengetahui pandangan mata yang khianat. Dan apa yang tersembunyi dalam hati…”.

Tentu, seperti saya ungkapkan dalam buku saya, dengan menyoroti film ini sedemikian rupa, jangan dipandang bahwa saya menganggap bahwa film ini sama sekali tak berisi faidah, hikmah atau pelajaran. Tidak, bukan itu yang saya maksud. Karena pada hakikatnya, dari setiap bergulirnya nyawa kehidupan, selalu ada hikmah. Sebuah adegan maksiat saja seringkali memberi pelajaran buat kita. Saat ibu-ibu yang kecopetan, kita mendapat pelajaran, “betapa perlunya waspada di tengah kerumunan orang banyak” Tapi toh, tak seorangpun di antara kita memilih mendapat tontonan orang kecopetan. Begitu juga dengan film ini. Inilah saat kita menyaksikan kaum militan Islam sedang kecopetan. Begitu kasihan kita melihat mereka. Dan kita berharap, kejadian itu tak perlu terulang lagi.

Sungguh, saya sangat menghargai niat baik di balik pembuatan film ini, dari mereka yang mungkin memandang ini sebagai sebuah kebajikan. Bahkan saya mengistilahkan sebagai sebuah lompatan jauh menuju religiusitas perfilman tanah air. Tapi, kita berbicara hukum yang sifatnya baku. Niat baik tak bisa mengubah yang buruk menjadi baik.

كم من مريد للحفّ لم بصبه

Berapa banyak orang yang berniat baik tetapi tidak mendapatkan kebaikan tersebut."[2]

Begitu diungkapkan oleh Ibnu Mas’ud radliallahu ‘anhu. Kepada mereka yang telah berjibaku untuk mewujudkan film ini sebagai reksi kepedulian mereka terhadap Islam, saya berdoa semoga niat baik mereka tetap diberi pahala oleh Allah. Tapi, doa itu akan saya tambahkan: semoga Allah membuka hati mereka, untuk lebih memahami kebenaran. Semoga, meski dengan langkah yang “keliru”, niat baik mereka dihargai oleh Allah dengan membuka pintu taubat yang seluas-luasnya buat mereka. Buat kita bersama.

((Disalin dari Majalah NIKAH, volume 7, No. 2 Mei-Juni 2008))

.

*) Pengajar Ponpes Al-Ukhuwah, Sukoharjo, Solo. Beliau adalah staf ahli majalah keluarga Islami NIKAH dan majalah remaja Islami Elfata, juga aktif menulis buku-buku Islami. Semoga Allah Ta’ala selalu menjaganya, keluarganya, dan kepada seluruh umat Islam.

.

Catatan kaki:


[1] Alhamdulillah. Sebenarnya, saat tulisan ini saya ketik, dan bahkan semenjak saya menulis Fenomena Ayat-Ayat Setan , saya sudah bersepakat dengan seorang teman karib saya yang juga teman karib Kang Abik saat masih mengajar di Abu Bakar, Furqan al-Hasbi, untuk bertemu. Ada banyak hal yang mau saya bicarakan dengan beliau. Sayang, kami kesulitan menemukan waktu di mana kami bertiga bias sama-sama luang. Sehingga hingga tulisan ini selesai saya ketik, kami belum juga mau bertemu. Padahal Kang Abik sedang bersiap-siap ke Hongkong dan Mesir. Saya berharap, lain waktu bisa bertemu. Tapi melalui tulisan ini, saya menitipkan ’secuil’ dari pesan saudara seiman, yang ingin saya sampaikan langsung kepada beliau. Wallahu a’lam.

[2] Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Sunan-nya nomor 210, dengan tahqiq Abdullah Hasyim Yamani. Sanadnya dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah dengan nomor 2005. Lihat Majma’uz Zawa-id I: 181.

Sumber: abuumar.com

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin

FILE 44 : Pengakuan Mantan Pengikut Ahmadiyyah

Bismillahirrohmanirrohim

Walhamdulillah, wash-sholaatu wassalamu 'ala Rosulillah Shollallohu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam

Wa ba'du

……
'Islam tak Butuh Mirza Ghulam Ahmad'

Sebut saja namanya Budi. Pria paruh baya yang tinggal di Desa Manis Lor, Kec Jalaksana, Kab Kuningan, Jawa Barat, ini menjadi anggota Jemaat Ahmadiyah pada 1983. Selama menjadi pengikut Mirza Ghulam Ahmad (MGA), dia mengaku selalu mengalami pergolakan batin.

Sekitar 25 tahun lalu, orang-orang Ahmadiyah mendatanginya, menawarkan bantuan materi. Budi yang sedang terlilit masalah ekonomi tentu saja senang.

Tapi, si pemberi bantuan mensyaratkan masuk Ahmadiyah. Tak begitu memahami hakikat Ahmadiyah, Budi mau saja dibaiat. Tapi, setelah resmi menjadi penganut Ahmadiyah, Budi mulai merasakan kejanggalan. Antara lain, soal adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Budi juga tak bisa lagi shalat di sembarang masjid, karena penganut Ahmadiyah dilarang shalat di belakang imam non-Ahmadi.

Selain itu, Budi juga diharuskan menyetorkan uang pengorbanan sebesar 10 persen dari total penghasilan setiap bulan. Sesuatu yang dinilainya memberatkan. ''Karena miskin, mereka suka 'tidak menganggap' dan sepertinya memandang sebelah mata ke saya,'' kata Budi dengan logat Sunda.

Budi juga minder karena tak mampu membeli 'kavling surga'. Padahal, hanya bila dikubur di tempat itulah, mereka mendapat jaminan masuk surga. Sudah 20 orang yang dikuburkan di sana, setelah membayar jutaan rupiah. Adanya doktrin-doktrin yang tak lazim yang berlawan dengan yang didapatnya selama ini, dan tak leluasa lagi bergaul dengan masyarakat, membuat batin Budi bergolak. 'Hidup saya terasa mengambang, jauh dari ketenangan,'' kata Budi kepada Republika di Manis Lor, beberapa waktu lalu.

Selama bertahun-tahun, Budi mengabaikan pergolakan batinnya, sampai akhirnya dia tak tahan lagi. Awal 2008, dia memutuskan keluar. ''Saya sekarang lebih tenang, tidak dikejar-kejar pengurus Ahmadiyah yang menagih uang pengorbanan. Saya juga bisa shalat Jumat di mana saja.'' Orang seperti Budi tak sedikit. Hasan Mahmud Audah, direktur umum seksi bahasa Arab Jemaat Ahmadiyah yang berpusat di London, juga keluar dari ajaran Mirzaiyah itu pada 17 Juli 1989.

Padahal, sebelumnya dia adalah seorang mubaligh Ahmadiyah dan pernah menetap lama di Qadian. ''Menurut pendapat saya, Islam itu telah tampak dalam keadaan sempurna dengan Nabi Muhammad SAW dan tidak membutuhkan Mirza Ghulam Ahmad untuk menyempurnakannya,'' katanya dalam bukunya, Al-Ahmadiyyah, Aqa'id Wa Ahdats.

Di buku yang telah diterbitkan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) dengan judul Ahmadiyah; Kepercayaan-kepercayaan dan Pengalaman-pengalaman itu, Audah memburaikan isi perut Ahmadiyah. Mulai dari doktrin-doktrinnya, administrasi, sanpai keuangannya.

Soal doktrin-doktrinnya, dia mencantumkan banyaknya wahyu MGA yang kontradiktif. Dia juga menyoroti wahyu-wahyu MGA yang sangat mendukung Inggris--yang saat itu menjajah India, soal kengototan MGA mengawini gadis 17 tahun, dan MGA yang menggunakan ucapan-ucapan berisi caci maki dalam 'wahyu-wahyunya'--termasuk saat merendahkan Nabi Isa.

Selain itu, dia menulis bahwa menjadi penganut Ahmadiyah sangat banyak dituntut mengeluarkan uang. Mulai dari setoran bulanan sebesar enam persen penghasilan, 10-13 persen penghasilan untuk memesan kavling surga, serta sumbangan untuk kegiatan tahunan seperti jalsah salanah. Total ada sekitar 10 item sumbangan yang harus disetorkan kepada pimpinan Ahmadiyah, yang berakhir di Jemaat Ahmadiyah Pusat di London. Audah mengatakan dana itu dalam pengawasan langsung khalifah, dan tak seorang pun mengetahui dikemanakan dana-dana itu.

Jumlah pengikut 

Saat ini, pihak Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengklaim penganut Ahmadiyah telah mencapai 150 juta, tersebar di 120 negara. Adapun di Indonesia, jumlah penganutnya 500 ribu. Soal klaim-klaim, Audah menilainya banyak yang kebesaran. Mirza Thahir yang merupakan khalifatul masih IV, dalam wawancaranya dengan Sunday Times, Desember 1989 lalu, kata Audah, menyatakan pengikut Ahmadiyah hanya sekitar 10 juta, tersebar di 80 negara. Jumlah 10 juta itu pun dinilai Audah meragukan.

Dari 80 negara atau 120 negara, Audah menyatakan sebenarnya kebanyakan hanya 1-1.000 orang Ahmadiyah di setiap negara. Di Cina, bisa dihitung dengan jari. Di Mesir, hanya 30-40 orang. Di Inggris yang merupakan pusatnya, hanya 8.000-an orang. Itu pun imigran Pakistan. Negara-negara yang penganut Ahmadiyahnya besar, hanya di Pakistan, Ghana, dan Nigeria. ''Padahal, ajaran ini telah berumur hampir 100 tahun,'' kata Audah. Propaganda-propaganda lewat Muslim Television Ahmadiyyah (MTA) soal besarnya jumlah penganut Ahmadiyah, kata Audah, sebenarnya hanya menipu diri.

Di Indonesia, penganut Ahmadiyah tak diketahui pasti. Yang terbesar terkonsentrasi di dua tempat, yaitu Manis Lor dan Pancor, Lombok Tengah, NTB. Di Manis Lor, Ahmadiyah yang masuk tahun 1954, kini dianut 70 persen dari 4.200 jiwa. Di NTB, jumlah mereka disinyalir hanya beberapa ribu. Di Kampus Mubarak, Parung, Bogor, yang merupakan markas pusat JAI, juga tak banyak orang Ahmadiyah. Saat Republika mengunjungi tempat itu, Ketua RT 03/04, Ismat, mengatakan hanya ada 12 kepala keluarga (KK) di RT 03. Belasan KK lainnya di RT 01. ''Tapi, rumah-rumah mereka sering kosong,'' katanya.

Alhasil, klaim 500 ribu penganut Ahmadiyah di Indonesia memang tanda tanya besar. Seperti markas pusatnya di London, yang ditonjolkan JAI adalah jumlah cabang. Pada 2005, misalnya, JAI mengklaim memiliki 305 cabang di seluruh Indonesia. Saat datang ke Indonesia, Khalifah Mirza Tahir, juga mendatangi Manis Lor, Juni 2000 lalu. Pulang dari Indonesia, Mirza Tahir berkata kepada majalah Al Fadhl International edisi Juli 2000: ''Saya tegaskan kepada kalian bahwa Indonesia pada akhir abad baru ini, akan menjadi negara Ahmadiyah terbesar di dunia ....''

Kata-kata seorang khalifah, bagi warga Ahmadiyah, tak ubahnya separuh wahyu, bahkan wahyu--karena mereka meyakini wahyu tak terputus. Tapi, yang terjadi dalam kenyataan malah sebaliknya. Warga Muslim NTB marah atas adanya penganut ajaran itu dan membuat warga Ahmadiyah terusir. Di Bogor, warga yang gerah telah menutup Kampus Mubarak. Di Manis Lor, sampai saat ini suasananya seperti bara dalam sekam. Di berbagai sudut jalan, tergantung pengumuman anti-Ahmadiyah.

Junaidi, ketua Remaja Masjid Al Huda, Manis Lor, mengatakan warga telah berupaya mengembalikan warga Ahmadiyah kepada Islam. ''Kami sayang kepada mereka karena mereka adalah saudara kami. Kami hanya ingin mereka kembali pada ajaran Islam yang sesungguhnya. Itu saja,'' katanya.

Sejumlah ulama sebelumnya juga mengajak penganut Ahmadiyah untuk ruju'ilal haq atau kembali kepada kebenaran. Sebelumnya, MUI dan ormas-ormas Islam bersedia membuka pintu untuk membimbing warga Ahmadiyah. Bangsa ini memang tak membutuhkan Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku nabi dan memperjualbelikan kavling surga. lis/osa/run


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
.
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=330601&kat_id=3 . .

.

Subhanakallohumma wa bihamdihi,

Asyhadu an laa ilaaha illa anta, wa astaghfiruka wa atuubu ilaika

Wa akhiru da'wana, walhamdulillahirobbil 'alamin